Rumah kedua.
Seperti biasanya, Gojo sudah memarkirkan motor ninja kesayangannya dengan apik di garasi rumah keluarga Sukuna. Baginya rumah Sukuna seperti rumah keduanya, karena bahkan hampir setiap waktu Gojo berada di dalam rumah tersebut, untuk menemani Sukuna tentunya.
Matanya memicing ke arah samping, di mana ada motor yang terparkir. Gojo berdehem mengenali pemilik motor tersebut. Kemudia ia menyengir sambil terkekeh pelan.
“Ini motor kreditan kok ada di sini.” Gojo bermonolog di dalam hati sambil memukul pelan jok motor tersebut.
Dengan anteng dia berjalan memasuki rumah tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Untuk informasi tambahan, Gojo itu sosok orang yang sempurna bagi orang yang pertama kali melihatnya, namun ada ribuan minus yang tertanam di dirinya, salah satunya minim sikap.
“WUIH RAME AMAT NIH GUE LIAT-LIAT.” Gojo berucap dengan intonasi yang nyaring.
Ia melihat ada 4 orang yang tengah duduk di depan televisi sembari bermain video game di sana. Gojo menyeletuk tetapi tak membuat 2 pemuda yang sedang main game tersebut terganggu, mereka memilih abai atas kehadiran hama tersebut.
“HALO MANUSIA? DIEM-DIEM AJA LO PADA PAS GUE DATENG, KESAMBET?” ujarnya sekali lagi, ia ingin mendapatkan banyak atensi dari orang-orang tersebut.
“Berisik, monyet.” timpal Sukuna yang duduk di atas sofa sambil memakan cemilan, ia tak menatap kawannya itu dan memilih untuk memperhatikan adiknya yang bermain game bersama temannya.
“Muka lo tuh monyet!” balasnya.
Gojo langsung mengambil tempat duduk di samping Sukuna, merampas cemilan yang sedang ia makan. “Anjir lo.” sungut pemuda itu.
Sedangkan Gojo tak peduli apa yang dilontarkan Sukuna padanya, ia merogoh saku celananya dan melemparkan sebungkus rokok pesanan Sukuna.
“Gantinya ciuman.” Gojo berujar.
“ANJING.”
“AWOKAWOAKWOKA.”
Melihat wajah Sukuna yang menatapnya dengan amarah membuat Gojo terbahak. Menjahili Sukuna merupakan hobi yang menyenangkan baginya.
“Wih udud!” Adiknya berucap antusias saat melihat saudara tengah memegang rokok.
“Mau gak, Ji?” tawar Gojo.
“Ya kali enggak, mau dong, bang!” Yuuji menatap kakaknya dengan tatapan berbinar, meminta seputung rokok pada sang kakak.
“Gak, lo masih kecil sok-sokan mau ngerokok, gak boleh.” larang Sukuna dengan tatapan sadis.
“Bang Sukuna gak seru, ah! Lanjut main aja yok, Gumi.” Terdengar kekecewaan di nada bicaranya.
“Eh, ada anak kecebong. Ke mana aja lo, Megumi? Gak nyangka lo udah gede aja.” Gojo mendramatisir saat melihat Megumi yang duduk di sebelah Gojo, anak itu tak ada perubahan, tetap tak banyak bicara.
“Apa sih, kayak gak lama ketemu aja.” sungut Megumi mencoba untuk mengabaikan panggilan setan tersebut.
“Jo, main di kamar gue aja, di sini udah dipakai Yuuji, Megumi, Ara.” ajak Sukuna.
“HAH? MAU NGAPAIN LO?!” Gojo lagi-lagi berteriak. “Cukup, Na. Gue emang temen lo, tapi gue ini pria sejati.”
“Alay lo.”
Gojo terkekeh melihat ekspresi jengah yang ditunjukkan oleh Sukuna, tanpa bicara lagi, ia langsung berjalan mendahului Sukuna menuju kamar karibnya tersebut. Setelah Sukuna menyusul Gojo di belakang, Nobara menyenggol lengan Yuuji dengan sikunya.
“Kok bang Sukuna tahan ya temenan sama kak Gojo? Dipelet ya abang lo?” tanya Nobara dengan penuh rasa penasaran.
“Gue juga bingung, lo pada ‘kan tau gimana susahnya bang Sukuna bersosialisasi sama orang, tapi pas temenan sama kak Gojo malah akrab banget.” Yuuji merotasikan matanya dan tiba-tiba rasa penasan juga muncul.
“Gue yakin bang Sukuna kena pelet.” Nobara berujar dengan mantap.
“Yang udah kenal sama kak Gojo dari kecil cuman bisa diem ... ” Tiba-tiba Megumi membuka suaranya dan wajahnya masih datar seperti biasanya.
“Gue rasa lo udah gila.” ujar Nobara.
“Emang.”
[]