DUNIA DALAM GULITA.

Jikalau manusia mampu hidup dalam mimpi yang abadi, maka mereka akan memilih mati untuk berada dalam mimpi. Mereka hidup namun tak ada kehidupan, tak ada gairah yang membakar jiwa, tak ada gurau yang membara. Termaktub dalam delusi yang memanjakan diri. Tawa yang kian mereda, hawa kesedihan yang mendera. Itulah roda kehidupan manusia. Tak ada satupun yang sempurna, sekali dapat keinginan maka secepatnya akan sirna. Toh, manusia digerakkan oleh takdir yang mengikat sanubari-nya, mengindahkan segala skenario yang tertanam dalam relung hati. Lantas, untuk apa mengadu nasib?

Yang datang akan pulang, yang pergi tak dapat kembali. Itulah nyatanya. Siapa yang mampu melawan garis takdir? Sekeras apapun raungan, jika takdir telah berkata; manusia mampu melakukan apa?

Mikasa dan pria-nya, Eren Yeager. Kala itu, Eren datang menjemputnya dalam kegelapan, mengangkatnya dari keterpurukan. Mengajaknya untuk berjalan menuju arah pulang, tempat di mana mereka katakan sebagai rumah. Eksistansi Eren di dalam hidupnya sangat berarti, maka sebab itu Mikasa menyerahkan seluruh jiwa dan raganya untuk Eren sebagai tanda terima kasih.

Namun, Mikasa terlupa akan satu bait selanjutnya. Dia akan pulang. Bukan ke tempat yang mereka anggap rumah, namun ke tempat di mana Eren menemukan keabadian, lebih cepat yang pernah ia kira.

Alat yang terpampang di samping bunker yang di tempati Eren mengeluarkan suar suara yang menggema ruangan hampa. Per sekon suara yang ia keluarkan mampu mempercepat debaran anomali semua orang yang berada jauh dari dalam ruangan. Gelombang denyut jantung dari monitor Electrocardiogram bergerak abnormal, menunjukkan bahwa pria itu tengah kritis. Mikasa dapat menyaksikan sosok Eren yang terbaring jauh di sana. Wujud pria-nya mengenaskan dan membuatnya meringis tak kuasa.

“Mika ... sa?” panggil karibnya. Mikasa masih acuh akan suara yang mencoba meraih atensinya. Seseorang mendekapnya begitu erat hingga rasanya semakin sesak.

“Eren ... kenapa? K-Kenapa harus Eren?” pertanyaan retorik yang Mikasa lemparkan. Nada wanita itu sangat lirih dan terdengar begitu rapuh. Seseorang itu adalah sahabatnya, Armin Arlert. Dengan penampilan yang sama buruknya dengan dirinya.

“Gue gak tau, Sa. Gue gak bisa memikirkan hal ini dengan waras, semuanya begitu cepat dan spontan.” jawab Armin.

“Mikasa, sayang ... ” Suara lembut yang Mikasa dengar, seolah tahu dengan benar siapa pemilik suara tersebut. Kepalanya mendongak untuk menatapnya. Di sana, berdiri tak jauh dari dirinya sosok sang ibunda yang sedari tadi mengkhawatirkan anak satu-satunya.

“Mama.” lirih Mikasa, meraih tubuh mungil Carla untuk masuk dalam dekapannya.

“Berdoa ya, sayang ... kita percayakan semuanya pada keajaiban, Eren anak yang kuat, mama yakin dia pasti bisa melewatinya.” Kalimat-kalimat penenang itu masih belum bisa menenangkan Mikasa. Selagi Eren masih berada di dalam sana, Mikasa tak akan bisa tenang.

Kepala Mikasa terasa begitu berat dan menyiksa, setiap kali netranya bersitatap dengan siluet Eren maka timbul lah getaran yang menyebabkan kepalanya sakit. Matanya terpejam erat serta tangan yang bertaut di depan dada. Berharap penuh bahwa Eren dapat kembali ke dunianya. Namun, takdir rupanya begitu egois untuk tetap berjalan sesuai arahnya.

Monitor Electrocardiogram menggambarkan gelombang lurus. Seluruh pihak tenaga kesehatan yang berkerja begitu keras di dalam sana sama egoisnya, mereka melakukan kejut jantung berulang kali agar denyut jantung-nya dapat berjalan normal seperti sedia kala, berharap penuh dapat menyelamatkan jiwa yang tak berdosa. Akan tetapi, Eren telah memilih jalannya untuk kembali pulang ke mana ia berasal.

Mikasa, Armin, dan Carla membelalakkan mata mereka tak percaya. Mereka melihat dengan jelas bagaimana detik-detik terakhir denyut jantung itu berhenti berdetak, satu persatu alat bantu yang menempel di tubuhnya perlahan dilepaskan. Membiarkan sosok yang baru saja kehilangan jiwanya tersebut mampu beristirahat dalam kedamaian abadi.

“Maafkan saya karena belum mampu menyelamatkan Eren, takdir tidak berada di dalam genggaman kami, semua itu bergantung kepada Sang Pencipta dan Eren itu sendiri. Saya sudah berusaha semaksimal mungkin, begitu pula Eren. Dia sudah berjuang begitu banyak untuk kembali bertahan hidup walau pada akhirnya memilih mengikuti jalan takdir.” ujar dokter tersebut dengan nada yang pelan. Tak mampu menyelamatkan nyawa manusia memang meninggalkan luka yang membekas, namun mereka sadar bahwa mereka hanyalah manusia biasa.

Shut up!” teriak Mikasa nyaring.

Tak peduli apa yang dikatakan oleh dokter tersebut, ia menerobos masuk ke dalam ruangan ICU untuk menemui pria-nya.

“Eren ... ” Tentu tangisan pecah begitu saja saat dirinya melihat sosok Eren yang berbaring tak berdaya di atas bunker.

“Hei, suicidal blockhead. Although you’re in a precarious state and you’re dying now, you’re still boasting. It’s not fun at all, wake up! Why don’t you listen to me?!” Mikasa merengkuh tubuh Eren dengan erat, mengguncangkan tubuh ringkih Eren untuk bangun kembali walau usahanya hanya berakhir sia-sia.

Carla dan Armin menangis melihat Eren yang kini telah tiada, seolah tertampar oleh kenyataan bahwa Eren benar-benar pergi meninggalkan mereka semua. Armin memegang pundak Carla dikarenakan wanita paruh baya itu sangat lemah dan ingin tumbang.

“EREN, WAKE UP!” teriakan itu memekakan telinga, terdengar memilukan sekali.

Mereka hanya tak menerima bahwa waktu merenggut kebahagiaan mereka begitu cepat, meninggalkan ribuan luka dan terhanyut dalam derita. Mulai detik ini, Eren tak akan pernah bangun untuk kembali ke realita.

[]