Neverending.

Seishu harus menelan ludahnya tatkala berada dalam kecanggungan yang mendominasi di dalam sebuah mobil yang ia masuki. Di sana terdapat Seishu, Sanzu, dan Rindou. Ia tak akan menyangka bahwa Sanzu kerap membawa Rindou bersama mereka pada agenda jalan-jalan yang direncanakan oleh Sanzu sebelumnya. Mendapati ketidaknyamanan yang terpatri di rupa Seishu, Sanzu menggaruk tengkuknya yang tak gatal karena merasa tak enak hati kepada teman barunya tersebut. Seishu pasti merasa canggung perihal beberapa kejadian, ditambah spekulasinya terhadap Rindou yang juga tak suka kepadanya gara-gara pernah mengecewakan Kokonoi.

“Seishu, maaf ya ... gue gak dibolehin sama Rin kalo jalan sendirian.” ucapnya pelan.

Seishu menggeleng sebagai jawaban awal, “gak apa-apa kok.”

Pemuda bersurai keunguan itu menangkap gelagat Seishu yang duduk di jok belakang. Rindou menghela napasnya pelan, menatap kaca spion yang menyorot ke arah belakang di mana Seishu berada.

“Santai aja, Sei, gue gak seperti apa yang lo pikirin kok.” ungkap Rindou tiba-tiba.

“E-Eh, iya, Rindou.”

“Okay! Sekarang kita pergi! Nanti keburu telat sampai di sananya.” ajak Sanzu yang teramat antusias, Rindou tersenyum melihat kekasihnya yang terlihat bahagia. Tanpa ia sadari tangannya terangkat untuk mengelus pipi Sanzu dengan lembut.

Tentu, pemandangan itu disaksikan langsung oleh Seishu, ia hampir berteriak histeris melihat adegan romansa yang tayang secara nyata tepat di hadapannya. Seishu merasa kehadiran dirinya di antara Sanzu dan Rindou seperti orang ketiga yang menganggu kegiatan dua pemuda itu. Sedangkan Sanzu terbelalak kaget, semenjak mereka menjalin hubungan bersama Rindou kerap sekali pemuda itu melakukan sesuatu yang romantis, bahkan sekarang lebih sering memperlakukannya bak pangeran kerajaan yang harus diayomi begitu baik. Sentuhan-sentuhan Rindou berubah menjadi lebih lembut dan penuh akan cinta, tak seperti sebelumnya.

“Ekhm.” Seishu berdehem seraya membuyarkan adegan itu.

“Seishu! Maaf, maaf. Rin, ih! Nanti aja bucinnya ‘kan lagi ada Seishu.” tegur Sanzu dengan pipi yang bersemu kemerahan.

“Maaf ya, Sei, kebiasaan soalnya.” timpal Rindou yang terbahak melihat Sanzu.

“Emang tujuan kita mau ke mana?” Seishu melemparkan pertanyaan kepada dua orang itu, ia masih bingung ke mana mereka membawa dirinya. Melalang buana bak tanpa arah yang jelas.

“Nanti lo juga tau.” balas Rindou.

Pemuda itu menginjak pedal gas membelah kerumunan malam. Sanzu itu pandai dalam bercakap dan bersosialisasi, ia selalu membangun berbagai macam topik untuk dibicarakan oleh mereka sehingga Seishu merasa nyaman bersamanya, pun Rindou yang perilakunya sangat berlawanan dengan saudara tertuanya, Ran. Walaupun mereka saudara namun keduanya jelas berbeda, Rindou sedikit lebih tenang dan minim bicara. Ia lebih banyak mendengarkan terlebih cerita yang berasal dari Sanzu. Terkadang Rindou menanyakan perihal perkuliahan mereka, sebab Rindou dan Seishu berada di dalam jurusan yang sama.

Sekitar 25 menit membelah malam bersama kedua temannya, mobil itu berhenti di sebuah gedung yang menjulang tinggi bak gedung pencakar langit. Seishu menaikkan sebelas alisnya heran mengapa mereka bertiga berhenti di tempat ini. Ia tahu betul tempat apa ini, gedung alias hotel berbintang yang cukup tersohor di kota Jakarta. Saat mereka berjalan masuk menuju gedung tersebut, Seishu menghentikan langkah kakinya. Sanzu termenung dan menoleh ke arah Seishu.

“Kenapa, Sei?” tanyanya.

“Kenapa kita ke sini ... ” Keraguan itu tiba-tiba terpatri kembali di paras eloknya.

“Nurut aja, oke? Gak bakal ada yang jahatin lo di sini kok, kalo pun ada nanti biar gue hajar orangnya.” ujar Sanzu untuk meyakinkan Seishu yang masih ragu.

“Bukan gitu ... ”

“Gak apa-apa.”

Sanzu menarik lengan Seishu dan membawa pemuda itu memuju lift yang akan mengantar mereka ke tempat yang mereka tuju. Rindou menekan angka 15 pada lift tersebut membuat Seishu tercengang, rupanya hotel yang ia pijaki memiliki 15 tangga dan entah berapa ketinggian dari hotel ini. Genggaman tangannya pada Sanzu begitu erat seolah tak ingin terpisah dari Sanzu. Pintu lift telah terbuka rupanya tujuan mereka adalah rooftop dari hotel tersebut. Manik obsidiannya menelaah sekitaran tempat itu yang tak ada penerangan sedikit pun, hanya diterangi oleh cahaya bulan.

Netranya menangkap ada sebuah panggung yang dihias sedemikian rupa, pula ada satu meja dan dua kursi yang tersusun tak jauh dari panggung. Seishu menatap manik kembar Sanzu dan Rindou bergantian, tatapannya tersorot ribuan pertanyaan dan minta kejelasan dari ini semua. Namun, yang ia dapatkan hanya segaris senyuman. Sanzu menghampiri Seishu dan menggenggam kedua pundak Seishu sembari menatapnya lamat.

“Bakal ada sesuatu di sini, tapi gue harap lo jangan panik, ya? Pegang ucapan gue, gak akan ada yang jahatin lo di sini, gue yang menjamin keselamatan lo jadi jangan khawatir. Gue minta lo satu hal untuk nutup mata lo pakai ini.” Sanzu mengambil secarik kain dari dalam saku celananya, menyerahkan kain itu kepada Seishu.

Mendengar kalimat tutup mata membuat Seishu semakin ketakutan, entah mengapa ada pikiran negatif yang menyergapnya. Bagaimana jika Sanzu dan Rindou sedang berencana untuk membunuhnya karena telah melukai sahabat mereka. Seishu tak mudah percaya begitu saja. Kepalanya menggeleng rancu, ia tak mau melakukan itu. Jikalau ia tahu bahwa tujuan mereka tak ada kejelasan seperti ini, mungkin Seishu akan segera menolaknya.

Meskipun mereka bukan berada dalam dunia fiksi kriminal, tetapi tetap saja Seishu memiliki pikiran negatif terhadap pasangan itu. Sanzu mengusak surai terang Seishu dengan amat lembut, menenangkan pemuda itu agar dapat berpartisipasi.

“Tenang aja, Sei. Gue gak mungkin ngelakuin hal buruk ke lo yang ada kepala gue yang ditebas sama si onoh.” timpal Rindou.

“Mau, ya? Lebih cepat lebih baik.”

“Yaudah ... ”

Sanzu membantu memasangkan kain tersebut untuk menutup netra Seishu, tangannya masih bertengger di kedua pundak Seishu. “Nanti di saat lo denger suara, lo boleh buka penutup mata lo.”

“Sanzu, lo mau ke mana?!” tanya Seishu yang semakin dibuat panik karena mendengar derap langkah Sanzu dan Rindou yang semakin menjauh dari rungunya. Seishu menggigit bibirnya ketakutan, pikiran negatif itu masih ada memenuhi isi kepalanya walau Sanzu sudah berusa untuk meyakinkannya.

Tiba-tiba ada derap kaki yang terdengar di rungunya, diiringi suara mic yang dinyalakan. Seishu berpedar mencari sumber suara tersebut. Seseorang berdiri di atas panggung sembari memperhatikan gerak-gerik Seishu dengan matanya yang tertutup, bibirnya membentuk senyuman tulua melihat sosok itu hadir di hadapannya. Ia memegang mic yang telah menyala di mic holder yang sudah diatur sesuai tinggi badannya.

Sosok itu masih belum membuka mulutnya, ia masih ingin memandangi panorama indah itu. Siluet Seishu yang bersinar sangat terang bak hamparan bintang, di bawah langit yang ditemani rembulan. Figur itu merupakan ciptaan terindah yang pernah ia lihat.

“Hai, Seishu.”

Saat namanya dirapalkan oleh seseorang melalui mic, Seishu terkesiap sebab ia seperti mengenali sang empu suara. Seishu hanya mengantupkan kedua bibirnya menunggu suara itu datang lagi.

“Sekarang lo boleh buka penutup matanya and come to see me.” titahnya.

Dengan rasa penasaran yang menggebu-gebu, Seishu melepaskan kain itu yang melingkar di kepalanya. Betapa terkejutnya ia kala melihat entitas Kokonoi di hadapannya sembari menyapanya dengan senyuman hangat, pemuda itu dibaluti pakaian kasual yang terlihat menawan di tubuhnya. Visualisasi Kokonoi malam ini benar-benar luar biasa, pemuda itu terlihat sangat rupawan. Seishu tak berkutik bahkan lidahnya cukup kelu untuk berujar.

Miss me?” ujarnya lagi. Senyuman itu bahkan tak luntur menghiasi wajahnya, Seishu sungguh merindukan sosok itu. Sosok hangat yang diperlihatkan Kokonoi hanya kepadanya.

“Koko ... ” ujarnya gemetar.

Wait and see, okay? Gue mau nunjukin ke lo sesuatu.” pinta Kokonoi padanya.

Musik tiba-tiba dilantunan dan menggelegar di seluruh penjuru rooftop, netra Seishu tak luput dari presensi Kokonoi di atas sana, ia ingin memperhatikan Kokonoi lebih lama lagi. Seishu memiringkan kepalanya menunggu pertunjukan yang Kokonoi ingin perlihatkan kepadanya. Ia cukup kenal dengan instrumen lagu itu dan saat itu juga Kokonoi membuka mulutnya untuk menyanyikan lagu tersebut.

Lagu yang berjudul, My Universe, Kokonoi tengah menyanyikan itu untuknya. Suara yang damai itu melapalkan setiap bait lagu dengan sangat indah. Bukan pertama kali baginya mendengar suara Kokonoi saat bernyanyi, tapi ini pertama kalinya Seishu mendengar dan menyaksikan Kokonoi bernyanyi secara eksplisit di hadapannya. Membawakan lagu yang cukup romantis.

Seiahu tak dapat membendung euforia yang membuncah di hatinya. Saking bahagianya melihat itu tanpa ia sadari air mata bercucuran dari pelupuk matanya.

I fly to you every night. Forgetting that it’s just a dream. I meet you with a smile. Never ending forever, baby.

Saat bait itu dinyanyikan, Kokonoi menatap ke lubuk sorot matanya. Seolah tengah menyalurkan perasaannya kepada Seishu melalui tatapannya.

What light me up are. Stars adorned with love made of you. In my universe, you. Make another world for me. Because you are my stars and my universe. These hardships are just temporary. Just shine as bright as you shine now. We will follow you to adorn this long night.

Bagi Kokonoi, Seishu itu adalah bintang yang bersinar terang di langit. Anggap saja Seishu itu seperti bintang Antares di konseltasi Scorpio. Meskipun Antares bukan bintang yang paling bersinar terang, tetapi ia lebih bersinar dari bintang biner yang menjadi pendampingnya.

I fly with you. When I’m without you, I’m crazy. Please hold my hand.

Kokonoi menggenggam kedua tangannya dan mengangkatnya ke depan.

We are made of each other, baby.

Seishu menyeka air matanya yang sempat membasahi wajahnya, setiap bait yang Kokonoi nyanyikan kepadanya seperti membawanya kembali ke mana mereka bertemu dan menghabiskan waktu singkat bersama-sama. Masa-masa itu sangat indah dan ingin Seishu abadikan selamanya di dalam hatinya. Lagu telah berakhir, Kokonoi beranjak turun dari panggung dan tiba-tiba semua lampu menyala, tempat yang awalnya cukup gelap sekarang berubah jadi terang benderang. Seishu dapat melihat sekitarnya yang dihias sangat indah.

“Seishu.” Kokonoi berdiri di hadapan Seishu, mengangkat tangannya ke atas untuk mengusap pipi Seishu dengan jarinya. Seishu menatap sosok itu dengan tatapanya yang menyayu, serta wajah yang berseri-seri. “Semua ini emang rencana gue. Mungkin lo bingung kenapa Sanzu tiba-tiba ngajakin lo ke sini tanpa alasan, tapi itu semua karena gue yang minta.”

“Tapi kenapa? Kenapa lo lakuin ini semua?”

“Karena gue suka sama lo.” jawabnya tegas.

“Bukannya lo gak—”

“Sampai kapapun gue selalu suka sama lo, Seishu. Gue udah terlanjur secinta ini sama lo, yang gue butuhkan cuman kejujuran perasaan lo ke gue dan akhirnya gue udah dapetin itu semua. Makanya lebih baik kita akhiri ini semua, ‘kan?” Vokalisasi itu sangat tenang dan tenteram.

Akhiri? Mungkinkah Kokonoi ingin mengakhiri hubungan mereka saat ini juga? Padahal hubungan mereka belum dimulai tapi harus diakhiri hari ini. Seishu tak lagi berucap, ia tengah menahan air matanya yang ingin keluar. Ia tak ingin menangis lagi di hadapan Kokonoi. Ia harus siap menyandang keputusan Kokonoi.

Kokonoi masih setia mengusap wajah Seishu, bak menoreh lukisan di atas kanvas yang sangat bersih. Dari sudut mana pun, Seishu terlihat sempurna dan artistik. Ia pantas dipamerkan di ajang pameran sebagai pemegang ciptaan terbaik di seluruh semesta, semua orang berhak memujanya.

“Koko, kalo itu mau lo gue gak ada hak buat melarang lo ... ”

Lagi-lagi pemuda bersurai legam itu tersenyum.

“Iya, gue ingin mengakhiri ini. Gue ingin mengakhiri ketegangan di antara kita, gue ingin menghapus kecanggungan di antara kita, gue ingin mengikis jarak yang membentang di antara kita. Gue ingin menggenggam lo lebih erat lagi. Itu yang gue mau di antara kita, Seishu. Biarlah masalah itu menjadi pelajaran yang bisa kita petik untuk menjadi lebih baik di masa yang akan datang nanti. Gue gak akan pergi dari lo, Seishu, kapanpun gak akan pernah. Karena cinta gue ke lo udah terlalu dalam.”

Kokonoi menarik kedua tangan Seishu untuk ia genggam begitu erat, menyalurkan perasaan mereka ke masing-masing hati membiarkan semesta menjadi saksi atas cinta yang mereka bangun dari awal.

“Jadi ... ayo jadi milik gue seutuhnya? Gue emang bukan tipikal cowok romantis, tapi gue berusaha untuk membangun hubungan kita menjadi fantastis. Kita sama-sama berjuang demi hubungan kita, ‘kan? Ayo akhiri masalah itu dan rajut benang baru untuk kita. Be my forever love, Seishu, can you?

Tak dapat ia bendung lagi tangisannya, ia menubrukkan badannya pada Kokonoi, ia tumpahkan seluruh tangisannya di dalam pelukan Kokonoi. Seishu amat bahagia, ia merasa semesta selalu memantaskan untuk mendapatkan segala hal. Kokonoi terlalu baik kepadanya sehingga harsa itu tumbuh semakin besar di dalam jiwanya. Seperti menemukan orang yang selama ini ia cari, Seishu berhasil merengkuh orang itu di dalam dekapannya. Seseorang yang selalu mengerti dirinya, seseorang yang menerimanya apa adanya padahal sosok itu sungguh luar biasa.

“Koko, gue mau!” jawabnya setengah teriak.

From now on until forever, there’s no ending between us. You’re gonna be my one and only lover. My heart always belongs to you, because we meant to be.”

I will always forever love you, Koko.”

Me too, cantik.”

Kokonoi menangkup rahang Seishu dan perlahan mengikis jarak di antara mereka. Sengaja membenturkan bilah bibir mereka satu sama lain, Kokonoi memagut ranum Seishu dan langsung dibalas oleh sang empu. Mereka saling merengkuh tak ingin dipisahkan barang sedetik pun. Berhenti untuk berlayar melalang buana tanpa arah dan kini menetap dan berlabuh. Memperbaiki benang kisah cinta mereka yang pernah kusut didasari oleh cinta.

Seishu dan Kokonoi pada dasarnya memang ditakdirkan untuk bersama.

Ciuman mereka terlepas dan diiringi oleh kekehan dari masing-masing, dua pemuda yang tengah jatuh cinta sehingga lupa pada eksistensi orang-orang yang menyaksikan pertunjukan mereka di tengah-tengah sana. Ran memulai bertepuk tangan riuh dan diikuti oleh Sanzu. Padahal sejak awal mereka melihat itu semua, namun tak ada niat untuk mengganggu mereka. Membiarkan Kokonoi dan Seishu menikmati waktu mereka untuk saling mengungkapkan.

“Kalian liat?!” Seishu terperangah.

“Semuanya, kita lihat.” jawab Ran santai.

Wajah Seishu langsung memanas karena malu, tetapi hal itu dihentikan oleh Kokonoi yang memeluk pinggangnya.

“Makasih banyak ya semuanya, makasih udah mau bantu gue sama Seishu.” ujar Kokonoi pada semua temannya.

“Gak masalah, Ko. Kita seneng-seneng aja bantu lo berdua.” balas Rindou.

Sanzu datang untuk memeluk Seishu dengan sangat erat, ikut terharu melihat Seishu dan Kokonoi akhirnya menemukan takdir indah mereka. “Selamat, Seishu!!”

“Makasih banyak, Zu. Gue terlalu banyak ngerepotin lo.” ungkapnya pelan.

“Lho gak apa-apa kok!”

Saat pelukan mereka terlepas, seseorang datang dari arah belakang Seishu. Sanzu melihat orang itu dan mengangguk padanya.

“Hai, beautiful Seishu.” panggilnya.

Suara itu. Seishu berbalik dan matanya langsung terbelalak melihat dua sosok yang sangat ia kenali. Seishu menggenggam tangan Koko lebih erat dan Kokonoi berusaha menenangkannya bahkan raut ekspresi Kokonoi tak berubah sama sekali meskipun telah melihat sosok itu lagi.

“Mitsuya ... ”

“Kaget? Aku dateng ke sini gak ada maksud apa-apa kok, aku dateng ke sini hanya sebagai teman kamu. Dan aku mau bilang, selamat. Selamat karena sudah menemukan orang yang baik untuk hidup kamu. Aku turut bahagia.” ujarnya dengan vokalisasi lembutnya.

Seishu mengangguk sembari tersenyum, akhirnya ia bisa menganggap Mitsuya sebagai temannya tanpa ada embel-embel masa lalu lagi sebab hubungan mereka telah lama berakhir. Tak ada yang bisa dipertahankan dalam hubungan mereka.

“Terima kasih, Mitsuya.”

“Sama-sama.”

Namun, tiba-tiba saja Kazutora menghampiri Seishu dan menangkup pipi Seishu dengan ekspresi yang sulit diartikan. Matanya berbinar melihat sosok Seishu pada malam ini. Ia sungguh merindukan sosok Seishu yang bahagia seperti ini.

“Jelek! Lo harusnya bahagia kayak gini bukan kayak kemarin-kemarin tau gak?!”

“Iya, Zut, iya ... ”

“Gue juga seneng liat lo udah bahagia.”

Seishu mengusap punggung Kazutora, menyalurkan kalimat-kalimat terima kasih yanh banyak pada pemuda itu karena selalu ada untuknya. Ia sangat menyayangi Kazutora dan ia juga berharap perihal yang sama; Seishu ingin Kazutora bahagia.

Kokonoi mengajak Seishu ke pembatas rooftop sama-sama memandangi langit yang sama sembari bergandengan tangan. Keduanya terlampau bahagia dan saling mencinta.

Seishu, the tales of us is neverending, if we’re already at the ending line, then I’ll make a new better ending as long I’m with you.

Ungkap Kokonoi pada akhir narasinya.

[]