Aruna tengah berkutat dengan kegiatannya sebagai manajer tim voli di Nekoma. Menuangkan air mineral ke dalam masing-masing botol minum, serta membagikannya ke masing-masing anggota, tak lupa menyampirkan handuk bersih di atas bahu mereka. Hal yang dilakukan Aruna kepada anggota tim membuat mereka terpukau dan merasa teramat diperhatikan. Kerap kali mereka merapalkan kata terima kasih kepada Aruna karena telah menjadi manajer mereka.
Latih tanding telah berakhir beberapa menit yang lalu, pelatih mengumpulkan anggota mereka untuk memberikan arahan dan hal-hal yang harus dievaluasi di permainan mereka, dan memikirkan cara untuk menanggulangi kesalahan yang terjadi saat pertandingan berlangsung. Setelah selesai dengan para pelatih masing-masing, seluruh tim dari semua sekolah diperintahkan untuk berbaris. Sekali lagi untuk memberikan sepatah dua patah kata mengenai latih tanding yang telah dilaksanakan 3 hari berturut-turut.
Aruna berkumpul bersama manajer dari tim voli lainnya, semuanya turut bahagia dan menyambut Aruna dengan baik.
“Hanya ini yang saya dapat sampaikan untuk perlatihan tanding kita selama 3 hari di sekolah Nekoma. Saya ucapkan terima kasih yang begitu besar kepada semua tim yang telah berpartisipasi. Saya harap setiap tim dapat menjunjung dan menambah kekuatan untuk memberikan prestasi yang besar untuk timnya.” ujar sang guru.
“Baik!” Serentak semua anggota menjawab dengan penuh semangat.
“Saya persilakan untuk pulang, tolong beristirahat dengan cukup, ya.”
Semua anggota tim voli bubar dan bersiap untuk pergi meninggalkan gedung olahraga, tempat yang mereka gunakan saat latih tanding. Aruna mengambil tasnya yang tergeletak di atas kursi, ia berpamitan untuk pulang setelah semua pekerjaannya sudah selesai. Tak lupa berpamitan dengan para manajer yang kini telah menjadi temannya.
“Aku pamit dulu, ya.” pungkas Aruna ramah kepada teman sesama manajer.
“Hati-hati, ya, Runa!” ucap Kiyoko, manajer dari tim voli Karasuno.
Aruna menunjukkan gurat lembut dan tersenyum sebagai jawaban, ia melambaikan tangannya sebelum benar-benar meninggalkan arena gedung olahraga. Aruna berjalan dengan pelan di koridor dekat gedung olahraga sembari memainkan ponselnya.
“Aruna!”
“HEY, BU BOS!”
Lantas, Aruna menghentikan pergerakan langkah kakinya, ia membalikan tubuhnya untuk memandangi teman-temannya yang berlarian menghampirinya.
“Kenapa?” tanya Aruna tanpa basa-basi.
“Balik sama kita sini.” ajak Kuroo.
“Hari ini Bokuto bawa mobil, jadi kita bisa balik barengan ke kos.” sambung Akaashi.
“Anu ... gue gak langsung balik ke rumah, lo semua balik duluan aja.” Aruna tak akan melupakan janjinya bersama Suna bahwa hari ini mereka akan pulang bersama.
“TUMBEN, BU BOS?” Oikawa menimpali.
“Lah. Emangnya kenapa?” balasnya.
“Hari ini temen kalian pulang sama gue.” Aruna dapat merasakan ada beban yang bersarang di pundaknya, seseorang tengah merangkul bahu sempitnya secara tiba-tiba yang mana membuatnya berjengit kaget.
“Udah gue tebak.” ujar Tsukishima.
Suna datang menghampiri mereka, ia langsung merangkul pundak Aruna dan merapatkan tubuhnya ke tubuh kecil Aruna tersebut. Ia menyeringai sembari melempar pandangan ke seluruh teman-temannya Aruna, bisa dibilang bahwa mereka juga temannya, karena Inarizaki telah melakukan banyak pertandingan bersama dengan sekolah mereka semua. Aruna tersentak di tempatnya, irisnya mengedar ke sosok Suna yang ada di sampingnya.
“Mau dibawa ke mana cewek gue?” tanya Oikawa seolah-olah tengah mengejek Suna.
“Diajak nikah nih, kalian ngasih izin gak?” Suna terkekeh pelan.
“GAK BISA. NANTI YANG MASAKIN MAKANAN DI KOS KITA SIAPA?” Bokuto menyilangkan tangannya di depan dada seraya menggelengkan kepalanya.
“Ngaco!” sungut Aruna kepada mereka.
“Yaudah, gue titipin Aruna ke lo, ya, Sun. Pas dipulangin nanti harus lengkap.” tipal Kuroo yang kini merangkul Kenma yang asik dengan permainan di ponselnya.
“Palingan nanti pas pulang statusnya berubah, jadi pacar gue.” Suna berujar diiringi dengan tawaan renyah.
Oikawa memukul pelan perut Suna, “pede banget lo, jelek.” Setelah itu mereka semua berpamitan kepada Aruna dan Suna untuk pulang lebih dulu daripada mereka.
“Lo ngelantur deh.” Aruna melepaskan rangkulan Suna di pundaknya, ia memaksakan dirinya untuk tak terbakar lara romansa dengan begitu cepatnya. Perkataan terakhir Suna yang terlontar tadi justru mampu membuatnya hampir terbakar.
“Salting, ya?”
“Gak!”
“Haha, pasti lo salting.”
“I already said, no.”
Setelah itu Suna tak membalas perkataan Aruna lagi, ia menarik pergelangan Aruna untuk ikut bersamanya. Aruna pasrah dibawa ke mana pun oleh Suna. Kini keduanya telah sampai di parkiran sekolah, rupanya Suna mengendarai motor pribadi daripada ikut bis sekolahnya.
“Wih, Suna!” teriakan seseorang menginterupsi keduanya.
Aruna dapat melihat bahwa segerombolan orang itu berasal dari tim voli Inarizaki, karena mereka masih mengenalkan seragam voli mereka. Aruna semakin dibikin terpojok ketika teman-teman Suna mulai mengitari mereka berdua.
“Apaan?” Suna tetap acuh dan memilih untuk memasang helm-nya sendiri.
“Pantesan gak mau diajakin ikut bis, ternyata mau jalan sama doi lo.” sambung salah satu temannya yang bersurai kekuningan.
“Yoi.” Setelah helm full face yang Suna kenakan terpasang di kepalanya, ia menoleh ke segerombolan temannya.
“Nice drive, ya. Hati-hati bawa anak orang.” ujar pemuda yang berambut putih, di mana terdapat tulisan nomor 1 di baju volinya, Aruna menyadari bahwa orang tersebut adalah kapten voli mereka.
“Thanks.”
“Sekarang Suna deketnya sama manajer Nekoma, ya. Mana cantik orangnya.” sahut temannya lagi.
“Yuk balik, bis sekolah udah nunggu tuh di depan.” Seseorang pemuda bersurai abu menghampiri mereka dan mengajak semuanya untuk kembali pulang.
Aruna bernapas lega ketika satu persatu anggota voli Inarizaki mulai meninggalkan mereka berdua di parkiran, kehadiran mereka semua membuat jantungnya berdetak tak karuan dan cukup membuat Aruna takut. Suna memandangi Aruna yang kini menampilkan wajah terkejut.
“Itu semua anggota tim voli Inarizaki, mereka tau kalo gue suka sama lo.” Seolah tak menimbulkan apapun, Suna berujar dengan santainya.
ANJIR. BISA-BISANYA DIA SESANTAI ITU BILANG KE SEMUA TEMENNYA?
Suna memberikan helm yang ia bawa untuk Aruna, membantu perempuan itu memasangnya di kepala. Suna memperhatikan bawahan Aruna yang pendek, sebab hari ini Aruna kembali mengenakan rok pendek. Akan berbahaya jika Aruna menaiki motor ninjanya dengan rok pendek tersebut, tanpa aba-aba Suna melepaskan jaket miliknya dan melingkarkan jaket itu ke pinggang sempit Aruna. Dan, kini jarak mereka begitu dekat. Aruna semakin dibikin terkejut dengan perlakuan Suna saat ini. Ia dapat merasakan tangan Suna yang melingkar di pinggangnya dan rahang tegas laki-laki itu.
ANJING. ANJING ANJING. DEKET BANGET SAMA MUKA GUE.
“Nah, sudah.” ujar Suna lagi.
“Gue bisa sendiri tau ... ” ucap Aruna pelan dan ia sengaja memalingkan wajahnya ke arah lain. Ia takut Suna melihat wajahnya yang mungkin sudah memerah.
“Kalo ada gue kenapa harus lo lakuin sendiri?” tukasnya, lalu Suna menaiki motornya dan menyuruh Aruna untuk segera naik, “pegangan, Run, kalo lo jatuh gue gak punya asuransi buat nanggung lo.” Suna kembali terkekeh.
“Makanya jangan ngebut.” balas Aruna.
“Gak kok, tapi pegangan gak ada salahnya biar lebih aman.” titah Suna. Tanpa diminta lagi, Suna menarik kedua tangan Aruna untuk melingkari pinggangnya dengan erat.
Aruna semakin dibuat kepalang, ia rasa bahwa saat ini jiwanya sudah terangkat dari raganya sejak Suna memperlihatkan eksistensinya.
“Modus!”
“Gak apa-apa, ‘kan sama doi sendiri.”
...
“Lo mesen burger aja?” tanya Aruna, Suna meminta Aruna untuk duduk saja sedangkan dirinya ikut antre-an.
“Iya.”
Aruna berbinar mendapatkan McFlurry kesukaannya, Suna juga memesakan ia menu baru di McDonald’s. Ia berterima kasih kepada Suna yang hari ini mentraktirnya makanan di sini.
“Makan yang banyak, biar cepet gede.” tutur Suna sambil tersenyum.
“Lo juga tuh biar makin banyak energinya, biar kalo lagi tanding bisa kasih servis yang kuat.” timpal Aruna sembari memakan makanannya dengan seksama.
“Selain butuh makan, gue juga butuh cium dari lo biar makin semangat.”
“Anjing.” Aruna melemparkan tatapan sinis kepada Suna, namun Suna malah mendapati wajah Aruna yang menggemaskan di matanya.
“Bercanda, mbul.”
“Karena hari ini lo yang traktir gue makan, jadi gue maafin walaupun gak tulus.”
“Gak boleh gitu lo, maafin orang harus tulus.” ujar Suna.
“Terserah lo.”
Aruna sangat fokus menyantap semua makanan yang dipesankan oleh Suna, sedangkan Suna menorehkan seluruh atensinya kepada Aruna. Suna bersumpah bahwa Aruna benar-benar bentuk terindah yang Tuhan ciptakan, ia sangat beruntung jika takdir mengatakan untuk mempertemukan mereka berdua. Suna lantas merasakan debaran anomali semakin memuncak di dalam dirinya, saat ini Aruna berada di hadapannya dan berbicara dengannya.
Suna melihat ada bekas makanan yang tersisa di sudut bibir Aruna, tangannya tergerak untuk menyapu bekas makanan tersebut dan mengisap jarinya sendiri. Aruna langsung tersentak, ia menatap luruh ke arah Suna yang tersenyum.
“Makan yang bener, lo kayak anak kecil lagi makan.” ujar Suna, ia melanjutkan makannya tanpa mempedulikan reaksi keterkejutan Aruna.
Gue rasa saat ini gue meninggal deh, Suna bangsat bisa banget acak-acakin hati gue.
“Apaan sih!”
...
Suna mematikan mesin kendaraannya ketika sampai di kediaman Aruna, dengan berpegangan di pundak Suna, ia turun dari motor Suna yang sialnya sangat tinggi untuk ukuran tubuhnya. Suna tergerak untuk melepaskan helm yang digunakan Aruna, sedangkan Aruna hanya diam sembari memandangi wajah Suna. Aruna terlihat cengengesan saat Suna melepaskan helm-nya, Suna mengernyit bingung melihat Aruna yang terkekeh tiba-tiba.
“Kenapa lo? Tiba-tiba demam abis jalan sama gue?” tanya Suna.
“Hehehehehe—gue kenyang banget nih! Lo ngasih gue makanan banyak mana gratis pula, makanya gue senang.”
“Bagus deh kalo lo senang, gue jadi makin senang liatnya.” sahut Suna lagi.
Aruna hendak melepaskan jaket Suna yang masih melingkar di pinggangnya, namun Suna menahan pergerakan Aruna. Membuat Aruna melemparkan tatapan heran.
“Kenapa?” tanya Aruna bingung.
“Jangan dibalikin sekarang, lo simpen aja dulu. Biar gue ada alasan buat ketemuan sama lo lagi.” tutur Suna.
“Ih, jangan lah!”
“Gak.”
“Gue balikin!”
“Gak boleh. Simpen dulu aja buat lo, nanti bisa aja gue ambil.” Suna bersikeras untuk menahan pergerakan Aruna, ia menyuruh perempuan itu untuk menyimpan jaketnya lebih lama lagi. “Lo masuk gih, gue mau pulang dulu.”
“Hati-hati, Suna!” pekik Aruna antusias, kembali tangannya terangkat untuk memberikan cubitan pelan di pipi Aruna.
“Dadah, cantik. See you.” Suna melajukan motornya meninggalkan perkarangan kos Aruna.
Meninggalkan Aruna dengan keadaan yang acak-acakan, hatinya bergemuruh hebat, bahkan wajahnya semakin merah padam.
“MAMAAAA, ARUNA BAPER.”
[]