HELL BOUND.

Explicit sexual content, vampire based, blood, boys love, anal sex, Hanma!top — Kazutora!bot, fingering, profanities, degradation, overstimulation, edging, orgasm delay, grinding, nipple play.

Temaram yang menyelimuti sebagian alam, kicauan sang burung menjadi lantunan musikal yang mengiringi para sukma menuju gerbang mimpi dan terlarut dalam juntaian kisah ilusi. Melupakan sejenak perkara dunia yang dicemari kisah-kasih fatamorgana. Kisahnya dianggap sebuah delusi bak tersengat anestesi; tak rasional.

Siapa yang percaya pada hadirnya entitas sosok bukan manusia yang haus akan darah? Di dunia kasat mata ini tak ada lagi kisah fana, maka mengapa mereka harus percaya dengan desas-desus sebuah fiksi yang diceritakan oleh orang-orang dari mulut ke mulut.

Namun, mereka tak melihat dari sudut absolut dengan mata kepala mereka sendiri bagaimana sosok manipulasi itu menunjukkan taring tajamnya di bawah rembulan. Siap untuk membidik sang mangsa dan menyesap seluruh darahnya.

Kazutora Hanemiya. Salah satu sosok yang bermanipulasi dan berhasil beradaptasi dengan manusia itu menyembunyikan kedua taring tajamnya di balik paras moleknya. Memikat banyak mangsa dengan sepasang iris yang mampu menikam siapapun.  Di bawah langit yang terbentang luas di temani oleh purnama, Kazutora meringkuk bersama prianya, Hanma. Tak menyadari bahwa jiwa haus darahnya kian meronta, ia tak dapat membendungnya lebih lama.

“Kazutora.” panggil si pemuda yang duduk tepat di sebelah sosok itu.

Kazutora tak menjawab sebab lidahnya kelu dan hanya mengeluarkan lenguhan. Sepasang netra obsidiannya berubah menjadi merah tanda haus darah. Hanma tahu betul apa yang saat ini Kazutora butuhkan, tak lain dan tak bukan ialah darah untuk menuntaskan dahaga yang menyiksa relung jiwanya.

“Kazutora.” ulangnya.

“Hanma ... ” Netra itu mendongak dan bersitatap dengan iris Hanma. Tatapan dengan permohonan yang dalam.

Hanma menyunggingkan seringainya, ia hanyalah sosok manusia biasa yang membuat sosok manipulasi seperti Kazutora luluh-lantah di bawahnya. Tak peduli sebahaya apa sosok itu jikalau di luar batas sadarnya. Tak terlukis sedikit pun ketakutan di benak Hanma melihat paras Kazutora yang berubah. Baginya, pemuda itu masih nampak elok dengan surai panjang yang tergerai.

“Butuh bantuan, little one?” singgungnya.

Sebuah pertanyaan retorik, tentu saja Kazutora membutuhkan bantuan Hanma saat ini untuk menuntaskan rasa yang menikam ini. “Hu’um ... please help me.”

Kazutora memasang wajah memelas dengan mulut yang terbuka, air liurnya menetes membasahi bagian rahang hingga leher jenjangnya. Taring tajam itu menarik perhatian Hanma sejak beberapa menit sebelumnya, katakanlah ia sosok masokis yang mengingkan benda tajam itu menancapkan di atas kulitnya untuk membuka banyak luka.

“Kamu selalu haus, eh? Jangan bilang saat ini kamu haus akan sentuhan seksual dariku dengan dalih haus darahmu itu. Katakan yang sebenarnya, Kazutora. Katakan bahwa kamu hanyalah sesosok sundal, bukan sesosok vampir. Mana ada vampir yang bersikap murahan seperti dirimu, Kazutora. Di mana martabat dan harga dirimu di hadapan makhluk terendah sepertiku? Apa harga dirimu jauh lebih rendah daripada kami—para manusia?”

Hanma menarik tubuh ringkih yang menegang itu untuk mengambil tempat di atas pangkuannya, mendominasi sosok itu secara keseluruhan. Air mata lolos dari sudut netra Kazutora dan ia terus-menerus merengek sebab Hanma belum juga mengindahkan keinginannya.

“Jawab aku, Kazutora.” serunya, bahkan vokalisasi lebih suram dibanding auman serigala yang menggila di malam hari.

“Iya ... Hanma, tolong. Tolong biarkan aku mencicipi darahmu lagi.” Kazutora melayangkan tatapan memohon pada sosok Hanma. Ia mengepalkan kedua tangannya di atas pundak Hanma.

Twopenny. I like someone who lowers his pride to beg. I like you so much, Kazutora.” Sembari berujar demikian, Hanma menjulurkan tangannya untuk meraih kepalan tangan Kazutora.

Ia menjilat jari-jari hingga punggung tangan Kazutora bak seekor anjing. Sontak Kazutora semakin menegang dan reaksi tubuhnya bekerja dua kali lipat; haus darah dan haus akan sentuhan erotis dari Hanma. Dalam situasi seperti ini, di mana Kazutora membutuhkan darah untuk menghapus dahaganya maka Hanma dengan sukarela memberikan darahnya untuk Kazutora nikmati walaupun Hanma hanyalah sosok manusia. Hanma tak pernah menolaknya, tetapi sebagai gantinya Kazutora tak diperbolehkan untuk menolak setiap permintaan Hanma sekalipun sosok manusia itu memintanya untuk menggonggong.

Namun, siapa peduli? Kazutora terlampau suka mengikuti irama Hanma atas dirinya. Apapun yang diinginkan Hanma maka akan langsung diindahkan oleh Kazutora. Entah perasaan apa yang hadir di tengah-tengah mereka sehingga keduanya seperti ini. Jikalau Kazutora haus akan darah milik Hanma, maka Hanma haus untuk menjarah senggamanya. Saling menguntungkan.

“Ingat apa yang harus kamu lakukan, Kazutora?” Hanma masih setia menjilati jari-jari Kazutora. Sedangkan yang diberikan pertanyaannya semakin terbakar hawa nafsu.

“I-Ingat.” balas Kazutora terbata.

Malam ini keduanya berada di dalam mobil sport milik Hanma, pemuda itu membawa sosok manipulasi itu ke suatu tempat di mana hanya ada mereka berdua di sana. Diterangi oleh sinar bulan dengan semilir angin yang menerpa pori-pori kulit. Kazutora menggelinjang atas sentuhan-sentuhan erotis yang menjalar dari bahu hingga pinggang rampingnya. Siapa menyangka bahwa sosok sepertinya juga dapat merasakan birahi dari manusia. Tentu saja ia menginginkan ini.

Suck my blood, Kazutora. Suck it deep, take it more as you want.” Hanma memiringkan kepalanya ke samping untuk membukakan leher jenjangnya pada Kazutora. Sudut bibirnya terangkat melihat bagaimana netra itu berbinar ketika mendengar tutur katanya.

“Hanma ... ” Kazutora menancapkan dua taringnya ke dalam pembuluh darah Hanma melalui bagian lehernya. Hanma berjengit kaget, sebab rasanya masih sama seperti pertama kali Kazutora mengisap darahnya; ngilu nan mengenakkan.

Kazutora terus-menerus mengisap darahnya dan sesekali mengeluarkan lenguhan panjang tanda ia menyukainya. Hanma mengantupkan bibirnya rapat-rapat agar tak menimbulkan suara, salah satu tangannya menyugar surai Kazutora dan tangan lainnya memasukki pakaian yang terbalut di tubuh sosok manis itu.

Ah!” Hanma menyeru sebab taring itu membenam terlalu dalam di lehernya.

Kazutora beringsut turun di atas pangkuan Hanma, tangannya mengalung di leher Hanma dan beberapa sekon kemudian ia menarik taringnya keluar dan menatap luka yang menganga di leher Hanma, pula darahnya yang bercucuran keluar. Darah Hanma menjuntai di sudut bibir Kazutora. Melihat panorama dari sosok Kazutora yang lemah seperti ini membuat Hanma menyeringai. Darahnya bagaikan candu.

“Sudah cukup?” tanyanya.

Kazutora mengangguk pelan, ia menjilati sisa-sisa darah di sudut bibirnya. Hanma menarik pakaian Kazutora ke atas agar menanggalkan balutan benang itu. Lantas, Kazutora tak dapat menahan perbuatan Hanma pada dirinya, karena setelah Kazutora mendapatkan darahnya maka Kazutora harus menjadi anjing penurut.

Deru napas Hanma menerapa kulit dadanya, tiba-tiba tubuhnya menegang kala daging basah tak bertulang tengah menjamah puting dadanya. Obsidian yang awalnya berwarna kemerahan kini memudar menjadi corak asalnya, Kazutora menggigit bibir bawahnya untuk meredam suara yang akan keluar.

This is taste sweet, Kazutora. The same as my blood.” Hanma menjilat dan menggigit puting itu secara bergantian, sedangkan tangannya menangkup bongkahan sintal milik Kazutora.

“H-Hanma ... ssh.”

“Kamu sudah mengetahui konsekuensinya, ‘kan, Kazutora Hanemiya.” Dicelah kegiatannya menyusu di puting Kazutora, Hanma mendongak untuk menatap sosok itu. Kazutora hanya mampu mengangguk untuk memberikan jawaban non verbal.

“Minum darahku sebanyak yang kamu inginkan dan aku juga membutuhkan timbal balik.” Hanma memasukkan tangannya ke dalam celana jins Kazutora. Mengusap suatu hal yang bersembunyi di sela-sela bongkahannya.

Kazutora menahan tengkuk Hanma kuat agar Hanma tak berhenti menjamah bagian dadanya, baginya itu sangat nikmat. Rona merah menguras paras eloknya, paras yang berseri dengan pipi bersemu. Kazutora melirik pada rembulan yang menjadi saksi sebelum memutar pandangannya kembali kepada Hanma. Ia mengangguk.

“Mengangkang untukmu setelah meminum darahmu. Begitu, Hanma?” ujarnya dengan nada yang disengajakan sensual, sembari menggerakan bokongnya maju-mundur di atas ereksi Hanma yang mengembung di balik celana yang ia kenakan.

“Pintar.”

Plak.

Ahh ... ”

Sekali tamparan mendarat di bongkahan Kazutora, ia menggelinjang dan mengingkan tamparan itu lagi dan lagi. Hanma menggigit keras putingnya menimbulkan protesan nikmat dari Kazutora. Sang submisif mencoba melepaskan dasi yang mengikat di leher Hanma dan melonggarkan kemeja Hanma agar ia bisa memperhatikan dada bidang itu terekspos dengan dua luka di lehernya.

Lidah Hanma menjalar naik ke area leher Kazutora, ia menyapu leher itu dengan lidahnya dan akhirnya meninggalkan tanda. Menandai Kazutora sebagai miliknya. Tatapan takjub memoar dari Hanma melihat ruam merah tercipta dengan indah di leher sang submisif.

“Jikalau luka ini sebagai tandamu atas diriku, maka ini sebagai tandaku kepadamu, Kazutora. Kamu milikku satu-satunya, hanya aku yang boleh menandaimu dan aku membiarkanmu menandaiku semaumu.” ujarnya.

T-Thank you, Hanma.” Kazutora berbicara dengan nada melenguh.

Hanma membuat tanda yang kontras di leher hingga bagian dada Kazutora, kemudian ia mengambil dasi yang telah dilepaskan Kazutora. Lalu, pemuda itu mengikatkannya pada lengan Kazutora agar mengunci pergerakan sosok itu.

Kazutora melayangkan tatapan bingung, saat mulutnya terbuka hendak melemparkan sebuah keluhan. Hanma terlebih dahulu menyalak.

“Turuti, Hanemiya.” ujarnya sarkastik.

“Iya.”

Tangannya yang terikat dengan dasi Hanma tiba-tiba gemetar, tatapan sayunya bersitatap dengan tatapan tajam milik Hanma. Lidah Hanma memilin puting dadanya seraya menanggalkan satu potong pakaian yang dikenakan Kazutora, hingga pada saat ini Kazutora lolos tanpa sehelai benang pun. Hanma membelai pinggang Kazutora dengan lembut dan belaian itu kini turun mengenai pahanya. Kulit yang halus porselen, putih bak sebuah kanvas.

“Mau ... mau Hanma ... ” ujarnya lirih.

“Mau apa, Kazutora?” Hanma melesakkan satu jarinya ke dalam pusat Kazutora dan membuat sosok itu berjengit.

I want yours ... aah.”

Hama menggerakan jari tengahnya di dalam lubang senggama Kazutora, pergerakannya sangat lamban seolah sengaja untuk menggoda pemuda itu.

Make it faster.” titahnya diselingi dengan desahan.

“Seperti ini, sayang?” Bukannya mempercepat gerakan jarinya, justru Hanma semakin bergerak pelan.

Kazutora meraung mengingkan suatu yang lebih tapi Hanma tak kunjung memberikannya. Ia telah terbakar nafsu seksual setelah dahagnya telah sirna. Hanma memilin puting Kazutora dengan lidahnya dan kini jari telunjuknya ikut andil berada di dalam senggama Kazutora.

Aah.

Hanma mulai mempercepat gerakan jarinya di dalam Kazutora, ia hanya membutuhkan dua jari panjangnya untuk mengisi lubang sempit itu. Setiap gerakan jari itu selalu mengenai titik ekstasinya, menandakan bahwa jari-jari itu sudah setara permainan sang dewa. Hanma menggerakan jarinya rancu membiarkan Kazutora tercekik.

“Hanma ... sebentar lagi ... ”

“Kenapa, sayang?”

I’m cumming soon ... ”

Kazutora menjulurkan lidahnya keluar, keringat mulai membasahi pelipisnya dan tatapannya semakin sayu. Hanma segera menarik keluar kedua jadinya kala dinding rektum Kazutora mulai menghimpitnya, katakanlah saat ini Hanma memang benar-benar menguji Kazutora. Ia tahu sosok itu akan datang, maka dari itu Hanma segera mencabut jarinya keluar.

“Hanma ... ” Kazutora merengek sebab putihnya tak jadi datang dan ereksinya semakin tegang di bawah sana. Hanma hanya tertawa sumringah melihatnya.

Ia benci sekali kali ini ia tak dapat menjamah tubuh Hanma karena tangannya yang terikat dan hal ini membuatnya lebih berdegup kencang karena gelisah. Baru pertama kali Hanma mengikat tangannya seperti ini dan tentu saja sedikit membuatnya menelan gugup.

“Jangan keluar saat ini, sayang. Kita keluar bersama nantinya.”

Whatever you want I’ll hold by.” Bibir keduanya saling memagut terjalin dalam ciuman intens dan kasar, Hanma menggigit bibir bawah Kazutora dan melesakkan lidahnya masuk ke dalam mulut Kazutora. Lidah mereka saling bertaut satu sama lain.

Di saat mereka terlarut dalam ciuman, Hanma merebahkan tubuh Kazutora dengan sangat hati-hati seolah Kazutora sebuah barang yang mudah pecah jika tak diperhatikan dengan baik, ia mengangkat tangan Kazutora di atas kepalanya dan menggenggam kedua lengannya dalam satu kepalan tangan Hanma. Hanma masih setia menjamat ranum kemerahan yang seperti berperisa manis, sangat lezat untuk dirasakan. Hanma melonggarkan gespernya dan menurunkan ritsletingnya.

Kazutora mengantupkan netra indahnya rapat-rapat, namun setelah ciuman mereka terlepas Hanma membisikkan kalimat-kalimat pujian dan memintanya untuk membalas tatapan Hanma.

“Buka mata indahmu, Kazutora. Aku ingin melihat duniaku melalui matamu.”

Mendengar ucapan itu hatinya langsung menghangat, tak salah jikalau hatinya berpaling kepada Hanma sebab sosok ini sama sepertinya; sang piawai manipulasi.

Hanma mengarahkan batang ereksinya pada liang Kazutora yang basah dan berkedut, salah satu tungkai Kazutora telah bertengger di atas bahu Hanma. Kazutora membuka mukutnya kala ujung ereksi itu mulai masuk menyapa senggamanya.

Ssh ... ”

“Kazutora, pesonamu adalah panorama terbaik yang pernah aku lihat.”

Hanma langsung menghujam lubang senggama Kazutora dengan ereksinya dalam sekali hentakan, sontak pemuda itu berteriak nyaring namun diredam oleh bilah bibir Hanma yang memagutnya dalam sebuah ciuman. Hanma memiliki kepribadian yang kadang membuat Kazutora bingung, sebab pemuda itu dapat bersikap lembut bak malaikat dan pula berubah menjadi sosok berbahaya melebihi sosok iblis.

Kazutora sempat berpikir bahwa Hanma ialah sosok dewa. Ia mengerang ketika sodokan Hanma di dalam lubangnya mengenai prostatnya beberapa kali. Tubuh Kazutora terhentak ke belakang dikarenakan Hanma bergerak brutal. Ia tak membiarkan Kazutora untuk beradaptasi dengam kehadiran ereksinya di bawah sana, yang Hanma cari hanyalah kepuasan semata. Kazutora ingin sekali merengkuh erat tubuh Hanma, namun niat itu harus dikubur dalam-dalam karena permainan malam ini tangannya terikat erat.

Sentara brutal itu membuatnya mabuk kepalang, Kazutora nyaris dibikin gila—ia merapalkan nama Hanma Shuji dengan desahan dan lenguhan bak lantunan melodi indah. Luka yang membekas di leher Hanma sangat kentara, Kazutora terenyuh melihatnya.

Hanma adalah miliknya.

This is the world as it should be, Kazutora. Sebuah dunia di mana aku yang menggerakan semuanya dan semua orang tunduk di bawah kekuasaanku. Just like you who bow under my tutelage, begging for a cock to fill the ecstasy hole of you.”

Lubang senggama Kazutora melahap miliknya hingga ke pangkal, Hanma menyunggingkan sebuah senyuman kemenangan. Ia masih bergerak rancu tanpa celah sedetik pun, Kazutora hanya tersungkur pasrah di bawahnya yang bisa ia lakukan adalah mendesah dan mendesah.

“H-Hanma ... ”

Entah sejak kapan Kazutora menjadi sosok untuk mmemenuhi kebutuhan biologisnya dan sosok yang mengikis hasrat birahi. Namun, ia bukan sosok egois, ia membiarkan Kazutora yang notabenya sebagai sosok vampir untuk mengisap darahnya sebanyak yang ia mau selagi kontrol Kazutora masih berada di dalam genggamannya. Hanma terlampau tak peduli pada percikan perasaan yang timbul di hatinya yang ia butuhkan hanya lubang Kazutora untuk memenuhi fananya.

Hanma menyesap puting Kazutora bergantian dan menorehkan banyak tanda kepemilikan di area dada. Ia berulang kali menumbuk prostat Kazutora dan sontak dinding-dinding rektumnya menghimpit ereksinya. Lubang Kazutora masih terasa sempit untuk menampung miliknya padahal mereka telah melakukan hubungan intim beberapa kali.

Aah.”

“Kazutora.” Hanma menggeram rendah.

Vokalisasi pemuda itu pun mampu membuat lubang Kazutora berkedut. Suaranya begitu rendah serendah harga dirinya di hadapan sosok Hanma. Tak peduli sebanyak apa tanda di atas kulit porselennya, ia senang Hanma menandai dirinya sebagai miliknya.

“Hanma ... mau keluar ... ”

“Bersama, sayang.”

Hanma menghentakkan pinggulnya kuat, begitu pula dengan Hanma yang menggerakan pinggulnya berlawanan arah. Ia telak kehilangan kewarasannya ketika berada di bawah dominasi Hanma. Kazutora meracau diselingi lenguhannya untuk mengiringi gerakan piston Hanma. Semakin dekat dengan putihnya, dinding rektum itu semakin menjepitnya.

Plak. Plak.

Hanma menampar bokongnya berulang kali dan memainkan ereksinya yang menegang. Kazutora membusungkan dadanya ke atas, tak mampu membendung perasaan nikmat tiada tara yang ia terima.

Ahh! Hanma!”

Saat itu juga, Kazutora menyemburkan putihnya sehingga mengenai lengan Hanma dan membasahi perutnya. Peluh cinta menetes turun dari pelipis keduanya. Hanma masih setia menggempurnya ddngan rancu, tak membiarkan Kazutora terlarut dengan pelepasannya. Hanma masih meraih putihnya di dalam senggama Kazutora.

“Hanma ... fill me up with your cums, I want that taste too ... ” titahnya.

As you wish, my dear Hanemiya.”

Hanma menundukkan tubuhnya untuk memagut ranum Kazutora, tiga hentakan terakhir Hanma akhirnya mengeluarkan seluruh cairan ejakulasinya di dalam lubang sempit Kazutora. Ia menahan ereksinya sedalam mungkin agar tak sedikit pun cairan keluar dari lubangnya. Kazutora melepaskan ciuman mereka dan menciptakan benang saliva di antara mereka. Tatapannya masih sayu dan mulutnya terbuka untuk melenguh.

“Ssh ... ” Hanma menggeram.

Ia mendongakkan kepalanya ke atas setelah mendapati kenikmatan fatamorgana. Ia menunduk kembali untuk menatap pemandangan dunianya. Ditatapanya tubuh Kazutora yang kacau; ada banyak tanda di sekujur tubuhnya, mata yang menyorotkan hasrat birahi, mulut yang terbuka untuk menampilkan taring tajamnya.

“Hanma.”

“Hm?”

“Apa perasaan ini salah? Apa perasaan cinta yang hadir di hatiku ini salah?”

Hanma mengecup kedua netra Kazutora dengan lembut, ia tak kunjung membalas pertanyaan Kazutora, ia sibuk membenarkan pakaiannya dan melepaskan dasi yang mengikat lengan Kazutora. Ia sempat meringis melihat pergelangan tangan Kazutora yang memerah. Ia kembali mendudukkan tubuh Kazutora di atas pangkuannya. Menyugar surai sehalus sutra itu dengan lembut.

“Hanma, jawab.” pungkasnya.

Hanma mengecup punggung tangan Kazutora dan menjilatnya hingga ke lengan.

“Jikalau perasaan itu semakin membuatmu menggila, maka aku yang akan membunuhmu, Kazutora.”

[]