HIDDEN LIES

Kuroo menekan tombol bel apartemen Kenma—mengetukkan pantofel ke lantai yang dingin sembari menunggu sang empu membukakan pintu untuknya. Tak begitu lama waktu ia habiskan dengan menunggu, pintu terbuka lebar menampakan postur tubuh Kenma dengan senyuman tipis yang terpatri di wajah soleknya.

Entah hanya perasaannya, seperti ada sesuatu yang tak benar kepada Kenma, kulit porselen itu lebih terlihat pucat pasi daripada biasanya, netra cerahnya sangat sayu, bahunya yang tertunduk rendah bak energi ditarik habis dari tubuhnya. Melihat itu membuat Kuroo menjadi risau.

Kuroo menangkup kedua pipi tirus Kenma dengan genggamannya yang besar, menyalurkan kekhawatiran melalui pandangannya. “Lo kenapa?!” Dari vokalisasinya, Kenma dapat mengetahui bahwa ada kepanikan.

I’m fine. Memangnya aku kenapa?” Kenma mengangkat senyum sumringah agar mengusir perasaan itu, ia ingin terlihat baik-baik saja di hadapan Kuroo. Ia tak ingin Kuroo melihat sisinya yang lemah.

Seenggok jiwa yang renta.

“Perasaan lo gak sepucat ini, lo lagi sakit?” sambar Kuroo.

Kenma menggeleng, ia mengangkat sebelah tangannya untuk menggenggam pergelangan tangan Kuroo yang masih menangkup wajahnya. Hangat sekali. “I said, I’m doing fine, you don’t need to worry.”

Kuroo mendenguskan napasnya gusar, haruskan ia percaya dengan perkataan Kenma. Melihat sorot iris matanya membuat Kuroo harus meluruhkan segala rentetan pertanyaannya. Kenma seolah tak ingin digali lebih dalam lagi.

“Oke ... ” lirih Kuroo.

“Ayo masuk dulu, kayaknya kamu lagi pulang kerja, ya?” tanya Kenma yang membawa Kuroo untuk masuk ke dalam apartemennya.

Kuroo mengedarkan pandangannya ke segala penjuru ruangan, apartemen minimalis dengan desain estetis. Melihat ruangan yang disusun apik membuat Kuroo terkekeh sebab Kenma memang sosok yang perfeksionis. Apartemen ini dibentuk dengan gaya Kenma. Kenma menyilakan Kuroo untuk duduk di ruang tengah sembari dirinya membuatkan minuman untuk tamu tersebut. Ia bahagia, sungguh tak dapat dipungkiri. Apartemen ini terasa lebih nyaman secara spontan.

“Apartemen sebesar ini lo tinggalin sendirian?” tanyanya seraya menyesap teh hangat yang dihidangkan oleh Kenma.

“Huum. I have no one to live with.”

Kuroo menunjuk dengan dagunya ke sebuah kantong yang berisi makanan yang sempat ia beli di restoran, Kenma mengikuti arah pandangan Kuroo dan mengeryitkan alisnya bingung dengan isi kantong tersebut.

“Gue gak tau lo udah makan apa belum, tapi tadi gue sempat beli makanan buat kita makan. Let’s eat.” ajak Kuroo, tengah mengeluarkan isi yang ada di dalam kantong.

Sebenarnya nafsu makannya tandas semenjak selesai melakukan kemoterapi beberapa jam yang lalu, inda pengecapnya terasa hambar untuk memakan sesuatu, tetapi sangat disayangkan apabila ia menolak begitu saja permintaan Kuroo yang sudah meninggalkan usaha untuk membawakannya makanan. Lagipula, kapan lagi ada momen seperti ini—makan bersama Kuroo, hanya ada mereka berdua.

Thank you for the food.” ucapnya.

Kuroo beranjak dari posisi asalnya untuk duduk di sebelah Kenma, mendorong makanan ke arahnya agar segera dicicipi. Kala Kenma hendak meraih semangkok makanan tiba-tiba saja tangannya terhenti, otot-otot yang ada di tangannya seperti berhenti bekerja. Hal itu membuat Kuroo heran, kedua tangan Kenma gemetar dan nampak tak mampu mengangkat beban dari mangkok tersebut. Kenma lantas panik dan jantungnya berdebar cepat.

“Kenma, lo kenapa? Tangan lo kok tremor begini? Lo beneran gak apa-apa?” Sontak saja Kuroo menempelkan punggung tangannya ke kening Kenma guna mencek suhu tubuh pemuda tersebut. “Badan lo juga panas banget.”

“Badanku cuman lagi lemes aja kok.” jawab Kenma, melemparkan kebohongan lainnya demi menuntup kebohongan sebelumnya.

Kuroo berdecak, ia tak dapat mempercayainya. Kenma nampak sangat berbeda dari sebelumnya. Namun, niatnya untuk lebih khawatir segara ia urungkan. Ia tak seharusnya terlalu mencampuri urusan Kenma. Kuroo mengambil mangkok yang tadi hendak Kenma ambil, menyuapkan sesendok makanan ke mulut Kenma.

Kenma membulatkan matanya, “eh?”

“Lo gak bisa makan sendiri, ‘kan? Biar gue yang suapin buat lo.” final Kuroo.

Pernyataan yang terdengar seperti perintah yang tak ada celah, harus Kenma turuti meskipun ia lontarkan sebuah protes. Ia hanya mengangguk lemah dan membuka mulutnya, menerima suapan dari Kuroo. Lalu, pada akhirnya mereka menghabiskan satu mangkok makanan tersebut berdua dengan sendok yang sama. Kuroo pun tak terlihat risih, sorot netranya menyalurkan kehangatan yang tiada tara, hatinya juga turut merasakan ketulusan di dalamnya.

Kuroo menyuapinya dengan telaten dan kembali menyuapkan makanan ke dirinya sendiri. Momen seperti ini akan selalu Kenma rindukan, di mana di bawah atap yang teduh hanya ada mereka berdua, mengulang kisah lama yang sempat menghilang. Kenma tak luput memandangi sosok di sampingnya, pemuda dengan postur tubuh besar, rahang yang keras, dan iris yang tajam. Sosok itu sudah banyak berubah, tetapi perlakuannya masih sama seperti sedia kala.

Walaupun lembar kehidupan sudah berganti, namun perasaan itu masih saja melekat di hati. Mereka biarkan waktu membawa mereka melaju layaknya sebuah kereta kencana, tak tahu bagaimana caranya tuk berhenti.

“Terima kasih, Kuroo ... ” ucap Kenma.

Kuroo tersenyum menghiasi wajahnya yang berseri. “I did it, because I wanted to.” Ia membelai surai Kenma yang tergerai, mengabadikan potret Kenma di dalam pikirannya saat ini.

Tidak kah Kuroo menyadari bahwa saat ini hatinya sudah tak rumpang lagi, tak ada ruang kosong yang dapat menampung hati yang lain. Tidak kah semuanya sudah berakhir ketika mereka sudah meluruskan benang yang kusut. Seharusnya hal ini tak terjadi.

Kenma tak mengetahui itu dan Kuroo tak memberikannya kejelasan.

Lantas, bagaimana nantinya semesta menengahi mereka, baik membuat mereka bersama atau memisahkan mereka untuk selamanya.

“Ngantuk, hm?” bisik Kuroo.

Kinda.”

“Tidur aja, I’ll stay here.

Kenma mengangguk, ia membenamkan kepalanya ke dada bidang Kuroo. Saat ini mereka masih berada di ruang tengah, tak berniat untuk beranjak dari tempat ternyaman. Kuroo memperhatikan kelopak mata Kenma yang perlahan mulai terkantup, ia ingin mengantarkan Kenma ke alam mimpinya sembari dirinya berada di samping pemuda itu.

Lalu, pandangannya tertuju kepada perban yang ada di pergelangan tangan Kenma, saat ini Kenma menggunakan baju kebesaran sehingga menutupi tangannya. Kuroo mengerutkan keningnya, penasaran dengan apa yang terjadi pada Kenma.

“Kenma, apa lagi yang lo coba sembunyiin dari gue?”

[]