REPUGNANCE
Langit biru yang tak seterang kemarin pertanda kota hendak diguyur hujan hari ini. Angin bertiup kencang membuat langkah Kenma terhuyung. Perihal tubuhnya yang semakin ruai seolah sudah tak mampu menahan beban di dalam dirinya, bahkan hanya dengan terpaan angin sudah membuat tungkainya melambat melangkah. Namun, hati serta raganya tak gentar untuk tetap beredar maju. Setelah turun dari pemberhentian bis beberapa menit yang lalu, ia harus berjalan setidaknya setengah mil untuk sampai ke tempat tujuannya dengan mengapit sebuah wadah di tangannya.
Kotak makan siang untuk Kuroo.
Ia pun tak mengerti mengapa ia melakukan hal seperti ini tanpa diketahui oleh siapapun, hatinya tergerak untuk melakukan itu. Kenma merindukannya, bahkan teramat sangat. Akan tetapi belum ada kesiapan untuk melihat pemuda itu secara gamblang, sebab setiap kali melihat netra legamnya—Kenma hanya melihat gambaran kesalahan dirinya di masa lalu kepada Kuroo. Menyaksikan itu membuat luka di hatinya menganga lebar.
Kenma mengakui bahwa dirinya yang salah, ia yang menyulut sumbu api terlebih dahulu, ia yang pergi meninggalkan Kuroo tersungkur di masa lalu. Membuat pemuda itu terombang-ambing dalam lika-liku. Lantas, mengapa Kenma merasakan sakit seperti ini padahal ia sendiri yang memutuskannya. Kenma tak mengerti dirinya sendiri.
Akankah rasa sakit karena Kuroo tak mencintainya lagi? Atau kah sakit akibat menyiksa dirinya sendiri dengan keputusan yang pernah ia buat? Semuanya hanya rancu. Ia menyalahkan dirinya sendiri dan tak mampu memaafkan dirinya karena membuat Kuroo terpuruk beberapa tahun yang lalu, perasaan itu semakin menumpuk di inti jiwanya.
Berjuta penyesalan yang tertumpuk dan luka yang semakin mendera tak akan menghapus semua kesalahan yang sudah lama terjadi.
“Kuroo, jika kita punya waktu bahkan sedikit pun untuk berbicara perihal masa lalu, biarkan aku menjelaskan semuanya kepadamu.” Kenma bermonolog dengan netra yang terpancar ke atas langit.
Kenma menggenggam erat kotak makan yang ia bawa, jantungnya berdegup adrenalin, perasaan ini sama seperti yang ia rasakan sebelumnya. Ketakutan itu masih ada, tetapi keinginan untuk menuntaskan rindunya jauh lebih besar. Namun, sontak tungkainya berhenti tatkala melihat sosok Kuroo yang tengah berbincang dengan seseorang. Kenma dapat melihat entitas Kuroo yang dibaluti jas hitam sebab Kuroo menghadap ke arah ia berdiri.
Persekon kemudian, Kenma menyaksikan saat Kuroo menghambur pelukan ke sosok bersurai terang dengan begitu erat, senyumnya lebar sumringah mengisyaratkan bahwa ia sedang bahagia bertemu dengan sosok itu. Kenma melihat setiap inci pemandangan tersebut. Ketika pelukan mereka terlepas, Kuroo memajukan badannya agar mencumbu sosok itu dengan halus dan penuh kasih sayang.
Bak ada bunyi retakan di dalam hatinya, retakan itu menghasilkan rasa sakit yang meremat seluruh hatinya. Kenma merasakan matanya memanas seolah ia hendak menangis hanya dengan melihat itu. Sekujur tuburnya bergetar hebat membuat ia tak mampu bergerak menjauh, tenaganya luruh tak menyisakan sedikitpun. Seseorang itu masuk ke dalam sebuah taksi setelah Kuroo membukakan pintu untuknya.
Tiba-tiba tatapan keduanya bersitatap, Kuroo langsung merubah gurat wajahnya menjadi datar kala sorot matanya tak sengaja menyapu pemandangan ke arah Kenma. Tungkainya yang panjang bergerak menghampiri Kenma, sedangkan Kenma langsung panik dan ingin lari dari tangkapan netra Kuroo. Namun, semuanya telah terlambat, Kuroo mencekal pergelangan tangannya dengan sangat kuat sehingga tangannya terasa nyeri sebab kuatnya kepalan tangan Kuroo yang besar.
“Kozume Kenma.” pungkasnya.
Kenma tak menjawab, lidahnya kelu untuk berujar. Ia bahkan hanya menunduk setelah ketangkap basah oleh Kuroo sekadar untuk menemuinya. Suara Kuroo terdengar berat di rungunya, dingin dan menikam. Sebenarnya Kenma sangat takut berada di dekat Kuroo yang seperti ini. Telah hilang kilatan yang berbinar setiap kali mereka bertukar pandangan, kini tatapan itu tajam menusuk ke dalam relung hatinya.
“You sure look horrible.” sinis Kuroo seraya memamerkan seringai.
“K-Kuroo ... ”
“Buat apa lo ke sini? Mau nunjukin ke gue kalo lo sangat baik-baik aja setelah apa yang terjadi enam tahun yang lalu? Atau lo tengah berlagak semuanya akan sama seperti sedia kala walaupun lo pernah lari. Egois sepertinya biasanya, huh?” ungkapnya dingin, kepalan tangannya masih menggenggam pergelangan tangannya begitu kuat.
Kenma sungguh tak mampu berucap sepatah kata pun setelah mendengar juntaian kalimat yang dilontarkan Kuroo. Rasanya semakin menyakitkan mendengar fakta-fakta mengenai kebencian Kuroo terhadap dirinya dari orang itu langsung.
“Gue nyesal kenapa dulu kita pernah kenal, gue sangat menyesali kenapa saat itu kita terjalin dalam suatu hubungan yang berakhir sampah. Jangan harap semuanya akan terlihat sama lagi, Kozume Kenma. Gue jauh lebih bahagia saat ini tanpa hadirnya diri lo, karena menurut gue lo udah lama mati.” tikamnya dengan kalimat. Bola matanya menggulir ke bawah untuk melihat sesuatu yang dibawa oleh Kenma ke mari, “jangan pernah kasih gue makanan lo lagi, ngerti? Gue gak sudi makan makanan dari lo. Jangan kebanyakan cari muka karena gue gak akan pernah maafin apa yang pernah lo lakuin ke gue.”
Kenma susah payah menahan bendungan air mata yang memforsir untuk dikeluarkan, Kuroo melepaskan cekalan di tangannya sebelum beralih mengangkat dagunya ke atas agar pandangan mereka bertemu. Kenma melihat sudut bibir Kuroo yang terangkat; tersenyum mengintimidasi kepadanya.
“You’re so damn great at escaping.”
Setelah melontarkan kalimat tersebut, Kuroo meninggalkan menjauh. Kenma menatap punggung lebar yang perlahan menghilang dari sorot netranya. Tak lama kemudian, hujan mengguyur perkotaan dengan lebatnya, semakin mendramatisir apa yang baru saja terjadi kepada Kenma.
Apakah bumi menangis bersamanya?
Tangisan itu luruh jua beriring dengan air hujan yang turun ke atas tanah. Bahunya beringsut turun, setiap tetesan air hujan yang mengenai tubuhnya menambah beban yang selama ini ia tampung. Pertemuan itu semakin membuatnya terlara. Kuroo benar-benar menunjukkan kemarahannya kepada Kenma. Hatinya menghitam dan tak dapat dilunturkan oleh apapun.
Kenma tak bisa apa selain membiarkan apa yang sudah terjadi kepada semestinya.
Setiap pijakannya terasa melelahkan, setiap hembusan napasnya terasa semakin menyesakan. Kenma menelusuri jalanan kota yang tampak sepi dikarenakan hujan, ia masih setia berjalan di bawah lebatnya hujan walaupun dingin menyeruak.
Kenma berhenti sejenak untuk merogoh sakunya dan mengambil benda berukuran persegi panjang, mengetikan sesuatu di sana sehingga menyambungkan dengan seseorang.
“Lev ... ” ucapnya lirih.
“Kak Kenma?! Kamu ada di mana sekarang? Di sana lagi hujan, ‘kan?”
“Tolong aku ... ”
“Tenang, ya? Sekarang kasih tau aku lokasi kamu sekarang di mana supaya aku bisa nyusulin kamu.”
Kenma mengapit bilah bibirnya tak tahu harus menjawab pertanyaan Lev di seberang sana seperti apa. Kepalanya tiba-tiba sangat sakit sehingga ia harus mengepalkan tangannya dengan kuat, berharap sakit itu bisa segera hilang.
“Aku—”
Belum selesai apa yang hendak ia katakan, Kenma terjatuh di atas tanah dengan rasa dingin yang mengepung dirinya.
[]