TANGLED THREAD.
Seorang pemuda elok duduk bersimpuh di atas rerumputan yang terhampar luas di halaman ini, hanya ada dirinya, semilir angin, sang surya yang hendak kembali ke singgasananya, dan sosok pemuda lainnya yang berbaring di atas rerumputan itu, membiarkan rambut hitam legamnya terkena rerumputan. Menatap langit tanpa celah sedikitpun, menggumakan kekaguman akan pemandangan matahari tenggelam. Senyuman tak pernah absen di bibir kedua pemuda itu.
Mereka memiliki kesukaan yang sama; menyukai pemandangan matahari terbenam. Kesukaan ini sudah melekat dalam diri mereka sejak masih belia. Tak tahu apa alasan mereka yang sudah berambisi dengan keindahan senja.
Mempertemuka dua insan yang masih belum menjadi siapa-siapa. Hanya menjalankan dirinya sesuai aturan yang telah digariskan oleh Tuhan, menjalani hidup layaknya pemuda biasa-biasa saja. Tak kenal bagaimana dunia luas, mereka hanya saling mengenal satu sama lain. Tak terlalu tertarik dengan perkembangan zaman, terlalu monoton memang untuk ukuran pemuda pada zaman sekarang. Lebih menyukai hal sederhana seperti ini dari pada menjajah kepuasan di dunia baru.
Kuroo dan Kenma—tengah berada di suatu tempat yang menjadi saksi atas kisah asmaraloka yang penuh kasih. Kenma menoleh ke arah Kuroo, terpampang begitu indah panorama yang terpahat di wajah Kuroo. Rahang tegang dengan netra seterang purnama, senyum lebar penuh harapan. Sosok yang selalu menjadi alasan mengapa adrenalinnya berdebar begitu cepat.
“Kenma.” soraknya.
“Ya, Kuroo?”
“I love you so much until the night come and be back to the dawn.” ujarnya penuh keyakinan.
Kenma lantas tersipu dengan perapalan cintanya, selalu aja reaksinya seperti itu. “Tiba-tiba banget bilang begitu.”
“Soalnya aku emang sayang banget sama kamu, mau mencintai kamu seumur hidupku.” yakinnya. Kuroo saat itu masih sangat lugu. Apa yang ia ucapkan terlalu polos namun terselip keyakinan yang penuh.
“I love you too, Kuroo.” balasnya.
Kuroo mendengar penuturan itu secara jelas di rungunya, ia tak dapat membendung debaran anomali di dalam dirinya tatkala Kenma membalas perasaannya. Tangannya tergerak mengusak surai panjang Kenma dengan lembut dan membubuhkan ciuman di sana.
“Jangan pernah tinggalin aku, ya? Aku gak tau bakal gimana hidupku kalo gak ada kamu di sampingku.” tutur Kuroo halus dengan asa yang membara. Tak ada gelisah yang mengusik naluri, selain kasih penuhi hati. Cinta pertama yang berkobar.
Kuroo sangat mencintai Kenma, baik untuk hari ini hingga malam sampai hari esok saat datangnya mentari.
“Kuroo, ketahuilah saat ini aku tengah menyanggupi permintaanmu.” ungkap Kenma lirih, seharusnya ia bahagia dengan pernyataan cinta Kuroo, namun mengapa pelik di relung jiwanya dan lantas mengapa ada perih membuka luka.
Apakah cinta mereka murni apa adanya atau sebenarnya cinta itu hanya sekadar asa yang kian memudar?
Mereka pun tak tahu dan seolah ada yang tak ingin tahu-menahu. Terlalu rumit untuk diungkapkan dan berakhir memilih bungkam.
...
Kuroo menyalakan batang cerutu dengan pematik, menghisap batang tersebut dengan nikmat sehingga asap mengepul di udara. Tangannya bertengger di pembatas pagar di sebuah bangunan yang cukup tinggi, tatapannya sayu menyorot ke arah bawah—perkotaan yang ramai dengan antah-berantah. Tempat ini, entah sejak kapan menjadi ruang pelarian baginya apabila pikirannya berkecamuk. Walau udara segar menerpa dirinya, rasanya sangat sengap untuk bernapas.
Potongan memori masa lalu yang susah mati ia kubur dalam-dalam kembali muncul ke permukaan membuatnya kembali teringat dengan cuplikan dirinya bersama orang itu. Masa lalu yang sebenarnya cukup indah sebelum semua itu berakhir liku parah. Kuroo menyunggingkan senyuman hambar.
“Kenapa lo muncul lagi, Kenma? Gue udah susah payah lupain lo tapi kenapa lo muncul lagi memenuhi isi kepala gue saat ini? Lo gak capek bikin gue tersiksa dengan perbuatan lo? Apa yang dulu itu masih kurang?” Kuroo bermonolog dengan dirinya sendiri dengan gurat kemarahan yang tercetak di wajah rupawannya. “If you want to go, then go forever.”
“Kuroo ... ” Suara seseorang di balik punggungnya membuat Kuroo terkesiap. Ia mengenali pemilik suara lirih itu, sontak ia langsung berbalik dan mendapati presensi Kenma di sana dengan wajah lusuhnya. “Ternyata kamu di sini juga?” tanyanya basa-basi. Ia tak tahu bahwa mereka akan bertemu lagi di sini.
Tempat di mana mereka memulai semuanya bersama.
Kuroo tak berucap sedikitpun, mematikan puntung cerutunya ke pembatas pagar dan melenggang pergi begitu saja. Kenma tergagap, tangannya hendak menahan Kuroo namun secepatnya ia urungkan.
“Kenapa? Kamu mau lari juga seperti apa yang aku lakukan waktu itu?” pungkas Kenma membuat tungkai Kuroo berhenti melangkah.
Kuroo mendengus dan berpaling untuk menatap ke arah Kenma yang tiba-tiba merasa gugup berada di hadapan Kuroo. Tubuh jangkung itu eksistansinya semakin besar dibanding dengan dirinya. Ia menatap Kenma dengan sinis tanpa emosi yang terpatri di wajahnya.
“Apa mau lo?” tanya Kuroo dingin.
“Kalo kamu mau di sini maka tetaplah di sini tanpa pedulikan kehadiran aku. Jangan pergi karena adanya aku di sini. Jangan lari ... jangan jadi sosok pengecut seperti aku di masa lalu.” jelas Kenma, baru kali ini ada keberanian untuk berbicara dengan Kuroo seperti ini.
“Gue udah gak mau di sini bukan karena ada lo.” Kuroo menghiraukannya, tetapi Kenma menahan pergelangan tangan Kuroo agar pemuda itu tetap berada di sini.
“I sincerely apologize for what happened. I’ve been waiting for this moment to make an apology.” lirih Kenma, ia mendongak untuk menatap langsung netra legam milik Kuroo.
“I’m glad that you admitting your wrongdoing. Then? Kalo gak ada hal yang lain perlu dibicarain, let me go. I’m getting sick of you.” Kuroo menarik tangannya agar terlepas dari genggaman Kenma.
“Kenapa ... k-kenapa waktu itu disaat aku butuh kamu—kamu malah memilih orang lain? Kenapa, Kuroo?”
Ucapan Kenma membuat Kuroo terbujuk kaku di atas tempat ia berpijak, netranya menangkap bagaimana entitas Kenma saat ini. Pemuda itu mengeluarkan air matanya meskipun sudah berusaha untuk menyapu air mata itu. Pikirannya melambung untuk kembali ke kilasan memori beberapa waktu silam untuk memvalidasi ucapan Kenma. Kepalan tangannya meremat seketika, ia tak mengetahui apapun.
“Kenma, apa maksud lo?”
“KENAPA KAMU MALAH MILIH ORANG LAIN DARIPADA AKU, KUROO?! KENAPA KAMU MALAH MEYAKINKAN AKU UNTUK PERGI?!”
Kenma berteriak di hadapannya dengan lantang, mendengar suara itu membuat Kuroo mengernyit bingung. Ia sungguh tak mengerti apa yang Kenma katakan kepadanya; sejak kapan ia memilih orang lain sedangkan Kenma satu-satunya orang yang Kuroo cintai. Kilatan emosi tiba-tiba muncul di sorotan iris matanya. Kuroo memegang kedua pundak Kenma dan menatap pemuda itu dengan tajam.
“Oh? Lo sekarang mau nuduh gue kalo gue yang salah?! Jadi, gue yang jadi alasan lo kabur waktu itu?! SEMUANYA SALAH GUE, KENMA?! GUE YANG SALAH, HAH?!”
Kenma beringsut melemah dan tangisannya semakin pecah. Kuroo terlihat emosi kepadanya, sedangkan Kenma justru mengatakan apa yang sempat ia rasakan di masa lalu. Mengenai kisah mereka, apakah dulunya terjadi kesalahpahaman di antara mereka? Namun, tak ada yang bergerak untuk meluruskannya sehingga semua hal menjadi bertabrakan san berujung kacau. Benang mereka yang semulanya lurus menjadi kusut karena dililitkan ke terlalu banyak objek.
Kepala Kuroo terasa berat bak beban besar tengah menimpa dirinya, ia dibuat tak mengerti dengan Kenma. Namun, tiba-tiba darah segar mengalir dari hidup Kenma tanpa disadari oleh sang elok. Kuroo melihat itu dengan jelas di pandangannya, gurat wajahnya berubah menjadi khawatir tatkala semakin banyak darah keluar dari lubang hidunh Kenma.
“Hei, lo kenapa? Lo mimisan?!” tanya Kuroo panik.
Kenma tak menjawab, kepalanya sangat pusing dan hampir kehilangan kesadaran. Ia masih bisa mendengar suara Kuroo samar-samar, tetapi pandangannya berubah buram. Ia tak mampu melihat objek yang ada di hadapannya, berselang detik kemudian Kenma ambruk di pelukan Kuroo dengan darah yang mengalir.
“Kenma?!”
Menyadari Kenma yang tak sadarkan diri di dekapannya, Kuroo bergegas memapah tubuh itu dan membawanya pergi dari tempat tersebut. Pikirannya tak tentu arah dan tahu hendak membawa sosok ini ke mana, bahkan ia tak tahu di mana tempat tinggal Kenma.
Dinding ego yang dibangun Kuroo terlalu tinggi, namun dihancurkan begitu mudah oleh perasaannya sendiri.
[]