Poisoned.

Explicit sexual content, Rindou!top, Sanzu!bot, boys love, anal sex, blow-job, whore word usage.

Rindou abai pada panorama yang ditunjukkan oleh entitas pemuda berjenama, Sanzu Haruchiyo. Pemuda dengan perawakan tubuh yang memikat siluet Rindou dalam rantai belenggu. Sanzu yang mengingkan sebuah cerita yang dibalut dalam lakon cinta. Baginya, sosok Rindou diibaratkan bak cahaya purnama yang menyoroti dirinya kala ditelan gema.

Sanzu tak mempunyai alasan yang sulit untuk dimengerti mengapa dirinya begitu jatuh cinta terhadap pemuda di hadapannya, Haitani Rindou. Semuanya mengalir tanpa diminta dan secara tiba-tiba. Namun, dibalik perasaan itu Sanzu lebih mengharapkan di mana ia bisa berada di bawah kukungan dominasi Rindou.

Dewi Fortuna tengah berpihak kepadanya sebab malam ini Rindou memintanya untuk datang ke unit pribadinya secara cuma-cuma, meskipun pemuda itu memiliki maksud tertentu, tak lain dan tak bukan ialah mengerjakan tugas proyek yang diberikan oleh dosen mereka. Sialnya, Rindou harus menerima Sanzu sebagai kawan kelompoknya, kelompok yang hanya diisi oleh dua orang.

Rindou berkutat pada laptop yang menyala di hadapannya, sesekali membenarkan tata letak kacamatanya yang bertengger di hidung bangirnya. Setiap pergerakan Rindou tak luput dari pasang iris Sanzu. Ia begitu mendambakan Rindou yang menaruh seluruh atensinya kepada laptop dengan pakaian kasual, menurutnya malam ini Rindou semakin terlihat panas. Tak ada yang memulai obrolan di antara mereka, diselimuti ketenangan dan suara deru napas masing-masing.

“Rin.” celetuk Sanzu dengan vokalisasi rendah, pemuda itu mengeluh bosan.

Rindou mendongak namun kembali mempusatkan atensinya pada laptop dan tak berniat membalas perkataan Sanzu.

“Rin.” ulangnya sekali lagi.

Rindou mendengus, terpaksa ia harus mengalihkan atensinya kepada sosok Sanzu yang meringkuk di atas ranjang milik Rindou dengan netra yang memancarkan kejenuhan. “Kenapa?” balasnya.

“Kamu bener-bener mau diemin aku kayak sekarang ini? Do nothing and just pay attention to you while doing that shits. Rin, I came here not only for that, make me a little more worthwhile. Can you?” Sanzu bangun dari posisinya dan menata Rindou dengan lamat.

“Apa yang berguna dari sosok Sanzu Haruchiyo? Totally worthless.” Rindou menyunggingkan seringainya kepada Sanzu, walau perkataan Rindou terdengar kasar, namun baginya perkataan itu membuat Sanzu tertantang dan mulai menyukai situasi yang kian berubah.

Sanzu merangkak maju dengan telapak tangan dan lututnya bak seekor anjing yang menghampiri majikannya. Mendekati Rindou yang tengah duduk di sebuah kursi yang mengarah pada ranjang. Sanzu menarik sudut bibirnya ke atas dan Rindou selalu memperhatikan setiap gerak-geriknya. Ia tak menampik sebuah fakta bahwa Sanzu tengah memikatnya dalam juntaian tali birahi. Ia tahu betul gelagat yang diperlihatkan oleh Sanzu kepadanya.

Worthless?” Sanzu menarik tangan kanan Rindou sehingga jari-jarinya yang semula berada di atas papan ketik kini berada di dalam genggaman Sanzu. Kedua pundak Rindou beringsut turun, ia hanya menyaksikan tanpa suara. “Kalau aku melakukan ini, apa aku masih gak berguna, Rin?” Pemuda dengan surai panjang berwarna merah muda itu tengah menjilati jari-jari Rindou.

Whore.” tukas Rindou sarkastik.

Daging basah tak bertulang itu sibuk melecehkan jari milik Rindou sehingga tiga jarinya basah akan air liurnya. Sanzu justru bangga dengan keberaniannya saat ini, melihat Rindou yang diam tak berkutik membuat dirinya semakin menjadi-jadi. Tatapan Rindou tertuju pada Sanzu yang tengah menjilati jarinya, ia suka melihat pemandangan itu. Lantas, detik berikutnya Sanzu memasukkan dua jari Rindou ke dalam mulutnya, mengeluar-masukkan jari itu bak sebuah lolipop kesukaannya.

Tubuhnya bergerak erotis, tatapannya sayu dan mulutnya terbuka lebar. Rindou masih memagari dirinya agar tak bergerak brutal kepada Sanzu. Gurat wajahnya mulai nampak di sekitar pelipis, tangannya terangkat untuk mencengkram tengkuk Sanzu. Menahan pemuda itu untuk tetap bertahan pada kegiatannya.

“Rin, I can do it more than this.” Pemuda bersurai panjang itu melenguh, tubuhnya mengenjang kala Rindou mulai mengikuti irama permainannya.

“Tunjukkan kalau kamu benar-benar berguna buat saya, Sanzu.” titahnya mutlak.

Rindou menjauhkan laptop yang semula berada di pangkuannya pada nakas yang berada di dekatnya. Sanzu turun bertekuk lutut di hadapan sang dominan, dengan netra seterang permata yang mensyaratkan sebuah kopulasi birahi. Tangannya bertengger di atas paha kekar Rindou, sedangkan wajahnya mendekati ereksi Rindou yang masih terbalut pakaian.

“Mau ini ... boleh?” Sanzu melemparkan pertanyaan kepadanya.

Rindou mengangguk untuk menjustifikasi permintaan Sanzu. Ia bukanlah sosok munafik yang akan menampik perasaan yang mulai bersemayam di dalam dirinya. Sanzu telah menghantarkan perasaan eksentrik yang membuat hasrat seksualnya  naik hingga ke bagian puncak. Sanzu menggunakan giginya untuk menarik ritsleting celana Rindou, mengeluarkan batang kepemilikan sang empu.

Sanzu meneguk lidahnya susah payah sebab dirinya terlampau tercengang namun terpukau dengan ereksi Rindou yang mengacung melawan gravitasi telak berada di hadapannya. Kepalanya sedikit mendongak untuk membalas tatapan sang dominan kepadanya. Tatapan setajam bilah belati yang mengikis keberaniannya.

“Lakukan yang terbaik, mon chéri.

Mendapat sejuntai pujian tulus dari Rindou membuat Sanzu terbakar gelora gairah. Tak ingin membuat Rindou kecewa dan menunggu terlalu lama, Sanzu memasukkan batang ereksi Rindou ke dalam mulutnya. Siap untuk memberikan servis terbaik kepada Rindou. Pemuda bersurai keunguan tertegun kala merasakan miliknya hangat yang bersarang di mulut Sanzu. Rindou tak berniat ikut campur dalam permainan Sanzu, ia menunggu Sanzu untuk menampilkan permainan terbaiknya malam ini. Sebab Sanzu lah yang memulainya.

Sanzu melenguh dalam kegiatannya, ereksi yang menyumpal seluruh rongga mulutnya tak membuat Sanzu hanya diam. Ia justru mengeluarkan vokalisasi yang lebih sensual agar Rindou semakin bernafsu. Lidahnya bergerak piawai melecehkan ereksi Rindou, menari-nari serta menjilati ereksi itu dengan senang hati. Rindou mengepalkan tangannya pada surai Sanzu yang dibiarkan tergerai. Rindou menggeram rendah tanda ia menyukai mulut Sanzu yang memanjakan miliknya.

“Masukan lebih dalam, Sanzu Haruchiyo. Gunakan mulutmu itu untuk memuaskan miliku. Bukankah ini yang kamu idam-idamkan sedari lama? Sekarang kamu sudah mendapatkannya, maka lakukan dengan benar. Jangan membuat saya kecewa karena kamu memang tidak ada gunanya.” Saat Sanzu mengeluar-masukkan ereksi Rindou ke dalam mulutnya, Rindou menahan tengkuk Sanzu agar miliknya tetap berada di dalam tenggorokan Sanzu. Deep throat.

Napas Sanzu tercekat sebab tenggorokannya penuh dengan ereksi Rindou, netra seterang safir itu mulai meneteskan air mata. Ia memohon pada Rindou agar melepaskan tangannya pada tengkuknya, namun rupanya Rindou menyukai pemandangan ini; di mana Sanzu merengek dengan keadaan yang mengenaskan. Rindou melepaskan tangannya pada tengkuk Sanzu, lalu tertawa sumringah mendapati Sanzu yang tersengal mengais napas sebanyak mungkin. Ia mengusai surai panjang itu dengan lembut.

“Bagus, sayang.” ucapnya.

Sanzu melanjutkan kegiatannya dengan mengeluar-masukkan ereksi Rindou, ia ingin Rindou memuntahkam cairan putihnya di dalam mulutnya, sebab hal itu akan semakin membuatnya bangga. Rindou kembali menggeram, sedangkan Sanzu melenguhkan namanya.

Cumming out ... on my mouth, Rin.” ujarnya terbata. Rindou mengindahkan permintaan itu. Selang beberapa menit kemudian, Rindou mengeluarkan putihnya di dalam tenggorokan Sanzu. Kembali menahan tengkuk sang loka agar menelan habis seluruh cairannya.

Rindou mengantup rahang Sanzu agar mulutnya tertutup dan tak setetes pun cairannya keluar sia-sia dari dalam mulut Sanzu. Rindou berdecak kagum dengan sosok yang ada di bawah kekuasaannya ini, nampak mengenaskan namun jua panas. Mulut yang basah akan cairan miliknya, surai panjangnya yang menutupi paras rupawannya, dan tatapan sayunya.

“Suka, ‘kan?” Rindou menarik tangan kiri Sanzu, membubuhkan ciuman kupu-kupu di atas punggung tangannya.

“Suka! Suka banget. Can you make me feel that too on ... on my hole.” Sanzu memelankan suaranya pada baris terakhir ucapannya. Netranya menyapu pada pemandangan yang lain agar tak bersitatap dengan netra Rindou.

Pathetic, Sanzu. Pikiranmu terlalu kotor dan hanya memikirkan perihal seks.”

Walau berkata demikian, Rindou mengangkat tubuh ringkih itu ke atas pangkuannya. Kedua tangannya bergerak untuk melucuti satu-persatu balutan benang yang menutupi tubuh erotis Sanzu. Sanzu berpagut pada bahu lebar Rindou, ia membelai leher jenjang Rindou yang menarik perhatiannya. Sirkulasi udara di antara mereka mulai menipis, namun perasaan birahi lah yang membuat mereka sesak dan tergesa untuk melakukannya.

Tubuh Sanzu kini polos tanpa sehelai benang sekalipun, ia memamerkan tubuh porselen tanpa cacat sedikit pun. Rindou mengedarkan pandangannya pada tubuh Sanzu, ia menyapu bagian leher hingga belakang telinga Sanzu dengan lidahnya. Meninggalkan ciuman intens di atas kulit sehalus kanvas milik Sanzu. Ia membuat tanda kepemilikan yang berwarna merah keunguan di atas kulit itu. Menandai Sanzu bahwa pemuda itu menjadi miliknya malam ini. Tak mau merasa kalah, Sanzu menciptakan ruam kemerahan atas tanda nafsu seksualitasnya.

Ssh ... ” Sanzu melenguh kala jari Rindou menelusuri lekuk tubuhnya. Ia membenamkan wajahnya pada leher jenjang Rindou, mengeluarkan suaranya yang gemetar tepat di samping rungunya.

“Jangan menyesal karena melakukan ini bersama saya, Haruchiyo.”

Rindou menuntut ereksinya yang masih tegak menegang di bawah sana, ia mulai memasukkan miliknya ke dalam senggama Sanzu tanpa memberikan stimulasi apapun. Walau saat ini lubang senggama Sanzu basah, namun ia butuh penetrasi lebih agar dapat menampung milik Rindou di dalamnya. Akan tetapi, Rindou rupanya tipikal pemuda yang tak terlalu mengidamkan sebuah pemanasan awal dan sedikit mengulur waktu.

Sanzu mendesis ngilu, ia menancapkan kuku-kukunya di punggung Rindou. Rasanya ngilu meskipun Rindou belum memasukkan miliknya sepenuhnya. Sepasang obsidian safir itu mengantup, ia membukakan mulutnya untuk meredam rasa sakit itu. Sedangkan Rindou seolah tak memperdulikannya, ia masih keukeuh memasukkan miliknya dalam sekali hentakan. Tangan kekar Rindou mencengkram pinggulnya erat, menurunkan tubuhnya supaya menelan habis ereksinya di dalam pusat tubuhnya.

“Rin ... pelan-pelan.”

Bukannya mengindahkan permintaan sang submisif, Rindou langsung menghentakkan pinggulnya ke atas dan berhasil menenggelamkan miliknya ke dalam liang Sanzu, otomatis Sanzu menyerukan nama Rindou dengan nyaring dan pelupuk matanya mulai mengeluarkan air mata. Ia meringis dalam tangis, Rindou bergerak brutal. Tak membiarkan lubang Sanzu beradaptasi terlebih dahulu.

“Bukankah ini yang kamu mau?”

Ah!

Rindou menumbuk miliknya tanpa ampun dan tanpa celah sedikit pun. Walau Sanzu memohon untuk bergerak pelan, Rindou malah bergerak sebaliknya. Cepat dan brutal. Rasa ngilu yang awalnya menyapa senggamanya kini berubah menjadi nafsu yang menjadi-jadi. Ia memagut bibir Rindou untuk melakukan ciuman intens bersama, Rindou menerima ciumannya. Tatapan Rindou terpaku pada pana asmara yang memoar di entitas Sanzu. Ia bak terpikat pesona atraktif sang submisif.

Begitu pula dengan Sanzu, ia seperti mengarungi dunia fiksi yang semuanya hanya berupa delusi. Kendatinya tak pernah membayangkan untuk berada di bawah kekuasaannya Rindou. Pikirannya melambung di atas langit tuk menyisihkan sikap apatit. Bahwasanya malam ini bukanlah fragmem mimpi melainkan yang akan menjadi sebuah filosopi.

Gerakan Rindou tak kunjung melambat, ia masih menghentakkan miliknya dengan kuat. Sanzu ikut andil untuk menggerakan pinggulnya berlawanan arah. Ia mendongak ke atas dan mendorong tengkuk Rindou untuk mengempu dadanya. Rindou memasukkan puting Sanzu ke dalam mulutnya; melakukannya layaknya sedang mengais air susu dari puting Sanzu, namun ia berakhir menggigit puting itu dengan erat.

Plak.

Suara tamparan andil mendominasi ruangan ini, Rindou menampar pipi bokong sintal Sanzu dengan kuat sehingga menimbulkan ruam kemerahan. Sanzu dibuatnya gila, tak menyangka untuk kesekian kalinya bahwa Rindou ialah sosok dewa. Rindou mencumbu bibir Sanzu yang membuatnya apiun. Ia menyesap sepanjang tulang selangka Sanzu, tak lupa membubuhkan lebih banyak tanda cinta.

“Rin ... aah ... ”

You’re soaking all wet, chère.

I wanna ... cum.”

Sanzu merapalkan nama Rindou Haitani di sela-sela desahannya, ia bertekad bahwa Rindou satu-satunya atma yang membuatnya jatuh dan berakhir patuh akan setiap titah yang ia berikan. Ia mencintai setiap hal yang Rindou lakukan kepadanya. Ujung ereksi Rindou berulang kali mengenai prostat Sanzu sehingga pemuda itu menggelinjang, tubuh Sanzu mulai terkulai lemas tak berdaya. Dinding rektumnya menjepit batang ereksi Rindou dengan erat. Sentakan demi sentakan semakin brutal untuk mengejar kepuasan masing-masing. Sanzu mendekap punggung Rindou dengan erat, napas tersengal Rindou menerpa kulit lehernya.

Hingga pada hentakan terakhir, Sanzu berhasil mencapai putihnya yang mengotori tubuh keduanya, sedangkan Rindou masih menghujami senggamanya dengan ereksinya tersebut. Rupanya pemuda bersurai keunguan itu masih meraih putihnya. Kedua tangan Rindou menangkup pipi bokong Sanzu, tak memberikan ampunan pada Sanzu baik untuk menarik napas pun.

Ssh ... ”

Gerakan Rindou masih sama rancu, berkali-kali mengenai titik ekstasinya. Tubuh Sanzu masih sangat sensitif akibat pencapaian pertamanya, tetapi Rindou belum kunjung datang. Tatapan menelisik itu bak menghardik Sanzu, setelah lima hentakan berikutnya Rindou mengeluarkan cairan ejakulasi di dalam lubang Sanzu. Ia ingin lubang Sanzu menelan habis semua cairannya, maka dari itu Rindou tak kunjung beranjak.

Sanzu melenguh panjang dan berakhir menyebut nama Rindou dengan vokalisasi yang melemah.

“Rindou ... ”

“Hm?” Rindou berdeham, ia meletakkan dagunya di atas bahu Sanzu, mendambakan bau citrus yang memoar dari tubuh Sanzu.

Thank you? Thank you for having sex with me, because this is what I’ve been dreaming of. You’re not bad as anyone think about.” Sanzu bergelayut manja di leher Rindou dan ia juga mencuri satu ciuman pada bibir pemuda itu.

Rindou mengusap punggung Sanzu secara kordial. Menarik sudut bibirnya ke atas untuk menyunggingkan senyuman tulus. Ia sedikit membenarkan surai Sanzu yang mencuat agar netranya dapat menyaksikan pahatan sempurna tersebut. Melakukannya bersama Sanzu tak membuatnya menyesal, ia juga menyukainya walau perasaan itu sebatas ada di atas ranjang.

It’s my pleasure.”

Sanzu duduk di atas nakas yang berhadapan langsung dengan jendela yang menampilkan panorama langit mosaik temaram. Ia menyalakan penatik untuk membakar batang cerutunya. Sanzu tak terbalut dalam helaian benang, semilir angin yang masuk melalui jendela terbuka tak membuatnya kedinginan. Netranya setia menatap sang dominan dengan lamat. Rindou kembali berkutat dengan aktivitas sebelumnya, menyelesaikan tugas kelompok mereka.

Kepulan asap yang memenuhi ruang tak membuatnya terusik, Sanzu mengulas senyuman lebar memperhatikan sosok yang beberapa jam lalu menggempurnya habis-habisan. Rindou telah mengenakan pakaiannya, namun Sanzu enggan melalukan hal yang sama. Bertelanjang di hadapan Rindou membuatnya tersipu.

“Rin, gak mau nge-rokok juga?” sambar Sanzu dengan pertanyaan retoris.

“Gak suka nikotin.” jawab Rindou singkat.

“Rasanya enak, bisa bikin kamu candu. Yakin gak mau nyoba juga?” Sanzu menghembus asapnya di samping wajah Rindou dengan niat menggoda pemuda itu.

Rindou mengendik bahu acuh, tetapi netranya tertanam ke arah Sanzu. Ia mensejajarkan rupa mereka dan ia berujar tepat di hadapan bibir Sanzu.

“Lubangmu jauh lebih membuat saya candu, Sanzu Haruchiyo.”

[]