#3 : The Warmest Place.
Aruna merapikan sedikit riasan di wajahnya, memoleskan beberapa produk kecantikan di sana. Terasa sudah pas dengan penampilannya, ia bergegas keluar dari dalam kamar kosnya. Omong-omong, ia kini tinggal di sebuah kos milik teman orang tuanya, Aruna membentang jarak yang lumayan jauh dengan orang tuanya sebab alasan pendidikan.
Ia menginginkan untuk sekolah di ibu kota sedangkan orang tuanya masih tinggal di pulau tempat tinggal mereka. Aruna teramat bersyukur bisa mendapatkan tempat hunian yang nyaman nan layak untuknya, ia bertemu dengan teman-teman kos yang baik kepadanya. Walaupun ia satu-satunya pemuda berjenis kelamin perempuan di dalam kos yang ia tinggali, Aruna tak merasa terusik sama sekali, baik pemilik kos dan teman-temannya selalu memberikan kenyamanan untuknya.
Ruang tengah kos terlihat sunyi dan senyap, menandakan teman-temannya tengah berada di dalam kamar masing-masing. Namun, tak lama kesunyian itu terhapuskan kala beberapa temannya datang menghampirinya di ruang tengah.
“Lah, belum pergi ternyata lo.” ujar Kuroo yang mengambil duduk di seberangnya.
“Belum, kalo udah pergi gue gak bakal duduk di sini.” sahutnya.
“Iya, Run, santai aja kali ah.”
“Bu bos ingat pesanan gue, ‘kan?” Bokuto mengambil duduk di sebelahnya dan menatapnya dengan seringaian.
“Hm.” Ia menjawab dengan deheman.
“Gue liat-liat lo jalan terus sama Suna, udah mulai buka hati nih?” tanya Tsukishima.
“Baru dua kali perasaan.” jawab Aruna, ia mendongak untuk menatap wajah Tsukishima, namun pemuda bertubuh tinggi itu tak mengalihkan atensinya terhadap ponsel yang ia mainkan.
“Gue rasa sih Aruna juga mulai nerima perlakuan Suna, bener gak, Run?” timpal Kuroo yang mulai tertarik dengan pembahasan kali ini.
“Shut the heck up, but if you guys ask me a question like that, I don’t even know how to answer it, I just being opened up to someone new after myself getting healed.”
“He looks kind and better.” sahut Tsukishima.
“Gue bukannya mau jelekin Suna sih, tapi soal tampilan itu bisa dimanipulasi. Kita gak bisa jadikan penampilan seseorang untuk menjadi patokan penilaian, tapi bukan berarti gue gak dukung Aruna misalnya mau nyoba ke Suna. Selagi lo seneng-seneng aja kita mah ngikut.” Bokuto melontarkan pernyataan yang membuat ketiganya ternganga.
“BOKUTO, ANJIR TUMBENAN LO.” pekik Kuroo.
“Kemasukan kali ini anak.” sambung Tsukishima sembari tersenyum tipis.
Aruna tertawa pelan melihat pertikaian mulut teman-temannya itu, ia sempat terdiam beberapa sekon dengan ucapan Bokuto. Ia sudah meyakinkan dirinya bahwa untuk mulai menerima Suna sedikit demi sedikit dan lalu, membiarkan semuanya berjalan sesuai keinginan takdir.
Tin. Tin.
“Cielah. Pangeran berkuda sudah datang!” Bokuto berujar kegirangan.
“Hati-hati, ya, Run.” tukas Tsukishima dan Kuroo bersamaan.
“Dadah, teman-temanku!”
Aruna menggantungkan tali tasnya di atas bahunya, setelah itu melangkahkan kedua tungkainya keluar kos. Ia mendapati eksistensi Suna di depan pagar dengan pakaian kasual, serta helm full face yang menutupi hampir seluruh bagian wajahnya. Ia semakin mendekati Suna dan melemparkan sapaan ringan kepadanya.
“Hai.”
“Hai, cantik.” balas Suna. “Are you ready for the drive with me?” sambungnya.
“Of course.”
Suna memasakan helm di atas kepala Aruna, namun sebelumnya ia membenarkan tataan surai panjang Aruna dengan telaten, memasangkan pengait helm dengan benar. Lalu, meminta Aruna untuk segera naik ke atas jok motornya. Aruna bermonolog di dalam hatinya, ia tak menampik bahwa penampilan Suna pada hari ini benar-benar luar biasa.
“Emangnya mau ke mana sih?” tanya Aruna saat Suna telah menjalankan motornya, ia mendekatkan kepalanya dengan bahu Suna agar Suna dapat mmendengar suaranya.
“Ke pelaminan.” jawab Suna.
“Yeu! Masa diajak kawin lari.” sungut Aruna sembari memukul pelan pundak pemuda itu dan Aruna dapat mendengar kekehan ringan keluar dari mulut Suna.
“Jadian dulu baru nikah.” Suna menatap pantulan wajah Aruna di kaca spion motornya.
“Jadian juga belum masa bahas-bahas nikah sih.”
“Yaudah ayo jadian sekarang.” ujar Suna dengan intonasi yang teramat santai.
“Masa jadian di atas motor sih, lo pikir lagi meragain adegan Dilan-Milea apa.”
“Hehe. Gemes banget lo.” pujinya.
Aruna dan Suna kembali diam, keduanya sama-sama memperhatikan keadaan jalan di sekitar mereka. Tangan Aruna menggenggam kecil kain jaket yang Suna kenakan, ia juga memperhatikan wajah Suna di pantulan kaca spion. Mata sipit Suna yang menajam saat dirinya terfokus dengan jalanan di depannya. Tanpa ia sadari, bibirnya terangkat ke atas membentuk segaris senyuman di bibir ranumnya. Ada gejolak yang menguap kembali di dalam dirinya setelah sekian lama, merasakan debaran anomali yang menggugah seluruh isi hatinya.
...
Suna mengajaknya ke sebuah mall yang ada di kota mereka, setelah mereka sampai Suna mengajaknya untuk membeli makanan terlebih dahulu karena Suna belum sempat sarapan. Aruna bersikeras untuk membayar tagihan makanan mereka, namun Suna mengambil tas Aruna dan menyimpannya. Suna menolak permintaan itu sama kerasnya. Lantas, Aruna menyerah dan membiarkan Suna untuk membayar tagihan makan mereka.
“Seharusnya gue yang bayar tadi.” Aruna masih mendumel ketika keduanya berjalan memasuki area bioskop.
“Well, next time? I’ll pay you today.” tutur Suna dengan pelan. “Mau nonton apa?” tanyanya.
“I’m fine with any genres, jadi kita bisa nonton film apapun.” jawab Aruna dengan goresan senyuman di atas wajahnya.
“Horror, mau?” tanya Suna meyakinkan.
“Mau!”
Suna merangkul pundak Aruna dengan erat seraya memasuki area antre-an tiket, tak lupa mereka membeli satu box popcorn dan minuman. Kini keduanya telah berada di dalam studio ketika film hendak diputar beberapa menit lagi. Aruna sibuk memakan popcorn yang mereka beli, sedangkan Suna hanya memperhatikan kegiatan Aruna.
“Do you want it?” tanya Aruna.
“Feed me” pinta Suna.
Aruna terkekeh, ia memasukan beberapa popcorn ke dalam mulut Suna. Lantas, semakin terkekeh kala mulut Suna semakin penuh dengan popcorn. Suna mencubit pipi berisi Aruna sebagai balasan atas perbuatan jahilnya. Setelah beberapa menit mereka berbincang, lampu studio dipadamkan dan film mulai ditayangkan.
Aruna teramat fokus dengan adegan yang tengah ia tonton, begitu pula dengan Suna walaupun sesekali ia memperhatikan ekspresi Aruna yang kadang menunjukkan keterkejutan dan ketakutan. Tanpa Aruna sadari, ia kini menggenggam tangan Suna dengan kedua tangannya dengan erat, menyalurkan perasaan takutnya kepada Suna. Ia tak menyangka bahwa film yang ia pilih menayangkan adegan seseram ini.
“Ih, serem banget!” celetuk Aruna.
“Kalo serem peluk gue aja biar gak keliatan horrornya.” titah Suna pada dirinya.
“Modus!” balasnya.
Namun, siapa sangka kini Aruna merapatkan tubuhnya ke tubuh berisi Suna, menutup wajahnya dengan pundak Suna. Suna menoleh dan melihat bagaimana Aruna yang tengah ketakutan saat ini, ia terlihat semakin menggemaskan baginya. Suna menolehkan kepala Aruna untuk menatap ke arah dirinya agar Aruna tak melihat adegan yang menakutkan.
Katanya gak takut, tapi kok nontonnya sembunyi-sembunyi gini. Suna berujar di dalam hatinya.
...
“SEREM BANGET!” celetuk Aruna yang masih terbayang adegan yang menyeramkan di film yang ia tonton tadi.
“Kalo takut seharusnya kita gak usah nonton film itu tadi.” balas Suna.
“Gue suka tau nonton film horror walaupun pas nonton sering ketakutan ... ”
“Mau ice cream? Biar gak kebayang adegan serem lagi.” tawar Suna saat mereka melewati stan es krim.
“Mau banget!”
Suna membelikan es krim bervarian stroberi dan vanila untik Aruna, sedangkan ia memilih es krim coklat. Lagi-lagi ia membayar semuanya, karena ia telah bertekad untuk membayar semua hal yang akan mereka lakukan saat date pertama mereka. Setelah berjalan-jalan mengelilingi seisi mall, mereka juga berbincang banyak hal bersama, tak lupa diiringi tawaan dan candaan ringan mengisi pembicaraan mereka. Aruna menyadari bahwa Suna tipikal orang yang lebih banyak mendengarkan daripada berbicara, pemuda itu selalu mendengarkan setiap detil cerita yang ia lontarkan dan terkadang ia menyelipkan pertanyaan kepada Aruna.
Lantas, keduanya menghabiskan sisa waktu mereka dengan bermain di area permainan, menaiki biang lala, rollercoaster, dan permainan lainnya. Suna tersenyum senang saat melihat Aruna yang teramat antusias kala keduanya menaiki permainan. Ia juga banyak berekspresi takjub, sungguh Suna akan mengabadikan momen bahagia ini. Melihat Aruna yang tersenyum lebar membuat hatinya menghangat.
Keduanya telah menghabiskan waktu 6 jam di mall, kini mereka memutuskan untuk pulang. Namun, siapa sangka di tengah perjalanan hujan menerpa mereka. Terpaksa Suna membawa motornya ke sebuah halte untuk berteduh. Ia tak ingin Aruna basah akibat hujan dan berujung sakit nantinya.
“Lo basah gak?” tanya Suna dengan intonasi khawatir.
“Enggak kok.”
Aruna mengusapkan kedua tangannya untuk membuat rasa hangat kepada dirinya, karena hujan turun begitu lebat dan angin bertiup kencang membuat suasananya berubah menjadi dingin. Tiba-tiba Suna menarik tubuhnya mendekat kepada dirinya. Mendekap tubuh mungil Aruna dengan tangannya yang bertengger di pinggang Aruna, serta menutupi seluruh tubuh Aruna dengan jaket yang ia kenakan. Posisi mereka sangat dekat bahkan punggung Aruna bersentuhan dengan dada Suna. Ia juga dapat merasakan hembusan napas Suna mengenai lehernya.
“Dingin.” ucap Suna lirih.
Aruna termenung dengan perlakuan Suna, dan posisi mereka saat ini membuat Aruna membeku seketika. “O-Oh i-iya ... ”
Jaket Suna sangat pas membekap tubuhnya dan Suna, di pinggangnya juga ada tangan Suna yang melingkar dengan sempurna. Jantungnya bekerja lebih cepat dari biasanya, degup jantungnya juga berdetak lebih nyaring. Aruna menggigit bibir bawahnya pelan. Ia sungguh memanas saat ini.
“Sebenernya gue takut thunderbolt dan yang lainnya pas hujan.” tutur Suna halus.
“Eh?” Aruna mengernyit.
“Sorry kalo bikin lo gak nyaman dengan posisi ini, tapi gue butuh peluk lo saat ini juga buat nenangin ketakutan gue dan buat bikin lo terhindar dari hawa dingin.” jelas Suna.
Aruna menyunggingkan senyumnya, ia baru saja mengetahui bahwa Suna mempunyai ketakutan atas petir dan gemuruh dikala hujan tiba. Ia membiarkan dagu Suna bertopang di pundaknya dan pelukannya kian erat. Aruna ingin waktu dihentikan agar ia bisa merasakan perasaan ini lebih lama lagi.
Ia ingin Suna selalu berada di dekatnya.
[]