Sebelum Pergi.
Seishu tengah bergelayut manja di atas ranjang di kamarnya, menyumpalkan headset di kedua telinganya dengan memainkan lantunan musik melalui ponselnya, ia tak dapat mendengar sorak-sorai yang terjadi di luar kamarnya. Matanya terpejam untuk lebih mengarungi musikal itu lebih dalam lagi, kadang bilah bibirnya membentuk senyum sumringah kala lagu yang sedang dimainkan memutar lagu yang menyakut perihal kehidupannya.
Saking fokusnya menaruh konsentrasinya ke dalam irama melodi, Seishu tak menyadari kehadiran figur sang kakak di ambang pintu kamarnya dengan raut wajah masam dan netra yang berkeliaran ke seluruh penjuru ruangan dan berhenti pada siluet Seishu di atas ranjang miliknya.
“Pantesan daritadi gue ngomong gak dibales-bales taunya pakai headset.” Akane Inui, saudara kandung satu-satunya Seishu. Ia bermonolog sembari menghampiri sang adik. “Woi, Seishu!” Akane memukul pelan paha sang adik yang hanya dibaluti kain tipis yang hanya menutupi bagian pahanya.
Lantas, Seishu terperanjat kaget kala mendapati saudaranya telah berdiri di samping tubuhnya dengan postur bersedekap dada, ia mendecih merasa terusik oleh kehadiran Akane.
“Apa?” jawab Seishu cetus seraya melepaskan headset yang ia kenakan.
“Lo tuh ya kalo dipanggil dengerin dong! Itu telinga mau lo jadikan pajangan doang kalo gak ada fungsinya sama sekali?” Akane menggulirkan matanya jengah.
“Berisik banget lo, lama-lama gue ganti lo.”
“Adek laknat lo, Seishu!”
Seishu memalingkan pemandangannya ke arah lain agar tak bersitatap dengan Akane, wajahnya masam sebab Akane telah memutuskan ilusinya secara tiba-tiba. Padahal ia tengah membayangkan berpegangan tangan bersama Kokonoi di bawah guyuran hujan dengan sinar rembulan yang menerangi jiwa mereka. Namun, semuanya itu buyar akibat Akane.
“Itu, ada yang nyariin lo.” ujar Akane.
“Siapa?” tanyanya.
“Tuhan.”
“Kalo bukan kakak kandung, si Akane ini udah gue buang dari lama.” Seishu menghela napas kasar dan bergumam di dalam hatinya. Sedangkan Akane tertawa melihat ekspresi Seishu.
“Udah lo turun gih ke luar, liat sendiri siapa yang mau ketemu lo, tapi jangan lupa pakai jaket. Penampilan lo sekarang seksi banget nanti dia malah hilang kontrol.” titah sang kakak sebelum meninggalkan Seishu yang termenung diam di kamarnya.
“Tumben ada yang nyari gue.” ucapnya dengan dikelilingi kebingungan.
Biasanya teman-teman Seishu tak pernah meminta Akane untuk memanggilnya terlebih dahulu, pula mereka pasti langsung menghampiri Seishu di kamarnya. Menuruti titahan Akane, Seishu menyambar jaketnya untuk menutupi postur tubuh porselennya yang terekspos. Lagipula cuaca malam ini sangat dingin, ia tak ingin angin malam merangsek masuk ke dalam pori-pori kulitnya.
Seishu bergegas keluar dari rumahnya, netranya menemukan cahaya dari balik jeruji gerbang rumahnya. Ia yakin itu sorot dari lampu kendaraan, ia membuka gerbang dan mengirit tungkainya keluar. Seishu terkesiap ketika sepasang irisnya mendapati perawakan Kokonoi yang tengah duduk di atas motor yang dikendarainya. Kokonoi sedikit menyugar rambutnya yang berantakan akibat helm.
Saat netranya berpapasan dengan Seishu, ia langsung menyunggingkan senyum ramah dan segera menyapa cintanya itu.
“Hai.” Matanya menyipit tatkala bilah bibirnya membentuk senyuman.
Seishu masih bungkam lamun netranya menatap Kokonoi dengan lekat, ia masih terkejut dengan kedatangan Kokonoi tiba-tiba di malam hari tanpa mengabarinya terlebih dahulu. Segera ia menghampiri Kokonoi yang bertengger manis di atas jok motor. Seishu tak tahu-menahu mengenai dalih kedatangan Kononoi di sini.
“Koko?”
“Iya, Seishu?” balasnya lembut.
“Kok lo bisa tiba-tiba di sini sih?” tanyanya berantakan karena masih kebingungan.
“Karena naik motor makanya bisa di sini.” ujarnya sembari diselingi kekehan.
“Serius ... kok lo gak ngabarin gue dulu kalo lo mau ke sini?”
“Kalo dikabarin nanti malah gak jadi surprise ‘kan gue mau ngasih kejutan sama lo, Seishu.” sambungnya. Netra hitam legam itu selalu menyorotkan pandangan pada sosok Seishu, selagi ada waktu yang tersisa; Kokonoi ingin selalu menatap Seishu dengan kedua irisnya.
“Apa sih ... ” Seishu berusaha menyembunyikankan semburat merah yang muncul meriasi wajahnya.
“Nih.” Kokonoi menjulurkan tangannya dengan menggenggam sekantong plastik kepada Seishu. “Tadi sebelum ke sini gue singgah beli martabak manis, gue gak tau rasanya gimana tapi gue yakin seratus persen kalo manisnya gak bisa ngalahin kemanisan lo, Seishu.” Setelah berujar demikian, ia kembali tersenyum.
Seishu melolongkan bantuan kepada siapapun agar menenggelamkan dirinya ke dasar lautan agar Kokonoi tak melihat dirinya yang dirundung rasa malu. Seishu meraih kantong plastik tersebut tanpa membalas tatapan Kokonoi.
“Koko, lo basi banget deh.” Tangan Seishu tertahan sebab Kokonoi menggenggam tangannya dengan erat, “terima kasih, ya.”
“Biarin begini, jangan dilepasin dulu karena gue pengen genggam tangan lo lebih lama.” pinta pemuda bersurai hitam tersebut.
Seiahu lantas ikut tersenyum, hangat yang ia rasakan baik tangan maupun hatinya. Ia ingin selalu melekatkan adegan romansa ini di dalam ingatannya, ia ingin selalu merasakan hangat ini di sekujur tubuhnya, ia ingin selalu memandangi sosok Kokonoi. Malam ini ia kembali dibuat sebahagia mungkin oleh Kokonoi. Seishu mengangkat sebelah tangannya dan meletakkannya di atas genggaman tangan mereka.
“Iya, Koko. Gue gak akan melepaskannya kok, tenang aja.” Vokal itu bak lantunan penang di telinga Kokonoi. Ia teramat bahagia melihat Seishu malam ini.
“Seishu, besok gue balik ke Surabaya sama Sanzu. Gue ke sini mau ngasih kabar itu dan juga mau ketemu lo lagi. Soalnya selama di Surabaya gue gak bisa genggam tangan lo kayak sekarang ini.” Kokonoi semakin mengeratkan genggamannya.
“Seharusnya lo istirahat sih, soalnya lo besok bakal bepergian jauh.” ujarnya.
“Gak apa-apa, gue udah terbiasa kok bolak-balik Jakarta dan Surabaya.”
Hampir satu jam mereka habiskan dengan saling berkomunikasi bersama, Kokonoi menolak ketika Seishu mengajaknya untuk masuk ke dalam rumah dengan dalih belum waktunya bertemu dengan calon mertua, tentu saja Seishu kembali bersemu. Maka dari itu mereka hanya berdiam diri di depan halaman rumah Seishu. Kokonoi tipikal pemuda yang selalu menatap netra lawan bicaranya, setiap Seishu berbicara kepadanya ia selalu mengarahkan netranya pada Seishu. Bahkan hal sekecil itu pun membuat Seishu terlarut dalam kebahagiaan.
“Seishu, jangan pernah takut atau ragu soal perasaan gue walaupun gue nanti ada di Surabaya, gue tetap menanam perasaan gue buat lo kok, karena saat ini seluruh perhatian gue tertuju pada lo. Pegang janji gue—bahwa gue akan selalu mencintai lo.” Kini pembicaraannya berganti menjadi topik yang lebih serius. Kokonoi kembali menarik tangan Seishu untuk ia genggam.
“Gue percaya lo kok, Ko.”
“Gue tadi minta Ran sama Rindou buat jaga lo di sini selagi gue gak di Jakarta. Mau tau reaksi mereka gimana gak? Mereka seneng banget, katanya ini pertama kalinya gue begini ke seseorang. Walaupun mereka agak aneh, mereka bertiga temen yang selalu ngebantuin gue.” pungkasnya.
“Koko, apaan sih.” Seishu tergelak mendengar penuturan Kokonoi, melihat sang puja tengah tertawa hati Kokonoi tersentuh. “Kayak anak kecil aja harus dijagain.” ujar Seishu.
“Gak apa-apa, ‘kan? Kebetulan Ran sama Rindou satu kampus sama lo, kalo mau kenalan sama mereka juga mudah.”
“Seriously? Mereka ternyata satu kampus sama gue? I never thought the world would be this narrow.”
“Then this narrow world is what eventually brings us together.” sahut Kokonoi. Ia masih setia untuk menggenggam tangan Seishu untuk beberapa sekon sebelum ia pulang.
“Mau pulang sekarang nih?” tanya Seishu.
“Iya, kayaknya udah terlalu malam juga kasian lo kedinginan.” Kokonoi merengut kasian pada tubuh Seishu yang kini terasa sangat dingin akibat diterpa angin malam.
“Gak apa-apa, Ko.”
“Jangan, nanti malah sakit. Gue izin pulang dulu, ya? Nitip salam ke orang tua lo dan kakak lo dan titip kata maaf juga karena ngajak lo ngobrol di luar dan gak ketemu sama mereka, nanti ada waktunya gue ketemu sama keluarga lo.”
“Iya, nanti gue sampein.” Kokonoi menyalakan motornya, ia bilang bahwa motor yang ia kendarai ini ialah milik Rindou, temannya itu memperbolehkan Kokonoi menggunakannya untuk bertemu dengan Seishu. “Koko, tunggu!”
“Hm?”
Seishu meletakkan dua jarinya di atas bibir lalu mengukurkan jari itu ke atas kening Kokonoi. Ciuman tidak langsung, pikirnya dalam hati. Wajahnya berseri indah dan bibirnya melengkung membentuk sebuah senyuman. Kokonoi terkesiap dengan perlakuan Seishu tiba-tiba. Pergerakannya yang ingin mengenakan helm langsung terhenti seketika. Netranya menatap Seishu yang tengah tersenyum kepadanya.
“Hati-hati, Koko!”
“Seishu ... gue makin cinta sama lo.”
...
“Cie, cie, cie. Siapa tuh?”
Ketika tungkai Seishu memasuki rumahnya ia sudah disambut dengan godaan Akane. Seishu mendudukkan tubuhnya dia atas sofa di ruang tamu, ia meletakkan martabak manis yang telah mendingin. Akane membuka kantong plastik tersebut dan memakan martabak manis itu tanpa menunggu penuturan Seishu. Seishu berdecak sebal melihat sikap Akane.
“Menurut lo dia gimana?” tanya Seishu.
“Apanya?” Dengan mulut yang penuh dengan makanan Akane membalasnya dengan pertanyaan.
“Ya, menurut lo dia anaknya oke gak? Dia yang saat ini lagi deket sama gue.” jelas Seishu sembari mengambil sepotong martabak manis yang tersisa sedikit.
Akane itu orang yang rakus, walau tubuhnya terlihat kecil ia mampu menampung banyak makanan di dalam perutnya tersebut.
“Mana gue tau yang deket sama dia ‘kan lo, masa gue yang harus menilai dia. Kalo menurut lo dia orang yang baik, berarti dia emang cocok sama lo.” jawab Akane. “Dek, are you really done with Mitsuya?”
Seishu tersedak.
Ia mengambil banyak napas dan tenggorokannya masih terasa mencekik. Ia tak langsung membalas ucapan Akane yang terasa memojokkannya hingga ke pojokan. Seishu menatap martabak manis yang ada di hadapannya dengan lekat.
“All things related to Mitsuya have ended long ago.” Vokalisasi Seishu menurun dan tatapannya mengabur.
Seishu yakin bahwa kini hatinya berporos pada Kokonoi, kendatinya pun berkata demikian. Debaran anomali yang muncul ketika bersama Kokonoi sudah cukup menjadi bukti yang jelas bahwa Seishu benar-benar terjatuh ke dalam lubuk pesona Kokonoi, ‘kan? Seishu sangat yakin.
[]