Semesta dan Hujan.

Seishu menggigit kuku jarinya sebab risau dengan situasi yang akan ia lalui dalam beberapa menit lagi. Ia mencoba menghilangkan perasaan aneh yang bermunculan di dalam pikirannya, lalu ia menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Langit berubah menjadi abu menandakan adanya diorama kelabu, rinai hujan sebentar lagi akan menghantam permukaan tanah. Seishu tak punya pilihan lain selain mengindahkan permintaan sosok yang pernah bersemayam di masa lalunya.

Mitsuya. Mantan kekasihnya, di mana keduanya pernah menjalin kisah romansa selama 3 tahun lamanya, kisah tersebut di mulai ketikan Mitsuya dan Seishu masih duduk di bangku sekolah menengah atas, namun kisah itu berakhir kandas beberapa waktu yang lalu. Tak ada lagi kisah cinta yang terjuntai di antara Mitsuya maupun Seishu. Setelah kisahnya berakhir, mereka bak dua orang asing yang tak saling mengenal sebelumnya.

Baginya, Mitsuya itu seperti setangkai bunga mawar. Indah namun dapat menimbulkan luka. Asmaralokanya mengandung harsa dan berujung asa, serta ada luka menyebabkan duka. Seishu terlampau hafal dengan tabiat Mitsuya, ia lelah jika harus berjuang mempertahankan cintanya sedangkan Mitsuya seolah pasrah. Maka dari itu Seishu memilih mundur walau hatinya belum pulih sempurna.

Jikalau seseorang bertanya kepadanya, apakah Seishu masih menyimpan perasaan kepada Mitsuya; maka jawabannya tak tahu sebab Seishu masih bimbang dengan perasaan di hatinya. Mitsuya itu pula bak puntung nikotin yang membuatnya candu akan derita. Meskipun ada banyak celah duka, membuat seluruh sukmanya membilu, lalu Seishu akan menyeru pilu. Namun, Seishu akan memilih jalan kembali berlabuh di hati Mitsuya yang dianggapnya rumah tetapi tak pernah bersikap ramah.

Seishu itu bodoh perihal cinta, ia meromantisasi pedih di hatinya asalkan rasa itu berasal dari Mitsuya, lantas yang akan Seishu lakukan selanjutnya adalah merintih lirih. Ia terlalu apatis akan itu. Suatu ketika akhirnya Seishu tersadar dari mimpi buruknya dan memilih untuk bangkit agar menemukan jalan yang lebih baik, walaupun tanpa Mitsuya.

Kokonoi. Sosok itu bak penawar hati, tak banyak merapalkan janji justru lebih banyak menunjukkan aksi. Bersama Kokonoi, Seishu merasa amat dicintai. Menorehkan rajut puisi dalam kisah-kasih romansanya. Menyadarkan dirinya agar merelakan gumpalan memori masa lalu beranjak pergi, lalu membuka lembaran baru bersama Kokonoi.

Mitsuya, sosok masa lalunya. Orang dengan pedang bermata dua.

Brum. Brum.

Lamunan Seishu seketika buyar oleh presensi Mitsuya yang duduk di atas jok motornya dengan helm yang terpasang di atas kepala, menutupi seluruh wajah rupawannya dan hanya menyisakan obsidian kembarnya yang menawan. Seishu menegak ludahnya susah payah, canggung menyelimuti keduanya sampai ketika Mitsuya melepaskan helm-nya dan menatap ke arah Seishu.

“Sampai kapan mau berdiri di sana, hm? Ayo buruan naik nanti keburu hujan.” titah pemuda bersurai keunguan tersebut, vokalisasinya masih sama seperti dulu. Lembut dan halus yang menyayat hati.

“Iya.” jawab Seishu seadanya.

Ia menghampiri Mitsuya dan menerima helm dari pemuda itu, Seishu terlampau tak peduli pemilik helm yang ia kenakan untuk pulang ini, yang terpenting ia bisa pulang ke rumah dengan selamat maupun harus bersama dengan Mitsuya. Seishu yakin sekali, kejadian hari ini tak akan berdampak apapun di kemudian hari.

“Pegangan, nanti kamu jatuh.” Mitsuya menarik lengan Seishu lalu melingkarkannya di pinggangnya.

“Mitsuya, apaan sih ... gak usah ngebut ‘kan bisa.” cetusnya, segera menarik tangannya kembali. Seishu memalingkan pandangannya ke arah lain daripada harus bersitatap dengan Mitsuya melalui kaca spion yang mengarah padanya.

“Kalo jatuh jangan salahin aku, ya?” Bahkan saat seperti itu Mitsuya masih sempat-sempatnya terkekeh demi layangkan guyonan. Mitsuya menarik pedal gasnya dengan kecepatan maksimal membuat Seishu kalang kabut di belakang. Tanpa dirinya sadari, Seishu menggenggam ujung jaket yang Mitsuya kenakan sebab dirinya khawatir dengan kelajuan motor yang mereka naiki. Sudah lama sekali berada dalam posisi seperti ini, dirinya yang menaiki motor Mitsuya sembari melingkarkan lengannya di sisi pinggang Mitsuya. Lalu, pemuda itu akan mendengarkan setiap cerita yang Seishu keluarkan untuk mengisi kesepian selama perjalanan. Seishu menunduk melihat tangannya sendiri, ia tertegun.

Harsa kembali membuncah, seakan perasaan itu tumpah ruah di antara mereka. Seishu memperlihatkan semburat merah layaknya mosaik langit senja. Tak ada hal yang membuat mereka terusik dalam suasana menyenangkan ini. Mitsuya menangkap bayangan indah Seishu melalui kaca spion, semesta tak sama besarnya dengan bentuk cinta Mitsuya pada Seishu.

Semestanya itu berpedar pada Seishu.

“Seyi.”

“Cuya.”

Mitsuya terkekeh mendengar suara halus itu mengisi rungunya, ia menggunakan salah satu tangannya untuk mengusap lengan Seishu yang melingkar di perutnya.

“Kangen, ‘kan? Makanya aku ngajak kamu pulang bareng biar kita nostalgia sama kenangan masa lalu kita sewaktu masih pacaran. Saat Seyi masih milik Cuya.”

Seishu tersenyum hambar mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh Mitsuya. Memang benar nyatanya bahwa mereka sudah berakhir. Tak ada lagi Seishu sebagai semestanya Mitsuya maupun Mitsuya suryanya sang semesta.

“Semuanya udah berakhir.”

“Apa salahnya membuat kenangan itu terlahir lagi?”

Seishu bungkam. Ia menatap setiap jalanan yang ramai oleh pengendara lainnya, Seishu tak tahu lebih tepatnya tak mau menjawab pertanyaan Mitsuya. Ia tak ingin salah langkah lagi untuk masuk ke dalam lubang yang sama. Namun, mengapa hatinya bertolak belakang dengan egonya. Seishu mulai terlarut dalam panorama yang Mitsuya gambarkan, di mana keduanya masih sama-sama mencintai.

“Gak, gak, lupain aja.” ucap Mitsuya.

“Ah, iya.”

“Seishu, kalo semisalnya hujan kita neduh dulu, ya? Aku gak mau ngambil risiko kalo kamu hujan-hujanan terus jatuh sakit.”

“Emangnya mau hujan?”

“Kayanya.”

Selang beberapa menit kemudian, tetesan air hujan mulai turun membasahi bumi. Pengendara menyempatkan diri untuk berteduh di pinggir toko yang tutup atau sekadar berhenti untuk memasang jas hujan. Sedangkan Mitsuya memilih opsi untuk berteduh, ia lupa membawa jas hujan sehingga ia tak dapat membelah hujan yang mulai turun dengan derasnya.

“Hujan ... ” lirih Seishu. Untung saja Mitsuya bergerak cepat untuk mencari tempat berteduh agar Seishu tak terkena air hujan.

“Dingin gak?” tanya Mitsuya.

“Sedikit.”

Mitsuya menanggalkan jaketnya lalu segera meletakkan jaket itu di atas bahu sempit Seishu yang tengah mengusak kedua tangannya untuk mengusir hawa dingin. Seishu terkesiap merasakan perlakuan Mitsuya yang tiba-tiba. Pemuda itu merapatkan tubuh mungil Seishu ke dalam jaketnya yang hangat. Menatap obsidian kembar milik Seishu dengan lembut.

“Biar gak dingin lagi, biasanya juga selalu begini, ‘kan?” tukas pemuda itu.

Seishu benar-benar tak mengeluarkan sepatah kata, ia hanya diam membisu menikmati perlakuan Mitsuya kepadanya. Hal-hal seperti ini kerap terjadi pada saat mereka masih berstatus pacaran. Mitsuya yang hangat perlakuan dan perkataan. Seishu merasa sangat bahagia, ia terlalu lugu dengan apa yang terjadi. Meski berulang kali menampik perasaan yang singgah, pada akhirnya ia terlarut kembali pada arus deras yang membawanya ke kisah lama bersama Mitsuya.

Thanks, Cuya.”

“Apapun, Seyi. Apapun akan aku lakukan buat kamu.”

Mitsuya merangkul Seishu serta membiarkan kepala Seishu bersender di bahunya, menatap lurus pada rinai hujan yang menjadi saksi kisah mereka.

...

“Ko, pesen online food, yuk? Hujan-hujan gini enaknya makan, ya, ‘kan.” Pemuda bersurai terang menghampiri Kokonoi yang tengah menaruh atensinya pada ponsel.

Pemuda bernama Kokonoi itu tak kunjung menjawab karena terlalu fokus pada benda persegi panjang yang ia mainkan. Sanzu memiringkan kepalanya untuk mengintip ke arah ponsel Kokonoi dan setelahnya ia berdecak masam.

“Woi, Kokonoi Hajime!”

“Eh!” Kokonoi tersadar dari lamunannya dan segera meletakkan ponselnya di atas ranjang yang ia tempati.

“Lo gak denger apa yang gue bilang tadi?” Sanzu melemparkan pertanyaan kepadanya.

“Gak.”

Sanzu menghela napas kasar, ia merentangkan tubuhnya di atas kasur seraya meletakkan kedua kakinya di atas paha Kokonoi, pemuda itu tak melayangkan protes dan membiarkan Sanzu bertindak semaunya. Sanzu menatap langit-langit kamar yang mereka tempati selama tinggal di kediaman Haitani. Mereka memang selalu berada di dalam kamar yang sama dan kerap tidur di atas ranjang yang sama, namun tak ada hal khusus yang terjalin di antara mereka.

Sanzu itu selalu diperlakukan bak tuan puteri oleh mereka bertiga. Ia dapat bertindak sedemikian mungkin dan tak ada satupun dari mereka yang melarangnya.

“Bulol lo.” pungkas Sanzu tiba-tiba.

Kokonoi tak menjawab selain terkekeh mendengar ujaran sang kawan.

“Ko, gimana rasanya jatuh cinta?” tanyanya.

“Seperti apa yang lo lihat pada diri gue, itulah yang gue rasain selama ini.” jawab Kokonoi sembari tersenyum sumringah membayangkan wajah Seishu serta jantungnya yang berdebar-debar.

“Seru, ya, kalo dua orang saling mencintai. Cintanya jadi terbalasnya.” Vokalisasi pemuda bersurai panjang itu kian merendah, ia tak membalas tatapan Kokonoi yang mengarah kepadanya.

“Rindou?”

Sanzu langsung bangun dari posisinya, kembali menghela napas lesu. Mendengar nama temannya itu membuat Sanzu menjadi sedih. Kokonoi menepuk pundak Sanzu dua kali guna menyalurkan kekuatan kepada pemuda manis itu.

“Katanya lo mau pesan makanan, yaudah lo mau makan apa?” tanya Kokonoi untuk mengganti topik pembicaraan mereka.

“Apa aja deh yang penting yang bikin kenyang dan bikin mood bagus.”

“Oke.”

Kokonoi memesan makanan melalui aplikasi online untuk mereka berempat. Namun, ada satu hal yang membuat hati Kokonoi tak tenang sedari tadi. Ia selalu menatap ke layar ponselnya menunggu secarik pesan dari Seishu yang tak kunjung membalas pesannya. Ia khawatir kepada Seishu, ditambah cuacanya yang sedang tidak baik-baik saja.

[]