Bunga yang Bermekaran.

Bak bunga yang bermekaran di musim semi, seterang mentari yang menyari bumi, sedingin embun yang datang di pagi hari. Raut wajah yang indah berseri, juga harsa yang membuncah di hati. Cinta yang memoar tak akan tertandingi.

Ini kisah mereka antara Sanzu Haruchiyo bersama lelakinya, Haitani Rindou.

Mengenai cinta? Ia tak tahu mengenai filosofi cinta, namun demikian ia dapat merasakan cinta yang memenuhi relung jiwa serta hatinya. Cinta itu layaknya bunga dandelion, indah tetapi mudah lebur. Jika disentuh tanpa kehati-hatian maka menyebarkan kehancuran.

Cintanya berlabuh pada sosok tangguh bernama Rindou, perasaan itu muncul sudah begitu lama namun tak ada langkah maju untuk mendasarkan perasaan cintanya. Sanzu pernah menyatakan cintanya kepada Rindou, tetapi yang Sanzu dapatkan ialah, “jangan jatuh cinta kepadaku.” sebagai balasan. Sudah kesekian kalinya Rindou mengatakan hal seperti itu, tapi namanya cinta yang sudah tumbuh mekar di hati tak dapat Sanzu lenyapkan dengan mudah. Maka dari itu ia membiarkan cinta itu tertanam agar perlahan jatuh dan berujung layu.

Kendatipun Sanzu tahu bahwa cinta tak dapat dipaksakan, ia pasrah jikalau Rindou tak dapat membalas cintanya, Sanzu pikir semua lara yang ia rasakan akan mengalir seiring waktu, tetapi rasanya Sanzu ditahan oleh Rindou. Saat Sanzu ingin beranjak pergi, Rindou segera menarik tangannya untuk kembali. Sanzu tak mengerti mengapa Rindou selalu memperlakukannya seperti itu sedangkan hatinya tak pernah bisa menoleh kepada cintanya. Apakah Rindou hanya ingin bermain-main kepada dirinya?

Sanzu terperangkap dalam sangkar yang dibuat oleh Rindou, tak diperbolehkan untuk keluar seolah Rindou menitahkan dirinya untuk selalu berada di dekat Rindou baik dengan perasaannya.

“Rin, perasaan kamu ke aku gimana sih? Aku dilarang pergi, tapi kamu gak kunjung membalas perasaanku. Maksud kamu kenapa sih?” Dengan emosi yang mengepul di kepala, Sanzu menatap Rindou nyalang.

“Bisa gak kamu gak bahas itu lagi? Aku capek dengerinnya.” sahut Rindou.

Puntung cerutu yang dibakar oleh pematik itu ia lemparkan ke tanah, Rindou membalas tatapan Sanzu sama lamatnya. Akhirnya Sanzu menciut dan menghela napas kasar. Ia membiarkan Rindou mendekap tubuhnya di dalam rengkuhan hangat Rindou. Tanpa ia sadari, air mata mulai turun dari kelopak matanya.

“Aku juga capek, Rin ... ” Suara lirih itu terdengar menyakitkan.

“Karena itu jangan jatuh cinta kepadaku, Haruchiyo. Cinta itu luka.”

Lantas, mengapa ia tak mengubahnya menjadi suka tanpa membuka luka? Menorehkan luka yang menganga di lubuk hati setelah dihunus oleh pedang panas. Sanzu teramat lelah demi perjuangkan cinta yang tak kunjung menemukan titik terang. Ingin berhenti pun tak bisa. Sanzu pasrah dengan takdir yang akan membawanya ke mana.

Sudah kerap kali Sanzu menangis karena cinta, berakhir mengeluarkan seluruh emosinya kepada Kokonoi yang rela menampung rasa sakit yang semakin menumpuk di hati. Ia juga melafalkan nama Rindou di setiap doa-doanya, agar pemuda itu membuka matanya dengan lebar untuk melihat presensi Sanzu di dalam hidupnya selama ini.

Jika bunga tak dapat mekar tanpa mentari, maka Sanzu tak dapat jatuh cinta tanpa Rindou. Sosok itulah satu-satunya yang membuat Sanzu merasakan lika-liku percintaan, yang membuatnya terjerumus ke dalam lorong tanpa celah. Dan jika Sanzu adalah sang matahari, maka Rindou akan menjadi rembulan. Matahari yang akan menyinari sang rembulan, tetapi keduanya tak akan pernah saling bersua.

...

“Sudah siap, princess?” tanya Rindou kepada Sanzu yang telah siap sejak beberapa menit yang lalu untuk mencari angin di malam hari bersama Rindou.

“Seperti yang lo lihat.” cetusnya.

Rindou terkekeh, si kecilnya masih marah kepadanya perihal beberapa waktu yang lalu. Raut wajah Sanzu saat ini sangat menggemaskan, ia memasang wajah masam tanpa senyuman di bilah ranumnya. Bahkan tak sudi memalingkan wajahnya kepada Rindou. Lantas, pemuda itu menarik tangan kanan Sanzu untuk ia genggam dengan erat.

Sanzu mengerutkan keningnya kala Rindou sudah menggenggamnya, “apa sih?”

“Katanya dingin jadi harus digenggam biar rasanya jadi hangat.” jawab Rindou yang telah menginjak pedal gasnya. Dengan setia, ia menggenggam jari-jari halus Sanzu saat dirinya fokus mengendalikan stir.

“Modus lo!”

“Gak apa-apa, sesekali.”

Sanzu menyembunyikan semburat merah di kedua pipinya, ia senang sekali ketika Rindou kembali menunjukkan kepeduliannya kepada Sanzu. Sosok itu sebenarnya sehangat terik matahari, namun sikapnya mampu sedingin bongkahan batu es. Rindou diciptakan seunik mungkin oleh sang pencipta.

“Mau ke mana sih?” tanya Sanzu yang mulai diisi oleh rasa penasaran.

“Ke mana aja asalkan saat ini kita bareng biar bisa ngobrol.” Rindou memalingkan wajahnya singkat kepada Sanzu yang kini beralih menatap kepadanya.

“Lah? Gak jelas banget sih.”

Rindou tersenyum sumringah, ia mengecup punggung tangan Sanzu yang ia genggam dengan lembut. Sanzu dapat merasakan basah yang berasal dari bibir Rindou. Tentu jantungnya berdegup beberapa kali lipat saat ini. Ingin rasanya melompat keluar dari dalam mobil yang mereka tempati untuk menyembunyikan perasaan memalukan ini. Sanzu mengulum senyumnya dalam-dalam agar tak memperlihatkan senyuman itu.

“Haruchiyo.”

“Sanzu Haruchiyo?”

“Sayang.”

“Eh, apa?”

Lamunan Sanzu buyar ketika Rindou memanggil namanya. Ia memutar bola matanya ke samping untuk memperhatikan sosok dengan balutan pakaian kasual itu. Rindou terlihat menawan seperti biasanya.

“Dipanggil sayang aja cepet nyahutnya.”

“Bodo!”

“Masih marah sama aku, ya?” Vokalisasi Rindou menurun, terdengar seperti lantunan yang menenangkan hati.

“Biasa aja.” jawab Sanzu.

“Kenapa belakangan ini selalu jauhin aku? Bahkan selama di Surabaya kamu jarang bales chat aku. Kenapa, hm?”

Rindou mematikan radio yang awalnya menyala untuk melantunkan musikal yang mereka mainkan. Ia memelankan laju mobil yang ia kendarai agar Rindou dapat memusatkan seluruh atensinya kepada Sanzu, ia ingin mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Sanzu dengan baik. Supaya hubungan di antara mereka membaik setelah adanya kepahitan.

“Gak ada apa-apanya kok, aku emang lagi sibuk kuliah aja.” Sanzu menyorotkan pandangannya ke arah depan, lebih memilih melihat jalanan yang cukup ramai.

“Sejak kapan seorang Sanzu Haruchiyo begitu fokusnya sama masalag perkuliahan? Itu bukan kamu banget.” tungkas Rindou lagi, sebab dirinya yakin jikalau Sanzu merasakan sesuatu tanpa Rindou ketahui.

“Beneran kok, gini-gini aku juga mahasiswa yang rajin kuliah.” Sanzu menyalak.

“Iya deh, si mahasiswa yang paling rajin.”

“Emang bener begitu kok.”

Rindou diam, ia membawa mobilnya ke pinggir jalanan yang ramai dipenuhi jajanan-jajanan lokal. Lumayan banyak orang yang singgah di sana untuk membeli makanan tersebut, oleh sebab itu Rindou ikut tertarik untuk berhenti di sana untuk membeli beberapa jajanan agar mengisi perut mereka yang keroncongan.

“Makan dulu, ya? Biar baby kita sehat di dalam perut bundanya.” ajak Rindou dengan diiringi gelak tawa.

Baby apaan anjir, lo pikir gue punya rahim apa.” Sanzu mengikuti Rindou untuk turun dari mobil. Rindou mengajaknya untuk membeli jajanan yang dibakar di atas panggangan. Sanzu menatap makanan-makanan itu dengan lapar. Sudah lama sekali ia tak mencicipi makanan seperti ini. Tiba-tiba Sanzu mengusap perut datarnya dan berkata, “nak, makan dulu, ya? Biar bunda punya kekuatan buat nonjok muka papamu yang kayak bajingan itu.”.

“Mas, makanannya tolong taroh di atas piring aja, ya? Saya sama istri saya duduk di sana.” ujar Rindou kepada pria paruh baya yang menjual jajanan tersebut, sedangkan tangannya menggenggam erat tangan Sanzu. Katanya tak boleh dilepas barang sedetik pun. Mendengar perkataan Rindou yang asal-asalnya membuat netranya membelalak terkejut.

Plak.

Sanzu memukul pelan lengan Rindou dan dihadiahi kekehan renyah dari pemuda itu. Rindou menariknya untuk duduk di sebuah kursi yang disediakan oleh penjual. Sanzu sibuk memainkan ponselnya sedangkan Rindou sibuk menatap wajah indah Sanzu. Surai terangnya yang panjang dibiarkan tergerai dan sebagian menutupi parasnya, Rindou mengulurkan tangannya untuk menyelipkan surai Sanzu ke belakang telinganya. Sanzu lalu menatapnya untuk berkata terima kasih dan kembali menarik atensinya kepada ponsel.

“Chiyo, kamu gak bosen apa jadi cantik terus?” tutur Rindou tiba-tiba.

“Hah? Cantik itu modelan Seishu gebetannya Koko, noh.” jawab Sanzu asal.

But you’re the prettiest, Chiyo.” timbalnya lagi.

Sanzu tersentak mendengarnya, baru kali ini Rindou memujinya secara gamblang di dalam keadaan mereka yang sedikit serius. Rindou kerap memujinya saat mereka melakukan hubungan intim, namun di situasi seperti ini benar-benar membuat hati Sanzu melebur. Ia teramat bahagia mendengar pujian tulus dari Rindou.

“Tetep jadi seperti ini, ya? Biar aku selalu menoleh ke arah kamu.” sambung Rindou.

“Rin?” Sanzu menyimpan ponselnya ke dalam saku celananya, ia menoleh ke samping dan mendapati Rindou yang tengah memusatkan pandangannya telak di sepasang iris kembarnya. Menatap netranya dengan tulus.

“Iya?” jawabnya dengan halus.

“Jangan kayak gini ... jangan bikin aku makin jatuh ke dalam dasar yang sama. Sekali aku jatuh, aku gak akan bisa keluar lagi. Please?

Rindou mengunci rapat mulutnya, namun ia memamerkan senyumannya kepada Sanzu. Ia mengusap pipi Sanzu yang lembut bak kapas dan seputih kanvas.

“Apa salahnya untuk jatuh semakin dalam?” ucapnya.

“Itu bisa menyembabkan luka yang gak akan bisa disembuhkan dengan mudah.”

Rindou bungkam kembali, sedangkan Sanzu menundukkan wajahnya tak ingin bersitatap dengan Rindou, ia cukup menikmati tangan Rindou yang mengerayangi pipinya.

“Permisi, Mas ... Mbak?” sang penjual makanan datang membawa satu piring yang dipenuhi jajanan yang Rindou beli.

Mbak. Pfft—” Rindou menahan gelak tawanya dan menerima piring yang diberikan oleh penjual. Sanzu yang mendengar itu menelan ludahnya kesal.

“Sialan lo, Rindou.”

“Mamang yang jualan aja mikirnya lo cewek soalnya lo emang cantik banget.”

“Ngeselin!”

“Udah, udah. Ini makan dulu nanti keburu dingin.” titah Rindou pada pemuda pemilik paras yang teramat elok.

“Rin, enak banget sumpah!” Obsidian itu berbinar terang, Rindou menelan pujiannya terhadap itu di dalam hatinya.

“Suka?”

“Sukaaaa bangeeet!”

“Habisin, ya.”

“Rin makanya dikit aja biar Chiyo makan yang banyak.”

“Iya, Chiyo.”

Sekitar 1 jam mereka habiskan untuk berbincang sembari menikmati beberapa jajanan yang mereka beli, Sanzu menyenderkan bahunya pada dada Rindou. Sedangkan Rindou menggenggam tangan Sanzu begitu erat.

“Rin, kenyang banget nih gue.” Sanzu menepuk perutnya dua kali mengatakan pada Rindou bahwa ia benar-benar penuh.

“Bagus kalo gitu.”

“Pulang, yuk? Kenyang gini bawaannya gue jadi ngantuk mau tidur.” ajak Sanzu yang mulai merasa kantuk mengerayangi dirinya.

“Ayo.”

Setelah membayar jajanan yang mereka beli, keduanya kembali masuk ke dalam mobil sebab angin malam mulai bertiup kencang dan terasa dingin menusuk ke tulang. Rindou menyalakan mobilnya menuju pulang ke rumahnya. Sudah cukup jalan-jalan untuk malam ini bersama Sanzu. Masih ada hari esok dan beberapa hari ke depan dapat mereka habiskan bersama-sama.

“Haruchiyo.” panggil Rindou pada Sanzu yang hampir terlelap.

“Ya?”

“Kenapa lo jauhin gue waktu itu?”

Rindou tak berpaling kepada Sanzu dan tetap fokus menatap ke arah depan serta kemudinya, begitu pula dengan Sanzu. Pemuda itu menarik napas panjang lalu mengeluarkannya secara perlahan. Tercipta senyum hambar menghiasi parasnya.

“Rin, gimana rasanya ketika usaha lo tak terbalaskan?

[]