Mengejar Mentari.
Seishu menarik napas panjang, lalu menghembuskannya ke udara. Jantungnya berdegup lebih kencang daripada sebelumnya, entah mengapa atmosfer yang ada di malam ini membuat pemuda rupawan itu nampak tak tenang, namun ia merasa ada ribuan keyakinan yang tengah menyelimuti dirinya yang memberikankannya tonggak untuk tetap bertahan di tempat tersebut.
Ia membenarkan tata letak surai terangnya yang berperai, wajahnya tak menggambarkan ekspresi apa-apa selain kekhawatiran yang mendominasi. Seishu cukup takut jikalau rencananya tak sesuai dengan apa yang ia harapkan. Malam ini, malam yang akan menjadi saksi perjumpaan antara Seishu dan Kokonoi kembali setelah munculnya friksi yang dialami oleh mereka. Kejadian itu menyebabkan Seishu dan Kokonoi tercerai-berai, tanpa melakukan komunikasi satu sama lain meskipun hati mereka sama-sama menjerit rindu.
Rupanya ada ego yang melambung tinggi, sebelum ego itu diluluh-lantahkan oleh Seishu. Seumpama mereka tak luput dari ego masing-masing, mungkin hubungan yang pernah mereka bina tak akan terpagut lagi. Seishu tak menginginkan hal itu terjadi, ia terlampau jatuh cinta pada sosok Kokonoi dan tak ingin melepaskan genggaman pada Kokonoi.
Cukup sekali ia pernah merasa kehilangan dan tak untuk kedua kali.
Seishu ingin bersujud di bawah kaki Sanzu sembari melemparkan juntaian kalimat terima kasih kepadanya karena sudah membantu Seishu untuk bertemu dengan Kokonoi, Seishu menduga bahwa Kokonoi akan terkejut dengan kehadirannya di sini. Di lubuk hatinya ia berharap agar Kokonoi masih mau meluangkan waktunya untuk berbincang dengannya dengan dalih membenarkan benang merah yang kusut.
“Gue kangen Koko ... ” Ia bermonolog dalam hatinya, mengirimkan seenggok rindu kepada sang empu hati.
Perihal cinta kepada Kokonoi, Seishu tak mampu menjabarkannya menggunakan kata-kata, terlalu banyak dan besar mengalahkan besarnya semesta. Lidahnya kelu saat membeberkan perasaannya, hingga hal itu membuahkan masalah baginya. Tanpa ia sadari, langkahnya yang salah telah membuat Kokonoi terluka. Tak ada satupun lagi yang mengisi ruang di hati Seishu, seolah ruang yang rumpang itu hanya boleh ditempati oleh Kokonoi, sekalipun orang itu Mitsuya.
Seishu tak pernah berpaling kepada Mitsuya, bukan tengah menampik realitas namun itulah faktanya. Ia sudah tak mencintai Mitsuya lagi, satu-satunya yang kini Seishu cintai adalah Kokonoi. Bagi siapapun yang mengira dirinya masih mengharapkan kasih Mitsuya maka semua itu salah, sebab hatinya saat ini hanya bisa menampung sosok Kokonoi. Maka dari itu, permintaannya bertemu dengan Kokonoi malam ini untuk membongkar seluruh isi hatinya agar Kokonoi tahu.
Namun, momen saat Seishu masih mengarungi lamunannya, eksistensi seseorang di hadapannya membuatnya terinterupsi dan lamunannya seketika buyar. Seishu mendongak untuk mencari tahu siapa pemilik siluet orang tersebut.
“Seishu.” ujar seseorang itu.
Seishu terperanjat melihat sosok itu lagi hadir di hadapannya seolah-olah pemuda itu dapat berada di masa saja. Seishu berdecih tak suka, “Mitsuya.”
Pemuda bersurai keunguan itu menyunggingkan senyum tulus dan mengambil tempat duduk di dekat Seishu, padahal Seishu tak memintanya untuk menempati tempat yang kosong tersebut. Seishu menggulirkan matanya malas, ia sedang tak berada di dalam suasana hati yang bagus. Melihat sosok Mitsuya membuat dirinya meledak-ledak.
“Kamu ngapain di sini? Mana sendirian.” tanyanya kepada Seishu.
“Seharusnya aku yang nanya begitu, kenapa kamu di sini?” Bukannya langsung menjawab, Seishu malah balik bertanya kepada Mitsuya.
“Kebetulan mau ke tempat ini dan gak nyangka bakal ketemu kamu.” balas Mitsuya sembari terkekeh ringan.
“Kebetulan apa kamu emang ngikutin aku ke sini, Mitsuya?” Laksana di tengah-tengah mereka berubah seketika kala Seishu melemparkan suatu pertanyaan pada Mitsuya yang membuat pemuda itu bungkam tak berkutik.
Masa menegangkan itu bertahan hingga beberapa sekon, lalu Seishu kembali angkat bicara sambil menatap kedua obsidian Mitsuya dengan lamat.
“Kali ini maumu apa lagi, Mitsuya?” tanyanya.
Terlihat Mitsuya tengah menghela napas gusar, “masih sama seperti sebelumnya. Aku lagi berusaha dapetin hati kamu lagi, karena aku mau mengulang masa lalu bersama kamu, Seishu. Aku mau membangun hubungan kita secara lebih baik lagi. Aku memang punya ribuan salah ke kamu, tapi aku udah tersadar untuk memperbaiki diriku menjadi yang terbaik dibanding sosok Mitsuya di masa lalu. Kenapa kamu selalu menghindari itu? Kenapa kamu gak kunjung ngasih aku kesempatan kedua? Aku yakin kita bisa memperbaikinya sama-sama.” Tiba-tiba saja Mitsuya menggenggam kedua tangan Seishu yang terletak di atas meja, tatapanya berubah sayu saat menatapnya.
“Mitsuya ... ” Seishu menarik napas dan menghembuskan perlahan, “cukup dan sudahi semuanya. Aku udah gak bisa ngasih kamu kesempatan untuk kesekian kalinya, meskipun di masa depan nanti kita berubah menjadi lebih baik namun bukan berarti kita harus saling kembali. Hubungan kita di masa lalu kurang menyehatkan, Mitsuya, seharusnya kamu sadar itu. Aku gak bisa menerima kamu lagi, tolong hargai keputusanku.”
“Apa semua ini karena Koko?”
Pertanyaan itu membuat Seishu sempat terkesiap, ia heran bagaimana Mitsuya mengetahui sosok Kokonoi.
“Bukan hanya perihal Koko, tapi ini perihal kita yang emang pada dasarnya udah gak bisa bersama lagi. Biarpun gak ada Koko, aku tetep gak bisa kembali lagi sama kamu. Ini sudah jadi takdir untuk kita berdua, Mitsuya. Kamu harus terima itu.”
Keduanya sama-sama terdiam dengan pikiran masing-masing, Mitsuya menunduk sembari menatap tangannya yang menutupi tangan mungil Seishu. Hangatnya tak lagi dapat mendekap Seishu, pula dekapnya tak dapat membuat hati Seishu berdegup. Sebab ruang yang dulunya diberikan untuknya telah tergantikan oleh sosok baru. Bukankah Mitsuya menyadari itu semua? Bagaimana sorot mata itu tak seteduh saat mereka masih menjalin asrama, bagaimana tutur kstanya tak sehalus bak dahulu.
Mitsuya seharusnya sadar bahwasanya ia tak dapat menggapai bintang kala dirinya berpijak di atas tanah. Patutnya Mitsuya sadar jika di atas sana ada bulan yang mengambil peran untuk menyinari sang bintang. Ia tak berperan apa-apa lagi ketika dirinya sudah terhempas di tanah.
Mitsuya hanyalah pijaran udara yang tak mampu merengkuh bintang.
“Cukup, ya? Jangan jadikan aku alasan satu-satunya kamu bisa bahagia, karena ada banyak hal di sekitar kamu yang bisa membuat kamu lebih bahagia.”
“Seishu, aku udah gak bisa maju, ‘kan?”
...
Kokonoi merengut heran tatkala Sanzu mengirimkan situs lokasi kepada dirinya tanpa mengatakan sepatah kata pun. Ia yang masa itu tengah berada di luar bergegas mengikuti jalur lokasi tersebut dan berhenti pada sebuah kafe minimalis namun berdesain cukup elegan. Alisnya menukik naik karena terheran mengapa ia harus berada di tempat ini.
Namun, ia tetap melangkah masuk mengikuti instingnya. Takut-takut Sanzu memerlukan bantuannya, kala kedua tungkainya sudah menggeretnya masuk ke dalam, pertama kali yang ia dapati adalah presensi sosok yang sangat ia kenali.
Seishu dan sosok masa lalunya, Mitsuya.
Kokonoi mendecih, bukannya menjauh dari tempat itu justru ia berjalan mendekat menghampiri dua sosok pemuda yang sedang bergenggaman tangan secara kontras. Ia menyunggingkan seringainya dengan kedua tangan ia masukan ke dalam saku hoodie yang ia kenakan. Menatap dua sosok itu dengan angkuh.
“Gimana? Kalian berdua udah balikan?” ujarnya terkesan menyindir. Tatapannya setajam belati yang siap menghunus siapa saja, hatinya tiba-tiba mengeluarkan alunan pilu melihat adegan itu terpotret jelas di kepalanya.
Seishu terkesiap mendengar vokalisasi Kokonoi yang muncul tiba-tiba di hadapannya, Seishu langsung menarik tangannya dalam genggaman Mitsuya, berdiri tegap mengimbangi Kokonoi.
“Koko, nggak—”
“Sekarang lo seneng udah balikan sama mantan lo, Seishu?” sahutnya.
“Ini nggak seperti apa yang lo lihat, Ko. Gue sama Mitsuya gak balikan!”
“Shut the fuck up, liar.” sinisnya. Tak ada ekspresi yang tercetak di paras Kokonoi, rahangnya mengeras dan giginya yang bergemelatuk. Emosi Kokonoi hendak meledak melihat itu, sedangkan Seishu menahan dirinya agar tak meloloskan air mata keluar dari pelupuknya.
“Gak ... ”
“Gue udah bener-bener muak sama lo.”
Kokonoi membawa tungkainya pergi dari hadapan mereka berdua, Mitsuya yang masih berada di situ hanya diam seraya menunduk. Tak tahu harus bersikap senang atau bingung dengan situasi seperti ini. Seishu menyapu air matanya yang lolos membasahi pipinya, ia berlari cepat mengejar sosok Kokonoi yang hampir hilang dari pandangannya. Suara stiletto yang Seishu kenakan menggema di rungu Mitsuya, sosok itu beranjak pergi dari tempat asalnya. Melihat itu bak menyaksikan sebuah serial drama; di mana sang semesta tengah mengejar sang mentari. Keduanya benar-benar dinyatakan oleh cinta. Mitsuya seperti ditampar, Seishu tak lagi cinta kepadanya.
Sedangkan Seishu bersusah payah mengejar laju Kokonoi di depannya, ia tak peduli dengan rasa perih di telapak kakinya gara-gara stiletto yang ia gunakan. Bagian terpentingnya adalah ia bisa menghampiri Kokonoi sebelum sosok itu benar-benar pergi. Kokonoi tiba-tiba berhenti melangkah dan spontan Seishu menghentikan laju tungkainya tak jauh di belakang Kokonoi.
Tangisan sudah tak dapat ia bendung, ia takut harus kehilangan Kokonoi. Seishu tatap punggung itu dengan nanar, walaupun Kokonoi sudah berhenti berjalan ia masih enggan untuk berpaling padanya.
“Kenapa lo ngikutin gue—”
“KARENA GUE CINTA SAMA LO, KOKO. GUE CINTA BANGET SAMA LO!” teriak Seishu nyaring dengan isak tangis.
Kokonoi terperanjat mendengar teriakan Seishu ditambah suara itu terdengar gemetar. Walau demikian, Kokonoi masih tak kunjung berbalik ke belakang untuk melihat keadaan Seishu. Jujur saja, hatinya masih terasa nyeri saat melihat tangan Mitsuya menggenggam tangan yang seharusnya menjadi miliknya. Seishu melangkah tertatih menghampiri punggung Kokonoi dan setelahnya memeluk tubuh Kokonoi dari belakang.
“Semua isi hati gue hanya ada nama lo, Ko. Gak ada orang lain yang bisa mengambil posisi itu di hati gue. Semuanya gue persembahkan hanya untuk lo; hati, jiwa, dan raga gue itu milik lo. Karena gue bener-bener cinta sama lo, gue sayang sama lo, gue suka sama lo saat pertama kali kita bertemu. Gue selalu berharap suatu saat lo dan gue menjadi kita, gak ada Mitsuya di tengah-tengah hati gue, Ko. Dia cuman peran di masa lalu gue, gak ada yang spesial dari gue untuk dia. Kalo gue gak move on dari Mitsuya, gak mungkin sampai hari ini gue masih mencintai lo. Gue gak lagi bohong, Ko ... gue lagi pengakuan perihal perasaan tulus gue ke lo.”
Kokonoi hanya diam sembari mendengarkan penuturan halus Seishu, lara yang sempat mendera di hatinya perlahan terlepas dari belenggu tergantikan dengan sepucuk euforia yang berterbangan di hatinya. Rengkuhan hangat itu menjadi penguat hati Kokonoi, hati kecilnya berujar bahwa Seishu sedang mengutarakan kejujurannya.
“Koko, jangan pergi ... jangan biarin cinta kita mati ... ” Tangisan Seishu kembali pecah, kedua tangannya yang melingkar di pinggang Kokonoi menjadi gemetaran.
“Gue sungguhan minta maaf ... gue gak bermaksud nyakitin lo. Gue cinta banget sama lo, Ko.” racaunya.
Kokonoi menarik sudut bibirnya ke atas, apakah ini akhir dari ego mereka, meruntuhkan segala dinding yang menjulang tinggi. Lalu, Kokonoi mengangkat tangannya untuk mengusap tangan Seishu yang bertengger di sana.
“Maaf, Seishu. Maaf karena gue terlalu mencintai lo.” Kokonoi melepaskan pelukan Seishu yang langsung membuat Seishu kalang kabut, tapi tatkala Kokonoi menatap dengan tatapan sayu dan lembut, Seishu sedikit lebih tenang. Tangannya mengusap surai Seishu yang tergerai. Menghapus bekas air mata yang tersisa di pipi kemerahannya, di matanya Seishu masih sangat elok seperti biasanya.
“Gue percaya sama lo, Seishu.”
Seishu menghambur pelukan ke dalam tubuh Kokonoi, ia mendekap Kokonoi dengan begitu erat seolah tak ingin melepaskannya pergi. Seishu baru saja mengungkapkan perasaannya pada Kokonoi, walau ia sempat membuat pemuda itu kecewa dan parahnya terluka karena dirinya, tapi di lubuk hatinya tetap tertoreh nama Kokonoi. Meskipun ia berada di dekat Mitsuya, nama itu masih terpatri di dalam hatinya.
Ia tak lagi mencintai Mitsuya, bahkan sejak awal ia tetap memilih Kokonoi kendati Mitsuya berusaha menggoyahkan hatinya. Keputusannya sudah begitu bulat ketika Mitsuya menunjukkan tanda-tanda untuk memintanya kembali. Ia memang salah karena masih berurusan dengan Mitsuya dan terbayang-bayang dengan sosok masa lalu meski hatinya teguh pada Kokonoi.
Hal itu dapat membuat Kokonoi terluka jua. Sekarang Seishu ingin berlari mengejar Kokonoi tanpa berbalik ke belakang.
Sebab ia hanya mencintai Kokonoi.
“Koko, I really love you, I love you so much, I really mean it.”
Kokonoi tersenyum lebar seraya membelai pipi kemerahan itu dengan lembut.
“I know, I love you too.”
[]