Iakunan

Sesuai yang Gojo putuskan sebelumnya, ia menerima tawaran menguntungkan dari Sukuna yang mengajaknya untuk menginap di rumah Sukuna, selagi Megumi dalam masa pemantauan Gojo. Mungkin butuh sekitar satu minggu atau bahkan lebih beberapa hari hingga keduanya kembali ke rumah masing-masing. Setelah meminta Megumi untuk menginap di rumah Sukuna, pemuda itu langsung menerimanya dengan senang hati.

Ia bisa lepas dari Gojo, dan yang terpenting Megumi bisa menghabiskan banyak waktu bersama Yuuji selama 24 jam. Menurutnya tinggal di rumah Yuuji lebih baik daripada berdiam diri di rumah sang kakak angkat, Gojo. Namun, bukan berarti Gojo menelantarkan Megumi begitu saja di rumahnya, ia memperlakukan Megumi dengan baik sesuai amanah sang ayah.

Hanya saja ia tak ingin menghadapi sikap random dari Gojo yang mampu membuatnya pusing.

Saat ini keduanya telah berada di dalam mobil Gojo, mereka tak membawa banyak barang, terutama Gojo. Bahkan ia hanya membawa dompet serta handphone-nya, pasalnya ada banyak potong pakaian miliknya yang terdapat di rumah Sukuna, sebab terlalu sering menginap di rumah Sukuna, jadi ia tak perlu membawa baju, kecuali sepotong baju yang tengah ia kenakan. Sedangkan Megumi membawa beberapa potong baju, serta tas sekolah miliknya.

“Kak, ngapain sih bawa gituan?” tanya Megumi yang tengah mengerutkan keningnya bingung melihat benda yang Gojo bawa ke rumah Sukuna.

Ssut, bocil gak boleh tau.” jawabnya santai dan lanjut memfokuskan diri ke arah jalanan yang cukup ramai.

“Apa sih.” Megumi mendesis kesal.

“Gum, lo kalo butuh apa-apa minta aja ya sama gue, semua kebutuhan lo gue tanggung selama bapak lo merantau.”

“Mau beli saham, Kak.” ungkap Megumi asal, Gojo memutar iris matanya ke samping untuk memperhatikan Megumi.

“Gila aja lo. Kalo soal saham mah minta sama bapak lo sana.” jawabnya.

“Lagian kakak bilangnya; semua kebutuhan lo gue tanggung. ‘Kan aku lagi mau beli saham.” celetuk Megumi lagi.

“Anak dakjal, lo kira gue pelihara tuyul apa yang sanggup beli saham.”

“Bukannya iya?”

“Hooh, gue emang pelihara tuyul. Nih tuyulnya lagi duduk di samping gue.” Telunjuk Gojo mengarah ke arah Megumi dan pemuda itu terkekeh pelan.

“Apa sih.” sininya.

Megumi menghela napas sabar, karena memang begitulah perawakan Gojo.

...

“Yuk masuk, Gum!” ajak Gojo yang langsung membuka pintu utama rumah Sukuna tanpa mengetuknya terlebih dahulu.

“Ketok dulu, kak.” tegur yang lebih muda.

“Lah ngapain? Rumah ini udah kayak rumah gue juga, jadi jangan sungkan malu-malu begitu lo, yaudah buruan masuk.” balas Gojo yang masuk ke dalam rumah tanpa permisi dari sang empu.

“Aneh.” gumam Megumi pelan.

“SUKUNA, I’M COMING. WHERE ARE YOU AT, DEAR?” Keduanya telah menenangkan diri di dalam ruang tengah rumah Sukuna, sedangkan Gojo mengambil tempat untuk duduk di atas sofa sembari meneriakkan nama Sukuna dengan lantang.

“Anjing.” sungut Sukuna dari atas.

Mereka dapat mendengar derap langkah terburu-buru dari atas tangga yang merupakan suara langkah Yuuji yang tengah teramat antusias menyambut kedatangan Megumi di rumahnya. Ia sangat senang karena Megumi menginap di rumahnya, sebab ia mendapatkan teman bermain game online bersama.

“Hai, Gumi!” sapa Yuuji kepada temannya yang lagi membopong tas bawaannya.

“Hai.” balas Megumi.

“Megumi doang nih yang disapa? Gue kaga disapa juga?” Gojo menyambar Yuuji.

“Hai, kak Gojo!” sapa Yuuji dengan intonasi semangat dan nyaring.

“Gumi, taroh tas lo gih di kamarnya Yuuji, kalian berdua ntar tidur bareng.” titah Sukuna yang kini sudah berada di depan Megumi.

“Siap, bang.” Yuuji mengajak Megumi ke atas di mana kamarnya berada.

“Kita tidur bareng juga kaga nih?” tanya Gojo kepada kawannya tersebut.

“Najis, gue males tidur sama lo.” balas Sukuna dengan suara rendahnya.

“Monyet lo.” Gojo melemparkan bantalan sofa tepat ke wajah Sukuna, untung saja saat itu Sukuna hanya mendengus, tak membalas perlakuan Gojo.

...

“Na, sebenernya gue bawa sesuatu yang menarik nih.” Gojo membuka pembicaraan saat kini mereka sedang makan malam bersama di meja makan.

“Jangan bawa barang maksiat ke rumah gue, ntar rumah gue ada setannya.”

“Elo kali setannya.” ujar Gojo. “Barang yang gue bawa ini seru, beneran.”

“Apaan emang?” tanya Sukuna. Di seberang mereka ada Megumi dan Yuuji yang terlampau fokus menghabiskan makan malam mereka, namun Megumi dapat mendengar pembicaraan mereka dan langsung mengerti apa yang dimaksud dengan Gojo.

“Yuk, ikut gue sekarang.” Gojo meletakkan sendok yang tadi ia pegang di atas piring yang telah tanda, mendahului Sukuna untuk berjalan keluar dari dalam rumah, di belakangnya ada Sukuna yang mengikuti ke mana pemuda itu berjalan.

Gojo membuka bagasi mobilnya, ia mengeluarkan sebuah tabung yang berukuran besar, melihat benda yang dipegang oleh Gojo membuat Sukuna mengernyit bingung.

“Apaan tuh?” tanya Sukuna heran.

Gojo tak langsung menjawabnya, ia membuka penutup tabung dan mengeluarkan sebuah tenda lipat yang ia bawa dari rumahnya. Ia membiarkan tenda lipat tersebut terjatuh ke tanah, matanya berbinar terang melihat benda itu.

“Taraaa! Kita bakal camping malem ini.” ujar Gojo dengan sangat antusias sambil menggerakan kedua tangannya untuk menunjuk tenda lipat yang berada di tanah tersebut.

Sukuna bungkam, mulutnya tak mampu mengeluarkan sepatah katapun. Sepasang irisnya menatap nanar tenda yang ada di tanah dan sosok Gojo yang ada di hadapannya. Tak pernah terpikir olehnya ide-ide aneh seperti ini.

“Ngapain ... ?” tanya Sukuna pelan.

“Pakai nanya lagi lo, ya kita camping lah! Kayak orang-orang di luar negeri itu!”

“Tapi kenapa di rumah gue, toil.”

“YA EMANG DI RUMAH.”

“Mana-mana ada orang bikin tenda kemah buat camping di rumah, anjir.” Sukuna memijit keningnya yang tiba-tiba terasa pening melihat perlakuan aneh Gojo.

“Ada, nih buktinya kita. Udah ah mending lo bantuin gue bangun tendanya.” suruh Gojo kepada Sukuna.

Entah mengapa tubuhnya tergerak untuk membantu Gojo membangun tenda lipat tersebut walaupun awalnya kesusahan karena instruksi yang ada di kertas sangat membingungkan, butuh waktu sekitar 1 jam setengah untuk membangun tenda tersebut hingga berdiri kokoh di tanah.

“Anjir, akhirnya jadi juga!” pekik Gojo senang.

Sukuna menarik napas rakus karena energinya terkuras banyak, “seneng lo.”

“Iya lah.”

Berikutnya Gojo mengeluarkan sebuah wadah yang terbuat dari baja dan di dalamnya berisi kayu-kayu kecil. Sukuna kembali terheran dengan Gojo.

“Ngapain lagi lo?” tanya Sukuna geram.

“Nyalain api unggun. Camping kalo gak ada api unggunnya bakal sepi.”

Astagfirullah. Itulah yang Sukuna ucapkan di dalam hatinya sekarang ini.

Gojo membasahi kayu-kayu yang ada berada di dalam wadah tersebut dengan minyak gas, tanpa diminta Sukuna mengeluarkan pematik dari dalam saku celananya untuk menyalakan apinya.

“HORE! API UNGGUNNYA NYALA!” teriak Gojo dengan heboh yang mengundang Megumi dan Yuuji untuk menghampiri mereka di perkarangan rumah.

“Wuih, camping!” pekik Yuuji senang.

Kayu yang dibasahi oleh minya gas tersebut menyala dengan besarnya, Yuuji dan Gojo memutari api unggun tersebut dengan senang sedangkan Megumi dan Sukuna hanya diam di tempat mereka, tak tahu untuk bereaksi apa lagi.

“Awas aja sampai ngebakar rumah gue.” kecam Sukuna kepada Gojo.

“Kalo kebakar tinggal dipadamin.” sahut Gojo dengan santai.

“Gila.”

Kini mereka berempat sudah duduk di depan tenda yang terpasang, sedang memainkan kartu UNO bersama-sama. Gojo tetap dengan kelakuan random-nya bahkan sesekali ia bermain dengan curang yang membuat Megumi dan Yuuji mengeluarkan protesan mereka.

“CURANG! KAK GOJO CURANG!” teriak Yuuji dan Megumi bersamaan yang dihadiahi cengengesan dari Gojo.

“Waduh, seru banget nih kalian lagi pada main kemah-kemahan.” celetuk seseorang yang baru saja memarkirkan mobilnya di dalam garasi rumah Sukuna.

“Bang Choso! Ayo ikutan sini.” ajak Yuuji kepada kakak tertuanya.

“Iya, nanti abang ikutan.” balas Choso dengan lembut, ia menghampiri adiknya dan menyerahkan plastik yang sedari tadi ia bawa, “nih, bang. Tadi bang Una nitip cemilan, ‘kan?”

Sukuna mengambil plastik yang berisi cemilan yang diberikan oleh Choso, ia memang sengaja meminta Choso untuk membelikannya makanan karena mereka kedatangan tamu. “Makasih, bang.”

“Iyaa.” Choso melepaskan jas hitamnya dan melonggarkan dasi yang berada di kerah kemejanya, sebelum berlalu dari tempat mereka, Choso menatap adik bungsunya dengan lamat, “adek, tidurnya jangan larut dan ajakin Megumi tidur. Bang Una sama Gojo malem ini tanpa rokok, ya.”

“SIAP LAKSANAKAN, BOS!” Gojo mengangkat tangannya untuk membentuk gerakan hormat kepada Choso.

“Lanjut main gih.”

Mereka melanjutkan permainan kartu ditemani oleh banyak cemilan yang dibeli Choso untuk mereka. Kini waktu sudah menunjukkan pukul 12, Yuuji dan Megumi sudah meninggalkan area camping seadanya itu, yang menyisakan Gojo dan Sukuna di sana. Gojo merebahkan tubuhnya di dalam tenda sedangkan Sukuna duduk diam di luar tenda.

“Kalo lo ketiduran di sini, lo bakal gue tinggalin sendirian.” tutur Sukuna.

“Anjing, jahat lo.” celetuk Gojo. “Kalo gue ketiduran lo harus bangunin gue.”

Dan, acara camping tersebut berakhir dengan helaan napas Sukuna yang kini kesabarannya tengah diuji. Gojo terlelap dengan pulas di dalam tenda, jadi Sukuna membersihkan sisa-sisa camping mereka hanya seorang diri.

[]

Sukuna sedang memainkan handphone-nya sembari duduk di atas jok motornya. Tangannya bergerak mengetik sesuatu di atas sana, saat ini dirinya berada di depan rumah seseorang, berniat untuk menjemput tuan rumah dan mengajaknya jalan-jalan di malam hari. Ia hanya berpakaian kasual; kaos hitam yang diliputi jaket denim yang berwarna sepadan, serta helm hitam yang hampir menutupi seluruh wajahnya. Tak lama kemudian, indranya mendengar bunyi pintu yang dibuka dan gerap langkah seseorang mendekat ke arahnya. Di sana sudah ada sosok Gojo.

“Lama.” protes Sukuna dengan wajah yang menampilkan ketidaksukaan, namun bukan berarti ia tengah marah, wajahnya memang selalu nampak menyeramkan.

“Gue boker tadi, yaelah lo.” balas sang kawan dengan nada antusias seperti biasanya.

“Buruan naik.” titahnya.

“Iye, iye.”

Gojo menaikkan tubuhnya ke atas jok motor Sukuna, lalu tanpa diminta atau aba-aba dari Sukuna, kedua tangannya melingkar ke sisi pinggang kekar Sukuna, mendekap temannya itu dengan erat.

“Anjing. Ngapain lo?”

“Pegangan lah, segala nanya aja.” balas Gojo santai, bukannya melonggarkan pelukan di pinggang Sukuna, pemuda itu semakin mempereratnya seolah-olah berkenan untuk melepaskannya.

“Lepas gak, anjir.”

“Kaga.”

“Sarap.”

“Buruan jalan, babu!”

Sukuna mendengus kesal, memang tak ada gunanya beradu mulut dengan sosok ular di belakangnya ini. Berkomunikasi dengan Gojo sama seperti berkomunikasi dengan dinding, keras dan tak ada balasan. Sukuna menarik napas pelan sebelum menyalakan motornya dan menginjak pedal gas. Dan, posisi Gojo tetap keukeuh berpegangan erat di pinggang Sukuna, seolah abai dengan pandangan bingung dari pengedara yang berpapasan dengan mereka.

“Na, lo mau ke mana dah?” tanya Gojo.

“Banyak tanya.” balas pemuda itu seadanya.

“Anjing.”

“Gue lagi kepengen makan di luar, palingan abis makan nongkrong.” timpal Sukuna.

“Oh.”

***

“Gue aja yang bayarin.” Sukuna membuka mulutnya setelah makanan yang mereka pesan tandas di atas piring masing-masing.

“Bagus lah, gue emang gak berminat ngeluarin duit gue.” jawab Gojo asal. Ia mengambil seputung rokok dari dalam kotak dan membakar tembakau tersebut.

Ck.” Sukuna bangun dari tempat duduknya, menuju kasir untuk membayar tagihan dari pesanan mereka. Setelah membayarnya, pemuda itu kembali duduk di tempatnya dan menatap lekat sosok temannya itu yang tengah asik memainkan benda berukuran persegi panjang tersebut.

“Nih.” Gojo menawarkan kotak rokoknya ke arah Sukuna, tanpa diperintahkan dua kali, pemuda itu mengambil seputung rokok dari dalamnya dan menyalakannya. “Yuuji katanya mau nitip sesuatu noh.” sambung Gojo, saat dirinya sedang mengunggah sesuatu di sosial media, ia melihat Yuuji meninggalkan komentar di unggahannya.

“Nanti bisa aja nge-chat sendiri.” balasnya.

Btw, abang lo gak ngebolehin lo ngerokok, ya, Na?” tanya Gojo.

“Sebenernya gak, lo tau ‘kan bang Choso tuh strict ke keluarganya, makanya gue sering ditegur sama dia kalo lagi ngerokok. Dia tau kalo gue udah kecanduan rokok, makanya dia minta buat ngurangin.” jelas Sukuna sembari mengeluarkan kepulan asap dari dalam mulutnya.

“Keren ya bang Choso, gak kayak adeknya gak waras.” Gojo terkekeh.

“Lo yang bikin gue gak waras.”

“Ngaku juga lo kalo lo gak waras.”

“Hm.”

[]

Seperti biasanya, Gojo sudah memarkirkan motor ninja kesayangannya dengan apik di garasi rumah keluarga Sukuna. Baginya rumah Sukuna seperti rumah keduanya, karena bahkan hampir setiap waktu Gojo berada di dalam rumah tersebut, untuk menemani Sukuna tentunya.

Matanya memicing ke arah samping, di mana ada motor yang terparkir. Gojo berdehem mengenali pemilik motor tersebut. Kemudia ia menyengir sambil terkekeh pelan.

Ini motor kreditan kok ada di sini.” Gojo bermonolog di dalam hati sambil memukul pelan jok motor tersebut.

Dengan anteng dia berjalan memasuki rumah tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Untuk informasi tambahan, Gojo itu sosok orang yang sempurna bagi orang yang pertama kali melihatnya, namun ada ribuan minus yang tertanam di dirinya, salah satunya minim sikap.

“WUIH RAME AMAT NIH GUE LIAT-LIAT.” Gojo berucap dengan intonasi yang nyaring.

Ia melihat ada 4 orang yang tengah duduk di depan televisi sembari bermain video game di sana. Gojo menyeletuk tetapi tak membuat 2 pemuda yang sedang main game tersebut terganggu, mereka memilih abai atas kehadiran hama tersebut.

“HALO MANUSIA? DIEM-DIEM AJA LO PADA PAS GUE DATENG, KESAMBET?” ujarnya sekali lagi, ia ingin mendapatkan banyak atensi dari orang-orang tersebut.

“Berisik, monyet.” timpal Sukuna yang duduk di atas sofa sambil memakan cemilan, ia tak menatap kawannya itu dan memilih untuk memperhatikan adiknya yang bermain game bersama temannya.

“Muka lo tuh monyet!” balasnya.

Gojo langsung mengambil tempat duduk di samping Sukuna, merampas cemilan yang sedang ia makan. “Anjir lo.” sungut pemuda itu.

Sedangkan Gojo tak peduli apa yang dilontarkan Sukuna padanya, ia merogoh saku celananya dan melemparkan sebungkus rokok pesanan Sukuna.

“Gantinya ciuman.” Gojo berujar.

“ANJING.”

“AWOKAWOAKWOKA.”

Melihat wajah Sukuna yang menatapnya dengan amarah membuat Gojo terbahak. Menjahili Sukuna merupakan hobi yang menyenangkan baginya.

“Wih udud!” Adiknya berucap antusias saat melihat saudara tengah memegang rokok.

“Mau gak, Ji?” tawar Gojo.

“Ya kali enggak, mau dong, bang!” Yuuji menatap kakaknya dengan tatapan berbinar, meminta seputung rokok pada sang kakak.

“Gak, lo masih kecil sok-sokan mau ngerokok, gak boleh.” larang Sukuna dengan tatapan sadis.

“Bang Sukuna gak seru, ah! Lanjut main aja yok, Gumi.” Terdengar kekecewaan di nada bicaranya.

“Eh, ada anak kecebong. Ke mana aja lo, Megumi? Gak nyangka lo udah gede aja.” Gojo mendramatisir saat melihat Megumi yang duduk di sebelah Gojo, anak itu tak ada perubahan, tetap tak banyak bicara.

“Apa sih, kayak gak lama ketemu aja.” sungut Megumi mencoba untuk mengabaikan panggilan setan tersebut.

“Jo, main di kamar gue aja, di sini udah dipakai Yuuji, Megumi, Ara.” ajak Sukuna.

“HAH? MAU NGAPAIN LO?!” Gojo lagi-lagi berteriak. “Cukup, Na. Gue emang temen lo, tapi gue ini pria sejati.”

“Alay lo.”

Gojo terkekeh melihat ekspresi jengah yang ditunjukkan oleh Sukuna, tanpa bicara lagi, ia langsung berjalan mendahului Sukuna menuju kamar karibnya tersebut. Setelah Sukuna menyusul Gojo di belakang, Nobara menyenggol lengan Yuuji dengan sikunya.

“Kok bang Sukuna tahan ya temenan sama kak Gojo? Dipelet ya abang lo?” tanya Nobara dengan penuh rasa penasaran.

“Gue juga bingung, lo pada ‘kan tau gimana susahnya bang Sukuna bersosialisasi sama orang, tapi pas temenan sama kak Gojo malah akrab banget.” Yuuji merotasikan matanya dan tiba-tiba rasa penasan juga muncul.

“Gue yakin bang Sukuna kena pelet.” Nobara berujar dengan mantap.

“Yang udah kenal sama kak Gojo dari kecil cuman bisa diem ... ” Tiba-tiba Megumi membuka suaranya dan wajahnya masih datar seperti biasanya.

“Gue rasa lo udah gila.” ujar Nobara.

“Emang.”

[]

“ASSALAMUALAIKUM, SUKUNA. WOI, SUKUNA. ASSALAMUALAIKUM.”

Gojo memarkirkan motor sport hitam miliknya di depan garasi rumah Sukuna, setelah menurunkan pedal gigi dan lalu mematikan motornya. Ia berjalan dengan leluasa memasuki perkarangan rumah Sukuna layaknya rumahnya sendiri. Toh, Jin sudah menganggap dirinya sebagai anak kandungnya dan membiarkan dirinya sesuka hati untuk keluar masuk ke dalam rumah mereka.

Pemuda itu memainkan kunci motor di jari telunjuknya serta sesekali memberikan salam dengan intonasi suara yang nyaring.

“ASSALAMUALAIKUM, SUKIJAH. KELUAR LO WOI MONYET.” teriak Gojo lagi.

Tanpa ia sadari, ada figur Jin yang duduk di kursi teras rumah sambil membaca koran dan ditemani segelas kopi hitam; bapak-bapak thingy, pikir Gojo.

“Eh! Ada, nak Gojo. Habis dateng dari mana kamu, nak?” Pak Jin menurunkan kacamata bacanya hingga ke hidung, menganalisis penampilan Gojo dari atas hingga bawah, “dari tampangnya abis daring sama pacarnya nih.” sambung Pak Jin. Namun, mendengar kata daring membuat Gojo kebingungan.

“Hah? daring apaan, Pak?” tanyanya. Saat ini dirinya bukan lagi anak sekolahan yang melakukan daring dan lagipula untuk apa dirinya melakukan daring bersama pacarnya.

“Itu loh, nak. Anak muda zaman sekarang ini sering daring sama pacarnya, nongkrong-nongkrong di luaran, kayak kamu gitu loh, nak Gojo.” jelas Pak Jin dengan logat bahasanya yang masih tercipta di lidahnya saat berkomunikasi.

Daring ngapain dah, kagak ngerti serius.

“OOOHH! DATING YA MAKSUD BAPAK?” Gojo terbahak setelah mendapati maksud dari perkataan Pak Jin, maklum sudah tua.

“Nah itu maksud bapak!” Pak Jin memvalidasi ucapan Gojo.

Selang beberapa menit Pak Jin dan Gojo bercakap di teras rumah, tak lama Sukuna datang dengan muka bantal dan mendengus menemukan sosok paling menyebalkan di dalam hidupnya kini telah berada di depan rumahnya. Melihat Sukuna berdiri di dekatnya, Gojo langsung terkekeh-kekeh pelan.

“Ngapain lagi lo?” sungut pemuda itu.

“Ngajak main lah.” jawab Gojo antusias.

“Lagi gak mood.”

“Hari keberapa emangnya lo?”

“Apanya?” Sukuna menaikkan alisnya terheran dengan pertanyaan aneh si Gojo.

“Mens.” jawab Gojo santai.

“Toil!” Sukuna hendak melayangkan tangannya ke atas kepala Gojo, namun kawannya itu sikap dan langsung menghindar dari ancang-ancang Sukuna.

“Yok ah main tanah! Numpung gak terlalu panas nih, lo ‘kan suka main tanah.” ajak Gojo.

“Gak dulu, ya, nak Gojo. Sukunanya harus bobo siang dulu.” celetuk sang bapak.

Gojo kembali terbahak mendengar ucapan Pak Jin yang menurutnya sangat lucu, sedangkan Sukuna tak tahu harus bereaksi apalagi untuk menanggapi keabsurdan temannya itu. Terpantau sudah sangat lelah lahir dan batin.

“Yok, kita gali tanah buat jorokin lo ke dalam tanah abis itu gue kuburin.”

“ANJORT. JAHAT BETUL LO!” Gojo melayangkan protesan sambil memegang dadanya dengan kedua tangan untuk mendramatisir keadaan.

“Buat ngurangin hama di dunia.”

Suckid.

Setelah itu Gojo masuk ke dalam rumah Sukuna, tanpa meminta izin kepada si pemilik rumah terlebih dahulu. Sukuna sudah terlampau sabar dan tabah menghadapi kelakuan Gojo yang luar biasa itu.

“Jo, lo ngapain lagi ke rumah gue? Gue mau tidur.” Perkataan Sukuna menghentikan langkah kaki Gojo, lalu pemuda itu berbalik untuk menatap temannya itu.

“Yeu, kok lo malah tidur.” sungut Gojo membalas perkataan Sukuna.

“Ya, abis ngapain?” tanyanya.

“Katanya lo tadi ngajakin gue keluar, makanya gue ke sini.”

Sukuna terdiam di tempatnya sebelum memproses perkataan yang dilontarkan oleh Gojo, setelah mengakhiri obrolan dengan Gojo melalui via iMessage, dirinya memutuskan untuk tidur.

“Oh.” Sukuna bergumam.

“Lah ‘oh’ doang, buruan lo ganti baju kita keluar sekarang.” titah Gojo.

“Iye, bentar.”

Gojo menempatkan dirinya di atas sofa ruang tengah, tempat di mana ia sering bersantai di rumah Sukuna. Dirinya tengah memainkan handphone sembari menunggu Sukuna selesai bersiap-siap.

Menurutnya, jalan-jalan bersama Sukuna merupakan kegiatan yang cukup menyenangkan sebab Sukuna selalu mengajaknya ke tempat yang bagus untuk dinikmati oleh kaum pemuda seperti mereka. Jika diingat-ingat, Gojo lebih banyak menghabiskan waktu bersama Sukuna dibanding dengan Utahime, pacarnya.

Utahime saat ini berprofesi sebagai guru TK dan membuka usaha toko roti yang mana dirinya jarang meluangkan waktu kosong dikarenakan pekerjaan sehari-harinya membuat Utahime menjadi super sibuk.

Toh, lagipula Utahime dan Gojo saling memaklumi satu sama lain. Utahime membiarkan Gojo ke manapun dia pergi selagi tak ada dirinya yang menemani Gojo. Omong-omong, saat ini Gojo tak melakukan kegiatan apapun. Dirinya memilih gap year setelah lulus sekolah dan belum berminat mencari pekerjaan yang pas. Walaupun ia hidup seorang diri, Gojo tak pernah merasa kekurangan.

[]

Mentari menyinari alam semesta, menghantar terik ke seluruh permukaan. Terhantar di bawah hamparan segumpal awan; tempat yang indah, pikirnya. Angin menerpa pori-pori kulitnya, bergesekan dengan kulit tebalnya yang menciptakan germang hingga seluruh badan. Ia bahkan tak mengenali di mana tukainya berpijak. Semuanya indah namun terasa hampa. Tak ada bau kehidupan, tetapi tersampir harapan. Ia dapat merasakan hal itu.

Rumput-rumput yang menjulang tinggi, harum semerbak yang menyeruak ke rongga hidung dan menelusup hingga ke jiwa. Ia sungguh mengaggumi tempat ini, namun ia tak sadar bahwa ia tak berada di bumi. Ia dapat mendengar suara air yang mengalir, begitu damai dan menenangkan.

Mendongak kemudian, tersadar jikalau sang surya tak berada jauh dari kepala, lamun tentram yang ia rasa. Kedua belah tungkai lantas bergerak maju ke depan, meraih banyak atensi dan memotret panorama yang ada. Seketika tubuhnya menegang dan tungkainya berhenti berpijak. Ia tak seorang diri, ia menemukan sosok lainnya yang tengah duduk di atas sebongkah batu besar di tepi sungai yang mengalir. Mereka bersitatap, sosok itu tersenyum ramah dan indah.

...

“Eren ... ?!” Aku melolongkan namanya.

Aku tak berada di dalam sebuah halusinasi, telak dengan jelas di depan sana aku melihat personafikasi Eren. Dia tengah tersenyum ke arahku sembari menjulurkan tangannya, seolah mengajakku kemari.

“Asa, kamu harus tau kalo semua ini hanya ilusi dalam mimpi. Aku yang merancangnya supaya kamu bisa ketemu aku.” Eren meraih tanganku intuk ia genggam.

“G-Gak mungkin! Ini kayak nyata!” Aku berusaha menyangkal ucapannya.

“Nyata dalam mimpimu, Sa.” balas Eren. “Sebenernya ada banyak hal yang pengen aku lakuin bareng kamu, tapi takdir berkata lain, ya? Gak apa-apa, aku sudah menerimanya dengan lapang dada.”

“Ren, k-kenapa bisa ... ” Eren membungkam mulutku dengan menyatukan bibir kami.

Eren telak menciumku saat ini. Aku merasakan bibir manis sehalus kapas itu. Katakan padaku bahwa ini bukanlah mimpi belaka, aku dapat merasakan eksistansinya.

“Jangan dipikirin hal yang di luar nalar manusia, cukup diam dan nikmati.” titahnya yang seolah mutlak.

Lalu, aku memilih bungkam. Menjulurkan kedua tanganku untuk memeluknya dan hangat tubuhnya masih sama seperti sedia kala. Aku masih ingat rasa hangat pada pelukan terakhir kami.

I miss you so much.” Aku menuturkan perasaan yang paling membuncah di hatiku selama ini.

“Sa, I miss you too. Maaf aku harus pergi lebih cepat, tapi aku merasa tenang. Setidaknya hingga pada hari ini kamu bahagia ... bersamanya.” Intonasi Eren merendah di bait terakhirnya.

Aku tahu apa maksudnya, namun aku terlampau enggan untuk membahasnya. Waktu seperti ini mungkin tak akan terulang dua kali, lebih baik aku habiskan untuk mengungkap segala perasaanku. Eren masih memelukku dengan erat, kepalanya tersampir di atas bahuku, sedang tangannya mengusap punggungku dengan usapan yang begitu lembut.

“Sa, tolong relakan aku dengan benar.” ujarnya lagi.

“Aku gak mampu.” Itulah jawabanku.

Usapan Eren semakin lembut, “aku sudah lama pergi jadi relakan aku, ya?”

“Eren, aku gak bisa!” Aku memekik dengan dentuman rasa sakit di dada.

Eren melonggarkan pelukan kami, netra hijaunya menatap ke arahku, menyalurkan hawa tentram ke sekujur tubuhku. Setiap kali aku menatapnya maka semakin besar perasaanku padanya. Eren benar, hingga pada detik ini aku masih belum bisa benar-benar merelakan kepergiannya.

“Kamu pasti bisa. Gak ada hal yang perlu kamu tunggu, aku gak akan bisa kembali seperti semula, Sa. Jalan yang terbaik adalah merelakanku.”

“Kenapa harus?”

Eren tak langsung menjawabku, “kamu selama ini mengunci pergerakanku.”

Lantas aku termenung dengan suaranya yang menggema di telingaku. Apa Eren tak bisa pulang ke atas sana karena perbuatku? Apa perasaanku ini menghalangi jalannya?

“Bukan begitu, Sa. Kamu gak menghalangi apapun, tapi merasakan kamu yang masih menyimpan luka dalam duka membuat aku susah untuk benar-benar pergi, aku merasa ada satu hal yang belum sepenuhnya rampung. Perasaan di hatiku masih ada yang rumpang dan di sana ada kamu, Sa.”

“Aku merasakan hal yang sama kayak kamu. Cinta, ‘kan? Aku belum pernah mengutarakan dengan gamblang, ya? Oke, numpung ada waktu hari ini aku mau jujur semua hal sama kamu. I loved you and ever dreaming to coexist with.” Aku dapat melihat senyuman itu yang kian melebar, aku termaktub dalam ucapannya.

Perasaan tenang menjalar ke seluruh tubuhku, mendengar utaran perasaan dari Eren membuatku senang dan tenang. Apakah hal ini yang aku harapkan selama ini? Aku memandangi Eren dengan lekat, wajahnya sumringah dan begitu tentram.

“Eren, I’ll always to love you.

Lega. Itulah perasaan yang ada di hatiku saat ini. Kami telah mengutarakan cinta yang tak akan pernah sirna. Eren kembali mendekapku erat, lalu membuat jarak di antara aku dengannya. Tanpa berucap Eren melangkah menjauh dariku, panggungnya semakin jauh untuk kuraih. Tentu refleks panik yang kutunjukkan, namun tungkaiku tak dapat bergerak untuk mengejarnya. Aku meraung di dalam tangisan sembari memanggil namanya.

Sebelum Eren melepaskan pelukan terakhir kami, aku mendengarnya berkata.

“Mikasa. Terima kasih sudah memilih laki-laki yang baik. Aku memang gak akan bisa pulang lagi, tapi percayalah aku akan terlahir kembali. Selamat tinggal.”

Apakah aku baru saja merasakan romansa dalam nirwana? Sungguh klasik namun mengasyikkan. Aku berhenti menangis, mengangkat bilah bibirku untuk tersenyum sembari berujar, “rest well, Eren.”

...

“Sayang? Hei, wake up.” Aku mendengar suara seseorang yang menginterupsiku.

“Mikasa?”

“Hei. Babe, wake up! You scared me.

“Mikasa!”

Sontak tubuhnya terbangun dari alam bawah sadar, netraku langsung mengedar ke seluruh penjuru ruangan. Aku mendapati figur suamiku yang duduk sembari menatapku dengan khawatir. Tak lama, ia memeluk tubuhku erat.

“Kamu kenapa, Sa? Mimpi buruk, ya? Aku tadi denger kamu nangis.” ujarnya.

Aku kebingungan mendengar pernyataan dan pertanyaannya beruntun yang ia lemparkan padaku, “nangis?” tanyaku.

“Iya, pas denger suara kamu nangis tadi, aku langsung bangun dan kamu masih tidur. Aku takut kalo terjadi apa-apa sama kamu, sayang.” Aku merapatkan tubuhku pada tubuhnya yang kekar. Mencari kehangatan di sana sembari terkekeh.

“Aku gak ingat apapun, jadi aku gak tau kenapa aku bisa nangis di mimpi.”

Aku memamg tak ingat apapun perihal mimpi yang aku alami tadi malam yang malah membuatku menangis. Apa aku baru saja mendapatkan mimpi buruk? Ah, sungguh aku tak mampu mengingatnya.

“Ssut—sudah. Aku gak apa-apa kok, Jean. Palingan cuman mimpi, bunga tidur aja.”

“Kalo ada apa-apa bilang ke aku, ya? Biar kita selesaikan bareng-bareng.” pintanya.

“Iyaaa, suamiku yang bawel.”

Jean beranjak dari tempat tidur yang kami tempati dan bergegas untuk mandi. Sedang aku merapikan tempat tidur dan membenarkan letak piyama yang kukenakan.

Brak.

Sebuah benda jatuh di atas punggung kakiku dan segera mengambil benda tersebut. Dan, tiba-tiba aku tersentak melihat benda itu. Sebuah kalung dengan liontin berbentuk kunci. Aku menatap kalung tersebut lamat. Benar. Ini adalah kalung yang Eren kenakan waktu dulu, ia yang membelikannya untuk Eren.

Mengunci?

Tanpa sebab kata itu teringat di kepalaku. Aku menggelengkan kepalaku mencoba untuk menjauhkan pikiran yang tidak-tidak. Omong-omong, aku juga mempunyai kalung yang sama dengan milik Eren. Liontin milikku berbentuk gembok mungil yang mengirlap indah.

Ah. Kematian Eren waktu itu bukan tanpa alasan. Ia menjadi sasaran empuk untuk pembalas dendam dari dosa ayahnya. Ternyata Grisha Yeager mempunyai istri pertama sebelum menikahi mama Carla dan beliau juga mempunyai satu anak laki-laki yang tak lain adalah kakak tiri Eren. Istri pertama dan anak laki-lakinya melakukan pembunuhan berencana kepada Eren untuk memberi efek jera dan sakit yang mendera kepada Grisha dan Carla.

Sungguh ironis. Mengapa Eren yang harus menanggung dosa mereka?

Tentu saja aku tak dapat memaafkan perbuatan mereka, hukum dunia tak mampu membalas nyawa Eren. Biarlah semesta memberokan ganjaran yang setimpal untuk pelaku.

Perihal mama Carla dan Grisha. Mereka merasakan sakit yang luar biasa setelah mengetahui kebenarannya, Grisha meminta maaf kepada Eren atas perbuatannya. Sedang mama Carla memilih untuk melanjutkan hidupnya dalam rasa sakit, ia ingin memberikan seluruh hidupnya untuk Eren. Saat ini keduanya telah menua dan lantas tiada. Mama Carla telah memberikan arti kehidupan kepada Eren.

Aku merindukan masa-masa itu. Di mana duniaku hanya ada figur Eren.

...

Sayang, bisa jemput Gabi hari ini gak? Aku lagi ada banyak urusan di tempat kerja.

Jean berujar dari seberang telepon dan Gabi adalah putri pertama kami.

“Bisa kok, sekalian juga mau ajak Gabi jalan-jalan. Semangat ya, Jean.” ujarku.

Terima kasih, sayang.

Jean menutup sambungan telepon kami, segera aku merapikan penampilanku untuk menjemput anakku di sekolah barunya.

Aku menunggu Gabi di depan sekolahnya bersama para orang tua lainnya. Tak selang beberapa menit kemudian, Gabi berlarian menghampiriku dengan tangan yang melambai gembira. Aku terenyuh melihat perkembangan Gabi yang kini menjadi anak yang besar.

“Mama!” teriak Gabi.

“Anak mama yang cantik. Gimana sekolah kamu, sayang? Sudah punya temen baru?” tanyaku kepada Gabi. Melihat sosok Gabi selalu mengingatkanku kepadanya. Menurutku, keduanya memiliki kesamaan yang mencolok.

“Baik aja kok! Aku punya temen baru, Ma! Tapi ya, ma, aku tuh bosen kalo di sekolah ketemu Falco mulu. Ih dari kecil selalu aja ketemu dia, nyebelin banget.”

Gabi saat ini sangat menggemaskan di mataku, aku berjongkok menjajarkan tinggiku dengan tinggi badannya. Merapikan rambut coklatnya yang berantakan, lalu tersenyum simpul.

Omong-omong, Falco adalah anak dari Armin dan Annie. Memang dari Gabi masih kecil Falco selalu menemaninya.

“Boleh mama tau siapa temen barunya Gabi? Mama boleh kenalan gak?” ajuku pada putriku tersebut.

Gabi memhangguk antusias, “tentu!” Jari telunjuknya ia letakan di atas dagu, “aduh! Tadi nama temenku siapa, ya ... ish, lupa.”

Aku kembali terkekeh, “ayo inget-inget dulu siapa nama temennya.”

“Lupa, ma!” Gabi memutar badannya kesana-kemari sembari memikirkan nama temannya itu, tiba-tiba saja Gabi berlari menjauh dariku untuk menghampiri seseorang yang berada di belakangku. Aku memutar tubuhku untuk memperhatikan Gabi.

“Mama! Ini nih temen baruku!” Gabi berteriak nyaring sambil menarik lengan anak laki-laki yang umurnya sepantaran dengan Gabi. Betapa terkejutnya aku melihat anak itu berjalan mendekatku.

Eren ...

Aku tak mungkin bermimpi saat ini, anak itu benar-benar seperti perawakan Eren waktu Eren masih kecil dulu. Mata hijaunya, ekspresi gundahnya, seperti yang Eren perlihatkan pada saat dulu. Aku merasakan badanku melemah dan tungkaiku seperti tak mampu menahan berat badanku.

“Temen, perkenalin nama kamu ke mamaku. Soalnya mamaku pengen kenal sama kamu.” Suara Gabi masih antusias.

Aku tak dapat memalingkan pandanganku dari anak ini dan ia lantas memandangku dengan tatapan serius. Pandangan yang sama seperti milik Eren.

“Halo, mamanya Gabi. Namaku Eren, temennya Gabi. Salam kenal.” Bahkan suara anak itu sangat mirip dengan Eren.

E-Eren?  Keduanya memiliki nama yang sama. Tangisanku ingin pecah saat ini juga, aku mendudukkan badanku untuk menatapnya lekat, tangan gemetarku meraih pucuk kepalanya.

“Eren ... ”

“Cuman Eren.”

Tak akan pulang lagi, tapi terlahir kembali. Aku tiba-tiba mengingat kalimat itu, akankah anak ini adalah Eren yang sudah terlahir kembali ke dunia ini? Aku merasa sangat bahagia melihat Eren lagi.

“S-Salam kenal, Eren.” Dia tersenyum lebar ke arahku.

Eren must have named you.

—end.

Tangis penuh lara dan berkabung dalam dera yang menguasai relung kalbu. Tak ada secercah cahaya yang berpedar di dalam sanubari, serta suara manusia yang diam membisu. Derai gerimis hujan membasahi tanah yang menguarkan haru biru. Gundukan tanah basah yang terusun secara rapi di hadapan para manusia itu, ikut serta mengubur harsa yang pernah menimbulkan asa untuknya. Tungkai melangkah mundur meninggalkan pijakan sedari ia berdiri, merampungkan segala memoria yang masih belum sepenuhnya tuntas. Rasanya diri mereka telah terkubur dalam rasa kesedihan yang membara.

Telah berusaha keras untuk menghalau rasa yang mengacaukan setiap langkah kakinya. Namun, rasa pelik itu tak kunjung pergi dan kian menyulut nestapa di dalam dirinya. Hampa yang ia rasakan, matanya mengedar pada ekspresi iba yang ditunjukkan oleh orang-orang padanya. Walau mereka mengucapkan beberapa patah kalimat, akan tetapi dirinya bak tuli. Tak dapat mendengar apapun kalimat-kalimat yang terlontar.

Terlarut dalam delusi masa lalu hingga tak menyadari orang-orang mulai melenggang pergi dari dekatnya. Tubuhnya terkulai lemah, terpaan angin kencang tak mampu membuat dirinya menggigil, nampaknya kini dirinya tengah mati rasa. Wajahnya yang basah akibat gerimis hujan bercampur dengan simbahan air mata yang tak kian berhenti. Tak lain adalah Mikasa.

Sosok yang teramat disegani oleh orang-orang disekitarnya, disenangi, dan tentunya disukai oleh khalayak ramai. Tipikal seseorang yang bisa berbicara dengan siapa saja tak pandang bulu maka dari itu namanya cukup tersohor di kalangan kota. Tak sekalipun orang-orang melihat dirinya terlarut dalam aliran kesedihan, namun hari ini berbeda. Mereka semua telak melihat bagaimana rapuhnya pemuda itu.

Dirinya telak menangis deras, memperhatikan gundukan tanah dari kejauhan; kehilangan Eren rasanya seperti kehilangan setengah jati dirinya.

“Asa, lo bisa kedinginan.” Seseorang menyalak pelan dari belakang sosok itu, menadahkan payung untuk dirinya.

“Eh? Thanks.”

Remember this; people come and people go. Whether how much your pain is, you really have to face it and keep alive. If someone just left you behind, doesn’t mean your feets stop step up forward. Mikasa, you still have a long way to go, losing someone can’t be hung up your way. All the people here definitely are sad too.” pungkas laki-laki itu telak mendengung di telinganya, ia dapat mendengar dengan jelas suara tegas itu.

“Ya ... ” Lidahnya masih terasa kelu, luka di hati semakin menganga.

Once again, thanks.

Personifikasi pria jangkung itu bernama Jean Kirstein, tubuh itu hanya mengikis jarak dan merengkuh tubuhnya yang rekah. Sosok itu menyaluruhkan ribuan kehangatan untuk dirinya melalui dekapan itu.

Carla tak menghadiri acara pemakaman anak tunggalnya, bukan tanpa sebab belaka, ia hanya tak mampu melihat Eren dimakamkan di bawah tanah dan melihat tubuh ringkih itu tertimbun, merasakan jiwa Eren yang terbang di atas angkasa.

Serta, pembunuhan yang melibatkan Eren itu terjadi atas dasar perintah seseorang yang menjadikan Eren sebagai target utama.

Mikasa mengedarkan binar sayupnya ke arah Armin yang bersimpuh di dekat tonggak penada makan Eren. Wajah pria itu basah akan air mata yang membanjiri seluruh wajahnya.

“Eren, tell me that this is just a ruse. You used to teased me a lot but don’t exaggerate this.” Armin berujar lirih.

Belasan tahun mereka habiskan bersama-sama membuat Armin begitu berat jika harus kehilangan Eren untuk selamanya. Bak ada ribuan godam yang menghunus ulu hatinya, menyebabkan luka yang menganga. Haru tangis tak dapat mengembalikan situasi ke sedia kala. Apa yang ia saksikan hari ini adalah nyata.

“Eren ... ” aju pria itu lagi.

“Armin, ayo pulang ... kita sudah mengantarkan Eren kembali pulang ke rumahnya. Gue merasa kalo saat ini Eren lagi melihat kita semua dan dia cukup berterima kasih.” Mikasa meraih punggung Armin, bak ingin menyalurkan energi tersisa yang ia punya untuk membangkit Armin.

“Mikasa ... dia pasti bahagia.”

Mikasa belum sepenuhnya rela, hatinya masih terluka. Namun, Eren seolah berkata padanya bahwa ia merasa lebih baik menetap di atas sana. Eren tak sepenuhnya mati, raganya memang pergi tetapi jiwanya masih ada di hati. Di dalam hati Mikasa.

[]

Jikalau manusia mampu hidup dalam mimpi yang abadi, maka mereka akan memilih mati untuk berada dalam mimpi. Mereka hidup namun tak ada kehidupan, tak ada gairah yang membakar jiwa, tak ada gurau yang membara. Termaktub dalam delusi yang memanjakan diri. Tawa yang kian mereda, hawa kesedihan yang mendera. Itulah roda kehidupan manusia. Tak ada satupun yang sempurna, sekali dapat keinginan maka secepatnya akan sirna. Toh, manusia digerakkan oleh takdir yang mengikat sanubari-nya, mengindahkan segala skenario yang tertanam dalam relung hati. Lantas, untuk apa mengadu nasib?

Yang datang akan pulang, yang pergi tak dapat kembali. Itulah nyatanya. Siapa yang mampu melawan garis takdir? Sekeras apapun raungan, jika takdir telah berkata; manusia mampu melakukan apa?

Mikasa dan pria-nya, Eren Yeager. Kala itu, Eren datang menjemputnya dalam kegelapan, mengangkatnya dari keterpurukan. Mengajaknya untuk berjalan menuju arah pulang, tempat di mana mereka katakan sebagai rumah. Eksistansi Eren di dalam hidupnya sangat berarti, maka sebab itu Mikasa menyerahkan seluruh jiwa dan raganya untuk Eren sebagai tanda terima kasih.

Namun, Mikasa terlupa akan satu bait selanjutnya. Dia akan pulang. Bukan ke tempat yang mereka anggap rumah, namun ke tempat di mana Eren menemukan keabadian, lebih cepat yang pernah ia kira.

Alat yang terpampang di samping bunker yang di tempati Eren mengeluarkan suar suara yang menggema ruangan hampa. Per sekon suara yang ia keluarkan mampu mempercepat debaran anomali semua orang yang berada jauh dari dalam ruangan. Gelombang denyut jantung dari monitor Electrocardiogram bergerak abnormal, menunjukkan bahwa pria itu tengah kritis. Mikasa dapat menyaksikan sosok Eren yang terbaring jauh di sana. Wujud pria-nya mengenaskan dan membuatnya meringis tak kuasa.

“Mika ... sa?” panggil karibnya. Mikasa masih acuh akan suara yang mencoba meraih atensinya. Seseorang mendekapnya begitu erat hingga rasanya semakin sesak.

“Eren ... kenapa? K-Kenapa harus Eren?” pertanyaan retorik yang Mikasa lemparkan. Nada wanita itu sangat lirih dan terdengar begitu rapuh. Seseorang itu adalah sahabatnya, Armin Arlert. Dengan penampilan yang sama buruknya dengan dirinya.

“Gue gak tau, Sa. Gue gak bisa memikirkan hal ini dengan waras, semuanya begitu cepat dan spontan.” jawab Armin.

“Mikasa, sayang ... ” Suara lembut yang Mikasa dengar, seolah tahu dengan benar siapa pemilik suara tersebut. Kepalanya mendongak untuk menatapnya. Di sana, berdiri tak jauh dari dirinya sosok sang ibunda yang sedari tadi mengkhawatirkan anak satu-satunya.

“Mama.” lirih Mikasa, meraih tubuh mungil Carla untuk masuk dalam dekapannya.

“Berdoa ya, sayang ... kita percayakan semuanya pada keajaiban, Eren anak yang kuat, mama yakin dia pasti bisa melewatinya.” Kalimat-kalimat penenang itu masih belum bisa menenangkan Mikasa. Selagi Eren masih berada di dalam sana, Mikasa tak akan bisa tenang.

Kepala Mikasa terasa begitu berat dan menyiksa, setiap kali netranya bersitatap dengan siluet Eren maka timbul lah getaran yang menyebabkan kepalanya sakit. Matanya terpejam erat serta tangan yang bertaut di depan dada. Berharap penuh bahwa Eren dapat kembali ke dunianya. Namun, takdir rupanya begitu egois untuk tetap berjalan sesuai arahnya.

Monitor Electrocardiogram menggambarkan gelombang lurus. Seluruh pihak tenaga kesehatan yang berkerja begitu keras di dalam sana sama egoisnya, mereka melakukan kejut jantung berulang kali agar denyut jantung-nya dapat berjalan normal seperti sedia kala, berharap penuh dapat menyelamatkan jiwa yang tak berdosa. Akan tetapi, Eren telah memilih jalannya untuk kembali pulang ke mana ia berasal.

Mikasa, Armin, dan Carla membelalakkan mata mereka tak percaya. Mereka melihat dengan jelas bagaimana detik-detik terakhir denyut jantung itu berhenti berdetak, satu persatu alat bantu yang menempel di tubuhnya perlahan dilepaskan. Membiarkan sosok yang baru saja kehilangan jiwanya tersebut mampu beristirahat dalam kedamaian abadi.

“Maafkan saya karena belum mampu menyelamatkan Eren, takdir tidak berada di dalam genggaman kami, semua itu bergantung kepada Sang Pencipta dan Eren itu sendiri. Saya sudah berusaha semaksimal mungkin, begitu pula Eren. Dia sudah berjuang begitu banyak untuk kembali bertahan hidup walau pada akhirnya memilih mengikuti jalan takdir.” ujar dokter tersebut dengan nada yang pelan. Tak mampu menyelamatkan nyawa manusia memang meninggalkan luka yang membekas, namun mereka sadar bahwa mereka hanyalah manusia biasa.

Shut up!” teriak Mikasa nyaring.

Tak peduli apa yang dikatakan oleh dokter tersebut, ia menerobos masuk ke dalam ruangan ICU untuk menemui pria-nya.

“Eren ... ” Tentu tangisan pecah begitu saja saat dirinya melihat sosok Eren yang berbaring tak berdaya di atas bunker.

“Hei, suicidal blockhead. Although you’re in a precarious state and you’re dying now, you’re still boasting. It’s not fun at all, wake up! Why don’t you listen to me?!” Mikasa merengkuh tubuh Eren dengan erat, mengguncangkan tubuh ringkih Eren untuk bangun kembali walau usahanya hanya berakhir sia-sia.

Carla dan Armin menangis melihat Eren yang kini telah tiada, seolah tertampar oleh kenyataan bahwa Eren benar-benar pergi meninggalkan mereka semua. Armin memegang pundak Carla dikarenakan wanita paruh baya itu sangat lemah dan ingin tumbang.

“EREN, WAKE UP!” teriakan itu memekakan telinga, terdengar memilukan sekali.

Mereka hanya tak menerima bahwa waktu merenggut kebahagiaan mereka begitu cepat, meninggalkan ribuan luka dan terhanyut dalam derita. Mulai detik ini, Eren tak akan pernah bangun untuk kembali ke realita.

[]