Glass Heart.
Suatu hari yang disambut langsung oleh sinar mentari yang menyebarkan sinar terangnya ke sebagian permukaan bumi. Semuanya antusias menjalani hari seperti biasanya, terutama teman-teman Seishu. Menghabiskan beberapa jam hanya untuk berbincang mengenai pakaian yang pantas mereka kenakan pada hari ini. Berujung Seishu yang menjadi penata busana untuk teman-temannya, mereka berkata bahwa hari ini sangat bersejarah selama pertemanan mereka berlangsung. Maka dari itu semuanya ingin berias untuk memoles paras mereka masing-masing.
Setelah membangun persahabatan bertahun-tahun lamanya, bahkan saat itu penampilan mereka masih bercompang-camping yang sama sekali tak pernah memikirkan tampilan diri. Masih tercetak jelas di ingatan Seishu, ketika mereka masih berusia belia yang hanya memikirkan permainan. Kini semuanya telah beranjak dewasa, permainan yang mereka lakukan jauh berbeda dengan permainan di masa kecil.
Mereka yang inosen dan lugu perihal dunia, terlebih kisah cinta. Pikiran mereka didoktrin hanya untuk bermain seperti pada anak-anak umumnya, tak banyak memikirkan masalah buana yang tumpah ruah. Hari demi hari berlalu, pikiran yang luas membuat mereka mengerti bahwasanya kehidupan berada di bawah asas. Hidup bukan untuk bermain belaka, di dalamnya ada banyak rintangan yang mereka lalui dan menjadi permainan baru yang harus mereka menangkan. Bila mereka terjatuh, maka mereka akan kalah.
Seperti itulah dunia yang mereka tinggali. Di permainankan oleh banyak oknum yang duduk di kursi besar kekuasaan.
Alih-alih, perihal Kazutora yang mulai merangkak ke dalam dunia asmaraloka. Di usianya yang masuk kepala dua, ia melangkah maju ke rintangan kehidupan baru. Cinta. Ia merasakan cinta yang tumbuh kian membesar di relung hatinya, terkadang membuat napasnya tercekik dengan jantung yang berdebar. Rasanya begitu asing di dalam dirinya, namun ia teramat menyukainya.
Selama ia tinggal di bawah langit biru, tak pernah sekalipun teman-temannya mendengar cerita mengenai Kazutora yang jatuh cinta dengan seseorang. Sebab dari itu ketika Kazutora terbuka kepada teman-temannya bahwa saat ini ia sedang jatuh cinta, semuanya menjerit antusias. Penasaran dengan sosok yang mampu menaklukkan hati Kazutora yang sekeras batu permata. Terlihat indah tetapi tidak mudah untuk ditaklukkan.
Seishu salah satunya yang teramat bahagia mengetahui temannya yang telah menemukan cintanya. Ia berharap agar Kazutora jatuh di tangan yang benar, ia tak ingin temannya itu terhempas ke atas tanah karena cinta alasannya. Hakkai dan Souya memilih berangkat bersama ke tempat yang mereka tentukan dari jauh hari, sedangkan Seishu, Chifuyu, dan Takemichi bepergian bersama.
Makanan dan minuman telah mereka pesan dan terhidang rapi di atas meja sembari menunggu peran utama yang datang. Mereka tenggelam dalam berbagai topik obrolan dengan diselingi guyonan yang membuat mereka tergelak.
“Chifuyu, menurut lo doi-nya Kazutora bakal secakep Koko gak?” sambar Seishu kepada Chifuyu yang duduk di sebelahnya.
“Gak tau, Seishu. ‘Kan kita semua belum pernah ketemu dia.” jawabnya.
“Cakepan gue sih dibanding cowok-cowok lo pada, makanya Hina mau sama gue.” Takemichi menyahut dari seberang meja dan dihadiahi sinisan remeh Seishu.
“Koko gak ada tandingannya, pokoknya dia paling ganteng. Gue jadi kebelet nikah kalo bahas calon suami gue itu.” celetuk Seishu dengan penuh kepercayaan diri.
“Ngarep!” timpal Hakkai. “Sei, lebih oke yang mana antara Jime dan Taka?”
“Uhuk!” Pertanyaan yang Hakkai layangkan membuat Seishu tersedak minumannya, Chifuyu sigap menepuk pelan punggung Seishu seraya tersenyum. Pertanyaan yang bahkan Seishu tak pernah menemukan jawabannya. Ia tak bisa membandingkan dua pemuda itu. Keduanya memberikan kesan yang berbeda, baik Kokonoi maupun Mitsuya.
“Pasti lo gak bisa jawab.” ujar Hakkai.
“Gak jelas lo.” ujar Seishu sarkasme.
“Kazutora kok belum dateng-dateng juga sih? Padahal ini udah telat dari jam yang kita tentuin sebelumnya.” keluh Souya.
Semuanya setuju, Kazutora terlambat 15 menit dari waktu yang mereka tentukan. Biasanya pemuda itu selalu datang lebih awal ketika mereka merencanakan bepergian ke sesuatu tempat. Namun, kali ini Kazutora justru terlambat sedangkan teman-temannya sudah sangat terbakar perasaan penasaran pada sosok yang kerap Kazutora ceritakan kepada mereka.
Ketika Seishu ingin mengeluarkan keluhannya lagi, vokalisasi seseorang dari balik tubuhnya spontan membuatnya terdiam dan tak ingin buka suara. Sang peran utama telah datang, mereka berdua yang dinanti-nanti oleh mereka semua.
Kazutora memamerkan senyuman lebarnya seraya menyapa teman-temannya. Surai panjangnya dibiarkan tergerai serta dibaluti pakaian kasual. Pada saat Seishu dan Kazutora berjalan beriringan, orang-orang akan mengarahkan sorot matanya kepadanya sebab keduanya memiliki panjang surai yang sama dan terkesan mirip satu sama lain.
“Hai, temen-temen gak guna.” sapa Kazutora dengan semangat.
“Hai, sampah.” balas Hakkai, ia langsung mendapati teguran dari Souya, kekasihnya.
“Lama banget sih, tumben banget lo bikin kita nunggu.” pungkas Takemichi kepadanya.
Kazutora menyengir tak bersalah, ia memiliki tempat duduk di samping Takemichi. Seluruh netra temannya tersorot kepada dirinya sebab Kazutora datang seorang diri padahal ia berjanji mengajak kekasih hatinya bersamanya.
“Mana doi lo yang lo maksud itu? Kok lo dateng sendirian?” tanya Seishu yang masih kebingungan dengan Kazutora.
“Oh! Dia bilang mau ke toilet dulu baru samperin gue ke sini.” jawab Kazutora santai. Tak sengaja tatapannya bertemu dengan Chifuyu yang tengah tersenyum kepadanya. Kazutora hanya menghela napas dan meminum minumannya.
“Kami semua pada gak sabar mau ketemuan sama doi lo, Kazutora.” ujar Chifuyu dengan suara khasnya, halus.
“Bentar lagi dia nyamperin kok—eh! Itu dia di situ.” Perkataan terpotong kala dirinya melihat pemuda bertubuh jangkung berjalan ke sana ke mari, ia langsung melambaikan tangannya ke atas agar pemuda itu menangkap sinyalnya. “Sini!” titahnya pada pemuda tersebut.
Hakkai, Souya, dan Takemichi mengarahkan iris kembar mereka kepada sosok yang ditunjuk oleh Kazutora. Namun, ekspresi mereka langsung berubah tegang dan diam membisu. Sedangkan pemuda tersebut, menghampiri Kazutora dengan senyuman yang merekah di bibirnya. Ia juga teramat antusias bertemu teman-teman dari sosok yang ia cintai. Ia ingin mengenal Kazutora lebih dalam lagi.
“Sayang.” Pemuda itu angkat suara untuk memanggil Kazutora.
“Hai.” sapa Kazutora senang.
Mendengar suara seseorang itu membuat Chifuyu tersentak. Ia sungguh hapal dengan pemilik suara orang tersebut, bahkan Seishu pun langsung menoleh ke arah pemuda itu berpijak. Ia membelalakkan matanya tertegun melihat eksistensi Baji Keisuke di sampingnya, rungunya mendengar jelas bagaimana Baji memanggil Kazutora dengan sebutan sayang. Tiba-tiba suasana di meja yang mereka tempati menjadi senyap dan pengap. Tatapan Baji menyapu ke seluruh muka teman-teman Kazutora dan tatapannya terpaksa terhenti pada sosok Chifuyu yang tengah menatapnya.
“Kak Baji ... ?” ucap Chifuyu pelan sebab lidahnya spontan kelu.
“Baji?! Lo ngapain ada di sini?” tanya Seishu sarkastik, ia sangat terkejut dengan kejadian yang ada di depan matanya. Kepalanya langsung pening dan ia sontak berdiri seolah meminta penjelasan.
Hilang sudah paras mereka yang berseri menunggu kehadiran Kazutora dan pujaannya, semuanya berubah menjadi pias. Pijakan Chifuyu di atas lantai menjadi melemah, sedangkan Baji hanya bisa diam. Ia sungguh panik sekarang, ia tak menyangka bahwa Chifuyu adalah salah satu temannya Kazutora. Di balik itu ada entitas Kazutora dengan bersedekap dada dan melayangkan tatapan dingin, wajahnya bahkan tak menunjukkan ekspresi apapun. Datar. Memperhatikan sedetil mungkin kejadian yang sedang dimainkan di hadapannya. Hakkai dan Souya menatap Kazutora. Takemichi hanya terdiam.
“Kenapa apanya? Baji doi gue, makanya dia bisa ada di sini.” jawab Kazutora.
“Baji? Lo Kei, ‘kan? Gue gak mungkin salah lihat. Bukannya lo lagi deket sama Chifuyu, ya? Kenapa lo ada di sini, berdiri di hadapan teman-teman gue sebagai doi-nya Kazutora. Maksud lo apa, bangsat?” Hakkai naik pitam, ia sudah tak dapat menahan emosinya melihat ekspresi Baji yang memuakkan. Namun, secepat mungkin Souya menahan lengan Hakkai dan berbisik padanya, “jangan ... ”
Chifuyu? Hatinya mencelos, netranya tak salah mendapati kehadiran Baji di hadapannya sembari mengklaim dirinya sebagai pujaan hati Kazutora. Suaranya telah hilang di makan lara. Ia nyaris mengeluarkan air matanya. Apakah ini sosok yang mengucapkan janji kepadanya? Ia yang mengujarkan penuturan cinta. Sosok itu yang telah mengambil ciuman pertama. Baji yang merebut ruang kosong di hatinya. Chifuyu terlampau kecewa.
“Kenalin, cowok gue, namanya Baji Keisuke. Kita sudah dekat sekitar 10 bulan yang lalu walaupun gue sama Baji belum pacaran tapi kita sekarang lagi berkomitmen untuk menjaga perasaan kita masing-masing. Alasan gue membawa Baji hari ini di hadapan kalian supaya kalian tahu bahwa Baji itu milik gue.” tutur Kazutora dingin. Tak ada ekspresi yang terpatri rupa eloknya, tak ada penjelasan dari sorot matanya yang kosong.
“Chi-Chifuyu ... ?” cicit Baji kepada Chifuyu.
Souya sekuat mungkin menahan lengan Hakkai agar pemuda itu tak melayangkan tinjuan kepada Baji. Baji tergagap, ia bak didapati selingkuh oleh kekasihnya saat ini. Netranya berbeda pada Kazutora dan berakhir pada sosok Chifuyu yang menatapnya nyalang. Ia tahu bahwa pemuda itu amat terluka karenanya, ditambah diamnya Kazutora seketika.
Bak bunga yang telah layu, rapuh dan akan jatuh berhamburan di tanah. Begitulah gambaran hati Chifuyu saat ini, hatinya melebur menjadi kepingan yang berhamburan. Bagai ribuan godam yang menghunus ulu hatinya, meninggalkan luka yang menganga lebar, rasanya teramat perih. Tatapannya beralih menelisik Kazutora yang memalingkan pandangannya ke arah penaka tak ingin bersitatap dengannya.
Perasaannya bercampur aduk baik kecewa maupun marah. Rasa sakit itu semakin menjadi kala mendapati Kazutora yang memoarkan kemurkaan padanya. Ia membayangkan bagaimana terlukanya Kazutora saat dirinya membuka identitas Baji kepada semua temannya waktu itu. Ia sadar diri bahwa Kazutora tak akan sudi berbicara kepadanya saat ini.
“Jadi kalian ... udah deket sejak lama?” tanya Chifuyu dengan suaranya yang bergetar. Ia sebenarnya ingin menumpahkan air matanya.
“Iya, asal lo tau itu.” sahut Kazutora cepat.
“Tunggu! Kok bisa sih Kazutora dekat sama Kei, bukannya dia selama ini dekat sama Chifuyu. Bukannya kita semua udah tau itu? Kenapa bisa jadi kayak gini sih?!” Takemichi telah memelan kesabarannya, ia tersulut api emosi melihat kejadian yang melibatkan teman-temannya tersebut.
Semuanya terdiam, bahkan Kazutora memilih menutup rapat mulutnya. Ia pun tak tahu harus menuturkan apa, ia merasa Baji bermain di belakangnya. Di saat seperti ini hanya Baji lah yang bisa menjelaskannya, mengapa ia bisa mendekati Chifuyu sedangkan hatinya tengah berlabuh pada Kazutora. Melihat ekspresi yang ditampilkan Baji membuat Chifuyu muak. Ia bergegas bangun dari tempatnya dan menghampiri Baji.
Plak.
Satu tamparan keras mendarat di pipi kanan Baji, pipinya terasa terbakar akibat tamparan Chifuyu yang tak main-main. Ia tatap wajah yang dulunya memamerkan kelucuan, kini hanya ada kekecewaan. Bahkan ia mampu melihat netra zamrud itu memancarkan aura kebencian kepadanya. Baji cukup sadar diri, presensi di sini membuat semua orang kecewa pun terluka terutama Chifuyu dan Kazutora.
“Maaf—”
“Bangsat.” umpat Chifuyu sebelum berlari meninggalkan tempat yang menjadi saksi pertengkaran yang sempat tercipta.
“Chifuyu, tunggu!” teriak Souya yang panik melihat Chifuyu pergi meninggalkan mereka. Hakkai dan Souya ikut meninggalkan tempat mereka demi menyusul Chifuyu yang entah pergi ke mana.
Meja mereka sekarang hanya ditempati Takemichi, Kazutora, Baji, dan Seishu. Tempat itu diselimuti kesunyian, tak ada yang berbicara. Seishu termenung dengan kejadian yang baru saja ia saksikan, netra birunya tiba-tiba meneteskan air mata. Rasanya begitu menyiksa melihat hubungan pertemanan mereka yang kacau balau akibat seseorang. Ia mendongak untuk melihat Kazutora dan tatapannya di balas langsung oleh pemuda itu.
Sosok yang sangat dekat dengan dirinya, wajah yang selalu dirias sebaik mungkin kini hanya menggambarkan kekosongan. Ia mengerti apa yang Kazutora rasakan saat ini sebab kedekatan mereka satu sama lain, bahkan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun untuk menjelaskan perasaannya Seishu terlampau mengerti yang sosok itu rasakan. Pun ia mengerti apa yang Chifuyu rasakan saat ini. Berada di ambang teman-temannya membuat Seishu bingung.
“Puas lo, Baji?” sindir Seishu sembari terkekeh hambar, “puas lo melihat temen-temen gue hancur karena lo? Apa lo sekarang merasa bangga dengan perbuatan lo ini? Lo cuman sampah, sampai kapanpun gue gak sudi liat lo berada di deket temen gue. Lo brengsek.”
Seishu bangkit dan tiba-tiba tangannya terangkat untuk menampar wajah Baji yang masih meninggalkan rona kemerahan akibat tamparan Chifuyu sebelumnya. Namun, tangannya ditahan oleh Kazutora yang membuat Seishu merengut bingung.
“Mau lo suka atau gak, gue gak masalah. Gue udah yakin untuk tetap menjadikan Baji sebagai milik gue. Gue gak peduli lo mau anggap gue jahat atau egois sekalipun. Gue udah gak peduli sama semuanya.” tutur Kazutora dingin.
Seishu membelalakkan matanya tak percaya dengan apa yang Kazutora katakan kepadanya, Seishu yang telah bersimbah air mata tak dapat berkutik apa-apa. Perasaannya sungguh kalut, padahal ia ingin menolong Kazutora untuk keluar dari lingkaran berbahaya dari Baji tetapi sahabatnya itu justru memilihnya. Takemichi menggertakkan giginya, ia langsung mencekal lengan Kazutora agar melepaskan genggaman tangannya pada Seishu dan lalu berujar.
“Lo bilang udah gak peduli lagi, ‘kan? Maka dari itu kita juga gak mau peduli sama lo lagi. Gue harap semoga pilihan lo untuk menetap sama si brengsek ini gak membuat lo semakin hancur.” timpal Takemichi dan segera menarik lengan Seishu menjauh dari mereka. “Seishu, ayo gue anterin lo pulang.”
Tersisa Kazutora dan Baji yang telah duduk di tempat mereka masing-masing, Baji tertunduk lemas. Gurat kemarahan tercetak jelas di rupa manis Kazutora, tiba-tiba suara deru napas terdengar di rungunya. Tangan Kazutora bertengger di atas tangannya.
“Aku tahu.” ujarnya pelan.
“Kazutora, maafin aku ... ”
“Semuanya udah terjadi, apa yang harus diperbaiki? Semua itu sudah hancur layaknya sebuah kaca.”
[]