“Yang Fana adalah Waktu, Kita Abadi.”
Kicauan terdengar ke dalam rungu melempar sebuah cetusan yang mengatakan harta paling berharga adalah keluarga, antara setuju maupun tidak akan kembali pada konklusi masing-masing, tak akan bisa ditelan oleh semua orang. Akan tetapi, bagi seorang pemuda bernama Donquixote Rosinante—memiliki adik kecil bagaikan mengcengkram semesta dalam rengkuhan genggam. Menyandang harkat menjadi sang tertua bukanlah takdir yang harus disesali. Lantas, takdir yang pantas diapresiasi.
Alih, bagi sang kecil—Trafalgar Law, sosok Corazon yang bijaksana bagaikan panutan hidupnya, menjadi seenggok pohon kokoh yang pantang tumbang. Corazon adalah hadiah terindah yang pernah Tuhan hadirkan untuknya. Mereka bilang manusia tak ada yang sempurna, tetapi Corazon berupaya menjadi sang paripurna. Ia rela lakukan apapun hanya untuk sang kecil.
Terkadang si kecil Law mengutuk lakunya yang sulit sekali untuk terbuka sekadar mengungkapkan bentuk kasih sayang kepada sang tertua, Corazon. Namun, ia sedia melakukan apa saja untuk menunjukkan bentuk cintanya dalam perbuatan yang ia lakukan. Hanya saja mulutnya terlalu egois hanya demi berujar. Corazon tak sekalipun mempermasalahkan itu, sebab ia tahu cinta yang Law luruhkan kepadanya jauh lebih besar dibanding semesta yang mereka tempati.
Liburan telah tiba. Corazon yang dipenuhi sifat peka menyadari akan kegundahan Law. Menjadi seorang mahasiswa kedokteran bukan suatu hal yang mudah, Law harus melewati banyak hal. Meski Law bukan tipikal yang acap kali mengeluh, tetapi di suatu waktu kadang Law mengeluh betapa sukar jalanan yang ia lalui untuk menembus predikat menjadi dokter. Corazon memutar otak untuk memberikan ruang agar Law bisa beristirahat dari kelelahannya.
Berakhiran mereka di suatu pantai yang ada di suatu kota, menikmati waktu yang berjalan begitu cepat. Law sangat menyukai setiap detik yang berlalu selagi dua tungkainya masih berdiri di atas hamparan pasir pantai dengan deburan ombak yang melantun pasih mengisi kekosongan suara. Law memejamkan matanya sejenak, membiarkan hembusan angin menerpa pori-pori mukanya.
Corazon menyusul sang kecil dari belakang, tersenyum halus bak selembut sutra. Ia takjub dengan pemandangan yang netranya saksikan, melihat Law menikmati hidupnya sudah cukup membuatnya bahagia. Sebab, kebahagiaan Law menjadi pengisi di dalam dirinya. Corazon hanya diam tak berniat menganggu Law yang tengah menyapa alam dan meluruhkan beban yang mengikatnya.
“Abang!” pekik Law tatkala irisnya bersitubruk dengan sang tetua.
“Feeling good?” tanya Corazon dengan intonasi merdu seolah menyatu dengan semilir angin yang menenangkan.
“Iya, ini semua berkat Abang.” balasnya dengan rasa terima kasih yang tersirat di juntaian kalimat yang ia lontarkan.
“Abang berharap bisa buat kamu selalu bahagia, bukan hanya untuk hari, tapi untuk kemudian hari, dan untuk seumur hidup kamu. Abang gak akan bisa berdiri setegak ini kalau kamu gak ada di sisi Abang. Abang sudah merasa sangat cukup hanya dengan memiliki kamu di hidup Abang. Melihat kamu tumbuh sebesar ini… Abang merasa terharu. Abang gak menyangka bisa buat kamu tumbuh menjadi sosok Law yang sehebat ini. Permintaan Abang akan selalu sama, doa Abang akan selalu menyisikan nama kamu. Abang hanya menginginkan yang terbaik untuk kamu dan Abang bisa memberikan segalanya untuk kamu, Law. Ini pertama kalinya Abang menjadi sosok yang tertua. Abang gak punya pengalaman. Ada banyak hal yang kurang dari sisi Abang, tetapi sebisa mungkin Abang melakukan yang terbaik. Abang gak mau merampas kehidupan yang kamu idamkan. Hidup itu bajingan, tapi Abang gak mau kamu mengarungi kehidupan yang seperti itu, Law.” lirih Corazon kala sosok Law mendekat ke arahnya. Tatapannya terpaku pada Law yang terperangah.
Mungkin di lain waktu akan terasa sulit mengungkapkan kalimat-kalimat seperti itu, hari ini seolah ada kesempatan yang menghampirinya untuk bersikap terbuka pada sang kecil mengenai harapan dan keinginannya dalam membahagiakan Law.
Law menatap netra Corazon yang berbinar, tak akan ada bintang yang dapat menyandingi sorot kemerlip dari dua netra Corazon. Tatapan itu menyalurkan sebuah ketulusan kepadanya. Entah mengapa mendengar kalimat itu keluar dari mulut Corazon membuat Law hampir menangis. Corazon berjalan mendekat dan memberikan usapan pada pucuk kepala Law seraya terkekeh.
Di matanya, Law akan selamanya terlihat saat Law sewaktu kecil, yang dapat ia manjakan sesuka hatinya.
“Abang… ”
“Abang is here, Law.”
“Seharusnya Law lebih banyak berterima kasih sama Abang karena menjadi satu-satunya yang selalu ada buat Law. Law juga gak akan bisa jadi seperti ini tanpa Abang… Law merasa kurang dalam menunjukkan kasih sayang ke Abang hanya karena Law gak tau cara mengungkapkan perasaan Law. Abang melakukan apa saja buat Law tapi Law gak pernah melakukan sesuatu buat Abang. Terima kasih karena menjadi pelengkap di setiap hidup Law, Law merasa gak berguna apa-apa buat Abang dan terlalu banyak membebankan Abang. I’m sorry, Abang… Law janji akan melakukan yang terbaik untuk ke depannya lagi. Semoga Abang gak menyerah buat memperhatikan Law, ya?”
Sebenarnya Corazon ingin memotong pembicaraan Law ketika si kecil itu mengatakan bahwa dia hanya seenggok beban di hidup Corazon, padahal nyatanya tidak. Tak ada siapapun yang merasaka terbebankan di sini. Namun, Corazon tak ingin merampas hak Law untuk bersuara. Ia ingin mendengarkan setiap narasi dari Law. Si kecil itu jarang sekali bertutur lantang layaknya hari ini. Corazon ingin membiarkan Law mengeluarkan segala perasaan yang ia pendam dalam dirinya.
Ingatan Law terlempar pada memori ketika ia masih berusia 5 tahun, ingatan itu hanya sekilas lantaran usianya masih terlalu muda dalam mengingat banyak kejadian. Tetapi, kenangan itu membekas kuat dalam pikirannya. Malam itu tengah hujan deras mengguyur bumi, si kecil menggigil kedinginan sedangkan di dalam ruangan itu hanya ada terselip satu selimut kecil. Melihat si kecil tersampir kedinginan, Corazon turut panik dan segera membungkus tubuh kecil itu dalam selimut dan merengkuh tubuhnya. Ia membagi kehangatan pada Law dengan tubuhnya yang dingin. Law mulai merasa hangat—bagi Corazon ia turut merasa hangat hanya dengan melihat kondisi Law.
Selama ini, di kehidupan mereka hanya ada mereka berdua, Abang dan Adek. Tidak ada siapa-siapa lagi selain Corazon dan Law. Mereka melewati banyak hal hanya berdua.
“Law, gak ada yang menjadi beban di sini. Abang selalu bilang ‘kan kalo kamu itu tanggung jawab Abang sepenuhnya. Abang akan memberikan segalanya sesuai yang kamu inginkan. Jangan pernah merasa kecil kayak gitu dan jangan pernah anggap perlakuan Abang ke kamu itu sebuah jasa yang harus dibalas. Sudah sepatutnya sebagai saudara Abang melakukan ini ke kamu.”
Law terisak, pertahanannya seakan runtuh. Sebuah benteng tinggi yang ia dirikan di dalam dirinya hancur lebur hanya dengan sebuah kalimat tulus dari Corazon. Sampai kapanpun, ia adalah si kecil yang selalu dimanja oleh sang tertua, Corazon. Sekeras apapun dirinya akan terlihat lemah di hadapan Corazon. Diri ini akan selalu bergantung kepada Corazon. Melihat si kecil menangis seenggukan, Corazon terkekeh pelan. Ia memeluk tubuh sang adik dengan erat. Menenangkan Law dengan tepukan pelan di punggung lebarnya.
Si kecil tsundere akan tetap menangis di hadapan Abangnya. Corazon berterima kasih pada kesempatan hari ini di mana mereka bisa mengungkapkan perasaan masing-masing yang selama ini tertanam di dalam hati. Meski sudah lama hidup bersama, Corazon masih ingin mengenal lebih banyak perihal Law dan ingin lebih tahu banyak mengenai kehidupan yang Law jalani saat ini.
Law itu akan selamanya menjadi si kecil di seumur hidup Corazon.
commission to itsasweetxchaos
[]