Kehangatan.
Mitsuya meletakkan ponselnya di atas meja belajarnya, mengedarkan pandangannya ke langit-langit kamar. Pikirannya berkelana tak tentu arah dan dipenuhi ribuan pertanyaan yang menuntut dicarikan jawaban, namun Mitsuya tak kunjung mengerti dari pertanyaan-pertanyaan yang bersarang di otaknya, ia lantas tak tahu langkah mana yang akan ia tuju demo menghasilkan jawaban yang dituntut oleh pikirannya sendiri. Daripada memusingkan isi pikirannya, Mitsuya bangkit dari tempatnya menuju sebuah cermin yang memantulkan refleksi dirinya.
Ekspresi bercampur yang terpatri di wajahnya, lantas ia bahagia sebab Ran akan datang mengunjungi kediamannya dan di sisi lain ekspresi bingung yang ia tampilkan setelah mendapatkan pesan dari Hanma, kakak kelasnya sekaligus kekasih temannya. Ia berkata bahwa Ran sedang tak baik-baik saja, Mitsuya memang tak tahu harus berbuat apa, tapi ia selalu berusaha melakukan yang terbaik.
Ran, sosok yang selalu berada di sisinya di dalam situasi apapun, bahkan kini kedekatan mereka begitu kentara. Mitsuya pun tipikal seseorang yang perseptif, ia sudah menebak dari gelagat Ran kepadanya selama ini dan sudah tervalidasi bahwa Ran mempunyai perasaan yang lebih dari sekadar teman kepadanya, tetapi Mitsuya acuh tak acuh—ia tak ingin bersikap serakah untuk membalas perasaan itu, baginya Ran pantas mendapatkan yang terbaik dibanding dirinya, menjadi sosok teman untuk Ran saja sudah lebih cukup.
Ting!
Bel dibunyikan oleh seseorang di balik pintu depan rumahnya. Sang ibu bergegas membukakan pintu untuknya dan senyumannya lantas merekah menemukan entitas Ran berdiri tegap di depan pintunya. Sosok paruh baya tersebut menyapa Ran dan menyilakannya masuk ke dalam rumahnya. Ran mengangguk dan melangkah masuk ke dalam rumah, tak lupa membalas sapaan wanita tersebut.
“Nak Ran, tadi ke sini naik apa?” tanya sang ibu kepada Ran.
“Naik motor, Bun.” jawab Ran sopan, perlu diketahui—semenjak Ran kerap berkunjung ke kediaman Mitsuya, sang ibu meminta Ran turut memanggilnya Bunda supaya terlihat lebih dekat, sebab Ran merupakan salah satu teman anaknya.
“Ah ... pasti di luar dingin banget, Bunda bikinkan minuman hangat buat kamu, ya? Mana sayang, boleh ke sini sebentar?” Wanita paruh baya tersebut memanggil putri bungsunya untuk menghampirinya, ketika gadis kecil itu hendak menghampiri sang ibu, langkahnya berhenti tatkala menjumpai Ran berdiri di depannya.
“Kak Ran!” Dengan tungkai kakinya yang kecil, ia berlari seraya memeluk Ran.
“Hai, princess. What makes you still awake? Don’t you have school tomorrow? It’s the time you have to sleep.” ujar Ran lembut kepada gadis muda itu.
“Because Mana is waiting for you to come, Kak.” Mitsuya menimpali dari balik punggungnya. Ran tersenyum hangat, suara itu lembut sekali di rungunya.
“Mitsuya ... ” lirihnya.
“I’m here, Kak.”
“Lho, Kakak udah di sini? Tadi Bunda niatnya mau minta tolong Mana buat panggilin Kakak, yasudah ... Kak, tolong ajak Kak Ran ke kamar kamu, ya? Kasian Kak Ran kedinginan habis di jalan tadi, nanti Bunda kasih minuman buat kalian.” titah sang ibu kepada Mitsuya.
“Iya, Bun, makasih banyak. Ayo, Kak.”
Ran berjalan mengiringi kamar Mitsuya yang berada di lantai atas, sebenarnya ada perasaan tak enak hati karena bertamu di tengah malam seperti ini di mana waktunya orang-orang beristirahat, namun keluarga Mitsuya malah menyambutnya dengan hangat, maka dari sini lah alasan itu muncul, hanya di sini Ran merasakan kehangatan tiada tara, pula diperlakukan selayaknya. Ran belum pernah merasakan hangatnya keluarga selain merasakannya dari keluarga kecil Mitsuya.
“Kak Ran bisa istirahat di sini selagi nungguin Bunda bikinin makanan.” ucap Mitsuya dan mengambil tempat duduk di sebelah Ran.
“Thanks.”
Mitsuya menelusuri wajah Ran yang ternyata terdapat lebam dan tanda kemerahan, ia mengutuki dirinya karena baru tersadar apa yang terjadi pada Ran sebab pemuda itu mengenakan setelan yang besar dan topi yang menutup wajahnya. Mitsuya menangkup pipi Ran dan memaksa wajahnya untuk mengarah kepadanya, ia menggigit bibirnya khawatir dengan luka-luka di wajah Ran.
“Kak Ran ... ada apa?” tanyanya.
Bukannya menjawab pertanyaan itu, Ran malah menjatuhkan keningnya di atas pundak Mitsuya dan menghela napas kasar. Mitsuya mengepalkan tangannya di atas pahanya, lalu tangannya bergerak untuk merengkuh punggung lebar Ran.
“I know it’s hard for you, melihat sosok tangguh kayak Kak Ran begini membuat aku paham bahwa sebenarnya hal yang kamu lalui itu sangat berat, but if you don’t want to express up then that’s okay, right? I don’t want to tie you down in the slightest. Kak Ran datang ke sini karena butuh ketenangan, ‘kan? Here you go, aku bakal memberikan rasa itu sebanyak yang Kak Ran butuh supaya Kak Ran bisa kembali baik-baik saja.” Kata-kata bak penenang itu masuk ke rungu Ran dengan lembut, seolah dengan kata-kata itu saja mampu merengkuhnya ke dalam kehangatan. Mitsuya masih memeluknya dengan erat, mengusap surainya perlahan.
“Suya ... ”
“Kalo Kak Ran gak bisa lalui itu sendirian, maka kita lakuin bersama. Kak Ran gak sendirian, selalu ada aku yang jadi penyokong kamu melangkah.”
Ran menghela napasnya, bibirnya bergetar dan rasanya kelopak matanya ingin meneteskan air mata, namun menangis pun sudah tak mampu Ran lakukan. Ia menenggelamkan tubuh besarnya ke dalam pelukan Mitsuya, sembari mengingat hangat dan bau manis dari tubuh Mitsuya.
Tok. Tok.
“Kak, bisa bukakan pintunya untuk Bunda? Bunda bawakan makanan buat kalian.” Suara sang ibunda menginterupsi kegiatan mereka, Ran menjauhkan tubuhnya dari Mitsuya supaya pemuda itu bisa membukakan pintu untuknya Bundanya.
“Sebentar, Bun.” balas Mitsuya, “aku ambil makanan dulu, ya, Kak.”
Ran memejamkan kelopak matanya, keluarga Mitsuya sempurna sekali, pikirnya. Bahkan untuk masuk ke dalam kamar anaknya saja—sang ibu meminta izin terlebih dahulu agar tak menganggu privasi Mitsuya, dan hal kecil yang menarik di keluarga ini ketika mereka datang ke rumah, masing-masing dari mereka melepaskan sepatu mereka dan meletakkan di rak sepatu yang berada di dekat pintu, lalu disusun berdasarkan kedudukan di rumah. Semuanya hidup produktif dan terstruktur sesuai peraturan yang ada di rumah ini. Maka dari itu, keluarga ini begitu hangat dan sempurna. Peraturan yang tak pernah mencekik anggota keluarganya.
Ah, hal itu tak mungkin terjadi di keluarganya. Andai saja Ran tidak hadir di tengah-tengah mereka, mungkin saja keluarga itu akan baik-baik saja.
“Kak Ran.”
“Iya?”
“Dimakan, ya, terus kata Bunda lebih baik Kak Ran nginap aja daripada pulang malem-malem begini. Lagipula, you still need a little time to calm down, right?”
“Gak apa-apa?”
“Tentu!”
“Kalo gitu aku tidur di—”
“Kak Ran boleh tidur di kasur kok ... ” Ran memalingkan wajahnya ke arah lain dan vokalisasinya semakin rendah sebab tiba-tiba saja dirinya menjadi malu dan bersemu setelah mengatakan kata-kata tersebut.
Ran mendengarnya dan menahan gelaknya agar Mitsuya tak semakin tertanam oleh rasa malunya sendiri, “jadi lo mau kita tidur seranjang gitu?” godanya.
“Anu ... aku bisa tidur di kamar—”
“No way, kita tidur bareng di kasur lo, masa gue enak tidur di sini sedangkan lo harus tidur bareng Luna dan Mana. We can share bed together.” ucap Ran. “Janji, gue gak bakal apa-apain lo kok.”
“Eh? Bukan gitu, Kak!”
“Hahaha. Kok blushing tuh.”
“Mana ada!”
Setelah mengobrol sembari menyantap kudapan yang disediakan oleh ibunda Mitsuya, keduanya berbaring di atas ranjang yang sama dengan pikiran yang berbeda. Mitsuya tak menyangka harus tidur di atas ranjang yang sama bersama Ran, rasanya benar-benar memalukan dan juga membuatnya senang. Mitsuya menoleh ke arah samping—di tengah mereka terdapat guling yang memberi batasan kepada keduanya, rupanya Ran masih belum terlelap dan menatap ke langit-langit kamarnya.
“Udah puas liatin guenya? Gue tau kok kalo gue ganteng.” sambar Ran tiba-tiba.
“Pede banget.” balas Mitsuya.
“Suya, makasih atas semuanya, ya? Gue lupa kapan terakhir kali gue merasakan nyaman kayak gini pas sama lo, makanya setiap kali gue lost hal pertama yang gue cari adalah lo, karena hanya sama lo gue merasa hidup.” ujar Ran pelan.
“Senang bisa berarti buat Kak Ran.”
“Dunia ini jelek banget, all the bad things being by on this world. Bahkan gue ngerasa sial kenapa gue harus dilahirkan di dunia ini, lebih baik gue gak usah dilahirkan daripada harus menerima ini semua, but I feel relieved that this world is not always bad, because I’ve met you.” ungkap Ran kepada Mitsuya, ia tak menoleh ke arah samping pun.
“Hum?” Mitsuya bergumam, “why the world is bad because the world accommodates thousands of people with different attitudes, the bad is the main cause, Kak.” jelasnya.
“Then the good bring me to fall.” sambung Ran yang mana membuat Mitsuya menaikkan sebelah alisnya bingung.
“Fall?”
“Falling in love.”
Mitsuya bungkam, ia tak mengerti tetapi kewarasannya mengatakan bahwa lebih baik menutup mulutnya daripada membalas ucapan Ran. Lama tak membalas perkataannya, Ran menoleh ke arah Mitsuya dan mendapati sosok tersebut telah terlelap dengan damai. Ran tersenyum, mengangkat tangannya untuk mengusap surai panjang Mitsuya.
Ran ingin segera menyusul Mitsuya menuju dunia mimpi dan mengarunginya bersama, pun ia terlalu lelah menghadapi lika-liku dunia yang tak kunjung berakhir, hanya di alam mimpi keinginannya bisa terwujud. Lantas itulah mengapa manusia lebih banyak bermimpi agar mendapatkan kebahagiaan yang konon abadi.
Sebelum ia terlelap, Ran membisikan sesuatu pada Mitsuya, “jika terjatuh terasa seperti ini, biarkan aku terjatuh kesekian kali padamu, Mitsuya.”
[]