Salah Langkah.

Tatkala momen di mana Seishu masih mengemban status pacar dari Mitsuya beberapa waktu yang lalu, setiap pulang sekolah pada sampai mereka mengarungi dunia perkuliahan Seishu selalu menunggu kepulangan Mitsuya di depan kelas pemuda itu. Menyambut kekasihnya keluar dari kelas dengan senyuman secerah matahari dan seindah pelangi. Mitsuya akan membalas senyumannya dan menyapa si pemuda berpostur elok itu.

“Halo, beautiful Seishu. Kali ini menunggu aku lebih lama?”

Vokalisasi Mitsuya yang khas seperti alunan melodi surgawi, obsidiannya yang bak menyorot cahaya mentari. Dengan penampilan seperti itu, Mitsuya sudah cukup sempurna di netra Seishu. Menjadi kekasih Mitsuya merupakan hal yang sangat Seishu banggakan, ia ingin sekali seluruh semesta tahu bahwa di lubuk hatinya tertanam nama Mitsuya.

Namun, kala itu Seishu masih lugu yang buntu perihal cinta. Dikiranya dengan perasaan cinta saja sudah cukup untuk menyokong hubungan mereka, Seishu terlampau keliru yang perlahan membuatnya diam membatu. Cintanya memicu Seishu menjadi buta. Nyatanya tak ada satupun manusia dapat menjadi sempurna, baik itu Mitsuya sekali pun.

Di paruh keempat hubungan mereka terjadi pertengkaran hebat antara Seishu dan Mitsuya yang membuat hubungan mereka seketika luluh-lantah. Seishu mengekspresikan emosinya kepada Mitsuya sedangkan pemuda itu seolah tak ingin mengerti Seishu. Bahwasanya mereka selalu berada di persimpangan berbeda.

“Kamu gak pernah mau ngerti aku, ya? Selama ini aku maklumin kamu yang gak pernah nunjukin usaha kamu dalam membangun hubungan kita, tapi sekarang apa? Kamu juga bersikap gak bisa mengerti diriku sedangkan kamu selalu ingin dimengerti. Di mana adanya timbal balik di antara kita, Mitsuya?”

Suara tinggi yang menggelar di seluruh penjuru ruangan membuat Mitsuya menghembus napas kasar. Ia menatap Seishu nyalang dan seolah tak ingin kalah.

“Kamu begitu, ya, Seishu? Kamu malah menyerahkah seluruh kesalahannya ke aku seolah-olah hanya aku yang menimbulkan masalah di hubungan kita. Bagus, Seishu. Aku emang yang salah, hubungan kita hancur emang gara-gara aku.”

Setelah terjadi pertengkaran itu keduanya membentang jarak satu sama lain dan bahkan hubungan mereka tak ada kejelasan, tanpa bertemu maupun komunikasi. Mitsuya enggan memulai terlebih dahulu, membiarkan Seishu memikirkan kesalahannya kepada dirinya. Pada akhirnya Seishu akan luluh dan membakar habis seluruh egonya untuk tak menghampiri Mitsuya. Ia itu cinta kepada Mitsuya, ia sempat berpikir apa jadinya jikalau Seishu tak lagi bersama Mitsuya. Maka dari itu lebih baik egonya dijatuhkan ke dasar tanah daripada cintanya yang jatuh ke dasar lautan.

Maka Seishu akan datang kepada Mitsuya dan berkata, “maafkan aku, saat itu akulah yang salah. Tolong jangan pergi dan mari kita bangun hubungan kita kembali.”

Sekali lagi, Seishu di masa lampau itu terlalu bodoh perihal cinta.

...

Tak terlintas sekali pun di pikirannya bahwa kini Mitsuya lah yang datang kembali kepadanya setelah semuanya sudah dianggap usai. Setelah Seishu menyingkirkan perasaan cinta yang berduri itu untuk menerima cinta yang baru. Di mana semuanya sudah berjalan baik-baik saja tanpa kehadiran Mitsuya. Hatinya yang telah rumpang setelah cintanya bersama Mitsuya rampung. Seishu sungguh sudah ikhlas dengan takdir yang mengalir.

Justru saat itu mereka berpisah sebaik mungkin agar tak meninggalkan kesan buruk di perpisahan mereka, serta agar meluruhkan seluruh emosi, duka, dan lara yang sempat bersemayam di hati masing-masing. Andai kala Kokonoi tak muncul di kehidupannya, Seishu juga akan berpikir beribu kali untuk tak kembali kepada Mitsuya. Ia sudah cukup terluka karenanya.

Tin.

Seishu terkesiap melihat motor yang ia kenali terparkir di hadapannya berdiri. Pemuda dengan surai hitam keunguan dengan wangi tubuh yang masih sama. Mitsuya telah datang untuk menjemputnya, entah mengapa Seishu mengindahkan permintaan pemuda itu lagi untuk mengantarnya pulang ke rumah.

“Lama nunggu?” tanyanya.

“Gak kok, ayo pulang sekarang.” ajak Seishu yang nampaknya tak ingin bertele-tele demi membuang waktunya yang berharga. Seishu sebisa mungkin untuk menjauhi masa-masa seperti ini, tapi apa daya hari ini ia harus berduaan lagi bersama Mitsuya selama di perjalanan.

“Gak usah buru-buru gitu, Seishu. Sebelum pulang kita mampir makan dulu, aku belum makan siang soalnya sibuk rapat.” celetuk pemuda itu yang tak menyetujui Seishu.

Seishu menghela napas, “yaudah, habis makan kita langsung pulang.”

“Oke.”

Seishu menaiki motor Mitsuya yang sudah ia gunakan sejak pemuda itu duduk di bangku sekolah menengah atas. Mitsuya bilang bahwa motor ini menyimpan jutaan kenangan di dalamnya, baik itu bersama dirinya dan teman-temannya. Motor yang ia kendarai sekarang ini sungguh berarti bagi Mitsuya. Seishu meletakkan tas miliknya di tengah-tengah mereka supaya tubuh mereka tak saling bersentuhan. Mitsuya melajukan motornya dengan kecepatan rata-rata, ia ingin menjadi pengendara yang baik di jalanan dan mematuhi rambu lalu lintas yang ada.

“Seishu.”

“Iya?”

“Masih suka japanese cheesecake, ‘kan?” tanya pemuda itu kepadanya.

“Masih.”

“Kita makan itu, ya? Biar mood kamu lebih baik soalnya waktu pacaran kamu sering minta belikan cheesecake setiap kali mood kamu gak baik. Sejak tadi aku gak liat senyuman kamu.” Mitsuya memandanginya melalui kaca spion yang sengaja ia arahkan kepada Seishu.

Ia sempat tertegun bagaimana Mitsuya masih mengingat kebiasaan dirinya waktu dulu. Seishu mengalihkan pandangannya ke arah lain supaya hatinya lebih terkontrol dibanding langsung bersitatap dengan Mitsuya. Ah, waktu mereka masih berpacaran Mitsuya kerap membelikan Seishu cheesecake kesukaannya agar suasana hati Seishu menjadi lebih baik.

Cheesecake?” Netranya berbinar.

“Iya, kesukaan kamu banget, ‘kan? Makanya kita langsung menuju ke sana.”

Refleks Seishu memeluk pinggang Mitsuya karena bahagia mendapatkan kue kesukaannya. Mitsuya juga terperanjat dengan pelukan tiba-tiba Seishu, namun alih-alih ia menyamankan dirinya. Selang beberapa detik kemudian, Seishu tersadar akan perbuatannya sendiri dan segera menarik tubuhnya menjauh.

“Selain suka cheesecake ternyata kamu suka peluk aku juga.” Mitsuya terkekeh.

Seishu langsung menggeleng, ia tak sadar memeluk Mitsuya begitu saja. Seolah lubuk hatinya menuntun Seishu untuk melakukan itu seperti biasanya. Sekeras apapun Seishu merelakan hatinya, rupanya ia kalah juga. Sebab bila di hadapan Mitsuya, Seishu itu selalu kalah. Rupanya perasaan bahagia yang pernah Mitsuya ciptakan untuknya mengingat empunya, karena apabila bersama Mitsuya, Seishu akan memekik bahagia.

Seishu menjadi bingung dengan hati dan seluruh perasaannya saat ini, apakah hatinya yang sedang mempermainkannya atau malah sebaliknya; Seishu lah yang menjadi dalang untuk memainkan hatinya.

Mitsuya membawanya ke salah satu kedai yang sering mereka kunjungi dulu. Kedai yang menjadi kesukaan Seishu karena menjual menu kue yang rasanya nikmat. Mereka menduduki salah satu meja yang masih tersisa, seperti biasanya tempat ini selalu ramai pasang muda-mudi yang tengah memadu kasih, bukan seperti mereka yang tak terpaut hubungan apapun.

“Suya, aku minumnya—” ucapan Seishu terpaksa terpotong karena Mitsuya menimpali perkataannya.

“Air putih, karena kamu lagi makan yang manis-manis dan gak mau minum minuman yang manis juga.”

“Oh, thanks ... ”

Mitsuya masih sama lembutnya kepadanya walaupun saat ini tak ada ikatan yang memikat mereka, Mitsuya itu pandai bersosialisasi sebab dari itu ia terpilih sebagai Ketua BEM di kampusnya. Setiap kata yang terlontar dari mulutnya dapat memikat siapapun, terutama Seishu. Ia piawai dalam berucap yang tanpa disadari membuat orang-orang terjatuh ke dalam genggamannya. Lagipula Mitsuya termasuk mahasiswa yang pintar dan selalu menyokong prestasi yang membanggakan.

“Kabar kamu gimana, Seishu?” tanyanya untuk memulai kembali pembicaraan.

“Seperti yang kamu lihat, aku baik-baik aja sekarang.” jawab si cantik seadanya.

“Maaf waktu itu aku sempat nolak ajakan kamu untuk balikan karena aku benar-benar lagi berada di titik terbawahku dan masalah hubungan juga rasanya mencekikku. Maaf, ya? Dilihat memang benar aku ini gak pantas untuk dapetin sebongkah berlian sempurna seperti kamu, Seishu. Aku ini gak punya apa-apa selain mengandalkan cinta.” Netranya tak luput menatap Seishu dengan wajahnya menunjukkan paras muka serius.

Seishu meneguk ludahnya, berada di dalam situasi panas seperti ini membuat dirinya menjadi canggung dan tak nyaman.

“Semuanya udah terlanjur, Suya. Mungkin emang udah takdirnya kita harus berpisah hari ini, kita gak bisa maksain juga kalo di dalam garis takdir kita gak bisa bersama lagi. Mungkin itulah yang terbaik untuk kita berdua.” jelas Seishu.

Pemuda itu terdiam dengan kedatangannya pekerja kedai yang meletakkan pesanan mereka di atas meja sebelum berpamitan pergi meninggalkan mereka tenggelam dalam kesunyian.

“Makan dulu.” titahnya.

“Sekali lagi terima kasih, Suya.”

Seishu menyuapkan sesendok cheesecake yang ia ambil dari atas piringnya. Rasanya masih sama dengan cita rasa manis yang sangat pas di lidahnya. Ah, sudah lama sekali tak memakan hidangan manis seperti ini. Adanya cheesecake di tengah-tengah mereka sedikit menormalisasikan keadaan yang semulanya begitu canggung.

“Enak?”

“Banget!” jawabnya girang.

“Seishu.” panggil Mitsuya seraya meneguk minumannya hingga setengah. Obsidian kembarnya bergulir menatap Mitsuya seolah mengucapkan, ada apa? secara tersirat karena mulutnya masih dipenuhi kue yang ia makan. Mitsuya tak langsung ungkap suara, ia membiarkan Seishu menelan makanannya dengan benar. “Apa jadinya kalo kita menulis ulang takdir yang diperintahkan untuk kita? Memang benar takdir mengatakan bahwa kita harus berakhir, tapi gak ada salahnya untuk membuka buku baru dengan takdir yang menghilang perasaan haru biru.”

Seishu tergelak. Ia pun tak tahu mengapa ekspresinya berbentuk demikian. Mitsuya terlalu naif seakan jikalau mereka kembali maka semuanya akan baik-baik saja. Untungnya Seishu telah memberantas sikap adiktif kepada Mitsuya yang sempat membuatnya terlalu bodoh perihal cinta. Mengapa pula ia harus mengulang takdir bersama Mitsuya sedangkan ia terlampau hapal bagaimana akan akhirnya.

“Kamu lucu, Suya. Kamu pernah mikir gak soal perasaan—”

“Perasaan kamu yang pernah terluka karena aku, ‘kan? Sekarang aku sudah tersadar bahwa rusaknya hubungan kita karena penyebabnya itu aku. Ini emang terlambat, tapi aku sungguh-sungguh mau mengulangnya dari awal. Seishu, bisa beri aku kesempatan satu kali lagi? Aku ingin melakukannya dengan baik. Aku gak akan mengecewakan kamu lagi.”

Mitsuya meraih tangannya untuk digenggam, pemandangannya sontak menjadi buram dan pikirannya kacau balau. Seishu tak tahu harus mengeluarkan ekspresi apa untuk menggambar isi hatinya kepada Mitsuya. Bahkan kata-kata yang ingin ia lontarkan tiba-tiba tercerai-berai. Netranya menyorotkan keseriusan, Seishu berusaha mencari kebohongan di sana namun ia tak menemukan sedikit pun.

Seishu tak bisa membiarkan Mitsuya berperilaku seperti ini, tapi ada sebagian dirinya yang menerima perlakuan Mitsuya.

Seishu terlampau kompleksitas.

“Aku ... aku sudah menemukan orang baru pengganti kamu, Suya.” ujarnya pelan sekali, ia tak sanggup untuk berkata.

“Seishu, jangan pernah bohong sama diri kamu sendiri. Di hati kamu sebenarnya masih berharap ke aku, ‘kan? Aku bisa merasakannya dengan jelas. Kamu seolah bilang kamu sudah gak memerlukan aku lagi, tapi lubuk hati kamu selalu berdebar setiap kali ada aku. Pelukan kamu yang masih terasa sama seperti sebelumnya. Apa kamu benar-benar sudah merelakan kepergian aku, Seishu?”

Untaikan kalimat Mitsuya membuat Seishu bungkam seribu bahasa. Hatinya menjadi porak-poranda disebabkan Mitsuya, netranya sempat terpejam untuk merasakan debaran anomali yang mengguncang seluruh relung jiwanya. Sialnya, perkataan Mitsuya benar bahwa hatinya masih terarah kepada Mitsuya. Seishu sempat ragu; apakah benar jikalau dia belum sepenuhnya merelakan Mitsuya meskipun kini ada entitas Kokonoi?

“Seishu, cukup katakan bahwa kamu sebenarnya masih cinta sama aku.”

Cinta memang membuatnya buta.

[]