Kali Pertama.

Kala itu terik matahari telak berada di atas pucuk kepala, menyinari sebagian bumi yang dipijak oleh para manusia. Seishu memoles wajah rupawannya agar tampak luar biasa daripada biasanya, ada suatu alasan yang membuatnya bersikap sedia kala. Saat refleksi dirinya terlihat sesuai dengan ekspektasinya, bibirnya merekah. Teramat puas dengan penampilannya saat ini. Seishu meraih tasnya, lalu menyampirkannya di bahunya. Pemuda bersurai terang itu hanya mengenakan pakaian kasual namun terlihat begitu menawan di tubuhnya.

All done, saatnya kita jalan.” Seishu bermonolog ketika kedua tungkainya telah melangkah meninggalkan perkarangan rumah. Tercipta perasaan yang bercampur aduk di dalam dirinya, tetapi tak membuat niatnya ciut sama sekali. Lantas, ia sangat bersemangat untuk hari ini.

“Demi ketemuan sama Koko, gue rela dolled up and get dressed for hours. Gue pengen keliatan sempurna di depan dia.”

Pemuda dengan sepasang iris safir itu menaiki angkutan umum yang beroperasi di tengah perkotaan. Seperti biasanya, bis dipenuhi oleh orang-orang yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Seishu memilih untuk duduk di sebuah kursi yang masih tersisa dan menyumpal telinganya dengan earphone agar kegaduhan dari hiruk-pikuk yang ada di sekitarnya tak membuatnya terganggu.

Memakan waktu 20 menit untuk sampai ke tempat tujuannya, Seishu bergerak menuruni bis dan masuk ke dalam kerumunan yang sedikit membuat dirinya pengap. Seishu menggerutu sebab ada beberapa orang sedari tadi meledeknya.

“Cantik, sendiri aja.”

“Cantik, boleh minta nomor teleponnya?”

“Daripada sendirian mending aku temenin sini, biar gak ngenes.”

Seishu memasang tatapan sinis kepada gerombolan laki-laki itu seolah-olah ia ingin mengajak mereka untuk beradu tinju. Baginya, orang yang seperti itu sangat menjijikan dan tak pantas menyebut namanya barang sekali pun.

“Diem lo, jelek.” ucapnya sarkastik.

Ia melanjutkan tungkainya yang sempat terhenti untuk masuk ke dalam pusat pemberlanjaan terbesar di kotanya, mencari-cari siluet seseorang yang kini menjadi pusat atensinya. Seishu mengedarkan pandangannya ke sana dan ke mari untuk mencari sebuah kafe yang dimaksud oleh orang itu. Saat netranya telah menemukan tempat yang dimaksud, ia segera menjalar masuk dengan secercah harapan dan senyum sumringah.

Ia mendapati siluet seseorang dengan surai ikal berwarna hitam, rupa dari seseorang yang dirinya kenali. Tanpa pikir panjang, Seishu langsung mendekatinya dan menyapa pemuda berpostur tubuh jangkung itu. Seishu menarik sudut bibirnya ke atas dengan kegembiraan.

“Koko, right?”

Lantas, sang pemuda itu menoleh setelah menyesap kopi yang ada di dalam gelasnya, nampak keterkejutan yang tercetak di wajah sang rupawan. Pemandangannya menelaah pada sosok Seishu yang tepat berdiri di hadapannya, ia langsung berdiri tegap untuk memastikan apakah sosok ini ialah orang yang telah ia nantikan.

“Seishu.” Lidahnya merapalkan namanya.

I am.” Senyuman itu tak luntur menghiasi wajah Seishu.

Gosh, you’re as beautiful as I imagined.” Tangan Kokonoi sontak bergerak ke atas untuk merapikan poni Seishu dan membentuk sebuah senyuman takjub di wajah berseri.

Thank you.

“Ayo, duduk dulu.” Kokonoi mempersilakan sang atma dengan pesona dewa untuk duduk di sebuah kursi yang ia pesankan khusus untuk mereka berdua. “Cantik. Seishu, lo cantik banget.” rapalnya.

Ssuut. Masa bahasan kita cuman lo doang yang lagi muji-muji gue?” Seishu berdehem walaupun kini semburat merah muncul di pipinya. Kokonoi mengangguk-angguk tanda setuju jikalau Seishu pantas mendapatkan seribu pujian akan kesempurnaan dirinya.

“Gue baru kali ini ketemu orang secantik lo, jadi bikin gue teramat antusias.” balasnya.

Ditatapnya sosok itu dengan lamat penaka sebuah panorama senja yang layak untuk mendapatkan puja. Kulit porselen yang halus bak selembut sutra serta serupa apsara, dan netranya yang memancarkan kedamaian laut. Pasang irinya berbinar dengan ekspresi suka ceria pada sang jelita.

Kokonoi dibuat bertekuk lutut untuk memujanya. Sedangkan Seishu merasakan hal serupa. Tak menyangka bahwa Kokonoi memiliki paras yang elok , membuat dirinya bersikeras untuk selalu menaruh seluruh atensi kepada sosok di hadapannya tersebut.

“Lo juga ganteng banget.” celetuk Seishu.

Thanks, sayang.”

“Ajak jadian dulu kali baru boleh panggil sayang.” Seishu menggerutu dengan nada yang pelan membuat Kokonoi mengerut.

“Iya, Sei, kenapa?”

“Eh! Gak apa-apa kok!”

Kokonoi menghela napas, “mau pesan apa? Pasti capek tadi harus naik bis sendirian, lain kali kalo kita ketemuan gue aja, ya, yang jemput lo? Jadinya gue gak terlalu khawatir, tadi gue khawatir banget tau lo naik bis sendirian.”

Seishu tertawa sumringah dan ia salut kepada Kokonoi yang selalu menatap telak kepada dua netranya kala dirinya maupun Kokonoi berbicara bagaikan menyalurkan seisi atensinya kepada si lawan berbicara.

“Gue suka naik bis kok soalnya enak gak perlu nyetir sendiri, ya walaupun kadang ada gak enaknya juga.” pungkasnya.

“Nah, ‘kan. Nanti pulangnya gue yang antar sampai ke depan rumah lo, gak ada penolakan sama sekali.” tegasnya.

“Iya, Koko. Gak ada alasan bagi gue untuk nolak tumpangan dari lo.”

“Bagus-bagus. Seishu, habis ini mau ke mana? Gue pengen ngabisin seharian ini sama lo—gue pengen selalu natap wajah lo selagi gue bisa berdiri di dekat lo.”

“Hari ini harinya kita, Ko.” Seishu mengulas senyum kembali, saat itu perasaan seperti ini bak lenyap dalam dirinya namun siapa sangka perasaan itu muncul kembali ke permukaan kepada orang yang berbeda.

Seishu selalu terpaku kepada orang yang sama, menganggap kalau kisahnya yang telah berakhir itu tak akan menimbulkan adanya kisah kedua, tetapi rupanya Seishu keliru. Saat ini dirinya baru saja menemukan kisah baru dan meninggalkan kisah haru biru. Walau terdengar begitu cepat untuk kembali jatuh cinta, tapi tak ada yang bisa menampik perasaan cinta yang terbentang seketika. Seishu menyadari bahwa kini atensinya tertuju pada sosok Kokonoi yang memikat hatinya beberapa waktu yang lalu.

“Seishu, gue seneng banget karena bisa merasakan hati yang berujar cinta dan jantung yang berdebar untuk pertama kalinya. Kalo aja sedari awal gue tau cinta itu semenyenangkan ini maka gue akan jatuh cinta sama lo jauh sebelum ini.” Kokonoi meraih tangan halus milik Seishu, menggenggam tangan itu dengan erat seolah tak ada ruang yang tersisa. “Seishu, izinkan gue untuk mencinta lebih dalam lagi. Izinkan gue menorehkan nama lo ke dalam puisi cinta tentang bagaimana gue selalu mengingat cinta yang berarti lo.”

Kokonoi menatapnya tanpa bekedip dan senyuman itu berubah menjadi lebih tulus, hati Seishu menjadi bergemuruh dan merasakan ada ribuan bunga mengisi relung jiwa hampanya.

“Seishu, jangan pernah pergi karena lo sangat berarti.”

...

Langit yang dicat mosaik temaram, menandakan hari telah berganti malam. Hampir sebagian aktivitas manusia berhenti untuk mengarungi dunia mimpi. Ada rasa cinta membuncah yang perlahan mulai kian tumbuh dan akan berlabuh. Siapkah kedua insan terlebut berkelana dalam dunia fatamorgana. Menikmati dunia romansa yang menjadi dua jiwa asmaraloka. Bulan menjadi saksi bahwa keduanya tengah memadu memori. Dihiasi sejuntai senyuman apresiasi.

Dua tangan yang saling berpagutan erat dengan Seishu yang menyenderkan kepalanya pada pundak lebar Kokonoi, sedangkan pemuda lainnya menyenderkan kepalanya di atas kepala Seishu. Keduanya sama-sama menatap langit yang sama jua perasaan hati yang sama. Kokonoi memberikan usapan lembut di tangan Seishu dengan ibu jarinya. Tak ada rasa canggung yang menyelimuti mereka, hanya tergantikan rasa bahagia.

“Hari ini lo seneng gak?” Kokonoi melemparkan pertanyaan.

“Banget, Ko. Seneng banget.”

“Berarti gue juga, gue seneng ngelewatin hari ini bareng lo.”

Can we do this again?” Seishu mendongak untuk menatap rahang tegas Kokonoi dari arah samping.

“Tentu, kita akan selalu melakukan hal kayak gini, selamanya.” balasnya.

“Gue seneng dengernya karena hari ini bukan cuman pertama dan menjadi akhir bagi kita. Ko, thanks for loving me gue harap gue bisa menuhin ekspektasi lo.”

“Hm? Ekspektasi? Gue gak punya ekspektasi apa-apa tentang lo, perasaan cinta gue murni tanpa meminta dan menuntut lo. Hanya saja gue berharap kisah kita gak akan berawal suka dan berakhir duka. Itu aja sih.” Kokonoi menoleh kepada sosok prianya, meninggalkan usapan lembut pada surainya.

“Begitukah?”

“Iya, Seishu.”

Keduanya kembali terlarut dalam suasana damai, kadang mereka saling bersitatap satu sama lain dan saling terpikat pesona. Seishu memajukan wajahnya mendekati Kokonoi, berniat hendak meraih bibir Kokonoi. Namun, dengan sigap Kokonoi meletakkan jari telunjuknya di atas bibir Seishu. Saat ini jarak mereka begitu tipis, ia bisa merasakan hembusan napas Kokonoi yang menerpa wajahnya.

“Gue lagi menahan diri untuk gak mencium lo malem ini, biar gue selalu punya alasan untuk ketemu lo, Seishu.”

Seishu memiringkan wajahnya bingung.

“Alasan?”

“Alasan untuk menjadikan lo sebagai seseorang yang mengambil ciuman pertama gue.”

[]