Bagian 4.
Terperangkap bak dalam sangkar, nampak sempit yang membuatnya sesak. Kenma harus bersatu kembali dengan tempat yang sangat ia benci. Bau obat-obatan yang menyengat, jarum-jarum yang menusuk kulit, dan ruangan putih yang hampa.
Kenma merasa ini adalah sebuah sangkar, ia tak mampu bekutik sama sekali selain memilih pasrah dan menyerahkan tubuhnya sepenuhnya, acuh pada kerumunan perawat yang mengurus dirinya. Matanya terlampau terpejam erat, namun ia dapat mendengar suara gemuruh yang ditimbulkan oleh orang-orang di sekitarnya. Kenma tak sepenuhnya tak sadarkan diri, ia masih bisa mendengar dengan samar walaupun semuanya hitam.
Apa yang ia dengarkan ialah konkret, suara parau milik Hinata bercampur dengan derau suara dari Elektrokardiogram. Kenma merasakan kepalanya sangat sakit seperti ada ribuan beban yang menimpa kepalanya saat ini, juga napasnya yang putus-putus, ia kesulitan untuk mengambil napas ditambah denyut jantungnya yang melamban. Kenma merasakan itu dan dapat menyadarinya.
“Lagi?” gumamnya dalam hati.
Setelah berikutnya, Kenma tak mampu menahan dirinya untuk tetap sadar, perlahan kemudian semuanya semakin gelap seperti tenggelam ke dalam dasar lautan. Rasa sakit yang kian mendera.
...
“Hinata!” Lev menjerit untuk memanggil Hinata yang tengah bersender di dinding putih tersebut, napasnya tersengal sebab berlari di sepanjang koridor rumah sakit.
“Gimana keadaan Kenma sekarang? Lo udah bilang ke tim medis sesuai apa yang gue bilang, ‘kan?” tanya Lev terburu-buru.
“Sudah ... ” jawab Hinata semampunya. Mendapati Kenma dalam keadaan terpuruk seperti ini membuat daya pikirnya semakin melambat, pikirannya kacau balau.
“Hhh.” Lev menghela napas kasar. Pemuda berperawakan tinggi itu mengambil tempat duduk di sebuah kursi yang tersedia di luar ruangan Kenma berada, lalu Hinata mengekorinya dan duduk di sampingnya.
“Kenma bandel banget, ya?” Hinata mendengar intonasi hambat yang terlontar dari suara Lev, walau kini Lev tengah terkekeh, Hinata yakin bahwa Lev kepalang kacau sama seperti dirinya. “Keadaan kayak gini bukan pertama kalinya bagi Kenma. Setiap kali dia kambuh, saat itu juga rasa takut gue semakin besar.”
Hinata tak bergeming dan lantas memilih untuk bungkam, membiarkan Lev melanjutkan perkataannya yang tersendat.
“Gue takut menerima fakta bahwa kita harus kehilangan dia untuk selamanya.” sambung Lev, giginya bergemertak dan wajahnya mengeras ibaratkan bahwa Lev tengah terlarut dalam rasa emosinya.
Bahu Hinata beringsut rendah, tersampir gurat kesedihan yang melara jiwanya. Hinata tahu apa yang Lev rasakan saat ini, sebab dirinya juga merasakan hal yang setimpal. Kenma salah satu teman terbaik yang Hinata miliki, jikalau dirinya harus kehilangan Kenma dalam waktu singkat, Hinata tak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya nanti. Namun, itu akan berdampak besar bagi dirinya. Lev mengusak wajahnya gusar, ia menautkan jari-jari erat.
“K-Kenma pasti bertahan.” acapnya gemetar.
Lev tak langsung menjawab, ia menyapu pandangan ke arah depan, “gue harap begitu, Hinata. Lo mau tau kenapa Kenma balik ke sini lagi setelah bertahun-tahun lamanya dia pergi?” Lev melontarkan pertanyaan kepada Hinata.
“Kenma pernah bilang kalo dia rindu kota ini dan dia juga rindu semua temen lamanya.” balas Hinata.
“Ada alasan lain kenapa Kenma memilih untuk balik ke sini. Itu karena kami gak punya pilihan lain, Hinata. Kenma sudah pasrah.”
“Maksud lo?” Hinata mengerut heran.
“He doesn’t have much times left. So, he wants to make everything up, he wants to see everything that was he left behind, he wants to see the world going by. The first thing he want to do is seeing Kuroo happy.”
Hinata membekap mulutnya menggunakan tangannya, air mata berjatuhan tak terbendung lagi, perlahan membasahi kedua pipinya. Bak dihunus oleh tombak panas tepat di ulu hatinya, Hinata tak menyangka harus mendapatkan kenyataan yang benar-benar mampu membunuh dirinya. Sedangkan Lev tengah menatap langit-langit koridor yang rumpang.
“Sebenarnya gue diminta untuk rahasiain itu dari siapapun, termasuk lo, tapi gue rasa udah saatnya lo tau kenyataannya.”
“A-Apa gak ada cara lain biar Kenma bisa sepenuhnya balik kayak dulu lagi?” tanya Hinata dengan intonasi rendahnya.
Lev menggeleng, “dunia gak pernah berpihak kepada Kenma.”
...
Kelopak matanya mengerjap beberapa kali, membiasakan sinar lampu yang merongrong masuk ke retinanya. Ia menoleh ke samping dan mendapati dua sosok temannya yang tengah tertidur dalam posisi duduk. Ia meringis melihat teman-temannya seperti itu.
Kenma merasa beban tubuhnya sangat berat hingga ia kesusahan untuk mengangkat sebelah tangannya, ditambah rasa sakit yang semakin menyiksa dirinya. Kenma hanya mampu menghela napas pelan, merutuki dirinya yang bodoh. Berhubungan dengan rumah sakit membuatnya lelah dan muak.
“S-Sho ... ” Kenma berusaha untuk melontarkan kata, tetapi begitu susah untuk ia lakukan.
Hinata mulai terbangun dari setengah tidurnya sebab ia mendengar suara pelan Kenma terhadap dirinya. Hinata langsung menegapkan tubuhnya dan mengulas senyuman hangat. Ia membenarkan posisi bantal Kenma agar temannya itu mendapatkan posisi yang lebih nyaman.
“Feeling better?” tanyanya lembut.
Kenma tak mampu menjawab pertanyaan Hinata secara verbal, jadinya ia hanya meangguk pelan sebagai jawaban. Keduanya sempat diselimuti kesunyian, karena Hinata maupun Kenma menetapkan untuk menutup bibir mereka rapat. Hanya suara Elektrokardiogram yang mengisi ruang senyap dan menginterupsi keduanya.
“Maaf ... ” Bilah bibir Kenma seolah-olah mengeja kata maaf pada Hinata.
“Gak apa-apa. Kalo kamu masih merasa kurang enak badan mending istirahat aja, aku sama Lev bakal jagain kamu di sini.”
Lagi-lagi Kenma hanya meangguk pasrah. Netra terangnya kembali terpejam, berusaha mengatur napasnya untuk tetap stabil walaupun kini dadanya tengah sesak. Saat netranya tertutup, tiba-tiba bayangan dari kilas memori yang terjadi hari itu kembali terputar di dalan otaknya.
Di mana bayangan Kuroo memeluk sosok kekasihnya di bawah rinai hujan.
Lantas, dadanya semakin sesak setiap kali bayangan itu datang menggerayangi seluruh isi pikirannya. Kenma ingin menghalau pikiran itu, tetapi ia tak bisa. Semuanya terputar bak kaset rusak yang telah kusut, selalu dimainkan di sebuah bagian yang sama. Kenma menggigit bibir bawahnya kuat dan tangannya mengepal erat sehingga buku-bukunya memutih.
“Kuroo ... ” lirihnya dalam hati.
“Apa itu kebahagiaan yang kamu maksud? Jika jawabannya benar, setidaknya aku bisa lebih tenang walaupun nyatanya aku harus menorehkan luka.”
[]