Bagian 5.
Suara bell yang berdering untuk ketiga kalinya berhasil menginterupsi Kenma. Sosok pemuda bertubuh lebih mungil itu bergegas menghampiri Kuroo yang berada di balik pintu tersebut. Kenma sempat merasakan debaran anomali di jantungnya, seakan napasnya ikut tercekat. Setelah bertahun-tahun berlalu, hari ini pertama kali bagi mereka untuk bertemu dalam situasi yang lebih baik daripada sebelumnya.
“Lama banget.” Kuroo melontarkan protes kepada Kenma, wajahnya menunjukkan gurat datar namun hal itu tak membuat Kenma merasa terintimidasi.
“Maaf.”
“Maaf terus lo bisanya, daripada bilang maaf mending lo nyuruh gue masuk.” titah laki-laki itu.
“Ah iya ... silakan masuk, Kuroo.”
Kenma sedikit menggeser tubuhnya untuk memberi akses kepada Kuroo untuk masuk ke dalam unitnya, setelah itu Kuroo langsung melenggang masuk dan Kenma hanya mengekori sosok itu di belakang. Saat keduanya telah berada di ruang tengah, Kuroo mendudukkan tubuhnya di atas sofa berwarna coklat, merenggangkan otot-ototnya yang terasa pegal. Kenma berdiri mematung di atas pijakannya, iris kembarnya tak memiliki keberanian untuk menatap Kuroo secara langsung.
“Kenapa lo?” tanya Kuroo seraya melepaskan jaket yang melekat ditubuhnya.
“Ah, anu ... gak apa-apa, Kuroo mau minum apa? Biar aku bikinin.” balas Kenma.
“Apa aja deh yang penting hangat.”
Kenma melenggang meninggalkan entitas Kuroo seorang diri di ruang tengah, tatapan laki-laki itu menyapu seiri ruangan dan menelaah desain interior yang Kenma pilih untuk menghiasi unitnya. Pandangannya lantas terhenti kala irisnya menangkap sebuah figura yang terletak di atas meja. Figura yang berisikan potret Kenma bersama dirinya. Mungkin potret itu diambil ketika mereka masih belia.
“Rupanya lo masih nyimpan, ya?” Senyuman tipis terpatri di wajahnya, namun selang beberapa detik kemudian, Kuroo hanya mengendikkan bahunya acuh.
“Kuroo.” Kenma datang membawa nampan berisi dua gelas coklat panas, ia meletakkan dua gelas itu di atas meja dengan rapi.
“Thanks.” pungkas Kuroo.
Kenma hanya mengangguk sebagai jawaban. Pemandangannya menulusuri sosok Kuroo yang berada di hadapannya, sosok yang dahulu menjadi pujaan hatinya. Kenma akui bahwa Kuroo mengalami banyak perubahan, tubuhnya semakin berisi dan kekar, pula tataan surainya yang mencuat. Hanya saja ekspresi laki-laki itu tetap datar dan samar.
“Nih gue bawain sesuatu.” Kuroo menyerahkan kantongan kertas kepada Kenma. Sebelum dirinya sampai di kediaman Kenma, Kuroo sempat mampir ke toko kue yang untungnya masih buka.
“Hm?” Kenma memiringkan kepalanya bingung, tangan kecilnya meraih kantongan itu dan segera membukanya. Saat dirinya mendapatkan sekotak pai apel di dalamnya, sontak matanya berbinar dan wajahnya sumringah. “Applepie!”
Kuroo tak menanggapi ujaran Kenma, ia hanya diam di posisinya sembari memperhatikan gerak-gerik Kenma terhadap pai apel yang dia beri pada sosok laki-laki itu. Kuroo terlampau heran mengapa dirinya harus repot-repot membelikan pai apel untuk Kenma dan bahkan potongan memori tentang masa lalu masih tercetak jelas di otaknya, perihal Kenma yang teramat menyukai pai apel.
“Kuroo, makasih banyak.”
“Gak masalah.”
Kuroo menopang dagunya di atas pahanya memperhatikan antusiasme Kenma memakan pai apel, bahkan entitas dirinya di hadapan laki-laki itu tak menggubrisnya sama sekali. Ia tak bergeming dan hanya menatap lurus ke depan, Kuroo merasakan hatinya menghangat, terpampang kebahagiaan yang terlukis di wajahnya.
Kuroo bertanya-tanya pada dirinya sendiri mengapa perasaan seperti ini harus timbul kembali. Perasaan yang sempat ia kubur sedalam mungkin di dalam dirinya bersama kenangan masa lalu mereka. Melihat sosok Kenma di hadapannya seperti ini membuat dirinya berubah seratus delapan puluh derajat.
“Puas banget makannya, gak mau bagi-bagi sama gue?” tegur Kuroo dengan kekehan.
Kenna memicingkan netra terangnya kepada pai miliknya dan Kuroo secara bergantian, bibirnya merengut masam. Sebenarnya ia tak rela membagikan pai apel ini, sebab rasanya sangat enak.
“Kuroo mau?” tanyanya pelan.
“Kalo lo mau ngasih sih, mau.”
“Kalo aku gak mau ngasih?” tanya Kenma lagi.
Kuroo tak langsung membalas perkataan Kenma, ia sedikit membungkukan tubuhnya ke hadapan Kenma, meraih pergelangan tangan Kenma dan memakan pai apel yang berada di genggaman laki-laki itu secara tiba-tiba. “Gue makan sendiri.” sambung Kuroo.
Kenma lantas tak berkutik sama sekali, wajahnya berubah kemerahan, pipinya menampilkan rona merah yang mencuat. Netranya hanya mampu menatap Kuroo dengan gemetar. Kenma merasakan desirah darahnya perlahan merangkak naik ke wajahnya. Setelah melakukan hal tersebut, Kuroo hanya diam seolah tak terjadi apa-apa sebelumnya.
...
Kepulan asap mengudara di balkon unit Kenma, asap berkelebat di wajahnya. Asap yang berasal dari putung tembakau yang dibakar. Kenma merasa paru-parunya tercekik yang membuat dirinya sedikit kesulitan saat bernapas, namun ia tak berani menegur Kuroo yang tengah damai menyebat putung rokoknya. Mereka diselimuti oleh kesunyian, tak ada yang memulai topik pembicaraan.
“Kenma.” ucap Kuroo.
“Iya?”
“Apa yang udah lo lakuin selama beberapa tahun belakangan ini?” tanya Kuroo dengan pertanyaan yang membingungkan.
“Maksud kamu?”
“Apa yang udah lo lakuin selama lo ninggalin gue, gimana lo bisa hidup dengan perasaan lo itu?” tanyanya lagi.
Kenma tak mampu mengucap kata, lidahnya terasa sangat kelu. Ia memilih untuk diam sesaat sembari mengalihkan atensi dan pikirannya ke atas langit yang dihamburi ribuan bintang berkelip. Pikirannya terputar pada masa 6 tahun yang lalu, ketika dirinya memulai hidup baru di negeri yang asing baginya.
Mengingat kembali masa-masa itu membuat Kenma merengung seketika. Dirinya bukanlah Kuroo yang melakukan banyak hal untuk masa depannya, sebaliknya Kenma seolah terombang-ambing mengikuti arus takdir.
“Gak ada ... ” jawabnya dengan intonasi yang pelan, dirinya tak dapat membuat sebuah jawaban yang ringkas dan jelas.
“Every single act you make is always confusing me.” tukas Kuroo datar.
“Kuroo, aku sebenernya gak punya mimpi, selama ini cuman terlarut dalam delusi.”
“Lo tau kenapa lo begitu, karena lo gak pernah mau terbuka sama orang disekitar lo. You not only lie to others, but to yourself too.” ujarnya sarkastik.
Kenma termenung atas perkataan Kuroo yang telak mengenai ulu hatinya. Apa yang dikatakan laki-laki itu ada benarnya, Kenma selalu menutup rapat dirinya hingga orang-orang tak mampu untuk membukanya. Kenma bukan hanya terlarut dalam delusi, namun ia juga terlarut dalam drama mala yang ia buat sendiri.
“I already found someone new. Dia namanya Sugawara Koushi, he takes a place in my heart. Gue udah bilang ‘kan ke lo kalo kisah kita gak perlu diulang untuk kedua kalinya, gue meyakini ending yang sama apabila kita harus mengulang semuanya dari awal. Gue harap lo segera memutuskan kehidupan baru lo juga. Luka memang bisa disembuhkan, Kenma, tapi luka masih meninggalkan lara yang membekas. Jangan terlalu nyiksa diri lo untuk selalu terpaut pada masa lalu.”
Gemintang yang membentang luas di langit menjadi saksi atas kisah mereka berdua. Kisah yang bermulai harsa, hanya meninggalkan asa. Itulah yang terjadi pada Kuroo dan Kenma. Perasaan yang dahulu mereka timbun perlahan lesap dan berujung lenyap.
Hatinya terasa menjerit, perkataan Kuroo bak menyenandungkan lagu pilu. Ia merapatkan bibirnya untuk meredam jeritan ngilu dan rahangnya perlahan turun. Perasaannya kini bercampur aduk yang menimbulkan haru biru. Ia mati-matianya menahan air mata agar tak turun dari kelopaknya, ia tak ingin Kuroo melihat sosoknya yang lemah dan menyedihkan.
“Kuroo.” lirihnya memanggil Kuroo.
Kuroo menoleh ke samping, “ya?”
“Boleh aku minta waktu kamu? Setidaknya untuk terakhir kalinya ... ”
Kuroo menukik keningnya bingung dengan perkataan Kenma.
“Kenapa?”
“Apa aku boleh minta waktu dan permintaan dari kamu? Aku janji itu untuk terakhir kalinya dan setelahnya aku membiarkan diriku kembali terlarut dalam alur takdir. Aku janji pasti membiarkan kamu meraih kebahagiaan yang kamu kehendaki.” Kenma menuturkan ucapannya dengan tertatih.
“Boleh, setidaknya untuk terakhir kalinya.”
Sebuah kontradiksi yang menerpa perasaan sesosok Kuroo Tetsurou. Suara halus itu terdengar ironis seolah menggambarkan jiwanya yang meringis. Kuroo tahu apa maksud dari gurat wajah Kenma yang tengah tersenyum kepadanya.
Kenma tengah berdusta dalam menggambarkan isi sanubarinya.
[]