Abadi.

“Kenapa kamu bohong?”

Pertanyaan yang terlontar dari mulut Chifuyu membuat Rindou terpaku. Ia tak membalas tatap Chifuyu padanya, lebih memilih menatap layar ponsel yang menyala. Baru saja mengetik pesan untuk seseorang dan menekan tombol kirim. Deru napasnya terdengar jelas di rungu, ia mengacak surai panjangnya gusar.

Bingung pada dirinya sendiri, merasa dirinya menjadi sosok teramat bodoh sebab telah berbohong pada hatinya sendiri. Berulang kali menampik perasaan yang tumbuh bermekaran di hatinya. Berulang kali ia layukan, namun bunga itu tumbuh begitu subur di tanah hatinya. Seolah tak ingin mati begitu saja sebelum dipetik oleh tangan Rindou.

“Gak apa-apa.” sahutnya singkat padat.

Chifuyu memamerkan senyumannya tulusnya, “jangan nyesel kalo suatu saat dia bakalan jauh dari kamu, Rin.”

Pemuda itu kembali terdiam. Bagaimana jika kejadian tak diinginkan itu terjadi? Baginya itu akan menjadi mimpi buruk di sepanjang hidupnya. Ia terlalu menjunjung tinggi egonya untuk menampik perasaan yang mulai hadir di hatinya, padahal nyatanya berbanding terbalik. Ia sangat mencintai sosok itu sampai rasanya ingin mati apabila sosok itu pergi darinya.

Egois. Dirinya sangat egois kepada Sanzu Haruchiyo, melabeli Sanzu sebagai miliknya tetapi ia tak kunjung membalas perasaan yang Sanzu berikan kepadanya. Menyimpan Sanzu dalam pelukannya tanpa terikat tali relasi apapun. Tak kunjung menyadari Sanzu yang semakin terluka dalam kurungannya. Ia sudah sangat terlambat untuk menangkal hati Sanzu untuk terluka, karena Sanzu sudah menderita terlalu banyak hingga hari ini.

Padahal waktu itu Rindou berjanji untuk senantiasa menjaga Sanzu, namun ia tak ada bedanya dengan mereka yang pernah melukai hati kecil Sanzu. Ia menjadi salah satunya penyebab Sanzu terluka. Bagaimana sosok ringkih itu terlarut dalam lara dan masih bisa menggelakan tawa. Sanzu itu ahlinya berbohong, tak ada yang tahu ribuan beban yang tengah ia pikul di pundaknya seorang diri.

Sanzu itu bak sebuah kaca, mudah untuk dihancurkan dan tak dapat diperbaiki.

“Gue bego, ya?” Ia bergumam pelan. Merutuk dirinya sendiri sebab telah berjalan terlalu jauh dari sosok Sanzu, membiarkan sosok itu melangkah tertatih di belakangnya.

Kinda? Soalnya kamu terlalu sibuk menepis kenyataan bahwa kamu sebenarnya gak bisa tanpa adanya Sanzu, kamu berusaha jauhin dia, ‘kan? Tapi lihat, kamu satu-satunya yang selalu meraih tangan Sanzu setiap dia berjalan jauh. Semestinya, kamu yang sangat mencintai Sanzu, Rin. Aku bener, ‘kan? Walaupun kita baru aja sedeket ini tapi aku udah bisa mencium gelagat kamu.” ujar Chifuyu.

“Gue ketahuan nih kalo gue secinta itu sama Sanzu.” Rindou terkekeh dan mendapatkan anggukan dari Chifuyu.

Baru kali ini Rindou mengutarakan perasaan riilnya pada seseorang, terlebih perihal hubungan dengan Sanzu. Telah menjalin hubungan tanpa kejelasan selama bertahun-tahun tak menempis fakta jikalau keduanya pasti hanyut dalam aliran cinta. Mustahil jika itu tak terjadi. Saling menghabiskan waktu bersama, berbagi ranjang hangat berdua, dan hal lainnya.

Mustahil jikalau Rindou tak mencintainya.

“Gue harus apa, Chi?” tanyanya dengan netranya yang kelabu.

“Jujur sama Sanzu tentang perasaan kamu sebelum semuanya terlambat. Sebelum cinta Sanzu ke kamu perlahan hilang karena ketidakjelasan dari kamu. Emangnya apa lagi yang kamu tunggu sampai kamu menggantung ini semua?”

Rindou menarik napas lalu menghembuskannya berangsur-angsur, melepaskan kembali oksigen yang ia hirup mengudara di langit-langit. Sebelum lisannya menyusun narasi, ia membawa pikirannya mengarungi fantasi. Melintas ke masa lalu di mana pikiran ini bisa timbul.

“Pada hakikatnya gue ini takut, Chi. Gue takut dengan perasaan cinta bisa membuat kami berdua menderita dan berujung berpisah. Itu yang sangat gue takutin, gue gak mau suatu saat Sanzu pergi ninggalin gue. Gue punya pemikiran seperti ini; cinta itu gak ada yang abadi dan kemungkinan suatu saat akan pergi. Makanya gue berusaha untuk gak jatuh cinta agar gue bisa selalu dekat sama Sanzu biar gak ada alasan bagi kami untuk saling berpisah.

Gue gak mau terjalin hubungan apapun sama Sanzu walaupun tanpa adanya hubungan di antara kami, gue sama dia masih bisa aja sedeket itu. Tapi, nyatanya pemikiran gue salah. Tanpa gue sadari, pemikiran itu juga membuat Sanzu terluka padahal usaha gue selama ini untuk Sanzu bahagia. Gue terlalu egois pada Sanzu, gue sering ngelarang dia ini itu, tapi dia sama sekali gak ngantur hidup gue, dia percaya sama gue bahkan dia percaya kalo gue sebenernya nyimpan perasaan ke dia.

Hanya saja gue terlalu banyak denial, padahal yang dia katakan itu benar. Sanzu itu butuh hangatnya suasana rumah, tapi yang dia dekap hanya antah berantah. Gue gak bisa sepenuhnya melindungi Sanzu dari bahaya yang mengancam, sebab bahwanya bahaya yang selalu berada di dekat Sanzu itu diri gue sendiri.”

Chifuyu terlampau mengerti apa yang Rindou katakan kepadanya. Awalnya bersikap ketakutan namun berujung tersesat dalam hutan belantara yang tak menunjukkan arah jalan keluar. Seperti bait sebuah lagu yang dinyanyikan penyanyi tersohor, ‘we got lost in translation.’ Minimnya suara dari hati ke hati membuat mereka tak saling mengerti satu sama lain.

Ia menepuk pundak lebar Rindou, mengatakan jikalau ia tahu apa yang Rindou rasakan dan dibalas senyuman canggung dari Rindou. Rasanya setelah mengutarakan seluruh isi hatinya membuat sosok rupawan itu menghembuskannya napas kelegaan. Akhirnya ia bisa terbuka kepada seseorang yang mengerti dirinya.

“Aku mengerti, Rin.” celetuk Chifuyu.

Thanks, ya.”

“Setiap manusia itu akan pergi dan mati, Rin. Tapi gak ada namanya cinta yang gak abadi kalo keduanya menjalani perasaan itu dengan sungguh-sungguh dan dengan hati yang kuat. Biarpun ombak menghantam kalian tapi jikalau cinta kalian itu kuat, memangnya bisa terhempaskan? Yang kamu butuhkan adalah kepercayaan yang penuh akan cinta kalian, bahwa kalian senantiasa akan selalu saling mencintai hingga maut yang memisahkan kalian. Jauhin pikiran kamu yang begitu sebelum semuanya benar-benar terlambat. Jangan membuat kalian sama-sama menderita.”

Walau manusia beranjak mati, tak ada jiwa lagi yang disinari, tak ada bunga yang akan disirami, tenggelam dalam suasana malam yang sunyi, telah meraih segumpal mimpi, cintanya akan selalu abadi dibaluti bingkai lukisan memori.

...

Tentang Sanzu.

Sanzu Haruchiyo, kerap mereka kenali. Sosok konseptual yang tak seorang pun dapat mengenali perangai asli darinya. Sosok jenaka yang selalu membawa gelak tawa, namun siapa yang akan menyangka bahwasanya ia hanya berpura-pura. Tak ada yang tahu bagaimana rapuhnya sosok Sanzu bak daun yang telah layu. Tak ada yang menangkap luka lara yang menganga di setiap jenjang tubuh Sanzu. Ia terlalu piawai dalam menyembunyikan semuanya seolah-olah ia baik-baik saja.

Di balik topengnya, Sanzu itu rapuh. Bahkan untuk melangkah pun masih tertatih. Sebab itu ia menggapai tangan seseorang untuk membantunya berjalan. Namun, rupanya berpegangan tangan pada sesama umat manusia tak akan menghasilkan apa-apa. Ia juga berakhir terjatuh ke tanah. Tapi, bukannya memang begitu? Apa yang bisa diharapkan dari insan yang sama rapuhnya?

Mari membuka buku yang telah lama Sanzu tinggalkan, jika bisa ia ingin menguburkan.bait-bait kenangan itu agar tak kembali tercium ke permukaan. Di mana saat itu Sanzu baru saja duduk di bangku sekolah menengah atas. Si bungsu, alias adik perempuannya baru berusia 15 tahun, tak jauh terpaut usia dengannya. Sedangkan, saudara tertuanya sudah cukup berumur sekitar 20 tahun. Awalnya biasa-biasa saja hubungan keluarga mereka sama seperti keluarga pada umumnya. Senju dan Sanzu yang sikapnya hampir mirip dan Takeomi yang paling bijak di antara mereka.

Hidup tanpa orang tua membuat merea bertiga harus berjuang sendiri demi melangsungkan kehidupan yang semakin melambung seiring waktu. Takeomi mengemban kebutuhan kedua saudaranya agar mereka memiliki kehidupan yang lebih baik. Tak peduli pekerjaan apa yang ia tekuni yang penting menghasilkan lembaran cuan. Kehidupan Sanzu dan Senju sangat terpenuhi, dilimpahi banyak harta kekayaan, serta bergelimang tahta.

Itu semua berkat usaha Takeomi.

Suatu ketika, Takeomi mengambil langkah yang salah demi hasilkan makin banyak uang. Tanpa disengaja ia telah menjual salah satu adiknya pada sosok berjas yang mendominasi dunia atas dengan kedudukannya yang tinggi. Takeomi tak dapat berbuat banyak selain bungkam seribu bahasa membiarkan mereka meraih pergelangan tangan Sanzu yang masih lugu. Rupanya Takeomi telah dimanipulasi oleh mereka semua tanpa ia sadari. Mereka yang jatuh cinta pada paras Sanzu melegalkan segala cara untuk mendapatkan anak itu dari Takeomi.

Sanzu tak dapat berbuat banyak selain membenci sosok Takeomi dengan amarah yang menggebu-gebu. Hatinya telah menghitam, tak ada lagi tatapan seterang langit di sepasang iris Sanzu, awan hitam sudah menguasai seluruh dirinya. Sanzu yang masih remaja hanya mengeja kebencian daripada yang lain. Orang-orang itu meninggalkan banyak goresan luka di tubuhnya membuatnya nampak menyedihkan dengan bekas yang selamanya membelenggu dirinya.

Namun, semua itu untung saja tak berlangsung lama, Kokonoi mengambil alih hak milik Sanzu menggunakan kekuasaannya. Kokonoi satu-satunya yang melihat bagaimana hancurnya sosok Sanzu. Membuat orang-orang penuh dosa itu perlahan mati di balik jeruji besi. Sementara itu ia menyelamatkan Sanzu yang berada di ujung jurang. Kokonoi lah yang memberikannya pelukan hangat dan selalu menjaga dirinya.

Sanzu mulai membenci keluarganya, pergi dari hadapan mereka seolah-olah telah lama mati. Hidupnya hanya diisi derita, lara, dan luka. Terperangkap dalam ruangan tanpa pintu keluar sampai ia bertemu dengan sosok Rindou. Sosok baru yang mengajarkannya cinta di celah-celah dunia gelapnya. Mulai merasakan rasa nyaman saat sosok itu memberikan perhatiannya kepada Sanzu.

Dan sosok itu juga yang membuatnya kembali trauma saat Rindou mengajaknya melakukan hal di luar batas pertemanan mereka, tapi ia tak sepenuhnya ragu sebab ia melakukan atas dasar cinta. Ia percayakan seluruh semestanya pada Rindou. Ia biarkan Rindou menjadi dalang di hidupnya, karena hanya kepada Rindou ia bisa merasakan hidup kembali.

Namun, buana tak selamanya berpedar pada keinginan umat di dalamnya.

Sanzu berujung terluka karena bersama Rindou, tetapi ia tak begitu saja menyerah. Ia ingin selalu mengejar Rindou ke mana pun pemuda itu pergi. Tak peduli rasa sakit pada dirinya yang penting ia bisa selalu berada di dekat Rindou, kapanpun itu. Sekali lagi karena Sanzu itu percaya padanya. Percaya bahwa Rindou adalah orang yang benar untuk ia ikuti.

Kembali di masa sekarang, Sanzu meringkuk di dalam lipatan kakinya. Wajahnya sudah kacau balau dengan air mata yang membasahi seluruh parasnya. Ia baru saja menangis setelah membalas pesan Rindou dan mendapati postingan Rindou dengan pemuda lain yang membuatnya murka. Ia meredam suara tangisannya agar tak ada seorang pun yang dapat mendengarnya. Terlebih jikalau Kokonoi yang tahu bisa aja pemuda itu akan langsung terbakar emosi.

“Benci ... benci banget sama diri gue sendiri. Seharusnya lo gak usah hidup aja, hidup lo gak guna sama sekali, Sanzu ... ”

Namanya Sanzu, Sanzu Haruchiyo. Tak ada lagi embel-embel Akashi yang tertera di namanya. Lantara orang itu telah lama mati, namun telah berganti dengan sosok yang baru. Lisannya menuturkan kalimat-kalimat yang begitu memilukan, menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian yanh tengah terjadi. Tangisannya kembali runtuh membasahi wajah cantiknya.

Hingga ada tangan yang mendekap tubuhnya dengan erat dan mengusap punggungnya dengan sangat lembut, tak ingin membuat sosok itu makin hancur. Sanzu langsung terperanjat dan matanya membelalak kaget. Ia tak sanggup untuk mengeluarkan suara selain isak tangis.

“Jangan nangis, Haruchiyo. Melihat kamu kayak gini bikin aku juga terluka. Jangan khawatir aku gak akan pernah berpaling dari kamu. Selamanya, Haruchiyo. Selamanya aku akan selalu bersama kamu dan mencintai kamu. Sudah, ya?”

Tangisannya tiba-tiba terhenti, ia tahu betul siapa pemilik vokalisasi itu serta pelukan hangatnya yang khas. Sosok itu adalah Rindou, orang yang sangat ia sayangi. Tangisannya langsung pecah begitu saja ketika mendengar penuturan Rindou.

Cinta, katanya.

Apakah Rindou sudah membuka hatinya untuk menerima perasaan cinta itu?

“Rin ... ?”

“Di sini, sayang. Jangan menangis lagi, ya? Aku gak akan pergi lagi kok.”

Sanzu membalas pelukan Rindou, yang pertama kali ia lihat adalah sosok Rindou yang tersenyum dengan tulus kepadanya. Tangannya yang menghapus jejak air mata di pipinya, bibir yang menyentuh bibir ranumnya dengan ciuman lembut.

“Aku sangat mencintaimu, Haruchiyo.”

[]