Iakunan

Kita menghentikan laju motornya di perkarangan rumah seseorang yang ia tuju. Melepaskan pengait helm yang ia kenakan, lalu meletakkan di atas spion. Sedikit membenarkan surainya yang berantakan, Kita sudah berjanji untuk menjemput Akaashi—setter dari Fukurodani yang mereka pinjam untuk pertandingan para kapten yang mereka lakukan. Untung saja Akaashi mau menerimanya.

Hitung-hitung sebagai latihan, ujar Akaashi. Lagipula melakukan pertandingan dengan anggota dari tim voli yang kuat sangat menguntungkan bagi semua pihak.

Kita mengirimkan sepucuk pesan melalui surel kepada Akaashi, memberitahukan pemuda yang lebih mudah itu bahwa dirinya sudah berada di depan rumahnya. Tak selang beberapa menit kemudian, Akaashi menghampirinya dengan mengenakan hoodie putih untuk menutupi jersey yang ia gunakan.

“Kak, maaf nunggu lama.” sahutnya seraya menerima helm yang diberikan Kita.

“Gak masalah kok.” balas Kita dengan ciri khas suaranya, “maaf ganggu waktu kamu pas weekend begini.” sambungnya.

“Gak apa-apa, Kak. Aku ikutan seneng kok ngebantu yang lainnya.”

“Makasih, ya, Akaashi.”

Kita memintanya untuk segera naik ke jok belakang motornya, tak ingin berlama-lama di tempat sebab semua temannya juga sedang berada di perjalanan. Kita harap dirinya datang tepat waktu dan tak membuat yang lainnya menunggu.

...

Alih-alih, Daichi mengetuk pintu rumah Terushima seraya membawakan sesuatu untuk orang rumah Terushima. Dirinya memang berniat memberikan oleh-oleh kepada orang tua Terushima sebab dirinya pun terlampau begitu mengenali mereka.

Terushima membukakan pintu untuk Daichi, pemuda itu telah siap dengan jaket yang membungkus badannya. Daichi menyerahkan oleh-oleh yang ia bawa kepada Terushima.

“Buat nyokap dan bokap lo, bilangin ada salam dari Daichi.” timpal Daichi.

“Wah! Makasih banyak, Bang.” Terushima menyambut pemberian Daichi dengan senang hati, lalu meletakkan ke dalam rumah.

Segera dirinya kembali menghampiri Daichi yang sudah berada di atas motornya. Terushima memasang helm kebanggaannya di atas kepalanya. Menyusul Daichi untuk duduk di atas jok belakang motor milik temannya tersebut.

“Habis lo modif, ya?” tanya Terushima.

“Iya nih, lebih bagus diliat. Nanti kalo lo udah buka bengkel sendiri, gue bakal sering ke bengkel lo buat modif motor.”

“Doain aja, ya, ‘kan.”

Daichi terkekeh renyah, ia menyalakan motornya dan melaju membelah jalanan kota pada siang hari ini. Daichi tak ingin datang terlambat di tempat yang sudah mereka tentukan untuk melaksanakan pertandingan kapten dengan kapten.

“Bang, seharusnya knalpot lo ganti juga, yang nyaring itu, biar makin keren.” celetuk Terushima yang dihadiahi tatapan lamat.

“Ngapain? Gue gak mau bar-bar kayak lo. Knalpot yang begitu terlalu berisik.”

“Ah, lo mah.” keluh Terushima, “Bang, habis selesai tanding temenin gue bersihin tindikan gue, ya?” ajak si pemuda bersurai kekuningan.

“Yoi, bisa aja.”

...

“LO TERLAMBAT 35 DETIK!”

Oikawa meletakkan kedua tangannya di masing-masing pinggulnya, meneriakki kehadiran Ushijima yang baru saja keluar dari dalam mobilnya. Bokuto dan Kuroo ikut keluar untuk menghampiri Oikawa.

“Anjing, beneran lo itung?” tanya Bokuto.

“Iya lah!” balas Oikawa sungut.

“Maaf, tadi harus jemput Kuroo sama Bokuto dulu, baru lo.” ucap Ushijima.

“Kalo aja lo telat sampai semenit, maka gue akan menghancurkan dunia dan seisinya.” Oikawa menimpali, membuat Bokuto dan Kuroo tertawa lepas. Sedangkan Ushijima yang tersenyum hangat.

“Lebay, buruan berangkat nanti yang lain nungguinnya lama. Gue gak sabar mau mengalahkan lo.” ujar Kuroo.

“Palingan lo kalah dalam 5 menit.” balas Oikawa tak ingin kalah.

“Ck. Ck. Lo gak boleh meremahkan gue dan Kuroo, karena gue ini sangat hebat dan bahkan lebih hebat dari Ushiwaka.” Bokuto angkat suara dengan intonasi antusiasnya. Menjunjung tinggi tingkat kepercayaan dirinya di atas langit.

“Kita liat aja.” sahut Oikawa.

“Yaudah, ayo.” ajak Ushijima.

Saat mereka berempat telah berada di dalam mobil milik Ushijima, mereka sempat beradu mulut dikarenakan Oikawa tak ingin berada di sebelah Ushijima dan ingin duduk di posisi belakang. Namun, akhirnya Bokuto mengalah dan duduk di samping kemudi. Mereka berempat meracaukan berbagai pembahasan kala Ushijima mengemudikan mobilnya.

Bokuto menyalahkan radio untuk memutar lagu girlband kesukaannya dengan volume yang lumayan nyaring. Ushijima tak melarang Bokuto sama sekali. Akan tetapi, dua orang yang duduk di kursi belakang melayangkan protesan kepada Bokuto.

“GANTI! GANTI! GUE MAUNYA DENGER RED VELVET. PPALPALGEUMAN!!!!” teriak Kuroo.

“BERISIK BANGET SIH.” Oikawa ikut berteriak sembari menatap nyalang ke arah Kuroo.

“GAK MAU, GUE MAU DENGERIN LAGU TWICE BIAR GUE SEMANGAT.” balas Bokuto.

“GUE JUGA MAU DENGERIN LAGU RED VELVET BIAR GUE SEMANGAT.” Kuroo kembali melayangkan protesannya.

“GAK AKAN.”

“BERISIK.”

Mobil milik Ushijima diisi oleh teriakan ketiga temannya yang berebut radio mobil. Untung saja keributan yang dibuat oleh Oikawa, Bokuto, dan Kuroo tak membuyarkan titik fokus Ushijima pada jalanan di depannya.

[]

Hari yang cukup cerah menyapa sang pemuda berjaket merah. Bibirnya menukik sebuah senyuman lebar yang terpatri di atas wajah berserinya. Hari pertama ia jalani sebagai sosok dirinya terdahulu. Mengais kembali masa lalu yang masih sampai saat ini belum rampung jua.

Kenma tengah berdiri ceria di atas pijakannya, menunggu kehadiran Kuroo untuk menjemputnya. Kenma tak begitu berpenampilan mencolok, dia hanya memakai pakaian biasa yang dilapisi hoodie berwarna kemerahan. Hoodie yang selama ini ia simpan begitu lama ditumpukan memori lainnya, namun hari ini ia bertekad untuk mengenakannya lagi.

Tin. Tin.

Indra pendengarannya mendengar suara klakson yang menginterupsi dirinya. Kenma terkesiap melihat mobil mewah berwarna hitam pekat yang mengilap. Kenma bisa menebak bahwa sang empu dari mobil itu adalah Kuroo Tetsurou.

“Kenma!” Kuroo meneriakkan namanya sembari keluar dari mobil tersebut.

“Kuroo.” desisnya pelan.

Kuroo tersenyum pelan menyambut dirinya, pemuda bertubuh jangkung itu menghampirinya sembari melambaikan tangannya yang panjang. Perawakan Kuroo yang ada di hadapannya tak luput sejengkal pun dari pandangan Kenma. Pemuda itu memakai pakaian kasual yang membuat dirinya semakin terlihat menawan.

“Lama nunggu gak?” tanyanya santai.

“G-Gak terlalu.” Ia hanya terbata.

“Maaf, ya.” Kuroo terkekeh canggung.

Kenma menggeleng kaku, namun tanpa disangka Kuroo mengangkat tangannya untuk menarik tudung hoodie milik Kenma untuk dipasang pada kepala Kenma. Kuroo merapikan sedikit surai panjang Kenma yang agak berantakan sebab ia memakaikan tudung hoodie tersebut. Setelah selesai dengan kegiatannya, Kuroo mengacungkan jari jempolnya kepada Kenma sembari tersenyum lebar hingga menampilkan gigi-giginya.

“Nah begini lebih baik, soalnya gue liat tadi lo kepanasan.” sambung Kuroo.

“T-Terima kasih.” Entah mengapa Kenma merasakan mulutnya terasa begitu sulit untuk mengucapkan kata-kata, lidahnya begitu kelu karena adanya entitas Kuroo di hadapannya. Lagi-lagi, Kenma terlarut dalam perasaan menyenangkan ini.

“Kenma.”

“Iya?” Kenma harus mendongak ke atas untuk melihat wajah Kuroo karena proporsi tubuh mereka yang jauh berbeda.

“Hari ini lo ... cantik.” ucapnya pelan.

“Maksudnya? Aku tadi gak sempat denger ucapan kamu.” Kenma menautkan kedua alisnya bingung dengan perkataan Kuroo yang kurang jelas didengarnya.

“Eh? Gak apa-apa kok, ayo berangkat sekarang.” Kenma hanya terdiam ketika Kuroo menjawab pertanyaannya dengan gelagat yang aneh. Ia hanya pasrah ketika pergelangannya di tarik oleh Kuroo untuk masuk ke dalam mobilnya.

...

Kuroo melajukan mobilnya di melewati sepanjang jalanan kota yang cukup padat. Kuroo menjalankannya dengan kecepatan sedang, melihat ke arah lurus dengan lamat. Ia membiarkan kaca mobil terbuka agar angin jalanan bisa masuk ke dalam mobil. Lagipula, dirinya ingin menikmati keadaan kota di saat-saat seperti ini.

Rahang Kenma menegang seketika, sudah lama sekali mereka tak berada dalam situasi seperti ini. Mungkin saat dahulu mereka banyak membangun topik pembicaraan, namun hari ini terasa sangat canggung dan begitu mencekik. Sedari tadi Kuroo hanya diam seraya melancarkan pandangannya ke segala arah, sedangkan dirinya hanya menundukkan memperhatikan tangannya yang bertaut.

“Kenma.” Kuroo meraih atensinya.

“Ya?”

“Jangan diem aja, gue ada di samping lo.”

“Hum, iya, Kuroo.” jawab Kenma pelan.

“Lo gak pernah berubah, ya?” Kuroo sempat melirik ke arahnya sebelum memalingkan pandangannya ke arah depan. Kenma dapat melihat ada seringaian di wajah Kuroo. “Lo masih aja jadi sosok yang pasif, gak banyak omong, dan egois.” sambungnya.

“Iya ... aku emang belum berubah sama sekali, Kuroo.” Suara Kenma terdengar sangat pelan namun terdengar miris. Terselip rasa sedih di dalamnya.

Kuroo kembali mengamati Kenma yang tertunduk, ia dapat merasakan kejanggalan dari nada suara Kenma. Intonasi suara yang rendah dan terdengar menyakitkan. Kuroo tak memahami apa yang dimaksud oleh Kenma, baik sikap dan perasaannya. Setelah terpisah selama bertahun-tahun, Kuroo hampir melupakan semua tentang Kenma yang membuatnya sedikit kebingungan dengan sosok Kenma.

“Makanya lo harus berubah, setidaknya lo harus sedikit meninggalkan kebiasaan lo di masa lalu itu. Someone ever said, ‘learn from the past before it passes.’ gue rasa lo harus menanamkan itu di diri lo. Because no one can understand us but ourselves.

“Kuroo, thanks.” Kenma membalas tatapan Kuroo, sehingga tatapan mereka bersitatap beberapa sekon sebelum Kuroo memutuskan tatapan mereka.

Kuroo menyunggingkan senyuman hangat kepada Kenma. Sebalah tangannya terangkat untuk mengusak kepala Kenma, Kenma hanya mendengus pelan sebelum memperlihatkan senyumannya juga. Kenma merasakan dirinya sangat bahagia pada hari ini, kembali bersama Kuroo dalam situasi yang baru.

...

“Saya pesan vanilla choco ice cream sama strawberries chocomint ice cream, ya.” Kuroo memesan menu pesanan mereka pada sang pegawai toko. Kuroo memilih opsi drive thru karena ia ingin menikmati es krim-nya sembari mengarungi hiruk-pikuk perkotaan di sore hari.

“Tunggu sebentar, ya.” ujar sang pegawai toko, ia memberi arahan kepada Kuroo untuk menjalankan mobilnya ke depan untuk melakukan pembayaran dan pengambilan pesanan mereka.

Ice cream?” Kenma berujar.

Kuroo menghentikan laju mobilnya sesuai dengan perintah sang pegawai, ia melepaskan setir kemudinya lalu menoleh ke arah samping. Iris netranya melihat sosok Kenma yang sangat mungil di sampingnya bak seekor kucing yang selalu dirawat oleh majikannya, sangat menggemaskan.

“Iya, lo suka, ‘kan?” Kuroo balik bertanya, ia menyandarkan tengkuk kepalanya pada sandaran kursi mobil, pandangannya masih terfokus kepada sosok Kenma.

“Suka.” jawab Kenma pelan.

“Bagus deh.”

“Pesanan atas nama Kuroken. Silakan ambil pesanan Anda di sini.” Suara pegawai memberikan instruksi kepada Kuroo, ia menginjak pelan pedal gasnya untuk maju ke depan untuk mengambil pesanannya.

“Terima kasih.” ucap Kuroo sembari menyerahkan kartu debitnya.

“Selamat datang kembali.”

Kuroo kembali melajukan mobilnya untuk keluar dari area drive thru dan berhenti sejenak di pinggir jalan. Ia menyerahkan es krim milik Kenma dan punyanya kepada Kenma. “Maaf, nyusahin lo, Ken. Bisa pegangin es krim gue selagi gue nyetir ga? Gue niatnya mau ngajak ke lain tempat dulu. Gak apa-apa, ‘kan?”

“Iya, gak apa-apa kok.”

Kuroo menyalankan mesin mobilnya membawa Kenma serta dirinya pergi ke suatu tempat yang telah ia pikirkan sebelumnya. Di mana sebuah tempat yang cocok untuk menyantap es krim mereka. Kenma memakan es krim miliknya dengan lamat, sedangkan sebelah tangannya terangkat pada lengan atas Kuroo untuk memberikan es krim itu ke mulut Kuroo.

Kuroo tersenyum, ia memakan es krim miliknya sembari dipegangkan oleh Kenma. Melihat ekspresi pemuda itu benar-benar membuat hatinya menghangat.

“Kamu masih inget aku suka vanila?” tanya Kenma pads dirinya.

“E-Eh? Lo suka vanila, ya? Padahal tadi gue cuman pilih asal karena itu best seller dari toko mereka.” jawab Kuroo terbata-bata.

Kenma menurunkan bahunya sedikit kecewa dengan jawaban Kuroo. Ia kira Kuroo masih mengingat tentang varian kesukaannya, namun tebakannya salah.

Padahal nyatanya Kuroo hanya berusaha menyalak pernyataan Kenma, ia memang sengaja memilihkan varian itu untuknya, karena Kuroo masih ingat bahwa Kenma sangat menyukai varian itu.

“Oh ... begitu, ya.”

“Iya.”

“Sorry gue harus bohong, Kenma.”

Tak lama kemudian Kuroo menghentikan laju mobilnya pada sebuah taman yang nampak sunyi namun begitu indah untuk dipandang. Hanya ada beberapa orang yang berseliweran di sana. Kuroo melepaskan sabuk pengaman miliknya dan Kenma. Ia meminta Kenma untuk diam saja di dalam mobil sembari menikmati matahari terbenam.

Kuroo meraih cup es krim miliknya dari tangan Kenma, tatapannya tertuju pada pemandangan yang ditampilkan di hadapannya. Disungguhkan dengan mosaik jingga dan semilir angin yang menerpa. Sungguh menenangkan isi pikirannya.

“Kuroo.” panggil Kenma.

“Iya?”

“Terima kasih, ya, sudah mau ngejalanin permintaanku yang aneh ... ” Intonasi suara Kenma semakin menurun.

“Gak masalah kok, selagi gue seneng ngelakuinnnya. Gue gak apa-apa.”

Setelah mengucapkan kalimat itu, keduanya kembali tenggelam dalam kesunyian. Sama-sama menikmati pemadangan yang tersaji di hadapan mereka sembari menikmati dinginnya es krim yang menyapa rongga mulut.

“Kenma, lo tau gak ada berapa bagian dari senja?” Kuroo kembali memulai topik pembicaraan mereka.

Kenma sedikit memajukan bibirnya beberapa senti sembari berpikir. Kenma menoleh kepada Kuroo mengatakan bahwa Kenma tak tahu mengenai itu.

“Lo liat ‘kan sinar yang dipantulkan matahari dari ufuk sana?”

“Iya, liat.” timpal Kenma.

“Itu namanya aram. Sedangkan senja itu terbagi menjadi 3, yaitu Senja Ugahari, Senja Bahari, dan Senja Astronomis. Sekarang ini kita lagi nikmatin Senja Astronomis. Nah, Senja Astronomis adalah letak matahari setinggi 18 derajat di bawah cakrawala. Warna langit udah gak berwarna jingga lagi, berarti matahari-nya sudah gak ngasih sinar ke langit lagi.” jelas Kuroo seraya memakan es krim-nya pelan.

Perkataan Kuroo mampu memukau dirinya, pembahasan seperti ini seperti yang ia rasakan saat mereka masih bersama dahulu. Kuroo sangat menyukai pembahasan mengenai astronomi, sedangkan dirinya selalu menjadi pendengar setia Kuroo dan berusaha untuk memahami teori-teori yang Kuroo jelaskan kepadanya. Debaran anomali berdegup sangat cepat di jantungnya. Ia sangat senang bisa mendengar penuturan Kuroo.

“Kuroo, senja indah, ya? Mereka akan kembali datang esok hari, selalu berakhir indah. Tapi menurut kamu, apa kehidupan setiap manusia itu juga sama kayak senja. Apa kita, sebagai manusia, akan selalu berakhir indah?”

Pertanyaan retorik, tidak, Kuroo lantas tak tahu apa yang harus ia lontarkan sebagai jawaban. Ia hanya diam mengamati Kenma yang berseri menatap langit senja.

Apakah kisah ini akan berakhir indah?

Kuroo maupun Kenma tak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Mereka hanya mengikuti jalan takdir.

[]

Suara bell yang berdering untuk ketiga kalinya berhasil menginterupsi Kenma. Sosok pemuda bertubuh lebih mungil itu bergegas menghampiri Kuroo yang berada di balik pintu tersebut. Kenma sempat merasakan debaran anomali di jantungnya, seakan napasnya ikut tercekat. Setelah bertahun-tahun berlalu, hari ini pertama kali bagi mereka untuk bertemu dalam situasi yang lebih baik daripada sebelumnya.

“Lama banget.” Kuroo melontarkan protes kepada Kenma, wajahnya menunjukkan gurat datar namun hal itu tak membuat Kenma merasa terintimidasi.

“Maaf.”

“Maaf terus lo bisanya, daripada bilang maaf mending lo nyuruh gue masuk.” titah laki-laki itu.

“Ah iya ... silakan masuk, Kuroo.”

Kenma sedikit menggeser tubuhnya untuk memberi akses kepada Kuroo untuk masuk ke dalam unitnya, setelah itu Kuroo langsung melenggang masuk dan Kenma hanya mengekori sosok itu di belakang. Saat keduanya telah berada di ruang tengah, Kuroo mendudukkan tubuhnya di atas sofa berwarna coklat, merenggangkan otot-ototnya yang terasa pegal. Kenma berdiri mematung di atas pijakannya, iris kembarnya tak memiliki keberanian untuk menatap Kuroo secara langsung.

“Kenapa lo?” tanya Kuroo seraya melepaskan jaket yang melekat ditubuhnya.

“Ah, anu ... gak apa-apa, Kuroo mau minum apa? Biar aku bikinin.” balas Kenma.

“Apa aja deh yang penting hangat.”

Kenma melenggang meninggalkan entitas Kuroo seorang diri di ruang tengah, tatapan laki-laki itu menyapu seiri ruangan dan menelaah desain interior yang Kenma pilih untuk menghiasi unitnya. Pandangannya lantas terhenti kala irisnya menangkap sebuah figura yang terletak di atas meja. Figura yang berisikan potret Kenma bersama dirinya. Mungkin potret itu diambil ketika mereka masih belia.

“Rupanya lo masih nyimpan, ya?” Senyuman tipis terpatri di wajahnya, namun selang beberapa detik kemudian, Kuroo hanya mengendikkan bahunya acuh.

“Kuroo.” Kenma datang membawa nampan berisi dua gelas coklat panas, ia meletakkan dua gelas itu di atas meja dengan rapi.

Thanks.” pungkas Kuroo.

Kenma hanya mengangguk sebagai jawaban. Pemandangannya menulusuri sosok Kuroo yang berada di hadapannya, sosok yang dahulu menjadi pujaan hatinya. Kenma akui bahwa Kuroo mengalami banyak perubahan, tubuhnya semakin berisi dan kekar, pula tataan surainya yang mencuat. Hanya saja ekspresi laki-laki itu tetap datar dan samar.

“Nih gue bawain sesuatu.” Kuroo menyerahkan kantongan kertas kepada Kenma. Sebelum dirinya sampai di kediaman Kenma, Kuroo sempat mampir ke toko kue yang untungnya masih buka.

“Hm?” Kenma memiringkan kepalanya bingung, tangan kecilnya meraih kantongan itu dan segera membukanya. Saat dirinya mendapatkan sekotak pai apel di dalamnya, sontak matanya berbinar dan wajahnya sumringah. “Applepie!

Kuroo tak menanggapi ujaran Kenma, ia hanya diam di posisinya sembari memperhatikan gerak-gerik Kenma terhadap pai apel yang dia beri pada sosok laki-laki itu. Kuroo terlampau heran mengapa dirinya harus repot-repot membelikan pai apel untuk Kenma dan bahkan potongan memori tentang masa lalu masih tercetak jelas di otaknya, perihal Kenma yang teramat menyukai pai apel.

“Kuroo, makasih banyak.”

“Gak masalah.”

Kuroo menopang dagunya di atas pahanya memperhatikan antusiasme Kenma memakan pai apel, bahkan entitas dirinya di hadapan laki-laki itu tak menggubrisnya sama sekali. Ia tak bergeming dan hanya menatap lurus ke depan, Kuroo merasakan hatinya menghangat, terpampang kebahagiaan yang terlukis di wajahnya.

Kuroo bertanya-tanya pada dirinya sendiri mengapa perasaan seperti ini harus timbul kembali. Perasaan yang sempat ia kubur sedalam mungkin di dalam dirinya bersama kenangan masa lalu mereka. Melihat sosok Kenma di hadapannya seperti ini membuat dirinya berubah seratus delapan puluh derajat.

“Puas banget makannya, gak mau bagi-bagi sama gue?” tegur Kuroo dengan kekehan.

Kenna memicingkan netra terangnya kepada pai miliknya dan Kuroo secara bergantian, bibirnya merengut masam. Sebenarnya ia tak rela membagikan pai apel ini, sebab rasanya sangat enak.

“Kuroo mau?” tanyanya pelan.

“Kalo lo mau ngasih sih, mau.”

“Kalo aku gak mau ngasih?” tanya Kenma lagi.

Kuroo tak langsung membalas perkataan Kenma, ia sedikit membungkukan tubuhnya ke hadapan Kenma, meraih pergelangan tangan Kenma dan memakan pai apel yang berada di genggaman laki-laki itu secara tiba-tiba. “Gue makan sendiri.” sambung Kuroo.

Kenma lantas tak berkutik sama sekali, wajahnya berubah kemerahan, pipinya menampilkan rona merah yang mencuat. Netranya hanya mampu menatap Kuroo dengan gemetar. Kenma merasakan desirah darahnya perlahan merangkak naik ke wajahnya. Setelah melakukan hal tersebut, Kuroo hanya diam seolah tak terjadi apa-apa sebelumnya.

...

Kepulan asap mengudara di balkon unit Kenma, asap berkelebat di wajahnya. Asap yang berasal dari putung tembakau yang dibakar. Kenma merasa paru-parunya tercekik yang membuat dirinya sedikit kesulitan saat bernapas, namun ia tak berani menegur Kuroo yang tengah damai menyebat putung rokoknya. Mereka diselimuti oleh kesunyian, tak ada yang memulai topik pembicaraan.

“Kenma.” ucap Kuroo.

“Iya?”

“Apa yang udah lo lakuin selama beberapa tahun belakangan ini?” tanya Kuroo dengan pertanyaan yang membingungkan.

“Maksud kamu?”

“Apa yang udah lo lakuin selama lo ninggalin gue, gimana lo bisa hidup dengan perasaan lo itu?” tanyanya lagi.

Kenma tak mampu mengucap kata, lidahnya terasa sangat kelu. Ia memilih untuk diam sesaat sembari mengalihkan atensi dan pikirannya ke atas langit yang dihamburi ribuan bintang berkelip. Pikirannya terputar pada masa 6 tahun yang lalu, ketika dirinya memulai hidup baru di negeri yang asing baginya.

Mengingat kembali masa-masa itu membuat Kenma merengung seketika. Dirinya bukanlah Kuroo yang melakukan banyak hal untuk masa depannya, sebaliknya Kenma seolah terombang-ambing mengikuti arus takdir.

“Gak ada ... ” jawabnya dengan intonasi yang pelan, dirinya tak dapat membuat sebuah jawaban yang ringkas dan jelas.

Every single act you make is always confusing me.” tukas Kuroo datar.

“Kuroo, aku sebenernya gak punya mimpi, selama ini cuman terlarut dalam delusi.”

“Lo tau kenapa lo begitu, karena lo gak pernah mau terbuka sama orang disekitar lo. You not only lie to others, but to yourself too.” ujarnya sarkastik.

Kenma termenung atas perkataan Kuroo yang telak mengenai ulu hatinya. Apa yang dikatakan laki-laki itu ada benarnya, Kenma selalu menutup rapat dirinya hingga orang-orang tak mampu untuk membukanya. Kenma bukan hanya terlarut dalam delusi, namun ia juga terlarut dalam drama mala yang ia buat sendiri.

I already found someone new. Dia namanya Sugawara Koushi, he takes a place in my heart. Gue udah bilang ‘kan ke lo kalo kisah kita gak perlu diulang untuk kedua kalinya, gue meyakini ending yang sama apabila kita harus mengulang semuanya dari awal. Gue harap lo segera memutuskan kehidupan baru lo juga. Luka memang bisa disembuhkan, Kenma, tapi luka masih meninggalkan lara yang membekas. Jangan terlalu nyiksa diri lo untuk selalu terpaut pada masa lalu.”

Gemintang yang membentang luas di langit menjadi saksi atas kisah mereka berdua. Kisah yang bermulai harsa, hanya meninggalkan asa. Itulah yang terjadi pada Kuroo dan Kenma. Perasaan yang dahulu mereka timbun perlahan lesap dan berujung lenyap.

Hatinya terasa menjerit, perkataan Kuroo bak menyenandungkan lagu pilu. Ia merapatkan bibirnya untuk meredam jeritan ngilu dan rahangnya perlahan turun. Perasaannya kini bercampur aduk yang menimbulkan haru biru. Ia mati-matianya menahan air mata agar tak turun dari kelopaknya, ia tak ingin Kuroo melihat sosoknya yang lemah dan menyedihkan.

“Kuroo.” lirihnya memanggil Kuroo.

Kuroo menoleh ke samping, “ya?”

“Boleh aku minta waktu kamu? Setidaknya untuk terakhir kalinya ... ”

Kuroo menukik keningnya bingung dengan perkataan Kenma.

“Kenapa?”

“Apa aku boleh minta waktu dan permintaan dari kamu? Aku janji itu untuk terakhir kalinya dan setelahnya aku membiarkan diriku kembali terlarut dalam alur takdir. Aku janji pasti membiarkan kamu meraih kebahagiaan yang kamu kehendaki.” Kenma menuturkan ucapannya dengan tertatih.

“Boleh, setidaknya untuk terakhir kalinya.”

Sebuah kontradiksi yang menerpa perasaan sesosok Kuroo Tetsurou. Suara halus itu terdengar ironis seolah menggambarkan jiwanya yang meringis. Kuroo tahu apa maksud dari gurat wajah Kenma yang tengah tersenyum kepadanya.

Kenma tengah berdusta dalam menggambarkan isi sanubarinya.

[]

Terperangkap bak dalam sangkar, nampak sempit yang membuatnya sesak. Kenma harus bersatu kembali dengan tempat yang sangat ia benci. Bau obat-obatan yang menyengat, jarum-jarum yang menusuk kulit, dan ruangan putih yang hampa.

Kenma merasa ini adalah sebuah sangkar, ia tak mampu bekutik sama sekali selain memilih pasrah dan menyerahkan tubuhnya sepenuhnya, acuh pada kerumunan perawat yang mengurus dirinya. Matanya terlampau terpejam erat, namun ia dapat mendengar suara gemuruh yang ditimbulkan oleh orang-orang di sekitarnya. Kenma tak sepenuhnya tak sadarkan diri, ia masih bisa mendengar dengan samar walaupun semuanya hitam.

Apa yang ia dengarkan ialah konkret, suara parau milik Hinata bercampur dengan derau suara dari Elektrokardiogram. Kenma merasakan kepalanya sangat sakit seperti ada ribuan beban yang menimpa kepalanya saat ini, juga napasnya yang putus-putus, ia kesulitan untuk mengambil napas ditambah denyut jantungnya yang melamban. Kenma merasakan itu dan dapat menyadarinya.

“Lagi?” gumamnya dalam hati.

Setelah berikutnya, Kenma tak mampu menahan dirinya untuk tetap sadar, perlahan kemudian semuanya semakin gelap seperti tenggelam ke dalam dasar lautan. Rasa sakit yang kian mendera.

...

“Hinata!” Lev menjerit untuk memanggil Hinata yang tengah bersender di dinding putih tersebut, napasnya tersengal sebab berlari di sepanjang koridor rumah sakit.

“Gimana keadaan Kenma sekarang? Lo udah bilang ke tim medis sesuai apa yang gue bilang, ‘kan?” tanya Lev terburu-buru.

“Sudah ... ” jawab Hinata semampunya. Mendapati Kenma dalam keadaan terpuruk seperti ini membuat daya pikirnya semakin melambat, pikirannya kacau balau.

Hhh.” Lev menghela napas kasar. Pemuda berperawakan tinggi itu mengambil tempat duduk di sebuah kursi yang tersedia di luar ruangan Kenma berada, lalu Hinata mengekorinya dan duduk di sampingnya.

“Kenma bandel banget, ya?” Hinata mendengar intonasi hambat yang terlontar dari suara Lev, walau kini Lev tengah terkekeh, Hinata yakin bahwa Lev kepalang kacau sama seperti dirinya. “Keadaan kayak gini bukan pertama kalinya bagi Kenma. Setiap kali dia kambuh, saat itu juga rasa takut gue semakin besar.”

Hinata tak bergeming dan lantas memilih untuk bungkam, membiarkan Lev melanjutkan perkataannya yang tersendat.

“Gue takut menerima fakta bahwa kita harus kehilangan dia untuk selamanya.” sambung Lev, giginya bergemertak dan wajahnya mengeras ibaratkan bahwa Lev tengah terlarut dalam rasa emosinya.

Bahu Hinata beringsut rendah, tersampir gurat kesedihan yang melara jiwanya. Hinata tahu apa yang Lev rasakan saat ini, sebab dirinya juga merasakan hal yang setimpal. Kenma salah satu teman terbaik yang Hinata miliki, jikalau dirinya harus kehilangan Kenma dalam waktu singkat, Hinata tak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya nanti. Namun, itu akan berdampak besar bagi dirinya. Lev mengusak wajahnya gusar, ia menautkan jari-jari erat.

“K-Kenma pasti bertahan.” acapnya gemetar.

Lev tak langsung menjawab, ia menyapu pandangan ke arah depan, “gue harap begitu, Hinata. Lo mau tau kenapa Kenma balik ke sini lagi setelah bertahun-tahun lamanya dia pergi?” Lev melontarkan pertanyaan kepada Hinata.

“Kenma pernah bilang kalo dia rindu kota ini dan dia juga rindu semua temen lamanya.” balas Hinata.

“Ada alasan lain kenapa Kenma memilih untuk balik ke sini. Itu karena kami gak punya pilihan lain, Hinata. Kenma sudah pasrah.”

“Maksud lo?” Hinata mengerut heran.

He doesn’t have much times left. So, he wants to make everything up, he wants to see everything that was he left behind, he wants to see the world going by. The first thing he want to do is seeing Kuroo happy.”

Hinata membekap mulutnya menggunakan tangannya, air mata berjatuhan tak terbendung lagi, perlahan membasahi kedua pipinya. Bak dihunus oleh tombak panas tepat di ulu hatinya, Hinata tak menyangka harus mendapatkan kenyataan yang benar-benar mampu membunuh dirinya. Sedangkan Lev tengah menatap langit-langit koridor yang rumpang.

“Sebenarnya gue diminta untuk rahasiain itu dari siapapun, termasuk lo, tapi gue rasa udah saatnya lo tau kenyataannya.”

“A-Apa gak ada cara lain biar Kenma bisa sepenuhnya balik kayak dulu lagi?” tanya Hinata dengan intonasi rendahnya.

Lev menggeleng, “dunia gak pernah berpihak kepada Kenma.”

...

Kelopak matanya mengerjap beberapa kali, membiasakan sinar lampu yang merongrong masuk ke retinanya. Ia menoleh ke samping dan mendapati dua sosok temannya yang tengah tertidur dalam posisi duduk. Ia meringis melihat teman-temannya seperti itu.

Kenma merasa beban tubuhnya sangat berat hingga ia kesusahan untuk mengangkat sebelah tangannya, ditambah rasa sakit yang semakin menyiksa dirinya. Kenma hanya mampu menghela napas pelan, merutuki dirinya yang bodoh. Berhubungan dengan rumah sakit membuatnya lelah dan muak.

“S-Sho ... ” Kenma berusaha untuk melontarkan kata, tetapi begitu susah untuk ia lakukan.

Hinata mulai terbangun dari setengah tidurnya sebab ia mendengar suara pelan Kenma terhadap dirinya. Hinata langsung menegapkan tubuhnya dan mengulas senyuman hangat. Ia membenarkan posisi bantal Kenma agar temannya itu mendapatkan posisi yang lebih nyaman.

Feeling better?” tanyanya lembut.

Kenma tak mampu menjawab pertanyaan Hinata secara verbal, jadinya ia hanya meangguk pelan sebagai jawaban. Keduanya sempat diselimuti kesunyian, karena Hinata maupun Kenma menetapkan untuk menutup bibir mereka rapat. Hanya suara Elektrokardiogram yang mengisi ruang senyap dan menginterupsi keduanya.

“Maaf ... ” Bilah bibir Kenma seolah-olah mengeja kata maaf pada Hinata.

“Gak apa-apa. Kalo kamu masih merasa kurang enak badan mending istirahat aja, aku sama Lev bakal jagain kamu di sini.”

Lagi-lagi Kenma hanya meangguk pasrah. Netra terangnya kembali terpejam, berusaha mengatur napasnya untuk tetap stabil walaupun kini dadanya tengah sesak. Saat netranya tertutup, tiba-tiba bayangan dari kilas memori yang terjadi hari itu kembali terputar di dalan otaknya.

Di mana bayangan Kuroo memeluk sosok kekasihnya di bawah rinai hujan.

Lantas, dadanya semakin sesak setiap kali bayangan itu datang menggerayangi seluruh isi pikirannya. Kenma ingin menghalau pikiran itu, tetapi ia tak bisa. Semuanya terputar bak kaset rusak yang telah kusut, selalu dimainkan di sebuah bagian yang sama. Kenma menggigit bibir bawahnya kuat dan tangannya mengepal erat sehingga buku-bukunya memutih.

“Kuroo ... ” lirihnya dalam hati.

Apa itu kebahagiaan yang kamu maksud? Jika jawabannya benar, setidaknya aku bisa lebih tenang walaupun nyatanya aku harus menorehkan luka.”

[]

Ribuan tetesan air dari langit membasahi seluruh kota Tokyo, suara gemercik air yang berjatuhan ke tanah dan bau air hujan yang menambah suasana di kota tersebut. Banyak manusia tergesa-gesa berlarian mencari tempat untuk berteduh, walaupun kota tengah dilanda hujan yang cukup lebat tak membuat aktivitas manusia terhenti,sebagian dari mereka tetap melanjutkan kegiatan mereka tanpa gangguan sedikit pun, begitu pula dengan Kenma.

Walau udara dingin menyeruak dan menerpa ke pori-pori kulitnya, Kenma tak berhenti untuk melangkah dengan keyakinan kuat di hatinya. Ia berjalan di bawah rinai hujan dibantu dengan payung yang ia genggam dengan erat, bibirnya terukir sebuah senyuman sumringah sembari menatap sepatunya yang basah akibat genangan air hujan di jalanan.

“Kuroo pasti suka.” gumamnya dalam hati.

Memberi bento hasil tangannya sendiri untuk Kuroo membuat hatinya menghangat, menimbulkan euforia yang tak dapat ia bendung. Kenma ingin melihat Kuroo walau dari kejauhan sekali pun, karena ia terlampau sadar diri jikalau Kuroo masih enggan untuk bertemu dengannya. Selagi Kuroo masih mau menerima bento buatannya, Kenma rasa itu sudah lebih dari cukup. Membutuhkan waktu sekitar 25 menit dengan menaiki bis dan berjalan kaki beberapa mil untuk sampai di perusahaan milik Kuroo akhirnya kedua tungkainya berhenti di depan gedung perusahaan yang berdiri dengan kokoh menjulang ke atas langit. Lagi-lagi membuat Kenma kagum serta bangga dengan pencapaian Kuroo.

Dibanding dengan dirinya, Kenma rasa Kuroo jauh lebih hebat. Kuroo telah meraih mimpi-mimpinya yang pernah ia buat.

Rupanya Kenma datang disaat yang tepat, waktu menunjukkan pukul 12 siang di mana para pekerja mengambil waktu istirahat mereka, banyak pekerja yang bekerja di perusahaan Kuroo mulai keluar untuk menikmati makan siang mereka. Saat ini Kenma mengenakan jaket tebal, ia menutup kupluk jaket ke atas kepalanya serta memakai masker untuk menutupi wajahnya. Kenma tak ingin ada seseorang yang mengenalinya di sini.

Kenma masih berteduh di bawah payung yang ia bawa, masih banyak orang yang berlalu-lalang di depan gedung perusahaan Kuroo yang menyulitkan akses Kenma untuk masuk ke dalam gedung tersebut.

Namun, kala tungkainya melangkah maju, ia menemukan eksistansi Kuroo di depan pintu utama seraya memperhatikan arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, terpampang raut gusar di wajah Kuroo saat ini. Kenma hanya membeku di tempat, ia memandangi sosok Kuroo dari kejauhan. Kakinya seperti ditahan oleh tanah yang ia pijak untuk tetap diam di tempatnya. Jarak mereka cukup jauh sehingga Kuroo mungkin tak akan menyadari kehadiran Kenma di dekatnya.

Dari dalam lubuk hati Kenma, ia ingin sekali berlari lagi untuk menghampiri Kuroo dan memberikan bento buatannya secara langsung pada Kuroo. Namun, Kenma tersadar sebab ditampar keras oleh kenyataan, Kuroo pasti akan langsung menyuruhnya pergi dan tak ingin menerima kotak bento yang ia bawa. Perasaan bahagia menggerogoti seluruh tubuhnya, melihat keadaan Kuroo yang baik-baik saja sudah mampu membuatnya tenang.

“Ah, Kuroo keliatan lebih sehat, ya.” gumam Kenma pelan.

Persekon waktu berikutnya, seseorang datang menghampiri Kuroo dan menghambur pelukan pada Kuroo. Pemandangan itu tak luput dari pasang iris Kenma, pemandangan itu telak membuat Kenma tak mampu mengeluarkan kata. Genggaman di kotak bento dan payungnya melemah, seseorang itu mengulas senyum dan tangan Kuroo sontak mengusak surai seseorang itu yang mencuat. Gurat kebahagiaan tersorot dengan jelas di wajah mereka berdua. Kedua tungkai Kenma melemah dan tak mampu menahan bobot tubuhnya sendiri, pemandangan yang ia saksikan itu membuat napasnya tercekat.

“Aku lama, ya?” Suara lembut milik seseorang itu dapat didengar oleh Kenma.

“Gak kok, aku juga baru keluar.” balas Kuroo, intonasi itu sangat lembut.

“Hujan ... ” sungutnya.

Kuroo melepaskan jaket yang sedari tadi terpasang di tubuh jakungnya, memasukan tubuh mungil seseorang itu di dalam jaketnya, Kenma melihat wajah Kuroo yang tersenyum hangat pada sosok itu. Tangannya meraih tangan seseorang itu untuk saling berpagutan satu sama lain, sedangkan salah satu tangannya berusaha untuk menutupi bagian kepala pemuda itu dari guyuran hujan sebelum mereka berlarian melintasi hujan.

Kenma, dia tak mampu berucap lagi. Sekotak bento yang awalnya ia genggam dengan erat mulai terlepas dan terhempas di tanah yang basah. Wajahnya tak menunjukkan gurat apapun karena otaknya masih memproses sebuah pemadangan nyata yang ia saksikan dengan matanya sendiri. Hatinya tertohok dan ia meringis ngilu saat rasa sakit itu kembali menyerang lubuk hatinya.

Apakah Kuroo sudah menemukan seseorang pengganti dirinya?

Kenma mempertanyakan siapa pemuda bersurai terang itu, pemuda dengan senyuman terang dan indah. Payung yang sedari tadi ia gunakan untuk melindunginya dari hujan sekarang jatuh di atas tanah, membiarkan tubuhnya basah akan air hujan yang langsung mengguyur seluruh tubuhnya. Tangannya membekap mulutnya untuk meredam rasa sakit yang kini ia rasakan.

Kenma tak dapat membendung air mata yang merongrong untuk keluar, ia telah bersimbah air mata walaupun air matanya tercampur dengan air hujan, keduanya sama-sama membasahi wajah Kenma. Lantas, tak ada alasan bagi Kenma untuk diam di tempatnya, perlahan ia melenggang pergi dengan perasaan terluka. Abai pada semilir angin yang membuat tubuhnya bergidik, tungkainya hanya melangkah tanpa arah dan ditemani dengan rasa gundah.

“Kuroo ... ” Hatinya seolah berteriak memanggil nama Kuroo.

Pemandangan tadi begitu tiba-tiba untuknya, melihat wajah bahagia Kuroo saat bersama pemuda itu seolah memberi tanda pada Kenma bahwa kini Kuroo tak akan lagi berpaling kepadanya. Senyuman hangat itu tak akan lagi tertuju pada Kenma, pelukan nyaman itu tak akan mendekap tubuhnya, dan hati itu tak akan lagi tuk berlabuh di hatinya.

Hatinya bak ditikam oleh tombak panas, merobek seluruh bagian dan membiarkannya perlahan hancur hingga berkeping-keping. Kenyataan yang begitu pahit harus Kenma terima, kenyataan yang mengatakan bahwa Kuroo benar-benar membencinya dan berganti untuk meninggalkannya. Kenma tahu semua kisah ini berawal dari kesalahannya, tetapi mengapa ia begitu egois tuk meraih Kuroo kembali. Kenma tahu jikalau Kuroo pernah terluka lebih parah daripada yang ia rasakan, akan tetapi mengapa ia masih bersikeras untuk mendapatkan hati Kuroo lagi. Sebab, hati Kenma telah terpatri dan tak akan pernah berpaling pergi.

Kenma selalu menginginkan Kuroo walaupun mereka tak dapat bersatu lagi.

Kisah romansa yang berakhir nestapa, hanya meninggalkan luka yang menganga.

[]

Hati yang telah patah berubah menjadi rapuh, api yang telah mati tak akan mampu tuk menyala lagi.

Kuroo tersandar disebuah dinding luar rumahnya, menyalakan seputung cerutu untuk dihisap. Pikirannya berlabuh ke luar nalar, memikirkan banyak hal yang membuat seluruh isi otaknya memanas. Terdengar helaan napas berat yang keluar dari rongganya. Kuroo menautkan kelopak matanya erat seolah tak sanggup menatap langit. Saat netranya terpejam, memori masa lalunya selalu berputar bak kaset rusak di dalam kepalanya membuat Kuroo menggeram emosi. Saat cerutunya sudah mencapai batas putungnya, ia melemparkan putung itu ke tanah lalu mematikannya dengan sepatunya.

Perkataan Bokuto selalu saja tersampir dan membuatnya kembali terpikir. Kuroo benar-benar lelah akan masa lalu yang pernah terjadi di hidupnya, ia juga mengidamkan hidup yang tentram, namun seperti ada ribuan lobak yang menghalangi jalannya untuk bergerak maju. Kuroo teramat lelah dengan perasaannya yang kacau balau, ia lelah harus memendam semuanya seorang diri dan hampir mati.

“Kenma, gue capek. Setelah gue berhasil buat lupain lo, kenapa lo harus kembali?”

Pemuda berperawakan jangkung itu bergumam, intonasinya berubah rendah bak menandakan bahwa ia benar-benar lelah dan bermimpi untuk rehat. Saat dirinya mengatakan kebencian, ada bagian kecil di dalam dirinya yang menolak perasaan itu. Perasaan yang selalu membuatnya bingung. Tanpa Kuroo hendaki, kedua tungkainya melangkah maju tak tahu arah. Hanya mengikuti instingnya berjalan, lagipula tujuannya keluar rumah adalah untuk mencari udara segar setelah mendapat hawa sesak.

Ia menemukan sebuah taman kecil di tengah kota, dihiasi banyak lampu jalanan serta orang-orang yang berlalu lalang. Kuroo menyunggingkan senyumnya untuk berhenti di sana, memperhatikan aktivitas manusia pada malam hari. Kuroo duduk di sebuah kursi taman, memandangi satu-persatu kejadian yang terjadi di hadapannya. Ia merasa pikirannya menjadi lebih ringan daripada sebelumnya.

“Gue kebanyakan sibuk sama urusan kerjaan jadi susah buat luangin waktu santai kayak gini. Lagipula being busy is one of my coping mechanism.” ujarnya bermonolog. Menghirup semerbak harum dari bunga-bunga yang berjatuhan diterpa udara.

Namun, seketika iris netranya berhenti tuk berkonsetrasi saat iris itu bersitubruk dengan sepasang netra berwarna cerah milik seseorang. Tubuhnya tak mampu bergerak menjauh, ia hanya diam membeku di tempat duduknya. Pemandangan yang terjadi di hadapannya membuatnya reflek menganga.

“Kuroo ... ” lirihan seseorang.

Kuroo dapat melihat orang itu berlari menghampirinya dan menubrukkan tubuh mungilnya ke dalam dekapannya. Bahkan Kuroo dapat merasakan sosok itu bergetak di dekat dirinya, tangan halusnya membekap tubuhnya dengan begitu erat. Sosok itu bersikukuh memeluknya walaupun ada tolakan yang Kuroo berikan.

“Kuroo, is that really you?”

Sosok itu, Ialah Kozume Kenma. Sesosok manusia yang telah memporak-porandakan seluruh relung jiwa beserta raganya. Kuroo tak sedang bermimpi dan tak pula berada dalam ilusi, pelukan itu nyata adanya, Kenma yang mendekap tubuhnya dengan hangat. Namun, kala kesadaran Kuroo kembali sepenuhnya, ia melerai pelukan itu dan membentang jarak antara dirinya dan Kenma.

Let me off.” Kuroo berujar dengan ketus, menatap iris berbinar terang itu dengan nyalang.

Kenma dapat menyaksikan bagaimana dinginnya tatapan itu, tatapan yang menyorotkan kebencian.

I’m sorry, I miss you.” pungkasnya.

Tatapan ironis itu membuat Kenma meringis, ia tahu jikalau perbuatannya yang tiba-tiba seperti tadi akan membuat Kuroo marah padanya, tetapi Kenma tak mampu menahan dirinya lebih lama, ia ingin meraih Kuroo.

“Gue gak peduli.” Pemuda itu bahkan tak menoleh pada Kenma lagi.

Please do listen to me ... ”

“Cukup!” Kuroo menyalak cepat, ia menggertakan gigi-giginya membuat rahangnya mengeras, “lo sampah dan egois, lo selalu pengen berkuasa di atas luka seseorang, ya? Apa lagi yang perlu dibicarakan, huh? Semuanya sudah jelas dan tandas, Kenma. Lo itu seengguk cowok brengsek yang pernah ada di hidup gue.”

Kenma menundukkan kepalanya ke bawah, mendengar nada suara Kuroo yang meninggi membuatnya sangat ketakutan dan kala Kuroo berujar dengan kasar padanya, rasanya teramat menyakitkan daripada ucapan-ucapan kasar Kuroo yang pernah pemuda itu lemparkan kepada Kenma melalui pesan. Kuroo benar-benar berada di penghujung titik kesabarannya, kesalahannya di masa lalu memang membuat Kuroo sangat membencinya.

“Maaf ... ” Lidahnya kelu dan mulutnya bak terkunci, sekian banyak untaian kata yang ingin Kenma ucapkan tiba-tiba menghilang dan dirinya hanya mampu mengucapkan sepatah kata, sebagai permohonan maaf.

“Maaf? Cih, lo pikir gue Tuhan yang bisa memaafkan segala kesalahan seseorang?”

“A-Aku punya alasan, Kuroo, tapi aku belum bisa bilang ke kamu sekarang juga.” Kenma mengangkat kepalanya ke atas untuk melihat wajah Kuroo yang terpasang ekspresi kemarahan. Wajah itu dulunya selalu tersenyum kepadanya, tapi Kenma tak akan bisa menemukan wajah hangat seperti itu lagi.

Nasi sudah menjadi bubur. Penyesalan selalu datang di bagian terakhir.

“Apapun alasan lo, gue gak peduli lagi. Kenma, just let me breath without the foreshadowings of yours, it hurts me much.” Kuroo melenggang pergi meninggalkannya, Kenma mendengar dengan jelas kalimat terakhir Kuroo kepadanya. Kata-kata itu sangat menusuk tepat di ulu hatinya.

Kakinya tak mampu bergerak tuk mengejar kepergiaan Kuroo, ia hanya melihat punggung lebar itu semakin menghilang di hadapannya, meninggalkan Kenma dengan air mata yang berjatuhan dari matanya. Kenma terduduk lemah di atas rerumputan sembari merasakan hatinya yang berdenyut ngilu. Ia tersadar bahwa apa yang Kuroo rasakan jauh lebih sakit daripada yang ia rasakan. Kenma ingin menggapai sosok itu lagi, ia menginginkan Kuroo untuk dirinya lagi.

Kenma sangat egois karena mengharapkan Kuroo kembali walau ia telah membuat bagian hati seseorang rekah dan pada akhirnya berujung pukah.

Alih-alih, Kuroo memasukkan salah satu tangannya ke dalam saku celana dan salah satu tangannya mengepal hingga buku-bukunya memutih. Hatinya kembali nyeri dikala telinganya mendengar isak tangis Kenma. Ia mencelos saat dirinya direngkuh oleh asa dan berujung meninggalkan luka.

You’re confusing me again, Kenma.

Lubuk hatinya seolah berkata, “sampaikan maka akan kudengarkan.” Namun, Kuroo tak mengindahkan keinginan dangkal itu, baginya semuanya sudah rampung. Pertemuan tak disengaja itu berakhir buruk, lagi dan lagi hanya meninggalkan secercah luka di hati masing-masing. Dua sosok pemuda yang dijalankan oleh kekuasaan ego dan meninggalkan urusan hati.

[]

Malam yang diselimuti temaram, bunga yang tumbang telah ditinggalkan oleh kumbang.

Hinta bergegas dan berlarian kecil di koridor unit, hatinya tak karuan semenjak Kenma memintanya untuk datang ditambah kekhawatirannya tentang kondisi Kenma yang sedang tak baik-baik saja. Saat daun pintu unit milik Kenma sudah terlihat, tanpa membunyikan bel lagi, Hinata sudah memasukkan pin yang pernah diberitahukan oleh Kenma sebelumnya. Ia rasa mengetahui pin unit Kenma itu sangat penting, Hinata takut jikalau ada kejadian yang tak diinginkan.

Hinata kembali menutup pintu tersebut, memanggil nama Kenma dengan suara lantang dan mengedarkan pandangannya ke segala arah. Lantas, ia menemukan sosok Kenma yang tengah duduk di ruang tengah dengan menekuk lututnya erat, menenggelamkan wajahnya di tumpuan lutut tersebut membuat rambut panjangnya tergerai hingga menutup seluruh wajahnya.

“Kenma?” panggil Hinata dengan lirih.

Ia dapat menyaksikan bahwa bahu Kenma bergetar menandakan ia sedang menangis sekarang walaupun ia tahu Kenma mencoba untuk meredam suara isak tangisnya sekuat mungkin agar dirinya tak mengetahui kenyataan tersebut.

I’m come ... ” Hinata berujar kembali.

Kenma menengadahkan kepalanya ke atas untuk melihat eksistansi Hinata, wajahnya sangat kacau; ada bekas aliran air mata di sekitar wajah Kenma, hidungnya yang memerah, serta mata yang bengkak. Hinata menarik Kenma masuk ke dalam pelukannya, menyalurkan kehangatan untuk tubuh Kenma yang tengah bergetar.

Everything will be fine, Kenma.” Lidahnya hanya mampu melontarkan beberapa patah kata yang ia pun meragukan perkataan itu bisa menenangkan Kenma atau tidak.

“Shoyo ... ” Kenma meletakkan kepalanya di dada Hinata dan tangannya berada di sisi tubuhnya, Kenma merasa bahwa kedua tantannya sangat lemah untuk bergerak membalas pelukan Hinata. “Kuroo really hates me. I met him after a long time and he didn’t talk too much, but he looks fine. Setidaknya aku merasa lebih lega melihat Kuroo yang baik-baik aja.” sambungnya.

Do Kuroo always fine even though I’m not around, do my existence just bother him?” tanyanya.

Hinata menelan air liurnya dengan susah, ia bingung harus menjawab seperti apa. Terkadang sebuah kejujuran dan menggores luka pada seseorang, namun berkata jujur jauh lebih baik daripada dusta.

As you can see, he’s ... always fine.” Selama kepergiaan Kenma bertahun-tahun, Kuroo sudah berhasil memperbaiki dirinya tanpa menyakut pautkan kisah masa lalu untuk masa depannya, Kuroo selalu menatap maju tanpa noleh ke belakang.

Kenma menghela napas lega, ia melonggarkan pelukan Hinata pada tubuh ringkihnya, menggulirkan pandangan pada arah jendela yang terbuka. “Syukurlah ... ”

“Mungkin semua usahaku cuman sia-sia, tapi aku bersyukur Kuroo berhasil meraih usahanya untuk selalu melangkah maju. Shoyo, it might be exhausting and hurting us more, cuman kali ini aku mau egois lagi untuk terakhir kalinya agar bisa meraih usahaku. Aku harus bisa berbaikan sama Kuroo dan menyelesaikan semuanya.”

Hinata hanya bungkam membiarkan sang empu berujar dari lubuk hatinya, menatap sosok ringkih itu dengan lamat. Hinata melihat pancaran harapan dari pasang iris Kenma. Ia tahu tubuh itu sudah teramat lelah tuk melangkah.

“Apapun yang kamu mau, aku bakalan selalu bantu kamu.” pungkas Hinata.

“Shoyo, kamu tau ‘kan, bunga gak bisa terlihat indah untuk selamanya dan ada kalanya mereka akan layu.” Kenma bergumam dengan intonasi yang rendah.

“Maksudnya?” tanya Hinata padanya.

Kenma hanya menggeleng, “hm? Kayaknya aku cuman ngelantur.”

Bunga yang sudah mati maka akan terganti.

[]

Aruna merapikan sedikit riasan di wajahnya, memoleskan beberapa produk kecantikan di sana. Terasa sudah pas dengan penampilannya, ia bergegas keluar dari dalam kamar kosnya. Omong-omong, ia kini tinggal di sebuah kos milik teman orang tuanya, Aruna membentang jarak yang lumayan jauh dengan orang tuanya sebab alasan pendidikan.

Ia menginginkan untuk sekolah di ibu kota sedangkan orang tuanya masih tinggal di pulau tempat tinggal mereka. Aruna teramat bersyukur bisa mendapatkan tempat hunian yang nyaman nan layak untuknya, ia bertemu dengan teman-teman kos yang baik kepadanya. Walaupun ia satu-satunya pemuda berjenis kelamin perempuan di dalam kos yang ia tinggali, Aruna tak merasa terusik sama sekali, baik pemilik kos dan teman-temannya selalu memberikan kenyamanan untuknya.

Ruang tengah kos terlihat sunyi dan senyap, menandakan teman-temannya tengah berada di dalam kamar masing-masing. Namun, tak lama kesunyian itu terhapuskan kala beberapa temannya datang menghampirinya di ruang tengah.

“Lah, belum pergi ternyata lo.” ujar Kuroo yang mengambil duduk di seberangnya.

“Belum, kalo udah pergi gue gak bakal duduk di sini.” sahutnya.

“Iya, Run, santai aja kali ah.”

“Bu bos ingat pesanan gue, ‘kan?” Bokuto mengambil duduk di sebelahnya dan menatapnya dengan seringaian.

“Hm.” Ia menjawab dengan deheman.

“Gue liat-liat lo jalan terus sama Suna, udah mulai buka hati nih?” tanya Tsukishima.

“Baru dua kali perasaan.” jawab Aruna, ia mendongak untuk menatap wajah Tsukishima, namun pemuda bertubuh tinggi itu tak mengalihkan atensinya terhadap ponsel yang ia mainkan.

“Gue rasa sih Aruna juga mulai nerima perlakuan Suna, bener gak, Run?” timpal Kuroo yang mulai tertarik dengan pembahasan kali ini.

Shut the heck up, but if you guys ask me a question like that, I don’t even know how to answer it, I just being opened up to someone new after myself getting healed.

He looks kind and better.” sahut Tsukishima.

“Gue bukannya mau jelekin Suna sih, tapi soal tampilan itu bisa dimanipulasi. Kita gak bisa jadikan penampilan seseorang untuk menjadi patokan penilaian, tapi bukan berarti gue gak dukung Aruna misalnya mau nyoba ke Suna. Selagi lo seneng-seneng aja kita mah ngikut.” Bokuto melontarkan pernyataan yang membuat ketiganya ternganga.

“BOKUTO, ANJIR TUMBENAN LO.” pekik Kuroo.

“Kemasukan kali ini anak.” sambung Tsukishima sembari tersenyum tipis.

Aruna tertawa pelan melihat pertikaian mulut teman-temannya itu, ia sempat terdiam beberapa sekon dengan ucapan Bokuto. Ia sudah meyakinkan dirinya bahwa untuk mulai menerima Suna sedikit demi sedikit dan lalu, membiarkan semuanya berjalan sesuai keinginan takdir.

Tin. Tin.

“Cielah. Pangeran berkuda sudah datang!” Bokuto berujar kegirangan.

“Hati-hati, ya, Run.” tukas Tsukishima dan Kuroo bersamaan.

“Dadah, teman-temanku!”

Aruna menggantungkan tali tasnya di atas bahunya, setelah itu melangkahkan kedua tungkainya keluar kos. Ia mendapati eksistensi Suna di depan pagar dengan pakaian kasual, serta helm full face yang menutupi hampir seluruh bagian wajahnya. Ia semakin mendekati Suna dan melemparkan sapaan ringan kepadanya.

“Hai.”

“Hai, cantik.” balas Suna. “Are you ready for the drive with me?” sambungnya.

Of course.

Suna memasakan helm di atas kepala Aruna, namun sebelumnya ia membenarkan tataan surai panjang Aruna dengan telaten, memasangkan pengait helm dengan benar. Lalu, meminta Aruna untuk segera naik ke atas jok motornya. Aruna bermonolog di dalam hatinya, ia tak menampik bahwa penampilan Suna pada hari ini benar-benar luar biasa.

“Emangnya mau ke mana sih?” tanya Aruna saat Suna telah menjalankan motornya, ia mendekatkan kepalanya dengan bahu Suna agar Suna dapat mmendengar suaranya.

“Ke pelaminan.” jawab Suna.

“Yeu! Masa diajak kawin lari.” sungut Aruna sembari memukul pelan pundak pemuda itu dan Aruna dapat mendengar kekehan ringan keluar dari mulut Suna.

“Jadian dulu baru nikah.” Suna menatap pantulan wajah Aruna di kaca spion motornya.

“Jadian juga belum masa bahas-bahas nikah sih.”

“Yaudah ayo jadian sekarang.” ujar Suna dengan intonasi yang teramat santai.

“Masa jadian di atas motor sih, lo pikir lagi meragain adegan Dilan-Milea apa.”

“Hehe. Gemes banget lo.” pujinya.

Aruna dan Suna kembali diam, keduanya sama-sama memperhatikan keadaan jalan di sekitar mereka. Tangan Aruna menggenggam kecil kain jaket yang Suna kenakan, ia juga memperhatikan wajah Suna di pantulan kaca spion. Mata sipit Suna yang menajam saat dirinya terfokus dengan jalanan di depannya. Tanpa ia sadari, bibirnya terangkat ke atas membentuk segaris senyuman di bibir ranumnya. Ada gejolak yang menguap kembali di dalam dirinya setelah sekian lama, merasakan debaran anomali yang menggugah seluruh isi hatinya.

...

Suna mengajaknya ke sebuah mall yang ada di kota mereka, setelah mereka sampai Suna mengajaknya untuk membeli makanan terlebih dahulu karena Suna belum sempat sarapan. Aruna bersikeras untuk membayar tagihan makanan mereka, namun Suna mengambil tas Aruna dan menyimpannya. Suna menolak permintaan itu sama kerasnya. Lantas, Aruna menyerah dan membiarkan Suna untuk membayar tagihan makan mereka.

“Seharusnya gue yang bayar tadi.” Aruna masih mendumel ketika keduanya berjalan memasuki area bioskop.

Well, next time? I’ll pay you today.” tutur Suna dengan pelan. “Mau nonton apa?” tanyanya.

I’m fine with any genres, jadi kita bisa nonton film apapun.” jawab Aruna dengan goresan senyuman di atas wajahnya.

“Horror, mau?” tanya Suna meyakinkan.

“Mau!”

Suna merangkul pundak Aruna dengan erat seraya memasuki area antre-an tiket, tak lupa mereka membeli satu box popcorn dan minuman. Kini keduanya telah berada di dalam studio ketika film hendak diputar beberapa menit lagi. Aruna sibuk memakan popcorn yang mereka beli, sedangkan Suna hanya memperhatikan kegiatan Aruna.

Do you want it?” tanya Aruna.

Feed me” pinta Suna.

Aruna terkekeh, ia memasukan beberapa popcorn ke dalam mulut Suna. Lantas, semakin terkekeh kala mulut Suna semakin penuh dengan popcorn. Suna mencubit pipi berisi Aruna sebagai balasan atas perbuatan jahilnya. Setelah beberapa menit mereka berbincang, lampu studio dipadamkan dan film mulai ditayangkan.

Aruna teramat fokus dengan adegan yang tengah ia tonton, begitu pula dengan Suna walaupun sesekali ia memperhatikan ekspresi Aruna yang kadang menunjukkan keterkejutan dan ketakutan. Tanpa Aruna sadari, ia kini menggenggam tangan Suna dengan kedua tangannya dengan erat, menyalurkan perasaan takutnya kepada Suna. Ia tak menyangka bahwa film yang ia pilih menayangkan adegan seseram ini.

“Ih, serem banget!” celetuk Aruna.

“Kalo serem peluk gue aja biar gak keliatan horrornya.” titah Suna pada dirinya.

“Modus!” balasnya.

Namun, siapa sangka kini Aruna merapatkan tubuhnya ke tubuh berisi Suna, menutup wajahnya dengan pundak Suna. Suna menoleh dan melihat bagaimana Aruna yang tengah ketakutan saat ini, ia terlihat semakin menggemaskan baginya. Suna menolehkan kepala Aruna untuk menatap ke arah dirinya agar Aruna tak melihat adegan yang menakutkan.

Katanya gak takut, tapi kok nontonnya sembunyi-sembunyi gini. Suna berujar di dalam hatinya.

...

“SEREM BANGET!” celetuk Aruna yang masih terbayang adegan yang menyeramkan di film yang ia tonton tadi.

“Kalo takut seharusnya kita gak usah nonton film itu tadi.” balas Suna.

“Gue suka tau nonton film horror walaupun pas nonton sering ketakutan ... ”

“Mau ice cream? Biar gak kebayang adegan serem lagi.” tawar Suna saat mereka melewati stan es krim.

“Mau banget!”

Suna membelikan es krim bervarian stroberi dan vanila untik Aruna, sedangkan ia memilih es krim coklat. Lagi-lagi ia membayar semuanya, karena ia telah bertekad untuk membayar semua hal yang akan mereka lakukan saat date pertama mereka. Setelah berjalan-jalan mengelilingi seisi mall, mereka juga berbincang banyak hal bersama, tak lupa diiringi tawaan dan candaan ringan mengisi pembicaraan mereka. Aruna menyadari bahwa Suna tipikal orang yang lebih banyak mendengarkan daripada berbicara, pemuda itu selalu mendengarkan setiap detil cerita yang ia lontarkan dan terkadang ia menyelipkan pertanyaan kepada Aruna.

Lantas, keduanya menghabiskan sisa waktu mereka dengan bermain di area permainan, menaiki biang lala, rollercoaster, dan permainan lainnya. Suna tersenyum senang saat melihat Aruna yang teramat antusias kala keduanya menaiki permainan. Ia juga banyak berekspresi takjub, sungguh Suna akan mengabadikan momen bahagia ini. Melihat Aruna yang tersenyum lebar membuat hatinya menghangat.

Keduanya telah menghabiskan waktu 6 jam di mall, kini mereka memutuskan untuk pulang. Namun, siapa sangka di tengah perjalanan hujan menerpa mereka. Terpaksa Suna membawa motornya ke sebuah halte untuk berteduh. Ia tak ingin Aruna basah akibat hujan dan berujung sakit nantinya.

“Lo basah gak?” tanya Suna dengan intonasi khawatir.

“Enggak kok.”

Aruna mengusapkan kedua tangannya untuk membuat rasa hangat kepada dirinya, karena hujan turun begitu lebat dan angin bertiup kencang membuat suasananya berubah menjadi dingin. Tiba-tiba Suna menarik tubuhnya mendekat kepada dirinya. Mendekap tubuh mungil Aruna dengan tangannya yang bertengger di pinggang Aruna, serta menutupi seluruh tubuh Aruna dengan jaket yang ia kenakan. Posisi mereka sangat dekat bahkan punggung Aruna bersentuhan dengan dada Suna. Ia juga dapat merasakan hembusan napas Suna mengenai lehernya.

“Dingin.” ucap Suna lirih.

Aruna termenung dengan perlakuan Suna, dan posisi mereka saat ini membuat Aruna membeku seketika. “O-Oh i-iya ... ”

Jaket Suna sangat pas membekap tubuhnya dan Suna, di pinggangnya juga ada tangan Suna yang melingkar dengan sempurna. Jantungnya bekerja lebih cepat dari biasanya, degup jantungnya juga berdetak lebih nyaring. Aruna menggigit bibir bawahnya pelan. Ia sungguh memanas saat ini.

“Sebenernya gue takut thunderbolt dan yang lainnya pas hujan.” tutur Suna halus.

“Eh?” Aruna mengernyit.

Sorry kalo bikin lo gak nyaman dengan posisi ini, tapi gue butuh peluk lo saat ini juga buat nenangin ketakutan gue dan buat bikin lo terhindar dari hawa dingin.” jelas Suna.

Aruna menyunggingkan senyumnya, ia baru saja mengetahui bahwa Suna mempunyai ketakutan atas petir dan gemuruh dikala hujan tiba. Ia membiarkan dagu Suna bertopang di pundaknya dan pelukannya kian erat. Aruna ingin waktu dihentikan agar ia bisa merasakan perasaan ini lebih lama lagi.

Ia ingin Suna selalu berada di dekatnya.

[]

Aruna tengah berkutat dengan kegiatannya sebagai manajer tim voli di Nekoma. Menuangkan air mineral ke dalam masing-masing botol minum, serta membagikannya ke masing-masing anggota, tak lupa menyampirkan handuk bersih di atas bahu mereka. Hal yang dilakukan Aruna kepada anggota tim membuat mereka terpukau dan merasa teramat diperhatikan. Kerap kali mereka merapalkan kata terima kasih kepada Aruna karena telah menjadi manajer mereka.

Latih tanding telah berakhir beberapa menit yang lalu, pelatih mengumpulkan anggota mereka untuk memberikan arahan dan hal-hal yang harus dievaluasi di permainan mereka, dan memikirkan cara untuk menanggulangi kesalahan yang terjadi saat pertandingan berlangsung. Setelah selesai dengan para pelatih masing-masing, seluruh tim dari semua sekolah diperintahkan untuk berbaris. Sekali lagi untuk memberikan sepatah dua patah kata mengenai latih tanding yang telah dilaksanakan 3 hari berturut-turut.

Aruna berkumpul bersama manajer dari tim voli lainnya, semuanya turut bahagia dan menyambut Aruna dengan baik.

“Hanya ini yang saya dapat sampaikan untuk perlatihan tanding kita selama 3 hari di sekolah Nekoma. Saya ucapkan terima kasih yang begitu besar kepada semua tim yang telah berpartisipasi. Saya harap setiap tim dapat menjunjung dan menambah kekuatan untuk memberikan prestasi yang besar untuk timnya.” ujar sang guru.

“Baik!” Serentak semua anggota menjawab dengan penuh semangat.

“Saya persilakan untuk pulang, tolong beristirahat dengan cukup, ya.”

Semua anggota tim voli bubar dan bersiap untuk pergi meninggalkan gedung olahraga, tempat yang mereka gunakan saat latih tanding. Aruna mengambil tasnya yang tergeletak di atas kursi, ia berpamitan untuk pulang setelah semua pekerjaannya sudah selesai. Tak lupa berpamitan dengan para manajer yang kini telah menjadi temannya.

“Aku pamit dulu, ya.” pungkas Aruna ramah kepada teman sesama manajer.

“Hati-hati, ya, Runa!” ucap Kiyoko, manajer dari tim voli Karasuno.

Aruna menunjukkan gurat lembut dan tersenyum sebagai jawaban, ia melambaikan tangannya sebelum benar-benar meninggalkan arena gedung olahraga. Aruna berjalan dengan pelan di koridor dekat gedung olahraga sembari memainkan ponselnya.

“Aruna!”

“HEY, BU BOS!”

Lantas, Aruna menghentikan pergerakan langkah kakinya, ia membalikan tubuhnya untuk memandangi teman-temannya yang berlarian menghampirinya.

“Kenapa?” tanya Aruna tanpa basa-basi.

“Balik sama kita sini.” ajak Kuroo.

“Hari ini Bokuto bawa mobil, jadi kita bisa balik barengan ke kos.” sambung Akaashi.

“Anu ... gue gak langsung balik ke rumah, lo semua balik duluan aja.” Aruna tak akan melupakan janjinya bersama Suna bahwa hari ini mereka akan pulang bersama.

“TUMBEN, BU BOS?” Oikawa menimpali.

“Lah. Emangnya kenapa?” balasnya.

“Hari ini temen kalian pulang sama gue.” Aruna dapat merasakan ada beban yang bersarang di pundaknya, seseorang tengah merangkul bahu sempitnya secara tiba-tiba yang mana membuatnya berjengit kaget.

“Udah gue tebak.” ujar Tsukishima.

Suna datang menghampiri mereka, ia langsung merangkul pundak Aruna dan merapatkan tubuhnya ke tubuh kecil Aruna tersebut. Ia menyeringai sembari melempar pandangan ke seluruh teman-temannya Aruna, bisa dibilang bahwa mereka juga temannya, karena Inarizaki telah melakukan banyak pertandingan bersama dengan sekolah mereka semua. Aruna tersentak di tempatnya, irisnya mengedar ke sosok Suna yang ada di sampingnya.

“Mau dibawa ke mana cewek gue?” tanya Oikawa seolah-olah tengah mengejek Suna.

“Diajak nikah nih, kalian ngasih izin gak?” Suna terkekeh pelan.

“GAK BISA. NANTI YANG MASAKIN MAKANAN DI KOS KITA SIAPA?” Bokuto menyilangkan tangannya di depan dada seraya menggelengkan kepalanya.

“Ngaco!” sungut Aruna kepada mereka.

“Yaudah, gue titipin Aruna ke lo, ya, Sun. Pas dipulangin nanti harus lengkap.” tipal Kuroo yang kini merangkul Kenma yang asik dengan permainan di ponselnya.

“Palingan nanti pas pulang statusnya berubah, jadi pacar gue.” Suna berujar diiringi dengan tawaan renyah.

Oikawa memukul pelan perut Suna, “pede banget lo, jelek.” Setelah itu mereka semua berpamitan kepada Aruna dan Suna untuk pulang lebih dulu daripada mereka.

“Lo ngelantur deh.” Aruna melepaskan rangkulan Suna di pundaknya, ia memaksakan dirinya untuk tak terbakar lara romansa dengan begitu cepatnya. Perkataan terakhir Suna yang terlontar tadi justru mampu membuatnya hampir terbakar.

“Salting, ya?”

“Gak!”

“Haha, pasti lo salting.”

I already said, no.”

Setelah itu Suna tak membalas perkataan Aruna lagi, ia menarik pergelangan Aruna untuk ikut bersamanya. Aruna pasrah dibawa ke mana pun oleh Suna. Kini keduanya telah sampai di parkiran sekolah, rupanya Suna mengendarai motor pribadi daripada ikut bis sekolahnya.

“Wih, Suna!” teriakan seseorang menginterupsi keduanya.

Aruna dapat melihat bahwa segerombolan orang itu berasal dari tim voli Inarizaki, karena mereka masih mengenalkan seragam voli mereka. Aruna semakin dibikin terpojok ketika teman-teman Suna mulai mengitari mereka berdua.

“Apaan?” Suna tetap acuh dan memilih untuk memasang helm-nya sendiri.

“Pantesan gak mau diajakin ikut bis, ternyata mau jalan sama doi lo.” sambung salah satu temannya yang bersurai kekuningan.

“Yoi.” Setelah helm full face yang Suna kenakan terpasang di kepalanya, ia menoleh ke segerombolan temannya.

Nice drive, ya. Hati-hati bawa anak orang.” ujar pemuda yang berambut putih, di mana terdapat tulisan nomor 1 di baju volinya, Aruna menyadari bahwa orang tersebut adalah kapten voli mereka.

Thanks.”

“Sekarang Suna deketnya sama manajer Nekoma, ya. Mana cantik orangnya.” sahut temannya lagi.

“Yuk balik, bis sekolah udah nunggu tuh di depan.” Seseorang pemuda bersurai abu menghampiri mereka dan mengajak semuanya untuk kembali pulang.

Aruna bernapas lega ketika satu persatu anggota voli Inarizaki mulai meninggalkan mereka berdua di parkiran, kehadiran mereka semua membuat jantungnya berdetak tak karuan dan cukup membuat Aruna takut. Suna memandangi Aruna yang kini menampilkan wajah terkejut.

“Itu semua anggota tim voli Inarizaki, mereka tau kalo gue suka sama lo.” Seolah tak menimbulkan apapun, Suna berujar dengan santainya.

ANJIR. BISA-BISANYA DIA SESANTAI ITU BILANG KE SEMUA TEMENNYA?

Suna memberikan helm yang ia bawa untuk Aruna, membantu perempuan itu memasangnya di kepala. Suna memperhatikan bawahan Aruna yang pendek, sebab hari ini Aruna kembali mengenakan rok pendek. Akan berbahaya jika Aruna menaiki motor ninjanya dengan rok pendek tersebut, tanpa aba-aba Suna melepaskan jaket miliknya dan melingkarkan jaket itu ke pinggang sempit Aruna. Dan, kini jarak mereka begitu dekat. Aruna semakin dibikin terkejut dengan perlakuan Suna saat ini. Ia dapat merasakan tangan Suna yang melingkar di pinggangnya dan rahang tegas laki-laki itu.

ANJING. ANJING ANJING. DEKET BANGET SAMA MUKA GUE.

“Nah, sudah.” ujar Suna lagi.

“Gue bisa sendiri tau ... ” ucap Aruna pelan dan ia sengaja memalingkan wajahnya ke arah lain. Ia takut Suna melihat wajahnya yang mungkin sudah memerah.

“Kalo ada gue kenapa harus lo lakuin sendiri?” tukasnya, lalu Suna menaiki motornya dan menyuruh Aruna untuk segera naik, “pegangan, Run, kalo lo jatuh gue gak punya asuransi buat nanggung lo.” Suna kembali terkekeh.

“Makanya jangan ngebut.” balas Aruna.

“Gak kok, tapi pegangan gak ada salahnya biar lebih aman.” titah Suna. Tanpa diminta lagi, Suna menarik kedua tangan Aruna untuk melingkari pinggangnya dengan erat.

Aruna semakin dibuat kepalang, ia rasa bahwa saat ini jiwanya sudah terangkat dari raganya sejak Suna memperlihatkan eksistensinya.

“Modus!”

“Gak apa-apa, ‘kan sama doi sendiri.”

...

“Lo mesen burger aja?” tanya Aruna, Suna meminta Aruna untuk duduk saja sedangkan dirinya ikut antre-an.

“Iya.”

Aruna berbinar mendapatkan McFlurry kesukaannya, Suna juga memesakan ia menu baru di McDonald’s. Ia berterima kasih kepada Suna yang hari ini mentraktirnya makanan di sini.

“Makan yang banyak, biar cepet gede.” tutur Suna sambil tersenyum.

“Lo juga tuh biar makin banyak energinya, biar kalo lagi tanding bisa kasih servis yang kuat.” timpal Aruna sembari memakan makanannya dengan seksama.

“Selain butuh makan, gue juga butuh cium dari lo biar makin semangat.”

“Anjing.” Aruna melemparkan tatapan sinis kepada Suna, namun Suna malah mendapati wajah Aruna yang menggemaskan di matanya.

“Bercanda, mbul.”

“Karena hari ini lo yang traktir gue makan, jadi gue maafin walaupun gak tulus.”

“Gak boleh gitu lo, maafin orang harus tulus.” ujar Suna.

“Terserah lo.”

Aruna sangat fokus menyantap semua makanan yang dipesankan oleh Suna, sedangkan Suna menorehkan seluruh atensinya kepada Aruna. Suna bersumpah bahwa Aruna benar-benar bentuk terindah yang Tuhan ciptakan, ia sangat beruntung jika takdir mengatakan untuk mempertemukan mereka berdua. Suna lantas merasakan debaran anomali semakin memuncak di dalam dirinya, saat ini Aruna berada di hadapannya dan berbicara dengannya.

Suna melihat ada bekas makanan yang tersisa di sudut bibir Aruna, tangannya tergerak untuk menyapu bekas makanan tersebut dan mengisap jarinya sendiri. Aruna langsung tersentak, ia menatap luruh ke arah Suna yang tersenyum.

“Makan yang bener, lo kayak anak kecil lagi makan.” ujar Suna, ia melanjutkan makannya tanpa mempedulikan reaksi keterkejutan Aruna.

Gue rasa saat ini gue meninggal deh, Suna bangsat bisa banget acak-acakin hati gue.

“Apaan sih!”

...

Suna mematikan mesin kendaraannya ketika sampai di kediaman Aruna, dengan berpegangan di pundak Suna, ia turun dari motor Suna yang sialnya sangat tinggi untuk ukuran tubuhnya. Suna tergerak untuk melepaskan helm yang digunakan Aruna, sedangkan Aruna hanya diam sembari memandangi wajah Suna. Aruna terlihat cengengesan saat Suna melepaskan helm-nya, Suna mengernyit bingung melihat Aruna yang terkekeh tiba-tiba.

“Kenapa lo? Tiba-tiba demam abis jalan sama gue?” tanya Suna.

“Hehehehehe—gue kenyang banget nih! Lo ngasih gue makanan banyak mana gratis pula, makanya gue senang.”

“Bagus deh kalo lo senang, gue jadi makin senang liatnya.” sahut Suna lagi.

Aruna hendak melepaskan jaket Suna yang masih melingkar di pinggangnya, namun Suna menahan pergerakan Aruna. Membuat Aruna melemparkan tatapan heran.

“Kenapa?” tanya Aruna bingung.

“Jangan dibalikin sekarang, lo simpen aja dulu. Biar gue ada alasan buat ketemuan sama lo lagi.” tutur Suna.

“Ih, jangan lah!”

“Gak.”

“Gue balikin!”

“Gak boleh. Simpen dulu aja buat lo, nanti bisa aja gue ambil.” Suna bersikeras untuk menahan pergerakan Aruna, ia menyuruh perempuan itu untuk menyimpan jaketnya lebih lama lagi. “Lo masuk gih, gue mau pulang dulu.”

“Hati-hati, Suna!” pekik Aruna antusias, kembali tangannya terangkat untuk memberikan cubitan pelan di pipi Aruna.

“Dadah, cantik. See you.” Suna melajukan motornya meninggalkan perkarangan kos Aruna.

Meninggalkan Aruna dengan keadaan yang acak-acakan, hatinya bergemuruh hebat, bahkan wajahnya semakin merah padam.

“MAMAAAA, ARUNA BAPER.”

[]

Derap langkah terdengar dengan begitu jelas di lorong-lorong koridor, tungkainya berjalan menapaki lantai yang berwarna putih tulang tersebut. Keraguan dan keresahan tersampir di dalam dirinya, kedua tangannya bertaut erat, semakin dekat dengan area yang ia hampiri terasa semakin berat langkah kakinya. Namun, dirinya telah bertekad untuk yakin dengan keputusannya, tak ingin membuat temannya kecewa atas keegoisannya.

Ia adalah Aruna. Kedua tungkai tersebut membawanya ke ruang ganti untuk mengganti seragamnya sebelum mendatangi gedung olahraga yang ada di sekolahnya. Ia memutar knop pintu ruang ganti dan kekosongan yang ia dapatkan. Aruna menghela napas lega, setidaknya ada sedikit waktu yang tersisa untuk menenangkan dirinya.

Aruna telah menerima ajakan Kuroo, temannya, untuk menjadi manajer di sebuah tim besar voli di sekolahnya. Lantas, kemarin bukan pertama kalinya Kuroo membujuknya untuk menjadi manajer, akan tetapi ia selalu menolak dengan alasan yang sama, namun hari ini berbeda. Dirinya mendapat dorongan yang kuat dari dalam jiwanya agar menerima ajakan tersebut, di sinilah ia berada di gedung olahraga utama di Nekoma. Mendedikasikan dirinya menjadi manajer yang akan mengurus tim voli secara keseluruhan mulai hari ini.

“BU BOS!” Seseorang memekik nyaring saat menemukan dirinya masuk ke area gedung.

“Lo beneran mau jadi manajer tim?” Ada suara lainnya yang menginterogasinya, semua suara itu dari teman-temannya.

Sedangkan Kuroo tercengang dengan bola voli di tangannya, ia terkejut atas apa yang ia temukan hari ini. Aruna benar-benar datang menemui mereka dengan menggunakan pakaian olahraga. Kuroo tersenyum lebar dan segera menghampiri Aruna bersama teman-temannya yang lain.

“Aruna!” teriak Kuroo memanggil namanya.

“Apaan?” balas Aruna.

“Gue beneran kaget akhirnya lo mau jadi manajer buat tim voli.” timpal Kuroo dengan intonasi yang teramat antusias.

“Ya, ‘kan gue udah bilang sama lo kalo gue mau coba jadi manajer.” ucap Aruna.

“Bu bos! Wih, gue ikutan seneng nih sekarang semuanya ada di lapangan.” Bokuto mengulurkan kedua tangannya untuk mendekap Aruna dengan senang.

“Bokuto, lepasin!” Aruna melonggarkan pelukan Bokuto pada dirinya, melemparkan tatapan sinis kepada pemuda laki-laki tersebut.

“Maaf, bu bos. Gue antusias nih liat job lo sekarang jadi manajer.” lanjutnya lagi.

“Aruna, selamat ya!” Akaashi muncul dari belakang Bokuto dan memamerkan senyuman lebarnya.

“Makasih, guys. Daripada lo semua berdiri di sini mending lanjutin latihan kalian sebelum disemprot sama coach.” titah Aruna kepada teman-temannya itu.

“Iya, iya. Dadah, bu bos!” ujar Bokuto sebelum dirinya dan Akaashi berjalan menjauhinya untuk kembali bersama tim voli dari sekolahnya.

“Run, sini ikutan gue.” ajak Kuroo yang tanpa aba-aba langsung menarik tangannya untuk menghampiri pelatih Nekoma. “Coach, ini Aruna. Dia yang bakal jadi manajer tim voli untuk Nekoma, saya yakin Aruna bisa jadi manajer yang baik dan bisa serius mengurus tim kami.” Kuroo mengenalkan dirinya kepada sang pelatih voli di tim voli Nekoma, kini seluruh badan Aruna terasa kaku, bahkan ia menundukkan badannya dengan kikuk.

“Mohon kerja samanya!” ujar Aruna kepada pelatih dan guru pengurus tim voli.

Mereka menjawab bersamaan, “mohon atas kerja samanya, ya, Aruna.”

“Permisi, ya, Pak, Coach. Mau kenalin Aruna ke anak-anak yang lain dulu.” pinta Kuroo kepada kedua laki-laki paruh baya tersebut dan mereka mengangguk mengindahkan permintaan Kuroo.

“Kuroo, gue gugup.” lirih Aruna.

“Yaelah santai aja, cuman kenalan sama anak-anak voli. Lebih gugup mana pas lo nanti ketemuan sama Suna?”

Gosh. Gue baru ingat hari ini gue bakal ketemuan sama Suna juga. Aruna memejamkan matanya sebentar dan bermonolog di dalam hatinya, ia hampir terlupa bahwa hari ini ia akan berjumpa dengan Suna untuk pertama kalinya. Detak jantungnya terasa bekerja lebih cepat daripada biasanya.

“Apaan sih.” sungutnya.

Guys, kenalin nih namanya Aruna, anak kelas 2-1 yang bakal jadi manajer kita.”

“Mohon kerja samanya, ya, dan salam kenal. Kalian bisa panggil gue Aruna atau apapun yang lo mau, gue masih pemula dalam hal voli tapi gue berusaha untuk jadi yang terbaik buat kalian.” Aruna membungkukan badannya 90 derajat di hadapan tim voli yang berbaris di depannya. Timbul perasaan kagum di dalam dirinya melihat seluruh anggota tim voli membungkukan badan mereka kepadanya dan memberikannya sambutan yang hangat.

“Mohon atas kerja samanya, Aruna. Terima kasih banyak!” ucap mereka antusias.

Selang beberapa menit kemudian, latih tanding dimulai. Kali ini Nekoma harus berhadapan dengan Fukurodani. Aruna duduk di bangku yang ditempati oleh guru dan pelatih voli Nekoma, di tangannya terdapat buku khusus untuk mencatat hal-hal yang perlu ia tuliskan. Memandangi pemainan voli antar keduanya dengan seksama, walaupun ini kali pertamanya menjadi manajer di sebuah tim olahraga. Aruna cukup piawai mengamati pergerakan, ia tahu apa yang harus ia lakukan sebagai manajer.

Aruna memandangi wajah-wajah antar dua tim tersebut, saling melemparkan tatapan perlawanan dan merebut kemenangan. Di sana ada Bokuto dan Akaashi yang bergerak dengan lincah harus melawan Kenma dan Kuroo. Di luar mereka adalah kawan, namun di lapangan mereka tetaplah lawan.

Suara pluit dibunyikan bahwa permainan telah selesai dengan Fukurodani yang memenangkan pertandingan tersebut dengan perbedaan 2 poin. Aruna bergegas membagikan handuk dan botol minum kepada semua anggota, lalu ikut berkumpul bersama anggota dan pelatih.

“Runa, asal lo tau di lapangan 2 ada tim voli dari sekolah Inarizaki tuh.” Kuroo menghampiri Aruna yang tengah merapikan botol minuman mereka.

“Apa urusannya sama gue?” tanya Aruna.

“Inarizaki tuh sekolahnya Suna.” jawab Kuroo santai, lalu meninggalkan Aruna dengan ketegangan yang melanda.

Gue jadi gugup lagi. Aruna berujar di dalam hatinya. Mendengar nama Suna dapat menimbulkan keresahan di dalam dirinya, bahkan Aruna pun tak tahu mengapa.

Permainan latih tanding telah berakhir dan waktu menunjukkan pukul 8 malam, setelah mendapat arahan dari pelatih masing-masing tim, semua anggota diperbolehkan pulang. Aruna telah rampung dengan pekerjaannya, saat dirinya ingin menghampiri Kuroo dan yang lainnya. Langkahnya terpaksa dihentikan oleh sosok pemuda jangkung yang berdiri di depannya. Tubuh pemuda tinggi dan berbadan cukup besar membuat Aruna terhimpit dikarenakan badannya yang jauh lebih kecil.

“Hai, Aruna ‘kan?” ucap orang tersebut. Aruna menelan salivanya dengan susah payah, suara pemuda itu terdengar sangat berat di telinganya. Lantas, akhirnya Aruna mendongak untuk melihat wajahnya.

“I-Iya ... ” balas Aruna terbata.

Pemuda itu membentuk senyuman tipis di bibirnya membuat matanya semakin sipit, ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana yang ia kenakan. “Ternyata liat lo secara lebih dekat gini bikin lo makin keliatan cantik, ya. Gue orang yang kemarin ngajakin lo ketemu, Suna Rintarou.”

ASDFGHJKL, JADI DIA SUNA? MAMA, ANAKNYA CAKEP BANGET.

Itulah yang Aruna sampaikan secara implisit di dalam hatinya, ternyata Suna terlihat sangat tampan di hadapannya ini.

“Ohh—lo Suna, ya.” jawabnya pelan.

“Katanya lo bukan manajer Nekoma?” tanya Suna yang kini memperhatikannya dari atas ke bawah, tatapan yang Suna berikan kepadanya membuat tungkai Aruna melemah.

“Kemarin sih bukan, sekarang iya.”

“Oh. Baru direkrut jadi manajer Nekoma?” tanya Suna sekali lagi, Aruna hanya mengangguk sebagai jawaban sebab lidahnya terasa kelu saat ini sehingga dirinya tak mampu berujar secara verbal. Ia tak menyangka dihadapkan oleh laki-laki yang indah seperti Suna, “selamat, ya. Bukan cuman Nekoma yang seneng lo jadi manajer, tapi gue juga seneng. Gue jadi bisa sering ketemu lo nantinya pas tanding.”

Deg.

Pernyataan yang terlontar dari mulut Suna benar-benar menimbulkan kejut jantung yang spontan dari dalam tubuhnya.

“Hmm iya.”

“Mau pulang bareng sama gue?” ajak Suna dengan begitu santai.

“Hah ... ? Engga usah! Gue baliknya sama Kuroo dan Kenma. Lo balik aja duluan gak apa-apa kok.” tolak Aruna panik.

Those flushed cheeks of yours are make you more adorable, if you know.” Suna menjulurkan tangannya ke arah wajahnya dan lantas tiba-tiba salah satu tangannya mencubit pipinya.

Aruna dapat merasakan panas yang membara di pipinya, ia juga menyadari bawah kini wajahnya memerah karena malu. Ia semakin dibuat tak karuan saat Suna mencubit pipinya lalu diiringi kekehan ringan.

“Suna ... apaan sih!” Aruna memajukan bibirnya beberapa senti seolah-olah ia tengah cemberut.

Oh God, you’re adorable indeed, thank you for bringing me together with Aruna.”

Suara baritone itu memekakan seluruh indra pendengarannya, ditambah wajah Suna yang dihiasi oleh senyuman lebar.

“Emang gue gemesin, makanya bikin lo suka.” Aruna langsung membungkam mulutnya itu dengan kedua tangannya, ia terkejut mulutnya tiba-tiba mengeluarkan perkataan memalukan seperti itu.

BAJINGAN. LO MULUT BAJINGAN. KOK BISA-BISANYA LO MEMPERMALUKAN DIRI DI DEPAN SUNA GINI?

“Haha—lo pantas disukain.”

“HEY HEY HEY. UDAH PACARANNYA?” Suara Bokuto menginterupsi perbincangan mereka, Aruna menghela napas legas atas kehadiran Bokuto saat ini. Setidaknya ia bisa menjauhi perbuatan memalukannya tadi.

“Pacaran apanya sih!” sungut Aruna.

“Udah malem, bu bos. Ayo balik sekarang, jangan pacaran sama Suna mulu.” ajak Bokuto kepadanya. Ternyata bukan hanya Bokuto yang ada di dekatnya, terdapat; Kuroo, Kenma, Akaashi, dan Tsukishima.

“Woi, Suna!” Kuroo memukul pundak Suna pelan dan menatap laki-laki itu dengan tatapan yang seolah mengejeknya. “Ciee, lo sekarang mau mepetin manajer gue.”

Suna menyeringai kepada Kuroo, lalu tangannya terangkat untuk menyampirkannya ke pundak sempit Aruna. “Yoi, sebentar lagi juga bakal pacaran. Iya gak, Run?”

Aruna ingin sekali pingsan saat ini juga, ia sangat gugup dan malu atas perbuataan Suna yang sangat tiba-tiba kepadanya, wajahnya kini total memerah, dan ia tahu setelah ini ia akan menjadi bahan ejekan teman-temannya setelah mereka sampai di tempat kos.

“Gak usah ngaco.” pungkas Aruna pelan.

Setelah itu yang ia dengar hanya kekehan dari Suna dan sebelum Suna meninggalkannya, pemuda tampan itu mengacak-acak rambutnya dengan pelan. Lalu, Suna berkata padanya, “see you in another time, Runa.”

Suna berjalan melewati mereka semua untuk berkumpul bersama kawan se-timnya. Meninggalkan Aruna dengan keadaan kacau akibat ulah pemuda itu.

“Ciee, Aruna.” sahut Akaashi.

“Buaya juga gayanya si Suna.” Tsukishima menimpali.

“Ayo pulang.” ajak Kenma.

Aruna menggeleng-gelengkan perasaan yang tertinggal di hatinya, terlampau kini keadaannya sudah begitu kacau dan meninggalkan kesan bahagia setelah bertemu Suna. Garis senyuman terbentuk di wajah cantiknya. Ia pun juga berharap bisa bertemu Suna lagi setelah pertemuan pertama mereka.

[]