Bagian 2.
Malam yang diselimuti temaram, bunga yang tumbang telah ditinggalkan oleh kumbang.
Hinta bergegas dan berlarian kecil di koridor unit, hatinya tak karuan semenjak Kenma memintanya untuk datang ditambah kekhawatirannya tentang kondisi Kenma yang sedang tak baik-baik saja. Saat daun pintu unit milik Kenma sudah terlihat, tanpa membunyikan bel lagi, Hinata sudah memasukkan pin yang pernah diberitahukan oleh Kenma sebelumnya. Ia rasa mengetahui pin unit Kenma itu sangat penting, Hinata takut jikalau ada kejadian yang tak diinginkan.
Hinata kembali menutup pintu tersebut, memanggil nama Kenma dengan suara lantang dan mengedarkan pandangannya ke segala arah. Lantas, ia menemukan sosok Kenma yang tengah duduk di ruang tengah dengan menekuk lututnya erat, menenggelamkan wajahnya di tumpuan lutut tersebut membuat rambut panjangnya tergerai hingga menutup seluruh wajahnya.
“Kenma?” panggil Hinata dengan lirih.
Ia dapat menyaksikan bahwa bahu Kenma bergetar menandakan ia sedang menangis sekarang walaupun ia tahu Kenma mencoba untuk meredam suara isak tangisnya sekuat mungkin agar dirinya tak mengetahui kenyataan tersebut.
“I’m come ... ” Hinata berujar kembali.
Kenma menengadahkan kepalanya ke atas untuk melihat eksistansi Hinata, wajahnya sangat kacau; ada bekas aliran air mata di sekitar wajah Kenma, hidungnya yang memerah, serta mata yang bengkak. Hinata menarik Kenma masuk ke dalam pelukannya, menyalurkan kehangatan untuk tubuh Kenma yang tengah bergetar.
“Everything will be fine, Kenma.” Lidahnya hanya mampu melontarkan beberapa patah kata yang ia pun meragukan perkataan itu bisa menenangkan Kenma atau tidak.
“Shoyo ... ” Kenma meletakkan kepalanya di dada Hinata dan tangannya berada di sisi tubuhnya, Kenma merasa bahwa kedua tantannya sangat lemah untuk bergerak membalas pelukan Hinata. “Kuroo really hates me. I met him after a long time and he didn’t talk too much, but he looks fine. Setidaknya aku merasa lebih lega melihat Kuroo yang baik-baik aja.” sambungnya.
“Do Kuroo always fine even though I’m not around, do my existence just bother him?” tanyanya.
Hinata menelan air liurnya dengan susah, ia bingung harus menjawab seperti apa. Terkadang sebuah kejujuran dan menggores luka pada seseorang, namun berkata jujur jauh lebih baik daripada dusta.
“As you can see, he’s ... always fine.” Selama kepergiaan Kenma bertahun-tahun, Kuroo sudah berhasil memperbaiki dirinya tanpa menyakut pautkan kisah masa lalu untuk masa depannya, Kuroo selalu menatap maju tanpa noleh ke belakang.
Kenma menghela napas lega, ia melonggarkan pelukan Hinata pada tubuh ringkihnya, menggulirkan pandangan pada arah jendela yang terbuka. “Syukurlah ... ”
“Mungkin semua usahaku cuman sia-sia, tapi aku bersyukur Kuroo berhasil meraih usahanya untuk selalu melangkah maju. Shoyo, it might be exhausting and hurting us more, cuman kali ini aku mau egois lagi untuk terakhir kalinya agar bisa meraih usahaku. Aku harus bisa berbaikan sama Kuroo dan menyelesaikan semuanya.”
Hinata hanya bungkam membiarkan sang empu berujar dari lubuk hatinya, menatap sosok ringkih itu dengan lamat. Hinata melihat pancaran harapan dari pasang iris Kenma. Ia tahu tubuh itu sudah teramat lelah tuk melangkah.
“Apapun yang kamu mau, aku bakalan selalu bantu kamu.” pungkas Hinata.
“Shoyo, kamu tau ‘kan, bunga gak bisa terlihat indah untuk selamanya dan ada kalanya mereka akan layu.” Kenma bergumam dengan intonasi yang rendah.
“Maksudnya?” tanya Hinata padanya.
Kenma hanya menggeleng, “hm? Kayaknya aku cuman ngelantur.”
Bunga yang sudah mati maka akan terganti.
[]