EREN

Mentari menyinari alam semesta, menghantar terik ke seluruh permukaan. Terhantar di bawah hamparan segumpal awan; tempat yang indah, pikirnya. Angin menerpa pori-pori kulitnya, bergesekan dengan kulit tebalnya yang menciptakan germang hingga seluruh badan. Ia bahkan tak mengenali di mana tukainya berpijak. Semuanya indah namun terasa hampa. Tak ada bau kehidupan, tetapi tersampir harapan. Ia dapat merasakan hal itu.

Rumput-rumput yang menjulang tinggi, harum semerbak yang menyeruak ke rongga hidung dan menelusup hingga ke jiwa. Ia sungguh mengaggumi tempat ini, namun ia tak sadar bahwa ia tak berada di bumi. Ia dapat mendengar suara air yang mengalir, begitu damai dan menenangkan.

Mendongak kemudian, tersadar jikalau sang surya tak berada jauh dari kepala, lamun tentram yang ia rasa. Kedua belah tungkai lantas bergerak maju ke depan, meraih banyak atensi dan memotret panorama yang ada. Seketika tubuhnya menegang dan tungkainya berhenti berpijak. Ia tak seorang diri, ia menemukan sosok lainnya yang tengah duduk di atas sebongkah batu besar di tepi sungai yang mengalir. Mereka bersitatap, sosok itu tersenyum ramah dan indah.

...

“Eren ... ?!” Aku melolongkan namanya.

Aku tak berada di dalam sebuah halusinasi, telak dengan jelas di depan sana aku melihat personafikasi Eren. Dia tengah tersenyum ke arahku sembari menjulurkan tangannya, seolah mengajakku kemari.

“Asa, kamu harus tau kalo semua ini hanya ilusi dalam mimpi. Aku yang merancangnya supaya kamu bisa ketemu aku.” Eren meraih tanganku intuk ia genggam.

“G-Gak mungkin! Ini kayak nyata!” Aku berusaha menyangkal ucapannya.

“Nyata dalam mimpimu, Sa.” balas Eren. “Sebenernya ada banyak hal yang pengen aku lakuin bareng kamu, tapi takdir berkata lain, ya? Gak apa-apa, aku sudah menerimanya dengan lapang dada.”

“Ren, k-kenapa bisa ... ” Eren membungkam mulutku dengan menyatukan bibir kami.

Eren telak menciumku saat ini. Aku merasakan bibir manis sehalus kapas itu. Katakan padaku bahwa ini bukanlah mimpi belaka, aku dapat merasakan eksistansinya.

“Jangan dipikirin hal yang di luar nalar manusia, cukup diam dan nikmati.” titahnya yang seolah mutlak.

Lalu, aku memilih bungkam. Menjulurkan kedua tanganku untuk memeluknya dan hangat tubuhnya masih sama seperti sedia kala. Aku masih ingat rasa hangat pada pelukan terakhir kami.

I miss you so much.” Aku menuturkan perasaan yang paling membuncah di hatiku selama ini.

“Sa, I miss you too. Maaf aku harus pergi lebih cepat, tapi aku merasa tenang. Setidaknya hingga pada hari ini kamu bahagia ... bersamanya.” Intonasi Eren merendah di bait terakhirnya.

Aku tahu apa maksudnya, namun aku terlampau enggan untuk membahasnya. Waktu seperti ini mungkin tak akan terulang dua kali, lebih baik aku habiskan untuk mengungkap segala perasaanku. Eren masih memelukku dengan erat, kepalanya tersampir di atas bahuku, sedang tangannya mengusap punggungku dengan usapan yang begitu lembut.

“Sa, tolong relakan aku dengan benar.” ujarnya lagi.

“Aku gak mampu.” Itulah jawabanku.

Usapan Eren semakin lembut, “aku sudah lama pergi jadi relakan aku, ya?”

“Eren, aku gak bisa!” Aku memekik dengan dentuman rasa sakit di dada.

Eren melonggarkan pelukan kami, netra hijaunya menatap ke arahku, menyalurkan hawa tentram ke sekujur tubuhku. Setiap kali aku menatapnya maka semakin besar perasaanku padanya. Eren benar, hingga pada detik ini aku masih belum bisa benar-benar merelakan kepergiannya.

“Kamu pasti bisa. Gak ada hal yang perlu kamu tunggu, aku gak akan bisa kembali seperti semula, Sa. Jalan yang terbaik adalah merelakanku.”

“Kenapa harus?”

Eren tak langsung menjawabku, “kamu selama ini mengunci pergerakanku.”

Lantas aku termenung dengan suaranya yang menggema di telingaku. Apa Eren tak bisa pulang ke atas sana karena perbuatku? Apa perasaanku ini menghalangi jalannya?

“Bukan begitu, Sa. Kamu gak menghalangi apapun, tapi merasakan kamu yang masih menyimpan luka dalam duka membuat aku susah untuk benar-benar pergi, aku merasa ada satu hal yang belum sepenuhnya rampung. Perasaan di hatiku masih ada yang rumpang dan di sana ada kamu, Sa.”

“Aku merasakan hal yang sama kayak kamu. Cinta, ‘kan? Aku belum pernah mengutarakan dengan gamblang, ya? Oke, numpung ada waktu hari ini aku mau jujur semua hal sama kamu. I loved you and ever dreaming to coexist with.” Aku dapat melihat senyuman itu yang kian melebar, aku termaktub dalam ucapannya.

Perasaan tenang menjalar ke seluruh tubuhku, mendengar utaran perasaan dari Eren membuatku senang dan tenang. Apakah hal ini yang aku harapkan selama ini? Aku memandangi Eren dengan lekat, wajahnya sumringah dan begitu tentram.

“Eren, I’ll always to love you.

Lega. Itulah perasaan yang ada di hatiku saat ini. Kami telah mengutarakan cinta yang tak akan pernah sirna. Eren kembali mendekapku erat, lalu membuat jarak di antara aku dengannya. Tanpa berucap Eren melangkah menjauh dariku, panggungnya semakin jauh untuk kuraih. Tentu refleks panik yang kutunjukkan, namun tungkaiku tak dapat bergerak untuk mengejarnya. Aku meraung di dalam tangisan sembari memanggil namanya.

Sebelum Eren melepaskan pelukan terakhir kami, aku mendengarnya berkata.

“Mikasa. Terima kasih sudah memilih laki-laki yang baik. Aku memang gak akan bisa pulang lagi, tapi percayalah aku akan terlahir kembali. Selamat tinggal.”

Apakah aku baru saja merasakan romansa dalam nirwana? Sungguh klasik namun mengasyikkan. Aku berhenti menangis, mengangkat bilah bibirku untuk tersenyum sembari berujar, “rest well, Eren.”

...

“Sayang? Hei, wake up.” Aku mendengar suara seseorang yang menginterupsiku.

“Mikasa?”

“Hei. Babe, wake up! You scared me.

“Mikasa!”

Sontak tubuhnya terbangun dari alam bawah sadar, netraku langsung mengedar ke seluruh penjuru ruangan. Aku mendapati figur suamiku yang duduk sembari menatapku dengan khawatir. Tak lama, ia memeluk tubuhku erat.

“Kamu kenapa, Sa? Mimpi buruk, ya? Aku tadi denger kamu nangis.” ujarnya.

Aku kebingungan mendengar pernyataan dan pertanyaannya beruntun yang ia lemparkan padaku, “nangis?” tanyaku.

“Iya, pas denger suara kamu nangis tadi, aku langsung bangun dan kamu masih tidur. Aku takut kalo terjadi apa-apa sama kamu, sayang.” Aku merapatkan tubuhku pada tubuhnya yang kekar. Mencari kehangatan di sana sembari terkekeh.

“Aku gak ingat apapun, jadi aku gak tau kenapa aku bisa nangis di mimpi.”

Aku memamg tak ingat apapun perihal mimpi yang aku alami tadi malam yang malah membuatku menangis. Apa aku baru saja mendapatkan mimpi buruk? Ah, sungguh aku tak mampu mengingatnya.

“Ssut—sudah. Aku gak apa-apa kok, Jean. Palingan cuman mimpi, bunga tidur aja.”

“Kalo ada apa-apa bilang ke aku, ya? Biar kita selesaikan bareng-bareng.” pintanya.

“Iyaaa, suamiku yang bawel.”

Jean beranjak dari tempat tidur yang kami tempati dan bergegas untuk mandi. Sedang aku merapikan tempat tidur dan membenarkan letak piyama yang kukenakan.

Brak.

Sebuah benda jatuh di atas punggung kakiku dan segera mengambil benda tersebut. Dan, tiba-tiba aku tersentak melihat benda itu. Sebuah kalung dengan liontin berbentuk kunci. Aku menatap kalung tersebut lamat. Benar. Ini adalah kalung yang Eren kenakan waktu dulu, ia yang membelikannya untuk Eren.

Mengunci?

Tanpa sebab kata itu teringat di kepalaku. Aku menggelengkan kepalaku mencoba untuk menjauhkan pikiran yang tidak-tidak. Omong-omong, aku juga mempunyai kalung yang sama dengan milik Eren. Liontin milikku berbentuk gembok mungil yang mengirlap indah.

Ah. Kematian Eren waktu itu bukan tanpa alasan. Ia menjadi sasaran empuk untuk pembalas dendam dari dosa ayahnya. Ternyata Grisha Yeager mempunyai istri pertama sebelum menikahi mama Carla dan beliau juga mempunyai satu anak laki-laki yang tak lain adalah kakak tiri Eren. Istri pertama dan anak laki-lakinya melakukan pembunuhan berencana kepada Eren untuk memberi efek jera dan sakit yang mendera kepada Grisha dan Carla.

Sungguh ironis. Mengapa Eren yang harus menanggung dosa mereka?

Tentu saja aku tak dapat memaafkan perbuatan mereka, hukum dunia tak mampu membalas nyawa Eren. Biarlah semesta memberokan ganjaran yang setimpal untuk pelaku.

Perihal mama Carla dan Grisha. Mereka merasakan sakit yang luar biasa setelah mengetahui kebenarannya, Grisha meminta maaf kepada Eren atas perbuatannya. Sedang mama Carla memilih untuk melanjutkan hidupnya dalam rasa sakit, ia ingin memberikan seluruh hidupnya untuk Eren. Saat ini keduanya telah menua dan lantas tiada. Mama Carla telah memberikan arti kehidupan kepada Eren.

Aku merindukan masa-masa itu. Di mana duniaku hanya ada figur Eren.

...

Sayang, bisa jemput Gabi hari ini gak? Aku lagi ada banyak urusan di tempat kerja.

Jean berujar dari seberang telepon dan Gabi adalah putri pertama kami.

“Bisa kok, sekalian juga mau ajak Gabi jalan-jalan. Semangat ya, Jean.” ujarku.

Terima kasih, sayang.

Jean menutup sambungan telepon kami, segera aku merapikan penampilanku untuk menjemput anakku di sekolah barunya.

Aku menunggu Gabi di depan sekolahnya bersama para orang tua lainnya. Tak selang beberapa menit kemudian, Gabi berlarian menghampiriku dengan tangan yang melambai gembira. Aku terenyuh melihat perkembangan Gabi yang kini menjadi anak yang besar.

“Mama!” teriak Gabi.

“Anak mama yang cantik. Gimana sekolah kamu, sayang? Sudah punya temen baru?” tanyaku kepada Gabi. Melihat sosok Gabi selalu mengingatkanku kepadanya. Menurutku, keduanya memiliki kesamaan yang mencolok.

“Baik aja kok! Aku punya temen baru, Ma! Tapi ya, ma, aku tuh bosen kalo di sekolah ketemu Falco mulu. Ih dari kecil selalu aja ketemu dia, nyebelin banget.”

Gabi saat ini sangat menggemaskan di mataku, aku berjongkok menjajarkan tinggiku dengan tinggi badannya. Merapikan rambut coklatnya yang berantakan, lalu tersenyum simpul.

Omong-omong, Falco adalah anak dari Armin dan Annie. Memang dari Gabi masih kecil Falco selalu menemaninya.

“Boleh mama tau siapa temen barunya Gabi? Mama boleh kenalan gak?” ajuku pada putriku tersebut.

Gabi memhangguk antusias, “tentu!” Jari telunjuknya ia letakan di atas dagu, “aduh! Tadi nama temenku siapa, ya ... ish, lupa.”

Aku kembali terkekeh, “ayo inget-inget dulu siapa nama temennya.”

“Lupa, ma!” Gabi memutar badannya kesana-kemari sembari memikirkan nama temannya itu, tiba-tiba saja Gabi berlari menjauh dariku untuk menghampiri seseorang yang berada di belakangku. Aku memutar tubuhku untuk memperhatikan Gabi.

“Mama! Ini nih temen baruku!” Gabi berteriak nyaring sambil menarik lengan anak laki-laki yang umurnya sepantaran dengan Gabi. Betapa terkejutnya aku melihat anak itu berjalan mendekatku.

Eren ...

Aku tak mungkin bermimpi saat ini, anak itu benar-benar seperti perawakan Eren waktu Eren masih kecil dulu. Mata hijaunya, ekspresi gundahnya, seperti yang Eren perlihatkan pada saat dulu. Aku merasakan badanku melemah dan tungkaiku seperti tak mampu menahan berat badanku.

“Temen, perkenalin nama kamu ke mamaku. Soalnya mamaku pengen kenal sama kamu.” Suara Gabi masih antusias.

Aku tak dapat memalingkan pandanganku dari anak ini dan ia lantas memandangku dengan tatapan serius. Pandangan yang sama seperti milik Eren.

“Halo, mamanya Gabi. Namaku Eren, temennya Gabi. Salam kenal.” Bahkan suara anak itu sangat mirip dengan Eren.

E-Eren?  Keduanya memiliki nama yang sama. Tangisanku ingin pecah saat ini juga, aku mendudukkan badanku untuk menatapnya lekat, tangan gemetarku meraih pucuk kepalanya.

“Eren ... ”

“Cuman Eren.”

Tak akan pulang lagi, tapi terlahir kembali. Aku tiba-tiba mengingat kalimat itu, akankah anak ini adalah Eren yang sudah terlahir kembali ke dunia ini? Aku merasa sangat bahagia melihat Eren lagi.

“S-Salam kenal, Eren.” Dia tersenyum lebar ke arahku.

Eren must have named you.

—end.