Akhir Asmaraloka.
Walau tungkainya berjalan di bawah temaram, disambut emonasi jiwa yang kelam, sembari ditemani rasa yang suram. Mengarungi kegelapan malam yang disoroti rembulan. Raga yang terlarut dalam aroma kesedihan. Inikah akhir untuknya?
Hubungan selalu diselimuti dengan rasa bahagia dan dihadiahi air mata karena hati yang terluka. Namun, mengapa ia tak dapat membendung perasaan ini? Rasanya begitu mendera di sanubari yang membawanya kembali mengenang memori. Kepingan kenangan yang terjadi di masa lalu membuatnya meneteskan air mata dan napasnya yang tercekat.
“Begini, ya, akhirnya?” lirihnya.
Miya Osamu yang telah memantapkan seluruh jiwa dan raganya untuk membuat keputusan yang akan memutuskan dirinya dengan rasa sakit yang ia dera selama ini. Walaupun dihadapkan dengan kenyataan yang menyakitkan, bukankah inilah yang terbaik untuknya? Sekelebat memori terputar bak kaset rusak di dalam pikirannya. Senyum kecut terpatri di wajahnya meskipun air mata masih membasahi permukaan wajahnya.
Kala itu terjadi, Osamu masih lugu dan tak tahu-menahu mengenai kebohongan yang dilakukan oleh Suna, terlalu awal bagi dirinya untuk menaruh curiga pada kekasihnya itu. Osamu menyapu pandangan pada jejeran bunga matahari yang tersusun rapi di pelataran rumahnya. Osamu mengerut heran, mengapa rumahnya dipenuhi dengan bunga-bunga.
“Kok lo rawat bunga tiba-tiba?” tanya pemuda bersurai abu pada sosok pemuda yang sangat mirip dengan dirinya, ia adalah Miya Atsumu, kembarannya.
“Oh? Pacar gue suka manggil gue sunflower dan dia sering ngasih gue buket berisi bunga matahari, rawat bunga-bunga ini selalu ngingetin gue ke dia.” jawab sang pemuda bersurai kekuningan, netra cerah yang menyorotkan keindahan.
“Gue baru tau lo punya pacar.” pungkas Osamu yang benar-benar baru mengetahui kebenaran bahwa kembarannya sudah menjalin hubungan dengan seseorang.
Atsumu menelan air liurnya susah payah, ia ingin menyalak namun ia sudah membongkarnya sendiri. Lantas, yang bisa ia lakukan hanya mengulas senyuman mengalihkan atensinya kepada Osamu. Sedangkan pemuda bersurai abu hanya menyesap secangkir kopinya dengan nikmat, seolah telah siap mendengarkan cerita kembarannya.
“Iya, gue udah punya pacar.” jawabnya pelan.
“Siapa?”
Atsumu tiba-tiba bungkam, ia mengepalkan tangannya sehingga buku-buku jarinya memutih. Ia menegang seketika dan lidahnya terasa kelu untuk berucap. Pertanyaan itu menohok relung hatinya.
“Gak usah kepo.”
Tatapan menelisik dilayangkan oleh Osamu setelah mendapatkan jawaban dari Atsumu yang terdengar aneh, tetapi selang waktu berikutnya Osamu hanya mengendikkan bahu acuh sebab Atsumu memang selalu bertingkah laku demikian. Atsumu menghela napas lega, karena Osamu tak menggali lebih dalam mengenai dirinya.
Atsumu berajak menjauh dari pandangan Osamu, ia ingin menghindari pembahasan seperti ini sebab dirinya lah yang menciptakan luka kepada Osamu.
...
“Kok baunya mirip Rin, ya?”
Osamu bergumam kala menemukan sepotong jaket kulit yang tergeletak di atas ranjang Atsumu saat dirinya berniat untuk membersihkan rumah. Ia meraih jaket tersebut dikarenakan benda itu menarik atensinya dan terlihat asing. Selama ini Atsumu dan Osamu selalu berbagi pakaian dan semestinya Osamu mengenali seluruh pakaian milik Atsumu, begitu sebaliknya.
Osamu juga sedikit mengenali jaket yang ia temukan ini, mirip dengan milik Suna. Bahkan bau yang masih tertinggal di jaket ini pun masih tercium jelas, seperti bau parfume yang digunakan Suna. Ia sangat tahu bau ini, setiap kali dirinya memeluk Suna maka bau ini lah yant tercium olehnya. Namun, mengapa ia menemukan jaket ini berada di dalam kamar Atsumu? Osamu tak ingin menaruh perspektif aneh pada hal yang ia temukan saat ini. Ia menghela napas untuk berpikir rasional.
“Mungkin punya Atsumu, kalo pun ini punya Rin, kenapa ketinggalan di sini? Padahal seminggu ini gue gak ada ketemuan sama Rin dan gak mungkin dia ninggalin barangnya di sini.” Osamu bermonolog dan membiarkan jaket itu tetap berada di tempat asalnya.
Osamu menarik sudut bibirnya ke atas, ada banyak buket bunga matahari yang tersusun di atas nakas Atsumu. Hatinya menghangat saat menemukan Atsumu menemukan sosok yang baik untuknya. Walaupun mereka sering bertengkar, tak menampik kemungkinan bahwa Osamu sangat menyayangi kembarannya tersebut, karena dirinya hanya memiliki Atsumu.
Bahagianya juga bahagia Osamu.
...
Pembuluh darah nampak tegang di wajahnya, tubuhnya tiba-tiba bereaksi kaku kala mendapati seseorang yang sangat ia hindari. Ekspresinya mengeras dan begitu pula dengan sosok pemuda bersurai terang tersebut. Ia bergegas menghampiri Osamu yang terlihat ingin menghindari presensinya. Ia meraih pergelangan tangan Osamu untuk menghentikan pemuda itu.
Osamu menyentak tangan seseorang itu pada pergelangan tangannya, “tunggu!”
“Ada apa, Eita?” Osamu menjawab dengan intonasi yang terdengar dingin.
“Can we talk? I have a lot of words.” Perkataan yang dilontarkan Semi terdengar begitu memohon di telinga Osamu.
“Kenapa gue harus dengerin lo?”
“Karena ada kesalahpahaman yang terjadi di antara kita, Osamu.” Semi tetap keukeuh untuk menggenggam pergelangan tangan Osamu, tatapan itu membuat Osamu goyah. Osamu kembali menghela napas lelah, ia mengangguk sebagai jawaban.
Walau saat ini hatinya meringis, ia masih bisa merasakan rasa sakit yang tertanam di lubuk hatinya. Bukankah selama ini Suna telah mengkhianatinya bersama Semi? Itulah keberan yang diketahui oleh Osamu. Berbicara empat mata dengan seseorang yang membuat hatimu terluka begitu menyakitkan untuk Osamu. Ia tak akan bisa menerima perlakuan mereka atas dirinya.
“Lo pasti punya pemikirin bahwa gue adalah selingkuhannya Suna, ‘kan?” Semi melontarkan kalimat intinya.
Osamu mengerutkan keningnya heran, mengapa pemuda ini langsung berkata demikian kepadanya. “Maksud lo?”
“Gue tau kok selama ini orang-orang mikir kalo gue selingkuhnya Suna dan gue juga tau kalo lo berpikir hal yang sama kepada gue. Lo tau ‘kan kalo selama ini Suna selingkuhin lo? Gue tau lo berpura-pura gak tau apa-apa di hadapan Suna. Kalo lo beneran gak tau soal itu, kenapa lo berusaha ngindari gue? It must be something happened, right?” Semi menatap telak di iris netra Osamu yang sayu. Osamu berjengit di tempatnya, dirinya dibuat kebingungan dengan Semi.
“Gue gak paham apa yang lo omongin.”
Semi menghela napas, ia mendongakkan kepalanya sekilas sebelum membuka mulutnya untuk menjabarkan apa yang terjadi sebenarnya. “Suna emang selingkuhin lo, Sam. Bahkan udah satu tahun dia selingkuhin lo, maaf gue ikut andil untuk nyembunyiin ini dari lo dan bersikap kalo gue mendukung apa yang Suna lakukan terhadap lo. One thing you should know, gue bukan selingkuh Suna. Gue maupun Sakusa cuman temannya Suna, gue berdua tau apa yang Suna lakukan, tapi kami gak bisa ngelakuin apapun selain ngebiarin apa yang dia mau lakuin. My bad.”
“Gue bingung kenapa orang-orang berspekulasi kalo gue adalah selingkuhannya Suna cuman karena gue sering hang out sama Suna. Padahal dibalik kita hang out, di sana Suna ngajak selingkuh dia yang sebenarnya. Dalam artian, gue digunain untuk nutupin kebohongan Suna mengenai selingkuhan dia. Awalnya gue mencoba untuk denial tapi lama-kelamaan gue membiarkan semuanya terjadi begitu aja agar orang-orang gak tau siapa orang sebenarnya.”
Bak ribuan godam yang menghunus jantung Osamu, berdenyut ngilu hingga membuat jiwanya sengap. Semi mengusak wajahnya gusar, sedikit tersampir kelegaan karena sudah membongkar semuanya. Semi dapat melihat ada pancaran kesedihan yang tersorot melalui tatapan Osamu. Entah apa yang membuat Semi mengulurkan tangan untuk mengusap bahu Osamu yang menurun.
“Maaf ... ”
“Berarti bener, ya? Rin selingkuhin gue.”
“Sialnya, iya.”
Osamu menarik sudut bibirnya ke atas untuk membentuk sebuah senyuman tipis, pemandangan itu tak luput sejengkal pun dari tatapan Semi. Hatinya terenyuh melihat sosok Osamu yang ringkih namun berdiri dengan kokoh. Memang Semi tak mampu melihat secara verbal berbagai luka yang tercetak di dalam jiwa Osamu, namun yang pasti luka-luka itu pasti menyakitkan.
“Maaf gue nuduh lo selingkuh sama Rin.” ucap Osamu lirih walau bibirnya terpatri sebuah senyuman hangat.
“Gak masalah, Osamu. Anggap aja ini sebagai bentuk permintaan maaf gue karena sudah nyimpan kenyataan ini dari lo. Walaupun Suna temen gue bukan berarti gue membenarkan setiap langkah yang dia pilih.” Semi mengepalkan tangannya di atas meja yang tengah mereka tempati saat ini. Ada emosi yang muncul di dalam dirinya ketika melihat sosok Osamu.
“Siapa dia?” tanyanya.
Semi meneguk ludah, “menurut lo?”
Ia terlampau tahu jalan pikiran Osamu, besar kemungkinan jikalau Osamu sudah mempertimbangkan sebuah nama di dalam pikirannya. Maka dari itu Semi membiarkan Osamu merapalkan namanya dan dirinya yang akan memvalidasi.
“Atsumu, ‘kan?”
Semi tak berkutik dan tak memberikan respon apapun. Melihat raga yang hampa diterpa lara membuatnya merasakan hal yang sama. Ia tak ingin bersikap apatis terhaap sesuatu yang salah, membiarkan temannya menebar asa di setiap masa. Itu adalah tindakan yang bodoh. Sebuah hipotesis yang akhirnya berjumpa dengan kebeneran, semuanya telah terbongkar hingga ke akar. Lantas, untuk apa dirinya bertahan di dalam gundah gulana?
“Iya.”
Lesap sudah seluruh dekap yang pernah Suna berikan untuknya. Meninggalkan hati yang terluka dan hanya menciptkan duka. Di balik senyumannya, terselip kesedihan yang mendera. Jiwa yang menangis tak terbendung lagi.
...
“Atsumu.”
“Kenapa?”
“Siapa pacar lo?”
Atsumu menoleh mendapati setengah raganya yang terpampang di hadapannya, ia mengerutkan kening heran; mengapa Osamu tiba-tiba bertanya demikian. Ia ingin menciptakan sebuah distraksi saat ini juga. Pembahasan yang selalu membuatnya terpojok. Atsumu mendengus sembari duduk bersimpuh di samping Osamu, tentunya setelah mengurus bunga-bunga kesayangannya, bunga matahari.
“Dia orang yang baik.” jawabnya.
Dia memang baik, itulah kenapa lo sayang sama dia, ‘kan? Osamu berujar dalam hati.
“Sampai kapan lo mau nyembunyiin pacar lo itu? Gak mau show up ke gue?” tanya Osamu lagi. Ia menunduk untuk memainkan sebuah cincin yang melingkar di jari manisnya, cincin pemberian Suna pada hari jadi hubungan mereka yang pertama. Hanya saja saat ini Osamu tak sanggup untuk melihat netra cerah itu lagi.
“Gak tau.” sahut Atsumu.
Osamu meremas secarik potret seseorang di dalam kepalan tangannya, ia sangat marah dan kecewa namun Osamu tak tahu untuk mengekspresikannya selain menarik bibir untuk tersenyum. Osamu baru saja menemukan potret Suna bersama Atsumu, dua pemuda itu saling berpelukan dan melemparkan kebahagiaan bersama. Osamu masih bisa untuk berpura-pura di balik topeng lugunya.
“Gue gak akan bisa maafin seseorang yang bikin gue kecewa, Atsumu. Apa gue salah suatu saat bersikap begitu?” Tangannya masih mengepal kuat sehingga secarik potret itu akan kumal di dalam genggamannya.
Baik keluguan Atsumu pun tak menyadari bahwa Osamu kini telah mengetahui semuanya, “gak masalah, emangnya orang yang kayak begitu bisa dimaafin?”
Osamu mengangkat tahannya untuk menepuk pundak Atsumu. Kembarannya tersebut menoleh ke samping, mendapati Osamu yang menatap ke arah langit. Atsumu tak tahu apa yang sedang dia pikirkan, karena ia bukanlah sesosok yang peka terhadap situasi dan kondisi.
“Gue gak suka bunga dan juga gak suka dikasih bunga. Emangnya dikasih bunga itu atas dasar apa? Kasih sayang? Cinta? Pemikiran kolot yang gue terapkan kala gue baru aja menginjak suatu hubungan; apa dengan dikasihnya bunga bisa menjamin atau menggambarkan perasaan seseorang? Ternyata gue salah, Atsumu. Bunga bisa dijadikan atas bentuk rasa cinta seseorang. Selama ini Rin gak pernah ngasih gue bunga, karena gue selalu menolak untuk dikasih. Gue gak tau bisa aja bentuk cinta Rin ke seseorang itu dengan cara memberikan bunga atau sebuah pelukan hangat. Apa selama ini Rin gak pernah nunjukin bentuk cinta dia ke gue? Ironis.”
Atsumu memilih bungkam dan menunduk, tak tahu untuk berucap bagaimana selain menggunakan rungunya untuk mendengar dengan baik setiap juntaian perkataan Osamu. Hatinya menjerit setiap perkataan yang masuk ke dalam rungunya, seolah ingin menikamnya hidup-hidup.
“Gue gak suka bunga matahari. Bunga yang selalu mengejar sang tata surya, kenapa dia harus mengejar sesuatu yang bukan miliknya, Atsumu?” Ia menggigit bibir bawahnya untuk meredam suaranya yang bergetar.
“K-Kenapa ... ?” Rahangnya menurun, tak tahu untuk menjawab apa.
Terpampang senyum palsu yang memoles wajah indah Osamu. Ia termenung beberapa saat, membiarkan senyap mengisi ruang di antara mereka kala keduanya terlarut dalam pikiran masing-masing, hingga pada saat Osamu terkekeh.
“Bunga matahari memang mengejar suatu yang bukan miliknya, tetapi emang pada dasarnya ia ditakdirkan untuk mengejar matahari, ‘kan?” sambung pemuda itu.
Bukankah Suna memang ditakdirkan untukmu, Atsumu?
...
“Ayo putus.”
Osamu sempat memejamkan kelopak matanya untuk menetralisasikan napas dan detak jantungnya yang berdegup lebih cepat. Suna baru saja menempatkan diri di sampingnya setelah kegiatan yang mereka lakukan selama beberapa jam. Suna terperanjat kaget mendengar perkataan Osamu yang secara tiba-tiba.
“Sayang?” panggil si pemuda bersurai hitam, meraih atensi sang kekasih.
“Ayo akhiri semua ini.” Osamu mengulangnya lagi.
“K-Kenapa begini ... ? Aku gak bisa putus dari kamu, Osamu. I love you so bad.”
Intonasi yang Suna keluarkan begitu panik, Osamu memiringkan tubuhnya ke samping untuk bersitatap dengan netra tajam sang ke kasih. Untuk kesekian kalinya Osamu tersenyum, seraya mengusap lembut pipi kekasihnya, membubuhkan ciuman lembut di atas ranum Suna. Ciuman yang mungkin memjadi terakhir untuk mereka. Osamu sudah membulatkan tekadnya untuk ini.
“Sayang aja gak cukup, Rin. Buktinya kamu bisa sayang ke siapapun, termasuk aku dan Atsumu. Kamu gak menyelipkan keseriusan kamu hanya untuk mencintai aku. Jadi, sebelum semuanya semakin rumit, ayo akhiri ini semua. Jangan buat aku semakin terluka karena kamu.” Tak ada keraguan yang tercipta di setiap kata yang Osamu lontarkan, terdengar sangat yakin.
“Osamu ... ?”
“Aku udah tau semuanya, baik tentang kamu selingkuhin aku dengan Atsumu.”
“No! Gak, sayang, aku gak bisa kita putus. Tolong dengerin aku dulu, ya? Aku bisa jelasin apapun yang kamu mau. Aku gak mau kita berakhir putus, sayang.”
Suna gelagapan saat Osamu beranjak dari atas kasur untuk memunguti potongan pakaiannya yang berhambur di seluruh penjuru ruangan ini. Ia tak dapat membendung air matanya untuk tak berjatuhan, jadi ia membiarkan tetesan air mata itu turun membasahi pipinya. Suna meraih tubuhnya dan mendekapnya erat. Pucuk kepalanya basah akan air mata Suna, namun Osamu sudah mati rasa. Ia menangis namun semuanya terasa hampa. Tangisan Suna pun tak berarti apa-apa baginya. Osamu hanya ingin secepatnya mengakhiri ini semua.
“Sayang ... jangan tinggalin aku ... ” lirih Suna sembari memohon padanya.
“Sudah, ya? Ayo kita jalani hidup masing-masing tanpa ada status lagi.”
Suna tak kunjung melepaskan pelukannya pada tubuh ringkih Osamu, sekalipun Osamu mencoba untuk menarik diri untuk membentang jarak. Ada perasaan sesal pada Suna, namun seperti yang pernah ia katakan; semuanya sudah terlambat untuk menyesali apa yang telah ia lakukan. Namun, ia tak memperhitungkan kejadian ini, di mana Osamu akan pergi meninggalkannya. Sungguh, Suna masih begitu menyayangi Osamu.
“Perlakukan bungamu dengan baik, Rin.”
[]