Miliknya.

Baji menghentikan laju motor kesukaannya tepat di depan area kampus Chifuyu, banyak sekali pasang mata menatap ke arahnya ketika pemuda bersurai legam itu melepaskan helmnya dan membiarkan surai panjangnya tergerai diterpa angin. Tatapannya tajam meneliti ke setiap figur yang lewat di hadapannya. Ia sudah berkata kepada Chifuyu jikalau ia akan menjemput pemuda itu pulang. Setiap kali mahasiswa maupun mahasiswi yang bersitatap dengannya akan berbisik pada teman yang ada di sampingnya.

Mungkin merasa asing dengan presensi Baji yang sangat kontras di tengah-tengah mereka, pula pakaian yang ia kenakan begitu mencorak. Rahangnya yang tegang, benar-benar fitur rupa yang rupawan. Chifuyu baru saja keluar dari kampusnya bergandengan bersama Kazutora. Netra keduanya berhenti pada sosok Baji yang tengah duduk di atas motornya.

Tak sengaja tatapan antara Kazutora dan Baji bertemu sebelum Kazutora memalingkan wajahnya ke arah lain. Ia belum bisa untuk menerima kehadiran Baji lagi, melihat rupanya terpampang bak membuka luka lama yang belum sepenuhnya terobati. Chifuyu menyadari perubahan ekspresi sang teman, ia menggenggam tangan itu dengan erat.

“Maaf bikin kamu ketemu dia.” ujarnya lembut dan memancarkan ketulusan dari sorot sepasang irisnya.

Kazutora tersenyum canggung lalu menggeleng, “gak apa-apa, kamu pulang dijemput sama dia?”

“Iya.”

“Hati-hati, ya.” tutur si pemuda bersurai panjang. Sungguh, tak ada rasa marah yang hinggap apabila Chifuyu memilih untuk tetap bersama Baji, lagipula itulah tujuan utama Kazutora melepaskan tuntutannya pada Baji. Semuanya sudah jelas tercetak di kenyataan, bagaimana cintaya Baji kepada Chifuyu ketimbang dirinya.

“Kamu pulang sama siapa?” tanya Chifuyu kepada Kazutora yang masih enggan menatap Baji, sedangkan pemuda itu justru bungkam tak ingin membuka suara walau sekadar menyapa Chifuyu atau Kazutora.

Ia sadar diri karena menjadi penyebab kedua orang itu terluka lara.

“Naik—”

“Dia pulang sama gue, Chi.” Tangan kekar seseorang tiba-tiba bertengger di atas pundak Kazutora, menarik tubuh ringkih itu ke dalam rengkuhannya.

Hanma Shuji. Mahasiswa jurusan DKV yang sedang dalam misi mengejar Kazutora. Ia memamerkan senyuman lebar karena berhasil menemukan eksistensi Kazutora. Sebenarnya sudah cukup lama Hanma menaruh atensi kepada Kazutora, berbagai cara ia lakukan demi dapatkan atensi Kazutora tetapi banyak caranya gagal sebab Kazutora waktu itu lebih memilih Baji.

Namun, saat ini Kazutora sedang terluka, ada ruang yang tengah rumpang di hatinya. Di situlah harapan baru muncul di benak Hanma, ia bersedia menjadi penawar dan bagian yang mengisi kehampaan di lubuk hati seorang Kazutora. Tatapan pemuda bertubuh jangkung itu mendapati sosok Baji yang tengah terjengit melihat perilakunya kepada Kazutora.

Ada tatapan bengis yang ia perlihatkan, akan tetapi Hanma lebih memilih untuk diam dam lebih merapatkan rengkuhannya. Hanma sadar Kazutora sedang menahan sesuatu di dalam dirinya agar tidak membuncah keluar.

“Lo pulang sama gue, ‘kan, Zut?” ujar Hanma, ketika Kazutora hendak layangkan protesan lagi-lagi Hanma menghentikannya.

“Gak—”

“Yuk, pulang sekarang nanti lo pulangnya kesorean.” Sebelum beranjak dari tempat mereka berdiri, Hanma sempat berujar sesuatu kepada Chifuyu dan Baji. “Duluan, ya? Kasian pacar gue kalo pulangnya kemaleman, nanti sakit lagi kayak kemarin, cukup hatinya aja fisiknya jangan sampai sakit juga.” Lalu sosok itu membawa Kazutora pergi dari tempatnya.

“Dadah ... ” celetuk Chifuyu pelan.

Chili menarik napas kasar dan menghembuskannya. “Kak Baji.”

“Eh? Chifuyu, hai.” ujarnya kikuk sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

“Ayo pulang, aku capek.” titahnya langsung.

Baji mengangguk mengindahkan permintaan dari sang pujaan, saat Chifuyu telah memasang helm-nya, Baji memasangkan pengait helm yang Chifuyu kenakan seraya menarik sudut bibirnya ke atas untuk membentuk senyuman lembut. Setelah itu, tangannya menjalar ke atas pipi berisi Chifuyu dan memberikan usapan-usapan yang teramat lembut.

“Ayo.”

Chifuyu langsung naik ke atas motor Baji dan menyembunyikan wajahnya yang tiba-tiba bersemu akibat perbuatan Baji yang spontan. Jantungnya kembali menghasilkan debaran anomali. Ia sekuat mungkin mengulum bibirnya agar tak membentuk senyuman, Chifuyu sangat benci kepada Baji karena ia tak dapat sepenuhnya membenci sosok itu setelah kejadian hari itu. Bahkan perasaannya untuk Baji masih sama seperti sedia kala.

“Pegangan, Chi. Nanti kamu jatuh, soalnya anak kucing terlalu ringan dibawa.” pinta Baji lalu diiringi dengan kekehan ringan.

“Maumu.” Tapi, Chifuyu menurutinya. Ia lingkarkan tangannya pada pinggang Baji dengan erat, ia dekap lagi sosok itu untuk kesekian kalinya. Mempertontonkan pagutan dirinya pada Baji untuk seluruh semesta yang tengah memasang netra untuk menyaksikan asmaranya.

Baji rasakan hangat dalam dekapannya, sungguh rindu dengan sosok yang menjadi bagian di dalam ruang hatinya. Baji ingin seluruh semesta tahu bahwa Chifuyu lah yang sangat ia cintai, sosok yang selalu melumpuhkannya dengan cinta. Ia tak mencintai Chifuyu dengan sederhana, ia mencintai Chifuyu apa adanya, ia luruhkan segala ego dan usahanya untuk menggenggam Chifuyu di dalam hatinya.

Baji tak akan berhenti mengejar hingga ia dapat sepenuhnya berlabuh di tempat di mana semestinya.

Dan tempat itu bernama Chifuyu.

Andai waktu bisa berhenti berdetik agar ia bisa mengabadikan kenangan ini di dalam benaknya, merasakan rasa hangat itu lebih lama lagi. Merasakan jantungnya yang berdebar tak karuan seraya bercerita suka.

...

Tak ada hari tanpa mencintai Chifuyu, setiap harinya Baji habiskan untuk menanam benih-benih cinta di hatinya. Chifuyu bagaikan mentari untuk menerangi setiap ujung hidupnya, pula bak embun pagi yang selalu menyejukkan hati, berakhir pada malam hari menjadi rembulan yang bersinar terang untuk menuntun genggam tangannya menuju kembali pulang.

Pulang pada sebuah rumah yang selalu ingin ia tempati, Chifuyu.

“Mau masuk dulu?” tawar Chifuyu ketika keduanya telah menapaki langkah di perkarangan rumah Chifuyu yang sepi.

“Gak apa-apa?” tanya Baji meyakinkan.

“Kalo kamu mau sih gak apa-apa.” balasnya Chifuyu.

“Aku izin mampir ke rumah kamu dulu, ya? Ada banyak yang mau aku bicarain ... ”

“Oke.” Chifuyu mengajak Baji untuk masuk ke rumahnya, seperti biasa rumah itu nampak sepi sebelum kehadiran mereka untuk menghapus kesunyian tersebut.

Orang tua Chifuyu tengah mengarungi dunia kerjanya masing-masing, sama seperti orang tua Kazutora. Mereka yang semasa kecilnya membutuhkan afeksi terpaksa harus merangkak sendiri untuk beranjak dewasa. Orang tua Chifuyu pribadi yang lembut, walau tak banyak mempunyai waktu luang pada sang anak semata wayang, mereka masih memperhatikan pertumbuhan anak itu agar suatu saat menjadi pribadi yang luar biasa baik. Sedangkan Kazutora tidak, ia tumbuh dengan dirinya sendiri tanpa atensi maupun afeksi. Tumbuh hingga dewasa yang perlahan membuatnya terbiasa bahwa sebenarnya afeksi itu tak pernah ada.

“Sebentar, ya, kak. Aku mau ganti baju dulu di kamar.” ujar Chifuyu yang meninggalkan Baji seorang diri di ruang tamu, pemuda itu mengangguk sebagai balasan lalu beralih mengusap kucing hitam milik Chifuyu.

“Peke J ... ” Baji mengusap bulu halus milik kucing itu tetapi tatapan tak suka yang ia dapatkan, “makin galak aja lo gue liat-liat. Lo tau gak kalo gue sayang banget sama majikan lo. Saking cintanya kalo dia minta seluruh dunia pun pasti gue jabanin, apa sih yang gak buat Chifuyu?”

“Gimana kalo aku minta Kak Baji pergi dari hatiku, apa kamu bakal mau?”

Baji sontak terkesiap mendengar suara dari arah belakang tubuhnya; suara milik Chifuyu. Baji langsung menggeleng tak setuju, apabila permintaan Chifuyu demikian maka ia tak akan bisa mengindahkannya. Ia sangat mencintai Chifuyu, ia tak ingin membayangkan harus beranjak pergi dari hati Chifuyu.

“Gak ... aku gak bisa.” jawab Baji pelan.

Chifuyu terkekeh mendengarnya lantas mengambil tempat duduk di samping Baji.

“Kalo aku minta kamu jadi milikku, gimana?” ujarnya lagi.

Baji ternganga, masih memproses perkataan yang masuk ke dalam rungunya. Kesadarannya seperti ditarik dari dalam dirinya seketika, wajahnya menampak seperti orang yang kehilangan kewarasannya. Baji tak tahu apakah Chifuyu sedang bergurau atau sebaliknya.

“Chifuyu ... ?”

“Jawabannya mau apa gak?”

“Kamu serius?”

“Kamu mau aku bercanda?”

Baji langsung menggeleng keras, ia tatap obsidian kembar itu untuk mencari kebenaran di dalam sorotnya. Dan bagusnya, ia tak menemukan kebohongan yang terpancar seolah-olah Chifuyu tengah serius dengan ucapannya.

“Seperti yang Kakak bilang tadi, bahkan dunia pun bakal aku kasih kalo perihal cinta ke kamu, Chifuyu. Menjadi milik kamu itu satu-satunya keinginanku saat ini. Aku benar-benar bahagia.”

Chifuyu mendekatkan dirinya pada tubuh Baji, ia mengangkat sebelah tangannya untuk membelai fitur wajah Baji yang menunjukkan kebahagiaan tiada tara. Chifuyu dapat mengetahui itu dari bagaimana Baji memandang dirinya. Bak ada pengaruh yang tengah merasuki dirinya, ia dengan sengaja mendaratkan bibirnya di atas bibir Baji. Menjauhkan dirinya dan mendapati ekspresi keterkejutan yang tercetak di wajah Baji. Ia tak mampu berkutik apa-apa, serta kini wajah keduanya sama-sama berseri.

“Maka jadikan aku sebagai milikmu, Kak.”

[]