Bekal.

Mitsuya menenteng dua kotak berisi bekal makanan untuk dirinya dan Haitani Ran, kakak kelas yang baru beberapa hari ia temui di sekolah barunya. Sang bunda dengan bangga membuat makanan kepada Ran atas bentuk ucapan rasa terima kasih yang besar karena telah menjulurkan bantuan pada Mitsuya, sang anak sulung. Agenda Masa Pengenalan Sekolah hari ini tak begitu kompleks, hanya berisi pertunjukkan yang ditampilkan oleh siswa tingkat atas maupun anggota ekstrakurikuler demi memperkenalkan kegiatan ekstrakurikuler mereka agar tertarik menjadi salah satu anggota baru.

Pemuda bersurai terang itu berlaru dari panggung yang berada di lapangan utama, meninggalkan teman-temannya dengan alasan ingin menemui seseorang. Seishu menawarkan diri untuk menemani Mitsuya, namun ditolak halus oleh pemuda tersebut. Ia ingin menemui Ran seorang diri daripada mengajak teman-temannya yang kemungkinan menimbulkan pertanyaan yang aneh-aneh dari mereka semua.

Dipandu oleh salah satu teman di kelompoknya untuk mengantarkannya ke taman sekolah, akhirnya Mitsuya sampai di tempat tersebut. Mitsuya mengedarkan pandangannya ke sana-ke mari untuk mencari eksistensi Ran di taman sesuai perkataannya di via obrolan. Menangkap batang hidung Mitsuya yang melihat ke penjuru taman, Ran melambaikan tangannya agar Mitsuya menangkap kehadirannya yang tengah duduk di sebuah kursi yang tersedia di taman sekolah.

“Mitsuya! Di sini!” panggilnya lantang.

Mendengar namanya disebutkan oleh seseorang, Mitsuya menoleh dan mendapati Ran duduk tak jauh dari tempatnya berdiri, reflek sudut bibirnya naik untuk menyunggingkan senyuman lembut. Mitsuya segera menghampiri Ran dan mengambil tempat duduk di sebelah pemuda jangkung tersebut. Seragam yang dikenakan oleh Ran benar-benar tak beraturan; dua kancing teratas terbuka dan seragam yang dikeluarkan.

“Kak Ran.” ucap Mitsuya. “Makasih sudah mau aku ajakin ketemu. I want to give you this, a packed meal by my mom.” Mitsuya menyerahkan bekal yang diikat oleh kain ke atas pangkuan Ran sembari tersenyum ramah. Ran membelalakkan netranya terkejut, lebih tepatnya tak menyangka.

“Buat gue? Dari nyokap lo?” ulangnya.

Mitsuya mengangguk, “iya, aku ceritain Kak Ran ke Bunda karena udah bantuin aku kemarin, jadi sebagai bentuk terima kasih ke Kak Ran, Bunda minta aku ngasih ini ke Kak Ran dan juga Bunda nitip salam.”

“Lo serius ... ?” tanya Ran sekali lagi, ia menatap lamat sekotak bekal tersebut.

“Serius, Kak. Dimakan, ya? Aku harap Kak Ran suka sama bekalnya, masakan Bunda enak kok.” lanjut Mitsuya senang.

“Mitsuya, thanks, ya? I feel touched because someone has never treated me this well. Dikasih bekal sama seseorang ... hahaha—gue bahagia banget.” Ran tertawa hambar seraya menggenggam erat bekal pemberian Mitsuya, rasanya benar-benar menyentuh dirinya. Walaupun ini berupa hal kecil tetapi bagi Ran ini merupakan perbuatan yang luar biasa dari seseorang yang baru saja ia kenal.

Mitsuya lagi-lagi mengangguk, “ayo makan bareng?” ajaknya dan langsung dihadiahi indahan dari Ran.

Mereka memakan bekal tersebut bersama-sama, rupanya Mitsuya merupakan seseorang yang aktif dalam berkomunikasi pada seseorang, gaya bahasanya sopan dan nada bicaranya sangat halus. Seolah-olah Mitsuya memang sudah dilatih untuk bersikap demikian, bahkan netranya selalu menyorot sayu dengan senyuman terpikat di ranumnya. Ran tak melewatkan sedikit momen itu, netranya hanya tertuju kepada Mitsuya yang tengah berbicara kepadanya.

Benar apa yang Mitsuya katakan, makanan yang dimasak oleh Ibunda Mitsuya begitu lezat. Ran berpikir, beginikah rasanya makan dari makanan yang dibuat oleh seorang ibu, makanan itu semakin terasa lezat karena dimasak dengan benih cinta. Ran menarik sudut bibirnya ke atas, andai suatu saat ia dapat merasakan seperti ini dari ibunya, ia pasti teramat bahagia. Namun, kenyataan itu sungguh menyakitkan, bukan? Menampar ekspektasi yang dijunjung setinggi awan.

“Kan Ran—eh? Muka kamu kenapa, Kak? Ini bekas luka, ya?” Spontan Mitsuya menyentuh bekas kemerahan di pelipis dan sudut bibir Ran, seperti lebam yang masih baru. Ran menelan makanannya dan membalas tatapan Mitsuya.

“Oh itu? Bukan apa-apa kok, gue gak sengaja kejedot pintu kemarin.” jawab Ran dengan santai. Namun, tatkala Mitsuya menyentuh luka di pelipisnya, Ran meringis ngilu. “Ssh.

“Lain kali hati-hati, ya, Kak. Pasti kejedotnya kenceng gitu, ya? Soalnya bukan cuman lebam tapi itu luka terbuka.”

Mitsuya merogoh tas kecil yang ia bawa, mengeluarkan plester luka yang selalu Mitsuya bawa untuk berjaga-jaga. Ia meminta izin kepada Ran untuk memasangkan plester itu ke pelipis Ran dan dibalas anggukan kecil olehnya.

“Harus ditutup supaya gak terkena bakteri dan malah infeksi.” ujar Mitsuya sembari menempelkan plester luka tersebut.

Wajah mereka sangat dekat, seolah tak ada jarak yang membentang. Ran dapat mengamati struktur wajah Mitsuya yang sempurna, netranya yang memancarkan kekhawatiran. Ran meneguk ludah, tak menyangka sosok Mitsuya sehangat ini. Sosoknya seperti berdiri di bentangan salju yang disinari oleh sang mentari. Sudah cukup berkubang dengan dinginnya salju, hingga akhirnya eksistensi Mitsuya hadir memberikan hangat cahaya matahari yang perlahan meruntuhkan dingin di tubuhnya.

Ran itu skeptis dengan cinta maupun kasih sayang, sejak tarikan napas pertamanya di muka bumi ini, Ran tak pernah mengenal defini cinta sebenarnya. Ia tak mengerti mengapa seseorang bisa mencinta dan dicintai. Lantas katanya cinta yang menciptakan harsa bagi jiwa manusia. Namun, mengapa Ran tak menemukan itu. Cinta hanya menyebabkan derita. Baginya, lara itu ada karena seseorang mencinta.

Maka dari itu, ia sedikit kebingungan dengan kebaikan Mitsuya kepadanya. Diperlakukan baik oleh seseorang yang baru saja dikenalinya membuatnya terheran. Apa yang membuat Mitsuya berbaik hati kepadanya dan kenapa kebaikan itu membuat hatinya tergugah.

“Kak Ran?”

Lamunan Ran buyar ketika Mitsuya memanggil namanya, “i-iya?”

“Kak Ran gak apa-apa? Kok tiba-tiba bengong? Aku panggil-panggil gak nyaut.”

“Maaf ... ”

“Ayo dihabisin makanannya, Kak.”

“Iya, Mitsuya. Once again, thanks.

Ran menyuap makanannya ke mulut, lalu tangannya terangkat untuk menyentuh plester luka yang dipasangkan Mitsuya di pelipisnya. Hal itu justru membuatnya tersenyum tiba-tiba. Abai terhadap luka di sekujur tubuhnya yang baru saja ia dapatkan, saat ini hatinya terasa hangat setelah sekian lama membeku.

Semenjak saat itu, hati Ran seolah memberikan perintah kepada raganya untuk selalu berada di dekat Mitsuya. Baik itu perasaan curiga dari dalam dirinya maupun perasaan lainnya. Hanya saja, ini pertama kalinya hatinya tergerak untuk melakukan sesuatu sesuai keinginan hati kecilnya. Rasanya seperti kompleksitas bagi seseorang yang sebelumnya tak pernah merasakan apa-apa.

Sebab Ran itu mempunyai jiwa yang telah lama mati tanpa seorang pun yang tahu.

“Suka gak sama masakan Bunda?” tanya Mitsuya kala mereka telah menyelesaikan makan siang mereka.

“Suka banget, masakan Bunda lo enak. Gue berasa makan makanan di restoran mahal.” balasnya diiringi dengan kekehan ringan.

“Bunda pasti seneng kalo Kak Ran suka. Makasih banyak, ya, Kak?”

“Seharusnya gue yang bilang makasih, karena Bunda lo repot-repot bikinin ginian ke gue.” sahut Ran, “titip salam sama Bunda lo, ya, Suya. Makasih udah bikinin gue masakan seenak ini.”

“Gak kok, Kak. Bunda emang seneng ngasih sesuatu buat temen aku. Oke! Nanti aku sampein salamnya kamu ke Bunda.”

“Berarti gue temen lo doang nih?” tanya Ran sembari menatap Mitsuya.

“Temen ..., ‘kan?” Mitsuya tiba-tiba ragu, takut apabila Ran tak meanggapnya sebagai teman padahal ia dengan percaya diri meanggap Ran sebagai temannya.

“Calon pacar lo.” ucapnya sembari menjentik kening Mitsuya pelan.

Mitsuya menjadi bungkam seketika, terlalu terkejut dengan pernyataan Ran. Ia langsung berpaling ke arah lain agar Ran tak mendapati wajahnya yang berseri. Mitsuya memaki dirinya sendiri karena tiba-tiba bersemu dengan ucapan Ran. Ia tak seharusnya bersikap berlebihan seperti ini karena Ran pasti sedang bergurau.

“Hahaha ... bercanda mulu, Kak.”

“Siapa bilang gue bercanda?” Ran mengubah rauh ekspresinya menjadi lebih serius membuat Mitsuya menjadi semakin tak tenang di tempatnya.

“Kak Ran—kayaknya aku harus balik deh, takut temenku pada nyariin. See you!

Mitsuya bergegas menjauh dari Ran tanpa memedulikan kotak bekalnya tertinggal bersama Ran. Melihat punggung Mitsuya menjauh dari jarak pandangnya, Ran menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Sosok Mistuya sungguh manis dan menggemaskan. Tak ada alasan untuk menyanggah perasaan suka ketika melihat Mitsuya berada di sekitarnya. Mitsuya mempunyai hati yang lembut.

“Gemesin banget anak orang.”

[]