Iakunan

Kicauan terdengar ke dalam rungu melempar sebuah cetusan yang mengatakan harta paling berharga adalah keluarga, antara setuju maupun tidak akan kembali pada konklusi masing-masing, tak akan bisa ditelan oleh semua orang. Akan tetapi, bagi seorang pemuda bernama Donquixote Rosinante—memiliki adik kecil bagaikan mengcengkram semesta dalam rengkuhan genggam. Menyandang harkat menjadi sang tertua bukanlah takdir yang harus disesali. Lantas, takdir yang pantas diapresiasi.

Alih, bagi sang kecil—Trafalgar Law, sosok Corazon yang bijaksana bagaikan panutan hidupnya, menjadi seenggok pohon kokoh yang pantang tumbang. Corazon adalah hadiah terindah yang pernah Tuhan hadirkan untuknya. Mereka bilang manusia tak ada yang sempurna, tetapi Corazon berupaya menjadi sang paripurna. Ia rela lakukan apapun hanya untuk sang kecil.

Terkadang si kecil Law mengutuk lakunya yang sulit sekali untuk terbuka sekadar mengungkapkan bentuk kasih sayang kepada sang tertua, Corazon. Namun, ia sedia melakukan apa saja untuk menunjukkan bentuk cintanya dalam perbuatan yang ia lakukan. Hanya saja mulutnya terlalu egois hanya demi berujar. Corazon tak sekalipun mempermasalahkan itu, sebab ia tahu cinta yang Law luruhkan kepadanya jauh lebih besar dibanding semesta yang mereka tempati.

Liburan telah tiba. Corazon yang dipenuhi sifat peka menyadari akan kegundahan Law. Menjadi seorang mahasiswa kedokteran bukan suatu hal yang mudah, Law harus melewati banyak hal. Meski Law bukan tipikal yang acap kali mengeluh, tetapi di suatu waktu kadang Law mengeluh betapa sukar jalanan yang ia lalui untuk menembus predikat menjadi dokter. Corazon memutar otak untuk memberikan ruang agar Law bisa beristirahat dari kelelahannya.

Berakhiran mereka di suatu pantai yang ada di suatu kota, menikmati waktu yang berjalan begitu cepat. Law sangat menyukai setiap detik yang berlalu selagi dua tungkainya masih berdiri di atas hamparan pasir pantai dengan deburan ombak yang melantun pasih mengisi kekosongan suara. Law memejamkan matanya sejenak, membiarkan hembusan angin menerpa pori-pori mukanya.

Corazon menyusul sang kecil dari belakang, tersenyum halus bak selembut sutra. Ia takjub dengan pemandangan yang netranya saksikan, melihat Law menikmati hidupnya sudah cukup membuatnya bahagia. Sebab, kebahagiaan Law menjadi pengisi di dalam dirinya. Corazon hanya diam tak berniat menganggu Law yang tengah menyapa alam dan meluruhkan beban yang mengikatnya.

“Abang!” pekik Law tatkala irisnya bersitubruk dengan sang tetua.

Feeling good?” tanya Corazon dengan intonasi merdu seolah menyatu dengan semilir angin yang menenangkan.

“Iya, ini semua berkat Abang.” balasnya dengan rasa terima kasih yang tersirat di juntaian kalimat yang ia lontarkan.

“Abang berharap bisa buat kamu selalu bahagia, bukan hanya untuk hari, tapi untuk kemudian hari, dan untuk seumur hidup kamu. Abang gak akan bisa berdiri setegak ini kalau kamu gak ada di sisi Abang. Abang sudah merasa sangat cukup hanya dengan memiliki kamu di hidup Abang. Melihat kamu tumbuh sebesar ini… Abang merasa terharu. Abang gak menyangka bisa buat kamu tumbuh menjadi sosok Law yang sehebat ini. Permintaan Abang akan selalu sama, doa Abang akan selalu menyisikan nama kamu. Abang hanya menginginkan yang terbaik untuk kamu dan Abang bisa memberikan segalanya untuk kamu, Law. Ini pertama kalinya Abang menjadi sosok yang tertua. Abang gak punya pengalaman. Ada banyak hal yang kurang dari sisi Abang, tetapi sebisa mungkin Abang melakukan yang terbaik. Abang gak mau merampas kehidupan yang kamu idamkan. Hidup itu bajingan, tapi Abang gak mau kamu mengarungi kehidupan yang seperti itu, Law.” lirih Corazon kala sosok Law mendekat ke arahnya. Tatapannya terpaku pada Law yang terperangah.

Mungkin di lain waktu akan terasa sulit mengungkapkan kalimat-kalimat seperti itu, hari ini seolah ada kesempatan yang menghampirinya untuk bersikap terbuka pada sang kecil mengenai harapan dan keinginannya dalam membahagiakan Law.

Law menatap netra Corazon yang berbinar, tak akan ada bintang yang dapat menyandingi sorot kemerlip dari dua netra Corazon. Tatapan itu menyalurkan sebuah ketulusan kepadanya. Entah mengapa mendengar kalimat itu keluar dari mulut Corazon membuat Law hampir menangis. Corazon berjalan mendekat dan memberikan usapan pada pucuk kepala Law seraya terkekeh.

Di matanya, Law akan selamanya terlihat saat Law sewaktu kecil, yang dapat ia manjakan sesuka hatinya.

“Abang… ”

“Abang is here, Law.”

“Seharusnya Law lebih banyak berterima kasih sama Abang karena menjadi satu-satunya yang selalu ada buat Law. Law juga gak akan bisa jadi seperti ini tanpa Abang… Law merasa kurang dalam menunjukkan kasih sayang ke Abang hanya karena Law gak tau cara mengungkapkan perasaan Law. Abang melakukan apa saja buat Law tapi Law gak pernah melakukan sesuatu buat Abang. Terima kasih karena menjadi pelengkap di setiap hidup Law, Law merasa gak berguna apa-apa buat Abang dan terlalu banyak membebankan Abang. I’m sorry, Abang… Law janji akan melakukan yang terbaik untuk ke depannya lagi. Semoga Abang gak menyerah buat memperhatikan Law, ya?”

Sebenarnya Corazon ingin memotong pembicaraan Law ketika si kecil itu mengatakan bahwa dia hanya seenggok beban di hidup Corazon, padahal nyatanya tidak. Tak ada siapapun yang merasaka terbebankan di sini. Namun, Corazon tak ingin merampas hak Law untuk bersuara. Ia ingin mendengarkan setiap narasi dari Law. Si kecil itu jarang sekali bertutur lantang layaknya hari ini. Corazon ingin membiarkan Law mengeluarkan segala perasaan yang ia pendam dalam dirinya.

Ingatan Law terlempar pada memori ketika ia masih berusia 5 tahun, ingatan itu hanya sekilas lantaran usianya masih terlalu muda dalam mengingat banyak kejadian. Tetapi, kenangan itu membekas kuat dalam pikirannya. Malam itu tengah hujan deras mengguyur bumi, si kecil menggigil kedinginan sedangkan di dalam ruangan itu hanya ada terselip satu selimut kecil. Melihat si kecil tersampir kedinginan, Corazon turut panik dan segera membungkus tubuh kecil itu dalam selimut dan merengkuh tubuhnya. Ia membagi kehangatan pada Law dengan tubuhnya yang dingin. Law mulai merasa hangat—bagi Corazon ia turut merasa hangat hanya dengan melihat kondisi Law.

Selama ini, di kehidupan mereka hanya ada mereka berdua, Abang dan Adek. Tidak ada siapa-siapa lagi selain Corazon dan Law. Mereka melewati banyak hal hanya berdua.

“Law, gak ada yang menjadi beban di sini. Abang selalu bilang ‘kan kalo kamu itu tanggung jawab Abang sepenuhnya. Abang akan memberikan segalanya sesuai yang kamu inginkan. Jangan pernah merasa kecil kayak gitu dan jangan pernah anggap perlakuan Abang ke kamu itu sebuah jasa yang harus dibalas. Sudah sepatutnya sebagai saudara Abang melakukan ini ke kamu.”

Law terisak, pertahanannya seakan runtuh. Sebuah benteng tinggi yang ia dirikan di dalam dirinya hancur lebur hanya dengan sebuah kalimat tulus dari Corazon. Sampai kapanpun, ia adalah si kecil yang selalu dimanja oleh sang tertua, Corazon. Sekeras apapun dirinya akan terlihat lemah di hadapan Corazon. Diri ini akan selalu bergantung kepada Corazon. Melihat si kecil menangis seenggukan, Corazon terkekeh pelan. Ia memeluk tubuh sang adik dengan erat. Menenangkan Law dengan tepukan pelan di punggung lebarnya.

Si kecil tsundere akan tetap menangis di hadapan Abangnya. Corazon berterima kasih pada kesempatan hari ini di mana mereka bisa mengungkapkan perasaan masing-masing yang selama ini tertanam di dalam hati. Meski sudah lama hidup bersama, Corazon masih ingin mengenal lebih banyak perihal Law dan ingin lebih tahu banyak mengenai kehidupan yang Law jalani saat ini.

Law itu akan selamanya menjadi si kecil di seumur hidup Corazon.

commission to itsasweetxchaos

[]

Kuroo menekan tombol bel apartemen Kenma—mengetukkan pantofel ke lantai yang dingin sembari menunggu sang empu membukakan pintu untuknya. Tak begitu lama waktu ia habiskan dengan menunggu, pintu terbuka lebar menampakan postur tubuh Kenma dengan senyuman tipis yang terpatri di wajah soleknya.

Entah hanya perasaannya, seperti ada sesuatu yang tak benar kepada Kenma, kulit porselen itu lebih terlihat pucat pasi daripada biasanya, netra cerahnya sangat sayu, bahunya yang tertunduk rendah bak energi ditarik habis dari tubuhnya. Melihat itu membuat Kuroo menjadi risau.

Kuroo menangkup kedua pipi tirus Kenma dengan genggamannya yang besar, menyalurkan kekhawatiran melalui pandangannya. “Lo kenapa?!” Dari vokalisasinya, Kenma dapat mengetahui bahwa ada kepanikan.

I’m fine. Memangnya aku kenapa?” Kenma mengangkat senyum sumringah agar mengusir perasaan itu, ia ingin terlihat baik-baik saja di hadapan Kuroo. Ia tak ingin Kuroo melihat sisinya yang lemah.

Seenggok jiwa yang renta.

“Perasaan lo gak sepucat ini, lo lagi sakit?” sambar Kuroo.

Kenma menggeleng, ia mengangkat sebelah tangannya untuk menggenggam pergelangan tangan Kuroo yang masih menangkup wajahnya. Hangat sekali. “I said, I’m doing fine, you don’t need to worry.”

Kuroo mendenguskan napasnya gusar, haruskan ia percaya dengan perkataan Kenma. Melihat sorot iris matanya membuat Kuroo harus meluruhkan segala rentetan pertanyaannya. Kenma seolah tak ingin digali lebih dalam lagi.

“Oke ... ” lirih Kuroo.

“Ayo masuk dulu, kayaknya kamu lagi pulang kerja, ya?” tanya Kenma yang membawa Kuroo untuk masuk ke dalam apartemennya.

Kuroo mengedarkan pandangannya ke segala penjuru ruangan, apartemen minimalis dengan desain estetis. Melihat ruangan yang disusun apik membuat Kuroo terkekeh sebab Kenma memang sosok yang perfeksionis. Apartemen ini dibentuk dengan gaya Kenma. Kenma menyilakan Kuroo untuk duduk di ruang tengah sembari dirinya membuatkan minuman untuk tamu tersebut. Ia bahagia, sungguh tak dapat dipungkiri. Apartemen ini terasa lebih nyaman secara spontan.

“Apartemen sebesar ini lo tinggalin sendirian?” tanyanya seraya menyesap teh hangat yang dihidangkan oleh Kenma.

“Huum. I have no one to live with.”

Kuroo menunjuk dengan dagunya ke sebuah kantong yang berisi makanan yang sempat ia beli di restoran, Kenma mengikuti arah pandangan Kuroo dan mengeryitkan alisnya bingung dengan isi kantong tersebut.

“Gue gak tau lo udah makan apa belum, tapi tadi gue sempat beli makanan buat kita makan. Let’s eat.” ajak Kuroo, tengah mengeluarkan isi yang ada di dalam kantong.

Sebenarnya nafsu makannya tandas semenjak selesai melakukan kemoterapi beberapa jam yang lalu, inda pengecapnya terasa hambar untuk memakan sesuatu, tetapi sangat disayangkan apabila ia menolak begitu saja permintaan Kuroo yang sudah meninggalkan usaha untuk membawakannya makanan. Lagipula, kapan lagi ada momen seperti ini—makan bersama Kuroo, hanya ada mereka berdua.

Thank you for the food.” ucapnya.

Kuroo beranjak dari posisi asalnya untuk duduk di sebelah Kenma, mendorong makanan ke arahnya agar segera dicicipi. Kala Kenma hendak meraih semangkok makanan tiba-tiba saja tangannya terhenti, otot-otot yang ada di tangannya seperti berhenti bekerja. Hal itu membuat Kuroo heran, kedua tangan Kenma gemetar dan nampak tak mampu mengangkat beban dari mangkok tersebut. Kenma lantas panik dan jantungnya berdebar cepat.

“Kenma, lo kenapa? Tangan lo kok tremor begini? Lo beneran gak apa-apa?” Sontak saja Kuroo menempelkan punggung tangannya ke kening Kenma guna mencek suhu tubuh pemuda tersebut. “Badan lo juga panas banget.”

“Badanku cuman lagi lemes aja kok.” jawab Kenma, melemparkan kebohongan lainnya demi menuntup kebohongan sebelumnya.

Kuroo berdecak, ia tak dapat mempercayainya. Kenma nampak sangat berbeda dari sebelumnya. Namun, niatnya untuk lebih khawatir segara ia urungkan. Ia tak seharusnya terlalu mencampuri urusan Kenma. Kuroo mengambil mangkok yang tadi hendak Kenma ambil, menyuapkan sesendok makanan ke mulut Kenma.

Kenma membulatkan matanya, “eh?”

“Lo gak bisa makan sendiri, ‘kan? Biar gue yang suapin buat lo.” final Kuroo.

Pernyataan yang terdengar seperti perintah yang tak ada celah, harus Kenma turuti meskipun ia lontarkan sebuah protes. Ia hanya mengangguk lemah dan membuka mulutnya, menerima suapan dari Kuroo. Lalu, pada akhirnya mereka menghabiskan satu mangkok makanan tersebut berdua dengan sendok yang sama. Kuroo pun tak terlihat risih, sorot netranya menyalurkan kehangatan yang tiada tara, hatinya juga turut merasakan ketulusan di dalamnya.

Kuroo menyuapinya dengan telaten dan kembali menyuapkan makanan ke dirinya sendiri. Momen seperti ini akan selalu Kenma rindukan, di mana di bawah atap yang teduh hanya ada mereka berdua, mengulang kisah lama yang sempat menghilang. Kenma tak luput memandangi sosok di sampingnya, pemuda dengan postur tubuh besar, rahang yang keras, dan iris yang tajam. Sosok itu sudah banyak berubah, tetapi perlakuannya masih sama seperti sedia kala.

Walaupun lembar kehidupan sudah berganti, namun perasaan itu masih saja melekat di hati. Mereka biarkan waktu membawa mereka melaju layaknya sebuah kereta kencana, tak tahu bagaimana caranya tuk berhenti.

“Terima kasih, Kuroo ... ” ucap Kenma.

Kuroo tersenyum menghiasi wajahnya yang berseri. “I did it, because I wanted to.” Ia membelai surai Kenma yang tergerai, mengabadikan potret Kenma di dalam pikirannya saat ini.

Tidak kah Kuroo menyadari bahwa saat ini hatinya sudah tak rumpang lagi, tak ada ruang kosong yang dapat menampung hati yang lain. Tidak kah semuanya sudah berakhir ketika mereka sudah meluruskan benang yang kusut. Seharusnya hal ini tak terjadi.

Kenma tak mengetahui itu dan Kuroo tak memberikannya kejelasan.

Lantas, bagaimana nantinya semesta menengahi mereka, baik membuat mereka bersama atau memisahkan mereka untuk selamanya.

“Ngantuk, hm?” bisik Kuroo.

Kinda.”

“Tidur aja, I’ll stay here.

Kenma mengangguk, ia membenamkan kepalanya ke dada bidang Kuroo. Saat ini mereka masih berada di ruang tengah, tak berniat untuk beranjak dari tempat ternyaman. Kuroo memperhatikan kelopak mata Kenma yang perlahan mulai terkantup, ia ingin mengantarkan Kenma ke alam mimpinya sembari dirinya berada di samping pemuda itu.

Lalu, pandangannya tertuju kepada perban yang ada di pergelangan tangan Kenma, saat ini Kenma menggunakan baju kebesaran sehingga menutupi tangannya. Kuroo mengerutkan keningnya, penasaran dengan apa yang terjadi pada Kenma.

“Kenma, apa lagi yang lo coba sembunyiin dari gue?”

[]

Apa yang tengah ia lakukan adalah hal yang impulsif, menyusun rencana di luar akal sehatnya. Beberapa kali dirinya mencoba untuk mengerti apa yang dikehendaki oleh hati, bahkan dinding beton yang selama ini ia susuh dengan kokoh—hancur begitu saja oleh deburan ombak, mudah layaknya memecah sebuah karang. Ego yang ia junjung setinggi langit hanya berujung luluh-lantah. Bukankah sudah ia tekankan bahwa titik kelemahannya telak berada di sosok itu? Semakin banyak usaha yang ia keluarkan untuk melupakan, maka semakin sulit ia lakukan.

Enam tahun usahanya hanya berujung sia-sia. Namun, ia menganggap bahwa permasalahan itu timbul karena ada kesalahpahaman dan kerasnya egoisme dari masing-masing. Tak seharusnya ia tuangkan semua kesalahan kepada sosok itu, jikalau dirinya juga ikut andil menjadi alasan seseorang itu terluka.

Di sini, ia berdiri. Kembali menjangkau masa lalu untuk ia iringi. Ia berserah diri dengan takdir yang membawanya, menyerahkan seluruh logika dan pikirannya dalam bertindak.

Kuroo menginjak pedal gas kendaraan yang tengah ia kendarai, bersama dengan Kenma yang duduk tenang tepat di sebelahnya. Kecanggungan mendominasi atmosfer di dalam mobil. Tak ada lagi sirat kekecewaan yang tersorot di netra legamnya, rasanya seperti kembali ke waktu lalu. Kenma melemparkan pandangan ke arah Kuroo yang tengah fokus dalam kendalinya. Rasa hangat yang bak menyelimutinya setelah pertemuan terakhir mereka cukup berakhir tak mengenakan. Kenma sama tak tahunya, tetapi ia cukup menikmati bagaimana Kuroo memperlakukannya.

Sungguh tak tahu apa yang tengah terjadi atau siapa yang saat ini Kuroo simpan di dalam hati.

“Kalo lo nanti merasa gak nyaman, bilang sama gue, ya? Gue gak mau lo maksain diri lo buat gue.” titah Kuroo tanpa bantahan, absolut seperti biasanya. Kenma mengangguk menyetujui, saat ini Kuroo seperti dirinya beberapa tahun silam.

“Iya, pasti.” jawabnya.

“Sebenernya temen gue tau gue dateng ke acara festival, tapi nanti kita misah aja dari mereka, gue takut lo gak nyaman sama mereka, but you really know who they are.” ujar Kuroo memecah keheningan malam.

“Temen lama kamu, ‘kan? Kak Bokuto, Kak Oikawa, dan yang lainnya. Kalo kamu mau kita gabung sama mereka aku gak apa-apa kok. Bukannya lebih rame kalo banyak orangnya?” Netra itu menatap sayu kepada Kuroo.

Kuroo menggaruk tengkuknya tak tahu harus menjawab seperti apa. Alasannya tak ingin bertemu dengan teman-temannya karena belum siap menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bermunculan menimpa dirinya kala nanti. Pasti akan ada kebingungan apabila mereka mendapati Kuroo bersama Kenma.

I want this time to be enjoyed only by the two of us.” edar Kuroo.

Kenma menarik sudut bibirnya ke atas membentuk segaris senyuman, jantungnya berdebar lebih cepat dari kinerja biasanya. “It’s like coming back home, Kuroo.” tutur Kenma.

Kuroo membalas senyumannya seraya mengusak surai Kenma yang sudah panjang dari beberapa tahun yang lalu, sepasang pipi itu masih merona indah seperti sedia kala, sepasang iris yang menatapnya dengan sayu. Sebenarnya tak ada banyak perubahan yang terjadi pada mereka.

Bahkan perihal perasaan sekalipun.

It’s nice to see your smile again.

Kenma terkesiap melihat senyuman yang dihantarkan oleh Kuroo kepadanya, senyuman penuh ketulusan. Keduanya terlarut dalam obrolan ringan dan kadang diselipi gumpalan lelucon yang dilontarkan Kuroo. Terlihat seperti tak ada masalah yang pernah menimpa mereka—keduanya bersikap layaknya dua orang yang masih dimabuk cinta.

Andai ombak itu tak menerpa mereka, mungkinkan pemandangan seperi ini yang akan terjadi? Tak ada duka derita selain suka dan cinta.

Lapangan yang dijadikan tempat berlangsungnya festival musik sudah dipenuhi oleh orang-orang yang datang dengan niat dan tujuan sama; menikmati acara guna menghibur diri. Tanpa Kuroo sadari, tangannya menggenggam pergelangan tangan Kenma agar mereka tak terpisah karena keramaian manusia yang membuat mereka terdesak. Beberapa kali Kuroo memastikan keadaan Kenma baik-baik saja. Ia tak tahu bahwa festival ini akan dinikmati secara berdiri sepanjang acara.

“Kalo lo capek dan sesek cepet-cepet buat kasih tau gue, ya? Biar kita cari space yang lebih terbuka.” ujar Kuroo bak sebuah perintah.

“Oke!”

Tak lama kemudian festival dimulai dengan menampilkan band rock tersohor sebagai pembuka, yang menjadi alasan mengapa festival ini mendapat lonjakan penonton. Kenma berbinar tatkala menemukan sosok yang ia kenali tengah memetik gitarnya di atas panggung. Ia baru mengetahui bahwa sosok itu saat ini berprofesi sebagai pemusik.

“Semi!” teriak Kenma kepada Kuroo, sebab suaranya akan diredam oleh riuh penonton apabila ia tak mengeluarkan gelombang suara yang tinggi. Kuroo menoleh dan mengangguk.

“Iya, dia saat ini jadi anggota band.”

That’s cool!

Kuroo mengusak surai Kenma karena gemas dengan antusias yang ia tunjukkan. Kenma sangat menikmati pertunjukan tersebut, karena ia rindu dengan masa seperti ini. Sedangkan Kuroo lebih banyak memperhatikan Kenma yang berada di sampingnya. Sontak kagum dengan respon positif Kenma. Ia turut bahagia melihat Kenma menikmatinya.

Finally ... I can see you again like this like before.” gumam Kuroo pelan.

Posisi saat ini di mana Kuroo berada di samping Kenma, namun sedikit memundurkan tubuhnya agar tubuh kecil Kenma dekat dengan bagian depan tubuhnya. Ia menghalangi orang-orang di sekitar mereka untuk tidak menjangkau Kenma atau membuat Kenma terhuyung. Salah satu tangannya ia letakan di atas pundak Kenma. Lambat laun turut merasakan euforia yang dipancarkan di festival musik tersebut.

“Seru banget!” pekik Kenma antusias.

“Gimana? Kamu suka gak?” bisik Kuroo telak di rungunya agar Kenma dapat mendengar jelas perkataannya.

Kenma membalikan wajahnya dan mengangguk, “suka, suka banget.”

“Aku bakal bawa kamu ke manapun dan kapanpun asal bisa membuat kamu bahagia.” bisiknya lagi.

Pandangan yang lebih muda berkeliaran ke arah lain, ia menggapai tangan Kuroo yang berada di bahunya dan senyumannya merekah, “terima kasih banyak, Kuroo.”

Kuroo memasangkan topi yang sempat ia kenakan ke kepala Kenma, lalu per sekon kemudian ia mendekap Kenma dengan kehangatan dan begitu erat. Kenma lantas terdiam di tempatnya karena perlakuan Kuroo yang tiba-tiba, tak sempat mencerna apa yang baru saja terjadi karena pelukan Kuroo terasa menuntut.

“Kenapa ... kenapa perasaan ini muncul lagi? Aku gak bisa menampik bahwa aku benar-benar merindukan kamu, Kenma.” ucapnya halus.

Kenma dapat mendengarnya dengan jelas meskipun suara musik masih menggema dengan nyari, seolah seluruh atensinya sudah tertuju kepada Kuroo sehingga ia tak dapat terfokus dengan hal yang lainnya. Kenma mengangkat tangannya demi membalas pelukan Kuroo.

I miss you more, Kuroo.”

Keduanya terhanyut dalam perasaan yang belum rampung sehingga tak sadar ada sosok yang memperhatikan mereka dari kejauhan. Membekap mulutnya karena terkejut dengan pemandangan yang tengah ia saksikan dengan kedua matanya. Langkahnya gemetar untuk mundur, lalu meninggalkan acara secara terburu-buru.

“Bahkan hingga detik ini kamu masih belum bisa mencintaiku ... ”

[]

Seorang pemuda elok duduk bersimpuh di atas rerumputan yang terhampar luas di halaman ini, hanya ada dirinya, semilir angin, sang surya yang hendak kembali ke singgasananya, dan sosok pemuda lainnya yang berbaring di atas rerumputan itu, membiarkan rambut hitam legamnya terkena rerumputan. Menatap langit tanpa celah sedikitpun, menggumakan kekaguman akan pemandangan matahari tenggelam. Senyuman tak pernah absen di bibir kedua pemuda itu.

Mereka memiliki kesukaan yang sama; menyukai pemandangan matahari terbenam. Kesukaan ini sudah melekat dalam diri mereka sejak masih belia. Tak tahu apa alasan mereka yang sudah berambisi dengan keindahan senja.

Mempertemuka dua insan yang masih belum menjadi siapa-siapa. Hanya menjalankan dirinya sesuai aturan yang telah digariskan oleh Tuhan, menjalani hidup layaknya pemuda biasa-biasa saja. Tak kenal bagaimana dunia luas, mereka hanya saling mengenal satu sama lain. Tak terlalu tertarik dengan perkembangan zaman, terlalu monoton memang untuk ukuran pemuda pada zaman sekarang. Lebih menyukai hal sederhana seperti ini dari pada menjajah kepuasan di dunia baru.

Kuroo dan Kenma—tengah berada di suatu tempat yang menjadi saksi atas kisah asmaraloka yang penuh kasih. Kenma menoleh ke arah Kuroo, terpampang begitu indah panorama yang terpahat di wajah Kuroo. Rahang tegang dengan netra seterang purnama, senyum lebar penuh harapan. Sosok yang selalu menjadi alasan mengapa adrenalinnya berdebar begitu cepat.

“Kenma.” soraknya.

“Ya, Kuroo?”

I love you so much until the night come and be back to the dawn.” ujarnya penuh keyakinan.

Kenma lantas tersipu dengan perapalan cintanya, selalu aja reaksinya seperti itu. “Tiba-tiba banget bilang begitu.”

“Soalnya aku emang sayang banget sama kamu, mau mencintai kamu seumur hidupku.” yakinnya. Kuroo saat itu masih sangat lugu. Apa yang ia ucapkan terlalu polos namun terselip keyakinan yang penuh.

I love you too, Kuroo.” balasnya.

Kuroo mendengar penuturan itu secara jelas di rungunya, ia tak dapat membendung debaran anomali di dalam dirinya tatkala Kenma membalas perasaannya. Tangannya tergerak mengusak surai panjang Kenma dengan lembut dan membubuhkan ciuman di sana.

“Jangan pernah tinggalin aku, ya? Aku gak tau bakal gimana hidupku kalo gak ada kamu di sampingku.” tutur Kuroo halus dengan asa yang membara. Tak ada gelisah yang mengusik naluri, selain kasih penuhi hati. Cinta pertama yang berkobar.

Kuroo sangat mencintai Kenma, baik untuk hari ini hingga malam sampai hari esok saat datangnya mentari.

“Kuroo, ketahuilah saat ini aku tengah menyanggupi permintaanmu.” ungkap Kenma lirih, seharusnya ia bahagia dengan pernyataan cinta Kuroo, namun mengapa pelik di relung jiwanya dan lantas mengapa ada perih membuka luka.

Apakah cinta mereka murni apa adanya atau sebenarnya cinta itu hanya sekadar asa yang kian memudar?

Mereka pun tak tahu dan seolah ada yang tak ingin tahu-menahu. Terlalu rumit untuk diungkapkan dan berakhir memilih bungkam.

...

Kuroo menyalakan batang cerutu dengan pematik, menghisap batang tersebut dengan nikmat sehingga asap mengepul di udara. Tangannya bertengger di pembatas pagar di sebuah bangunan yang cukup tinggi, tatapannya sayu menyorot ke arah bawah—perkotaan yang ramai dengan antah-berantah. Tempat ini, entah sejak kapan menjadi ruang pelarian baginya apabila pikirannya berkecamuk. Walau udara segar menerpa dirinya, rasanya sangat sengap untuk bernapas.

Potongan memori masa lalu yang susah mati ia kubur dalam-dalam kembali muncul ke permukaan membuatnya kembali teringat dengan cuplikan dirinya bersama orang itu. Masa lalu yang sebenarnya cukup indah sebelum semua itu berakhir liku parah. Kuroo menyunggingkan senyuman hambar.

“Kenapa lo muncul lagi, Kenma? Gue udah susah payah lupain lo tapi kenapa lo muncul lagi memenuhi isi kepala gue saat ini? Lo gak capek bikin gue tersiksa dengan perbuatan lo? Apa yang dulu itu masih kurang?” Kuroo bermonolog dengan dirinya sendiri dengan gurat kemarahan yang tercetak di wajah rupawannya. “If you want to go, then go forever.”

“Kuroo ... ” Suara seseorang di balik punggungnya membuat Kuroo terkesiap. Ia mengenali pemilik suara lirih itu, sontak ia langsung berbalik dan mendapati presensi Kenma di sana dengan wajah lusuhnya. “Ternyata kamu di sini juga?” tanyanya basa-basi. Ia tak tahu bahwa mereka akan bertemu lagi di sini.

Tempat di mana mereka memulai semuanya bersama.

Kuroo tak berucap sedikitpun, mematikan puntung cerutunya ke pembatas pagar dan melenggang pergi begitu saja. Kenma tergagap, tangannya hendak menahan Kuroo namun secepatnya ia urungkan.

“Kenapa? Kamu mau lari juga seperti apa yang aku lakukan waktu itu?” pungkas Kenma membuat tungkai Kuroo berhenti melangkah.

Kuroo mendengus dan berpaling untuk menatap ke arah Kenma yang tiba-tiba merasa gugup berada di hadapan Kuroo. Tubuh jangkung itu eksistansinya semakin besar dibanding dengan dirinya. Ia menatap Kenma dengan sinis tanpa emosi yang terpatri di wajahnya.

“Apa mau lo?” tanya Kuroo dingin.

“Kalo kamu mau di sini maka tetaplah di sini tanpa pedulikan kehadiran aku. Jangan pergi karena adanya aku di sini. Jangan lari ... jangan jadi sosok pengecut seperti aku di masa lalu.” jelas Kenma, baru kali ini ada keberanian untuk berbicara dengan Kuroo seperti ini.

“Gue udah gak mau di sini bukan karena ada lo.” Kuroo menghiraukannya, tetapi Kenma menahan pergelangan tangan Kuroo agar pemuda itu tetap berada di sini.

I sincerely apologize for what happened. I’ve been waiting for this moment to make an apology.” lirih Kenma, ia mendongak untuk menatap langsung netra legam milik Kuroo.

I’m glad that you admitting your wrongdoing. Then? Kalo gak ada hal yang lain perlu dibicarain, let me go. I’m getting sick of you.” Kuroo menarik tangannya agar terlepas dari genggaman Kenma.

“Kenapa ... k-kenapa waktu itu disaat aku butuh kamu—kamu malah memilih orang lain? Kenapa, Kuroo?”

Ucapan Kenma membuat Kuroo terbujuk kaku di atas tempat ia berpijak, netranya menangkap bagaimana entitas Kenma saat ini. Pemuda itu mengeluarkan air matanya meskipun sudah berusaha untuk menyapu air mata itu. Pikirannya melambung untuk kembali ke kilasan memori beberapa waktu silam untuk memvalidasi ucapan Kenma. Kepalan tangannya meremat seketika, ia tak mengetahui apapun.

“Kenma, apa maksud lo?”

“KENAPA KAMU MALAH MILIH ORANG LAIN DARIPADA AKU, KUROO?! KENAPA KAMU MALAH MEYAKINKAN AKU UNTUK PERGI?!”

Kenma berteriak di hadapannya dengan lantang, mendengar suara itu membuat Kuroo mengernyit bingung. Ia sungguh tak mengerti apa yang Kenma katakan kepadanya; sejak kapan ia memilih orang lain sedangkan Kenma satu-satunya orang yang Kuroo cintai. Kilatan emosi tiba-tiba muncul di sorotan iris matanya. Kuroo memegang kedua pundak Kenma dan menatap pemuda itu dengan tajam.

“Oh? Lo sekarang mau nuduh gue kalo gue yang salah?! Jadi, gue yang jadi alasan lo kabur waktu itu?! SEMUANYA SALAH GUE, KENMA?! GUE YANG SALAH, HAH?!”

Kenma beringsut melemah dan tangisannya semakin pecah. Kuroo terlihat emosi kepadanya, sedangkan Kenma justru mengatakan apa yang sempat ia rasakan di masa lalu. Mengenai kisah mereka, apakah dulunya terjadi kesalahpahaman di antara mereka? Namun, tak ada yang bergerak untuk meluruskannya sehingga semua hal menjadi bertabrakan san berujung kacau. Benang mereka yang semulanya lurus menjadi kusut karena dililitkan ke terlalu banyak objek.

Kepala Kuroo terasa berat bak beban besar tengah menimpa dirinya, ia dibuat tak mengerti dengan Kenma. Namun, tiba-tiba darah segar mengalir dari hidup Kenma tanpa disadari oleh sang elok. Kuroo melihat itu dengan jelas di pandangannya, gurat wajahnya berubah menjadi khawatir tatkala semakin banyak darah keluar dari lubang hidunh Kenma.

“Hei, lo kenapa? Lo mimisan?!” tanya Kuroo panik.

Kenma tak menjawab, kepalanya sangat pusing dan hampir kehilangan kesadaran. Ia masih bisa mendengar suara Kuroo samar-samar, tetapi pandangannya berubah buram. Ia tak mampu melihat objek yang ada di hadapannya, berselang detik kemudian Kenma ambruk di pelukan Kuroo dengan darah yang mengalir.

“Kenma?!”

Menyadari Kenma yang tak sadarkan diri di dekapannya, Kuroo bergegas memapah tubuh itu dan membawanya pergi dari tempat tersebut. Pikirannya tak tentu arah dan tahu hendak membawa sosok ini ke mana, bahkan ia tak tahu di mana tempat tinggal Kenma.

Dinding ego yang dibangun Kuroo terlalu tinggi, namun dihancurkan begitu mudah oleh perasaannya sendiri.

[]

Langit biru yang tak seterang kemarin pertanda kota hendak diguyur hujan hari ini. Angin bertiup kencang membuat langkah Kenma terhuyung. Perihal tubuhnya yang semakin ruai seolah sudah tak mampu menahan beban di dalam dirinya, bahkan hanya dengan terpaan angin sudah membuat tungkainya melambat melangkah. Namun, hati serta raganya tak gentar untuk tetap beredar maju. Setelah turun dari pemberhentian bis beberapa menit yang lalu, ia harus berjalan setidaknya setengah mil untuk sampai ke tempat tujuannya dengan mengapit sebuah wadah di tangannya.

Kotak makan siang untuk Kuroo.

Ia pun tak mengerti mengapa ia melakukan hal seperti ini tanpa diketahui oleh siapapun, hatinya tergerak untuk melakukan itu. Kenma merindukannya, bahkan teramat sangat. Akan tetapi belum ada kesiapan untuk melihat pemuda itu secara gamblang, sebab setiap kali melihat netra legamnya—Kenma hanya melihat gambaran kesalahan dirinya di masa lalu kepada Kuroo. Menyaksikan itu membuat luka di hatinya menganga lebar.

Kenma mengakui bahwa dirinya yang salah, ia yang menyulut sumbu api terlebih dahulu, ia yang pergi meninggalkan Kuroo tersungkur di masa lalu. Membuat pemuda itu terombang-ambing dalam lika-liku. Lantas, mengapa Kenma merasakan sakit seperti ini padahal ia sendiri yang memutuskannya. Kenma tak mengerti dirinya sendiri.

Akankah rasa sakit karena Kuroo tak mencintainya lagi? Atau kah sakit akibat menyiksa dirinya sendiri dengan keputusan yang pernah ia buat? Semuanya hanya rancu. Ia menyalahkan dirinya sendiri dan tak mampu memaafkan dirinya karena membuat Kuroo terpuruk beberapa tahun yang lalu, perasaan itu semakin menumpuk di inti jiwanya.

Berjuta penyesalan yang tertumpuk dan luka yang semakin mendera tak akan menghapus semua kesalahan yang sudah lama terjadi.

“Kuroo, jika kita punya waktu bahkan sedikit pun untuk berbicara perihal masa lalu, biarkan aku menjelaskan semuanya kepadamu.” Kenma bermonolog dengan netra yang terpancar ke atas langit.

Kenma menggenggam erat kotak makan yang ia bawa, jantungnya berdegup adrenalin, perasaan ini sama seperti yang ia rasakan sebelumnya. Ketakutan itu masih ada, tetapi keinginan untuk menuntaskan rindunya jauh lebih besar. Namun, sontak tungkainya berhenti tatkala melihat sosok Kuroo yang tengah berbincang dengan seseorang. Kenma dapat melihat entitas Kuroo yang dibaluti jas hitam sebab Kuroo menghadap ke arah ia berdiri.

Persekon kemudian, Kenma menyaksikan saat Kuroo menghambur pelukan ke sosok bersurai terang dengan begitu erat, senyumnya lebar sumringah mengisyaratkan bahwa ia sedang bahagia bertemu dengan sosok itu. Kenma melihat setiap inci pemandangan tersebut. Ketika pelukan mereka terlepas, Kuroo memajukan badannya agar mencumbu sosok itu dengan halus dan penuh kasih sayang.

Bak ada bunyi retakan di dalam hatinya, retakan itu menghasilkan rasa sakit yang meremat seluruh hatinya. Kenma merasakan matanya memanas seolah ia hendak menangis hanya dengan melihat itu. Sekujur tuburnya bergetar hebat membuat ia tak mampu bergerak menjauh, tenaganya luruh tak menyisakan sedikitpun. Seseorang itu masuk ke dalam sebuah taksi setelah Kuroo membukakan pintu untuknya.

Tiba-tiba tatapan keduanya bersitatap, Kuroo langsung merubah gurat wajahnya menjadi datar kala sorot matanya tak sengaja menyapu pemandangan ke arah Kenma. Tungkainya yang panjang bergerak menghampiri Kenma, sedangkan Kenma langsung panik dan ingin lari dari tangkapan netra Kuroo. Namun, semuanya telah terlambat, Kuroo mencekal pergelangan tangannya dengan sangat kuat sehingga tangannya terasa nyeri sebab kuatnya kepalan tangan Kuroo yang besar.

“Kozume Kenma.” pungkasnya.

Kenma tak menjawab, lidahnya kelu untuk berujar. Ia bahkan hanya menunduk setelah ketangkap basah oleh Kuroo sekadar untuk menemuinya. Suara Kuroo terdengar berat di rungunya, dingin dan menikam. Sebenarnya Kenma sangat takut berada di dekat Kuroo yang seperti ini. Telah hilang kilatan yang berbinar setiap kali mereka bertukar pandangan, kini tatapan itu tajam menusuk ke dalam relung hatinya.

You sure look horrible.” sinis Kuroo seraya memamerkan seringai.

“K-Kuroo ... ”

“Buat apa lo ke sini? Mau nunjukin ke gue kalo lo sangat baik-baik aja setelah apa yang terjadi enam tahun yang lalu? Atau lo tengah berlagak semuanya akan sama seperti sedia kala walaupun lo pernah lari. Egois sepertinya biasanya, huh?” ungkapnya dingin, kepalan tangannya masih menggenggam pergelangan tangannya begitu kuat.

Kenma sungguh tak mampu berucap sepatah kata pun setelah mendengar juntaian kalimat yang dilontarkan Kuroo. Rasanya semakin menyakitkan mendengar fakta-fakta mengenai kebencian Kuroo terhadap dirinya dari orang itu langsung.

“Gue nyesal kenapa dulu kita pernah kenal, gue sangat menyesali kenapa saat itu kita terjalin dalam suatu hubungan yang berakhir sampah. Jangan harap semuanya akan terlihat sama lagi, Kozume Kenma. Gue jauh lebih bahagia saat ini tanpa hadirnya diri lo, karena menurut gue lo udah lama mati.” tikamnya dengan kalimat. Bola matanya menggulir ke bawah untuk melihat sesuatu yang dibawa oleh Kenma ke mari, “jangan pernah kasih gue makanan lo lagi, ngerti? Gue gak sudi makan makanan dari lo. Jangan kebanyakan cari muka karena gue gak akan pernah maafin apa yang pernah lo lakuin ke gue.”

Kenma susah payah menahan bendungan air mata yang memforsir untuk dikeluarkan, Kuroo melepaskan cekalan di tangannya sebelum beralih mengangkat dagunya ke atas agar pandangan mereka bertemu. Kenma melihat sudut bibir Kuroo yang terangkat; tersenyum mengintimidasi kepadanya.

You’re so damn great at escaping.

Setelah melontarkan kalimat tersebut, Kuroo meninggalkan menjauh. Kenma menatap punggung lebar yang perlahan menghilang dari sorot netranya. Tak lama kemudian, hujan mengguyur perkotaan dengan lebatnya, semakin mendramatisir apa yang baru saja terjadi kepada Kenma.

Apakah bumi menangis bersamanya?

Tangisan itu luruh jua beriring dengan air hujan yang turun ke atas tanah. Bahunya beringsut turun, setiap tetesan air hujan yang mengenai tubuhnya menambah beban yang selama ini ia tampung. Pertemuan itu semakin membuatnya terlara. Kuroo benar-benar menunjukkan kemarahannya kepada Kenma. Hatinya menghitam dan tak dapat dilunturkan oleh apapun.

Kenma tak bisa apa selain membiarkan apa yang sudah terjadi kepada semestinya.

Setiap pijakannya terasa melelahkan, setiap hembusan napasnya terasa semakin menyesakan. Kenma menelusuri jalanan kota yang tampak sepi dikarenakan hujan, ia masih setia berjalan di bawah lebatnya hujan walaupun dingin menyeruak.

Kenma berhenti sejenak untuk merogoh sakunya dan mengambil benda berukuran persegi panjang, mengetikan sesuatu di sana sehingga menyambungkan dengan seseorang.

“Lev ... ” ucapnya lirih.

“Kak Kenma?! Kamu ada di mana sekarang? Di sana lagi hujan, ‘kan?”

“Tolong aku ... ”

“Tenang, ya? Sekarang kasih tau aku lokasi kamu sekarang di mana supaya aku bisa nyusulin kamu.”

Kenma mengapit bilah bibirnya tak tahu harus menjawab pertanyaan Lev di seberang sana seperti apa. Kepalanya tiba-tiba sangat sakit sehingga ia harus mengepalkan tangannya dengan kuat, berharap sakit itu bisa segera hilang.

“Aku—”

Belum selesai apa yang hendak ia katakan, Kenma terjatuh di atas tanah dengan rasa dingin yang mengepung dirinya.

[]

Mitsuya meletakkan ponselnya di atas meja belajarnya, mengedarkan pandangannya ke langit-langit kamar. Pikirannya berkelana tak tentu arah dan dipenuhi ribuan pertanyaan yang menuntut dicarikan jawaban, namun Mitsuya tak kunjung mengerti dari pertanyaan-pertanyaan yang bersarang di otaknya, ia lantas tak tahu langkah mana yang akan ia tuju demo menghasilkan jawaban yang dituntut oleh pikirannya sendiri. Daripada memusingkan isi pikirannya, Mitsuya bangkit dari tempatnya menuju sebuah cermin yang memantulkan refleksi dirinya.

Ekspresi bercampur yang terpatri di wajahnya, lantas ia bahagia sebab Ran akan datang mengunjungi kediamannya dan di sisi lain ekspresi bingung yang ia tampilkan setelah mendapatkan pesan dari Hanma, kakak kelasnya sekaligus kekasih temannya. Ia berkata bahwa Ran sedang tak baik-baik saja, Mitsuya memang tak tahu harus berbuat apa, tapi ia selalu berusaha melakukan yang terbaik.

Ran, sosok yang selalu berada di sisinya di dalam situasi apapun, bahkan kini kedekatan mereka begitu kentara. Mitsuya pun tipikal seseorang yang perseptif, ia sudah menebak dari gelagat Ran kepadanya selama ini dan sudah tervalidasi bahwa Ran mempunyai perasaan yang lebih dari sekadar teman kepadanya, tetapi Mitsuya acuh tak acuh—ia tak ingin bersikap serakah untuk membalas perasaan itu, baginya Ran pantas mendapatkan yang terbaik dibanding dirinya, menjadi sosok teman untuk Ran saja sudah lebih cukup.

Ting!

Bel dibunyikan oleh seseorang di balik pintu depan rumahnya. Sang ibu bergegas membukakan pintu untuknya dan senyumannya lantas merekah menemukan entitas Ran berdiri tegap di depan pintunya. Sosok paruh baya tersebut menyapa Ran dan menyilakannya masuk ke dalam rumahnya. Ran mengangguk dan melangkah masuk ke dalam rumah, tak lupa membalas sapaan wanita tersebut.

“Nak Ran, tadi ke sini naik apa?” tanya sang ibu kepada Ran.

“Naik motor, Bun.” jawab Ran sopan, perlu diketahui—semenjak Ran kerap berkunjung ke kediaman Mitsuya, sang ibu meminta Ran turut memanggilnya Bunda supaya terlihat lebih dekat, sebab Ran merupakan salah satu teman anaknya.

“Ah ... pasti di luar dingin banget, Bunda bikinkan minuman hangat buat kamu, ya? Mana sayang, boleh ke sini sebentar?” Wanita paruh baya tersebut memanggil putri bungsunya untuk menghampirinya, ketika gadis kecil itu hendak menghampiri sang ibu, langkahnya berhenti tatkala menjumpai Ran berdiri di depannya.

“Kak Ran!” Dengan tungkai kakinya yang kecil, ia berlari seraya memeluk Ran.

“Hai, princess. What makes you still awake? Don’t you have school tomorrow? It’s the time you have to sleep.” ujar Ran lembut kepada gadis muda itu.

Because Mana is waiting for you to come, Kak.” Mitsuya menimpali dari balik punggungnya. Ran tersenyum hangat, suara itu lembut sekali di rungunya.

“Mitsuya ... ” lirihnya.

I’m here, Kak.”

“Lho, Kakak udah di sini? Tadi Bunda niatnya mau minta tolong Mana buat panggilin Kakak, yasudah ... Kak, tolong ajak Kak Ran ke kamar kamu, ya? Kasian Kak Ran kedinginan habis di jalan tadi, nanti Bunda kasih minuman buat kalian.” titah sang ibu kepada Mitsuya.

“Iya, Bun, makasih banyak. Ayo, Kak.”

Ran berjalan mengiringi kamar Mitsuya yang berada di lantai atas, sebenarnya ada perasaan tak enak hati karena bertamu di tengah malam seperti ini di mana waktunya orang-orang beristirahat, namun keluarga Mitsuya malah menyambutnya dengan hangat, maka dari sini lah alasan itu muncul, hanya di sini Ran merasakan kehangatan tiada tara, pula diperlakukan selayaknya. Ran belum pernah merasakan hangatnya keluarga selain merasakannya dari keluarga kecil Mitsuya.

“Kak Ran bisa istirahat di sini selagi nungguin Bunda bikinin makanan.” ucap Mitsuya dan mengambil tempat duduk di sebelah Ran.

Thanks.

Mitsuya menelusuri wajah Ran yang ternyata terdapat lebam dan tanda kemerahan, ia mengutuki dirinya karena baru tersadar apa yang terjadi pada Ran sebab pemuda itu mengenakan setelan yang besar dan topi yang menutup wajahnya. Mitsuya menangkup pipi Ran dan memaksa wajahnya untuk mengarah kepadanya, ia menggigit bibirnya khawatir dengan luka-luka di wajah Ran.

“Kak Ran ... ada apa?” tanyanya.

Bukannya menjawab pertanyaan itu, Ran malah menjatuhkan keningnya di atas pundak Mitsuya dan menghela napas kasar. Mitsuya mengepalkan tangannya di atas pahanya, lalu tangannya bergerak untuk merengkuh punggung lebar Ran.

I know it’s hard for you, melihat sosok tangguh kayak Kak Ran begini membuat aku paham bahwa sebenarnya hal yang kamu lalui itu sangat berat, but if you don’t want to express up then that’s okay, right? I don’t want to tie you down in the slightest. Kak Ran datang ke sini karena butuh ketenangan, ‘kan? Here you go, aku bakal memberikan rasa itu sebanyak yang Kak Ran butuh supaya Kak Ran bisa kembali baik-baik saja.” Kata-kata bak penenang itu masuk ke rungu Ran dengan lembut, seolah dengan kata-kata itu saja mampu merengkuhnya ke dalam kehangatan. Mitsuya masih memeluknya dengan erat, mengusap surainya perlahan.

“Suya ... ”

“Kalo Kak Ran gak bisa lalui itu sendirian, maka kita lakuin bersama. Kak Ran gak sendirian, selalu ada aku yang jadi penyokong kamu melangkah.”

Ran menghela napasnya, bibirnya bergetar dan rasanya kelopak matanya ingin meneteskan air mata, namun menangis pun sudah tak mampu Ran lakukan. Ia menenggelamkan tubuh besarnya ke dalam pelukan Mitsuya, sembari mengingat hangat dan bau manis dari tubuh Mitsuya.

Tok. Tok.

“Kak, bisa bukakan pintunya untuk Bunda? Bunda bawakan makanan buat kalian.” Suara sang ibunda menginterupsi kegiatan mereka, Ran menjauhkan tubuhnya dari Mitsuya supaya pemuda itu bisa membukakan pintu untuknya Bundanya.

“Sebentar, Bun.” balas Mitsuya, “aku ambil makanan dulu, ya, Kak.”

Ran memejamkan kelopak matanya, keluarga Mitsuya sempurna sekali, pikirnya. Bahkan untuk masuk ke dalam kamar anaknya saja—sang ibu meminta izin terlebih dahulu agar tak menganggu privasi Mitsuya, dan hal kecil yang menarik di keluarga ini ketika mereka datang ke rumah, masing-masing dari mereka melepaskan sepatu mereka dan meletakkan di rak sepatu yang berada di dekat pintu, lalu disusun berdasarkan kedudukan di rumah. Semuanya hidup produktif dan terstruktur sesuai peraturan yang ada di rumah ini. Maka dari itu, keluarga ini begitu hangat dan sempurna. Peraturan yang tak pernah mencekik anggota keluarganya.

Ah, hal itu tak mungkin terjadi di keluarganya. Andai saja Ran tidak hadir di tengah-tengah mereka, mungkin saja keluarga itu akan baik-baik saja.

“Kak Ran.”

“Iya?”

“Dimakan, ya, terus kata Bunda lebih baik Kak Ran nginap aja daripada pulang malem-malem begini. Lagipula, you still need a little time to calm down, right?

“Gak apa-apa?”

“Tentu!”

“Kalo gitu aku tidur di—”

“Kak Ran boleh tidur di kasur kok ... ” Ran memalingkan wajahnya ke arah lain dan vokalisasinya semakin rendah sebab tiba-tiba saja dirinya menjadi malu dan bersemu setelah mengatakan kata-kata tersebut.

Ran mendengarnya dan menahan gelaknya agar Mitsuya tak semakin tertanam oleh rasa malunya sendiri, “jadi lo mau kita tidur seranjang gitu?” godanya.

“Anu ... aku bisa tidur di kamar—”

No way, kita tidur bareng di kasur lo, masa gue enak tidur di sini sedangkan lo harus tidur bareng Luna dan Mana. We can share bed together.” ucap Ran. “Janji, gue gak bakal apa-apain lo kok.”

“Eh? Bukan gitu, Kak!”

“Hahaha. Kok blushing tuh.”

“Mana ada!”

Setelah mengobrol sembari menyantap kudapan yang disediakan oleh ibunda Mitsuya, keduanya berbaring di atas ranjang yang sama dengan pikiran yang berbeda. Mitsuya tak menyangka harus tidur di atas ranjang yang sama bersama Ran, rasanya benar-benar memalukan dan juga membuatnya senang. Mitsuya menoleh ke arah samping—di tengah mereka terdapat guling yang memberi batasan kepada keduanya, rupanya Ran masih belum terlelap dan menatap ke langit-langit kamarnya.

“Udah puas liatin guenya? Gue tau kok kalo gue ganteng.” sambar Ran tiba-tiba.

“Pede banget.” balas Mitsuya.

“Suya, makasih atas semuanya, ya? Gue lupa kapan terakhir kali gue merasakan nyaman kayak gini pas sama lo, makanya setiap kali gue lost hal pertama yang gue cari adalah lo, karena hanya sama lo gue merasa hidup.” ujar Ran pelan.

“Senang bisa berarti buat Kak Ran.”

“Dunia ini jelek banget, all the bad things being by on this world. Bahkan gue ngerasa sial kenapa gue harus dilahirkan di dunia ini, lebih baik gue gak usah dilahirkan daripada harus menerima ini semua, but I feel relieved that this world is not always bad, because I’ve met you.” ungkap Ran kepada Mitsuya, ia tak menoleh ke arah samping pun.

“Hum?” Mitsuya bergumam, “why the world is bad because the world accommodates thousands of people with different attitudes, the bad is the main cause, Kak.” jelasnya.

Then the good bring me to fall.” sambung Ran yang mana membuat Mitsuya menaikkan sebelah alisnya bingung.

Fall?

Falling in love.

Mitsuya bungkam, ia tak mengerti tetapi kewarasannya mengatakan bahwa lebih baik menutup mulutnya daripada membalas ucapan Ran. Lama tak membalas perkataannya, Ran menoleh ke arah Mitsuya dan mendapati sosok tersebut telah terlelap dengan damai. Ran tersenyum, mengangkat tangannya untuk mengusap surai panjang Mitsuya.

Ran ingin segera menyusul Mitsuya menuju dunia mimpi dan mengarunginya bersama, pun ia terlalu lelah menghadapi lika-liku dunia yang tak kunjung berakhir, hanya di alam mimpi keinginannya bisa terwujud. Lantas itulah mengapa manusia lebih banyak bermimpi agar mendapatkan kebahagiaan yang konon abadi.

Sebelum ia terlelap, Ran membisikan sesuatu pada Mitsuya, “jika terjatuh terasa seperti ini, biarkan aku terjatuh kesekian kali padamu, Mitsuya.”

[]

Mitsuya menenteng dua kotak berisi bekal makanan untuk dirinya dan Haitani Ran, kakak kelas yang baru beberapa hari ia temui di sekolah barunya. Sang bunda dengan bangga membuat makanan kepada Ran atas bentuk ucapan rasa terima kasih yang besar karena telah menjulurkan bantuan pada Mitsuya, sang anak sulung. Agenda Masa Pengenalan Sekolah hari ini tak begitu kompleks, hanya berisi pertunjukkan yang ditampilkan oleh siswa tingkat atas maupun anggota ekstrakurikuler demi memperkenalkan kegiatan ekstrakurikuler mereka agar tertarik menjadi salah satu anggota baru.

Pemuda bersurai terang itu berlaru dari panggung yang berada di lapangan utama, meninggalkan teman-temannya dengan alasan ingin menemui seseorang. Seishu menawarkan diri untuk menemani Mitsuya, namun ditolak halus oleh pemuda tersebut. Ia ingin menemui Ran seorang diri daripada mengajak teman-temannya yang kemungkinan menimbulkan pertanyaan yang aneh-aneh dari mereka semua.

Dipandu oleh salah satu teman di kelompoknya untuk mengantarkannya ke taman sekolah, akhirnya Mitsuya sampai di tempat tersebut. Mitsuya mengedarkan pandangannya ke sana-ke mari untuk mencari eksistensi Ran di taman sesuai perkataannya di via obrolan. Menangkap batang hidung Mitsuya yang melihat ke penjuru taman, Ran melambaikan tangannya agar Mitsuya menangkap kehadirannya yang tengah duduk di sebuah kursi yang tersedia di taman sekolah.

“Mitsuya! Di sini!” panggilnya lantang.

Mendengar namanya disebutkan oleh seseorang, Mitsuya menoleh dan mendapati Ran duduk tak jauh dari tempatnya berdiri, reflek sudut bibirnya naik untuk menyunggingkan senyuman lembut. Mitsuya segera menghampiri Ran dan mengambil tempat duduk di sebelah pemuda jangkung tersebut. Seragam yang dikenakan oleh Ran benar-benar tak beraturan; dua kancing teratas terbuka dan seragam yang dikeluarkan.

“Kak Ran.” ucap Mitsuya. “Makasih sudah mau aku ajakin ketemu. I want to give you this, a packed meal by my mom.” Mitsuya menyerahkan bekal yang diikat oleh kain ke atas pangkuan Ran sembari tersenyum ramah. Ran membelalakkan netranya terkejut, lebih tepatnya tak menyangka.

“Buat gue? Dari nyokap lo?” ulangnya.

Mitsuya mengangguk, “iya, aku ceritain Kak Ran ke Bunda karena udah bantuin aku kemarin, jadi sebagai bentuk terima kasih ke Kak Ran, Bunda minta aku ngasih ini ke Kak Ran dan juga Bunda nitip salam.”

“Lo serius ... ?” tanya Ran sekali lagi, ia menatap lamat sekotak bekal tersebut.

“Serius, Kak. Dimakan, ya? Aku harap Kak Ran suka sama bekalnya, masakan Bunda enak kok.” lanjut Mitsuya senang.

“Mitsuya, thanks, ya? I feel touched because someone has never treated me this well. Dikasih bekal sama seseorang ... hahaha—gue bahagia banget.” Ran tertawa hambar seraya menggenggam erat bekal pemberian Mitsuya, rasanya benar-benar menyentuh dirinya. Walaupun ini berupa hal kecil tetapi bagi Ran ini merupakan perbuatan yang luar biasa dari seseorang yang baru saja ia kenal.

Mitsuya lagi-lagi mengangguk, “ayo makan bareng?” ajaknya dan langsung dihadiahi indahan dari Ran.

Mereka memakan bekal tersebut bersama-sama, rupanya Mitsuya merupakan seseorang yang aktif dalam berkomunikasi pada seseorang, gaya bahasanya sopan dan nada bicaranya sangat halus. Seolah-olah Mitsuya memang sudah dilatih untuk bersikap demikian, bahkan netranya selalu menyorot sayu dengan senyuman terpikat di ranumnya. Ran tak melewatkan sedikit momen itu, netranya hanya tertuju kepada Mitsuya yang tengah berbicara kepadanya.

Benar apa yang Mitsuya katakan, makanan yang dimasak oleh Ibunda Mitsuya begitu lezat. Ran berpikir, beginikah rasanya makan dari makanan yang dibuat oleh seorang ibu, makanan itu semakin terasa lezat karena dimasak dengan benih cinta. Ran menarik sudut bibirnya ke atas, andai suatu saat ia dapat merasakan seperti ini dari ibunya, ia pasti teramat bahagia. Namun, kenyataan itu sungguh menyakitkan, bukan? Menampar ekspektasi yang dijunjung setinggi awan.

“Kan Ran—eh? Muka kamu kenapa, Kak? Ini bekas luka, ya?” Spontan Mitsuya menyentuh bekas kemerahan di pelipis dan sudut bibir Ran, seperti lebam yang masih baru. Ran menelan makanannya dan membalas tatapan Mitsuya.

“Oh itu? Bukan apa-apa kok, gue gak sengaja kejedot pintu kemarin.” jawab Ran dengan santai. Namun, tatkala Mitsuya menyentuh luka di pelipisnya, Ran meringis ngilu. “Ssh.

“Lain kali hati-hati, ya, Kak. Pasti kejedotnya kenceng gitu, ya? Soalnya bukan cuman lebam tapi itu luka terbuka.”

Mitsuya merogoh tas kecil yang ia bawa, mengeluarkan plester luka yang selalu Mitsuya bawa untuk berjaga-jaga. Ia meminta izin kepada Ran untuk memasangkan plester itu ke pelipis Ran dan dibalas anggukan kecil olehnya.

“Harus ditutup supaya gak terkena bakteri dan malah infeksi.” ujar Mitsuya sembari menempelkan plester luka tersebut.

Wajah mereka sangat dekat, seolah tak ada jarak yang membentang. Ran dapat mengamati struktur wajah Mitsuya yang sempurna, netranya yang memancarkan kekhawatiran. Ran meneguk ludah, tak menyangka sosok Mitsuya sehangat ini. Sosoknya seperti berdiri di bentangan salju yang disinari oleh sang mentari. Sudah cukup berkubang dengan dinginnya salju, hingga akhirnya eksistensi Mitsuya hadir memberikan hangat cahaya matahari yang perlahan meruntuhkan dingin di tubuhnya.

Ran itu skeptis dengan cinta maupun kasih sayang, sejak tarikan napas pertamanya di muka bumi ini, Ran tak pernah mengenal defini cinta sebenarnya. Ia tak mengerti mengapa seseorang bisa mencinta dan dicintai. Lantas katanya cinta yang menciptakan harsa bagi jiwa manusia. Namun, mengapa Ran tak menemukan itu. Cinta hanya menyebabkan derita. Baginya, lara itu ada karena seseorang mencinta.

Maka dari itu, ia sedikit kebingungan dengan kebaikan Mitsuya kepadanya. Diperlakukan baik oleh seseorang yang baru saja dikenalinya membuatnya terheran. Apa yang membuat Mitsuya berbaik hati kepadanya dan kenapa kebaikan itu membuat hatinya tergugah.

“Kak Ran?”

Lamunan Ran buyar ketika Mitsuya memanggil namanya, “i-iya?”

“Kak Ran gak apa-apa? Kok tiba-tiba bengong? Aku panggil-panggil gak nyaut.”

“Maaf ... ”

“Ayo dihabisin makanannya, Kak.”

“Iya, Mitsuya. Once again, thanks.

Ran menyuap makanannya ke mulut, lalu tangannya terangkat untuk menyentuh plester luka yang dipasangkan Mitsuya di pelipisnya. Hal itu justru membuatnya tersenyum tiba-tiba. Abai terhadap luka di sekujur tubuhnya yang baru saja ia dapatkan, saat ini hatinya terasa hangat setelah sekian lama membeku.

Semenjak saat itu, hati Ran seolah memberikan perintah kepada raganya untuk selalu berada di dekat Mitsuya. Baik itu perasaan curiga dari dalam dirinya maupun perasaan lainnya. Hanya saja, ini pertama kalinya hatinya tergerak untuk melakukan sesuatu sesuai keinginan hati kecilnya. Rasanya seperti kompleksitas bagi seseorang yang sebelumnya tak pernah merasakan apa-apa.

Sebab Ran itu mempunyai jiwa yang telah lama mati tanpa seorang pun yang tahu.

“Suka gak sama masakan Bunda?” tanya Mitsuya kala mereka telah menyelesaikan makan siang mereka.

“Suka banget, masakan Bunda lo enak. Gue berasa makan makanan di restoran mahal.” balasnya diiringi dengan kekehan ringan.

“Bunda pasti seneng kalo Kak Ran suka. Makasih banyak, ya, Kak?”

“Seharusnya gue yang bilang makasih, karena Bunda lo repot-repot bikinin ginian ke gue.” sahut Ran, “titip salam sama Bunda lo, ya, Suya. Makasih udah bikinin gue masakan seenak ini.”

“Gak kok, Kak. Bunda emang seneng ngasih sesuatu buat temen aku. Oke! Nanti aku sampein salamnya kamu ke Bunda.”

“Berarti gue temen lo doang nih?” tanya Ran sembari menatap Mitsuya.

“Temen ..., ‘kan?” Mitsuya tiba-tiba ragu, takut apabila Ran tak meanggapnya sebagai teman padahal ia dengan percaya diri meanggap Ran sebagai temannya.

“Calon pacar lo.” ucapnya sembari menjentik kening Mitsuya pelan.

Mitsuya menjadi bungkam seketika, terlalu terkejut dengan pernyataan Ran. Ia langsung berpaling ke arah lain agar Ran tak mendapati wajahnya yang berseri. Mitsuya memaki dirinya sendiri karena tiba-tiba bersemu dengan ucapan Ran. Ia tak seharusnya bersikap berlebihan seperti ini karena Ran pasti sedang bergurau.

“Hahaha ... bercanda mulu, Kak.”

“Siapa bilang gue bercanda?” Ran mengubah rauh ekspresinya menjadi lebih serius membuat Mitsuya menjadi semakin tak tenang di tempatnya.

“Kak Ran—kayaknya aku harus balik deh, takut temenku pada nyariin. See you!

Mitsuya bergegas menjauh dari Ran tanpa memedulikan kotak bekalnya tertinggal bersama Ran. Melihat punggung Mitsuya menjauh dari jarak pandangnya, Ran menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Sosok Mistuya sungguh manis dan menggemaskan. Tak ada alasan untuk menyanggah perasaan suka ketika melihat Mitsuya berada di sekitarnya. Mitsuya mempunyai hati yang lembut.

“Gemesin banget anak orang.”

[]

Explicit sexual content, boys love, dom/sub, abal sex, Takemichi!top, Manjiro!sub, dirty talk, blowjob, fingering, nipple play, wot position, rimming.

Perihal filosofi kekasih yang melibatkan urusan hati. Menjerat dua jiwa nan idiosinkrasi dengan benang merah yang didasari oleh perasaan cinta yang akan melahirkan harsa. Lantas tetapi, dua insan tersebut tak selamanya akan meraup harsa dari jembatan hubungan mereka, ada fase di mana dua jiwa itu terjerembab dalam derita yang membuatnya mengembus asa. Lalu, apakah dua hati yang telah dibaluri cinta berujung dengan pujaan jiwa?

Tidak bagi Takemichi dan Manjiro. Tak ada benang merah yang mengikat insan keduanya meskipun salah satunya terjatuh dalam kubang asmara. Walau ribuan hari mereka lalui dengan bergandengan bersama, masih tak ada hubungan istimewa yang menjanjikan mereka. Demikian tak ada relasi yang lebih serius di antara mereka, tak ada salah satu dari mereka yang terluka. Sebab kebersamaan mereka bukan dilandasi oleh cinta melainkan sejuta hasrat senggama.

Saat itu Takemichi bertemu dengan salah satu orang yang dimahkotai oleh keindahan bernama Sano Manjiro; paras yang selaras dengan sesosok dewi, surai panjang keemasan, pula obsidian hitam yang memancarkan kekuasaan. Takemichi langsung takjub melihat sosok itu dan hendak menyatakan bahwa Manjiro hanya miliknya seorang, bukan orang lain. Lantas Manjiro membalas sosok itu dan terjalin suatu kontrak di atas mereka.

Kontrak yang juga dilengkapi dengan peraturan; jangan sekalipun jatuh cinta kepada saya, Manjiro.

Manjiro tak peduli apa yang tertulis di sana, yang ia butuhkan adalah sosok Takemichi di dalam genggamannya dan menjadi satu-satunya orang yang dapat menjamah sekujur tubuh Manjiro dari pucuk surainya hingga ke ujung kaki. Persetan dengan peraturan yang ditekankan oleh Takemichi, ia hanya butuh seseorang untuk memenuhi hasrat birahinya. Tatkala seiring berjalan waktu, sudah 3 tahun lamanya mereka menjalin hubungan tersebut tanpa menyadari seseorang telah telak kalah. Melanggar peraturan yang sudah ditetapkan, ah, manusia memang sukma yang mudah dipatahkan oleh harta dan cinta. Baik harta yang mematahkan segalanya dan cinta yang melunturkan struktur akal.

Ting.

Ponsel pintarnya berdering tanda sebuah notifikasi yang masuk, Manjiro meraih benda itu dan membuka pesan yang dikirim oleh Takemichi kepadanya. Tercetak senyuman sumringah yang menghiasi potret parasnya. Sang pujaan baru saja mengajaknya untuk menghadiri sebuah pesta formal untuk jajaran pengusaha dan dirinya hadir sebagai pasangan kelabu dari sosok Takemichi. Beginilah eksistensi Manjiro di hidup Takemichi, menjadi pasangan pura-puranya karena pemuda tersohor itu membenci sebuah jalinan romansa yang mengikat dirinya sedangkan kedua orang tuanya terus-menerus memaksanya untuk mencari pendamping.

Manjiro melepas ponselnya dan membiarkan benda itu terjun ke atas sofa, sedanhkan ia bergegas bersiap untuk ikut serta menghadiri acara tersebut bersama Takemichi. Tercipta sebuah ide yang tiba-tiba terlintas di kepalanya membuat Manjiro terkekeh sembari memikirkannya.

“Michi pasti suka.” monolognya.

Memoles dirinya seesensial mungkin namun tak ingin terlihat teramat kontras. Ia mengenakan celana kain yang cukup ketat sehingga kedua bokongnya tercetak jelas serta kemeja pendek yang bahkan ukurannya sangat pas di badan mungilnya, tak lupa memakaikan mantel. Terpampang refleksinya di sebuah cermin yang memantulkan sosok dirinya, sudut bibirnya terangkat ke atas sebab merasa terpukau dengan penampilannya.

“Pantesan Michi lengket banget sama gue soalnya gue secakep itu.” ujar Manjiro.

Tak lama kemudian Takemichi datang untuk menjemput sang permain utama, Manjiro langsung bergelayut manja di leher jenjang Takemichi dan mencumbu bibir itu dengan cepat. Takemichi menahan dua sisi pinggul Manjiro seraya mengusap tubuh Manjiro yang dibaluti kain, bibirnya memagut ranum itu sehingga mereka sempat terjalin ciuman intens yang kasar. Manjiro itu tipikal submisif yang tak sabaran dan sulit untuk menundukkannya.

Stop, Manjiro. Jangan bikin saya menunda kehadiran saya di acara itu gara-gara seks sama kamu.” cekal Takemichi.

I miss you sooooo much.” ucapnya pelan. Takemichi merengut senyuman dan mengusap pipi Manjiro, gemas.

I miss you too, my little brat. Not now, sayang. Kita harus segera ke sana.” ajak Takemichi lembut. Manjiro harus diperlakukan layaknya benda berharga yang mudah retak, maka dari itu setiap sentuhannya harus lembut dan penuh kehati-hatian agar tak seinchi pun rusak.

When?” tanya Manjiro cemberut.

After the event ends.” Takemichi mengedipkan sebelah matanya lalu turut turun untuk mencium leher Manjiro. “Ayo.”

Bak pesta formal pada umumnya, jajaran pejabat menghadiri acara tersebut sembari membincangkan perihal perusahaan bersama kolega bisnisnya begitu pula dengan Takemichi. Melihat itu membuat Manjiro mendesah bosan, andai saja Takemichi tak menjanjikan sesuatu kepadanya setelah pesta tersebut berakhir, ia tak ingin membuang waktunya demi menghadiri acara membosankan ini. Takemichi tak sedikit pun membentang jarak dari Manjiro, tangannya melingkar rapi di pinggang Manjiro seolah tengah pamer pada seluruh semesta bahwa Manjiro tunduk di bawah kekuasaannya.

Manjiro merapatkan tubuhnya pada tubuh Takemichi tatkala banyak pasang mata tersorot kepada laki-lakinya. Ia tipikal posesif, tak boleh seorang pun menatap Takemichi dengan tatapan puja. Takemichi menyadari itu, segera tangannya mengusap bokong Manjiro dengan seduktif di tengah-tengah khalayak, usapan itu justru berubah menjadi remasan membuat sang pemuda bersurai terang menggigit bibir bawahnya.

“Michi ... “

Be patient brat before I really ruin you, Manjiro.” timpal Takemichi dengan vokalisasinya yang rendah.

Manjiro meneguk ludahnya susah payah, ia membenci fakta bahwa dominasinya akan luluh lantah di bawah kekuasaan Takemichi. Bahkan segaris senyumnya mampu melumpuhkan kewarasan Manjiro. Entah mengapa vokalisasi itu justru membuat hasratnya meningkat, jari-jari Takemichi menggelitiknya serta vokalisasi pria itu menggema di rungunya.

Sungguh Manjiro berharap acara ini segera berakhir agar ia dan Takemichi dapat menghabiskan malam indah mereka dengan bergumul di atas ranjang yang hangat sembari menabur harsa.

...

Ahh ... ”

Dinding yang menjadi saksi bisu atas aksi dua raga yang tengah merajut nafsu. Melantunkan kalimat pujaan penuh damba bak sebuah melodi, tubuhnya yang meliuk erotis seolah tengah menari. Keringat yang basah oleh pelipis dan obsidian yang mulai sayu. Takemichi tak pernah menundukkan egonya, pula barang sekalipun menatap ke bawah, namun siapa sangka dirinya telak takluk kepada Manjiro. Menundukkan seluruh badannya demi memuaskan sang submisif yang haus sentuhan sensual.

Manjiro yang lolos tanpa sehelai benang mengangkang lebar di hadapan Takemichi, sedangkan Takemichi berada di tengah-tengah Manjiro sembari menjamah kejantanannya yang telah basah oleh cairan pra ejakulasinya. Mengulum benda tak bertulang itu di dalam mulutnya, ditambah tiga jarinya masuk ke dalam senggama Manjiro. Netranya menyorot kepada ekspresi Manjiro yang terlihat panas.

Lidah yang menjulur keluar seraya mendesahkan namanya berulang kali.

Hngg ... Michi—” lenguh Manjiro dengan tangannya menggenggam surai Takemichi. Seperti mendapatkan dua stimulasi sekaligus, ereksi dan liangnya. Takemichi dalam urusan bercinta memang tingkat dewa tak ada yang dapat menandingi.

“Suka?” tanya Michi pelan.

“S-Suka ... di situ, Michi ... ” Jari-jari Takemichi tak sengaja menyentuh titik ekstasi Manjiro yang membuat pemuda itu menggelinjang nikmat, saat jarinya menyentuh titik sensitif Manjiro segera pergerakannya berubah menjadi brutal sehingga Manjiro tersedak ludahnya.

Takemichi menegapkan tubuhnya sebelum mengecup pucuk ereksi Manjiro yang mengeras, tiga jarinya bergerak begitu cepat di lubang senggama Manjiro, tanpa ampun. Manjiro membusungkan dadanya tanda gerakan jari Takemichi membuatnya terbang menuju nirwana. Bahkan hanya dengan jari panjangnya Takemichi mampu menyentuh titik ekstasinya.

Sshh ... ”

Manjiro merapatkan kelopak matanya dan pahanya hendak terkatup namun segera ditahan oleh Takemichi, ia ingin melihat Manjiro mengangkang lebar di depannya. Takemichi terus bergerak mengejar pencapaian Manjiro, ia mendekatkan tubuhnya kepada pemuda itu dan memagut ranum kemerahan yang sedari tadi melolongkan namanya.

Mmhh!

Manjiro mengalungkan tangannya di leher jenjang Takemichi, saling memagut dan berperang lidah dalam ciuman intens nan kasar tanpa aturan. Keduanya sama-sama mengejar birahi yang semakin kuat mendominasi. Takemichi senang melihat fitur wajah Manjiro dari dekat dan selalu merapalkan kalimat pujaan untuknya. Tangan Manjiro bergerak melepaskan kancing kemeja Takemichi sebab ia merasa kesal karena Takemichi masih dengan setelan balutannya sedangkan dirinya tanpa diliputi sehelai benang pun.

Pergerakan jari Takemichi semakin laju dan selalu mengenai titiknya, Manjiro merasakan ereksinya mengeras menandakan bahwa sebentar lagi puncaknya hampir sampai. Jari-jemarinya membelai tubuh kekar Takemichi yang tercetak sempurna, menambah kesan panas di kala mereka bercinta.

“Michi ... I almost c-cumming ... ”

That's my little brat Manjiro.” Tubuh mungil itu menggelinjang seirama dengan tumbukan jari Takemichi di dalam pusat tubuhnya, bahkan ereksinya semakin mengeras tak seperkian sekon kemudian, Manjiro mengeluarkan cairan ejakulasinya hingga mengotori bagian perutnya. Napasnya tak beraturan akibat ejakulasi pertamanya, Takemichi menatap sang submisif dengan bangga.

“Manjiro, asal kamu tahu, I had never bow down to anyone, but I do that to you. Isn't that good?” ujarnya angkuh.

Lantas, sang submisif langsung memamerkan semburat kemerahan di wajah berserinya. Takemichi menanggalkan pakaiannya satu persatu sehinggga tubuhnya tak dibaluti sehelai benang, mengukung tubuh ringkih Manjiro dengan kedua tangannya ia letakkan di samping kepala Manjiro agar tak menindih tubuhnya. Obsidiannya mengedar pada fitur paras Manjiro yang tak kalah rupawan.

Sungguh, Takemichi menyukai alunan melodi yang indah ketika Manjiro melolongkan namanya. Memikirkan hal itu membuat sesuatu benda di bawah tubuhnya berdiri melawan gravitasi.

Gorgeous. Manjiro, kamu makhluk paling indah di muka bumi ini. If a heaven is a person, wouldn't it be you? Have sex sama kamu merupakan bagian terindah di dalsm hidupku. I feel so glad.” Mulut yang selalu licin kala memujinya.

Oh God, I love you so much, sir.

Manjiro mengantupkan bibirnya saat Takemichi mengarahkan ereksinya untuk membidik senggamanya dengan kekuatan yang brutal. Manjiro membenci fakta bahwa milik Takemichi tumbuh semakin besar dibanding pertama kali mereka bercinta, seolah lubangnya tak akan mampu menampung benda tersebut. Takemichi melesatkan lidahnya ke dalam mulut Manjiro, mengajak lidahnya untuk saling bertaut dan kemudian berperang lidah. Ciuman Takemichi dapat membawanya menuju langit nirwana.

Pemuda submisif itu memagut leher Takemichi demi menyalurkan hasratnya melalui sentuhannya. Takemichi bersikeras menumbuk ereksinya ke dalam senggama Manjiro yang sempit tanpa memberikan celah bagi Manjiro sedikit pun. Ketika ciuman keduanya terlepas, ciuman Takemichi turun ke leher Manjiro agar meninggalkan tanda kepemilikan yang mutlak dan semakin turun ke bagian puting kemerahan Manjiro yang mengacung.

Sshh.” Takemichi menggeram rendah.

“Michi ... it's hurt.” keluh Manjiro.

“Tahan, oke?”

Takemichi mengecup puncak dadanya lalu mengulumnya bak tengah mengisap asi dari dada Manjiro. Pun, Takemichi menghentakkan pinggulnya dengan keras sehingga seluruh ereksinya berada di dalam senggama Manjiro, rasanya seperti tercabik menjadi dua kepingan. Bahkan pemuda dengan dominasi itu tak membiarkan Manjiro membiasakan kehadiran ereksi Takemichi di dalamnya.

Dalam bercinta, Takemichi bak binatang di musim kawin yang penuh hasrat birahi.

Ahh! M-Michi ... ”

Tatkala paras indah itu justru bersimbah air mata karena perasaan di raganya tercampur aduk; baik kenikmatan dan rasa sakit yang diderita senggamanya, namun hentakan itu berubah menjadi satu hal yang melahirkan euforia. Napas Manjiro tercekat seolah tak ada udara di ruangan itu kelak membuat sengap. Gurat ekspresi yang timbul di wajah Takemichi memanifestasikan kepuasaan untuk Manjiro. Sungguh pria yang panas.

Hnggg ... Michi, di situ ... ”

Fuck, Manjiro. You're so damn hot.

I am.

Jerit Manjiro menggema di penjuru ruangan, bahkan alat air conditioner tak akan mampu mendinginkan dua raga yang panas sebab terbakar hasrat seksual. Tak peduli pada kepingan-kepingan cinta yang mulai bersemayam di hati masing-masing. Takemichi menjilat puting Manjiro bergantian, pula tak lupa menandai Manjiro dengan kemerahbiruan. Hentakan pinggul Takemichi layaknya sebuah pistol yang hilang kendali, begitu brutal dan kasar.

Manjiro yang desahkan nama Takemichi, sedangkan Takemichi rapalkan pujian untuk Manjiro, mereka tengah lupa di mana mereka berpijak sebab bercinta menuntun mereka berada di indraloka.

Ahh ... Michi, keep going-ahh, make my legs shake more.

I will.

Setelah puas menjamah puncak dada Manjiro yang basah akan ludahnya, Takemichi menegakkan tubuhnya dan meletakkan salah satu kali Manjiro di bahunya. Ia menggerakan ereksinya lebih laju dan kuat dari sebelumnyanya membuat Manjiro kalang-kabut.

We have a long night, Manjiro. Mari kita banjiri lubangmu dengan orgasme.”

Ahh!

Ujung ereksi Takemichi mengenai prostatnyanya dan sentakannya begitu rancu tanpa aturan. Tangan Manjiro menggenggam sprei yang telah kusut di bawahnya, stimulasi yang diberikan Takemichi begitu banyak bahkan tak dapat ia tampung satu persatu.

“Michi—ahh ... please don't stop.

Damn! I love the sound you make.

Semakin nyaring desahan Manjiro untuknya makan semakin cepat pula pergerakannya di dalam senggama Manjiro, ereksi mungil Manjiro mengacung dan mulai mengeluarkan cairan pertanda pemuda itu hampir sampai menuju putihnya. Takemichi mengecup kaki Manjiro dengan seduktif, melihat adegan itu terpampang di netranya membuat Manjiro semakin bernafsu.

“Michi, huks mau keluar ... ”

“Keluar yang banyak, ya.”

Mendapatkan lisensi untuk melakukan orgasme, dinding rektum Manjiro menjerat ereksi Takemichi kuat, tetapi Takemichi tak sedikit pun melambankan pergerakannya. Ia ingin membuat Manjiro orgasme berulang kali karena dirinya. Beberapa sekon kemudian cairan ejakulasi keluar dari ereksinya sehingga Manjiro langsung terkulai tak berdaya. Takemichi tak acuh dengan kondisi Manjiro, ia belum mendapatkan orgasmenya.

Ahh!

Takemichi membungkam mulut Manjiro dengan ciumannya dan mengangkat tubuh mungil itu sehingga posisi mereka duduk. Manjiro yang berada di atas Takemichi, di dalam posisi ini Manjiro bisa merasakan ereksi Takemichi yang menyodoknya semakin dalam. Netra legamnya mengerjap seraya menatap sang dominan.

Move, Manjiro.”

“Eh?”

“Apa perlu saya ulang beberapa kali? Saya bilang gerakin, sekarang.”

Vokalisasi Takemichi berubah menjadi rendah dan penuh penekanan, titahnya ialah mutlak. Maka segera Manjiro menggerakan tubuhnya yang lemas turun dan naik supaya Takemichi segera sampai ke pelepasan pertamanya.

Shh ... ” Takemichi meringis nikmat.

Manjiro bertumpu pada pundak lebar Takemichi, bergerak cepat meskipun tenaganya telah berkurang akibat orgasmenya yang kedua. Takemichi meletakkan tangannya di belakang tubuhnya, memantau tubuh Manjiro yang bergerak erotis, betapa sukanya ia dengan pemandangan seperti ini. Pandangannya tak luput dari Manjiro dan ereksinya yang keluar masuk di senggama sempit itu.

You taste so good, Manjiro.”

Hngg, I know.

Takemichi tak berniat membantu Manjiro, ia ingin Manjiro bergerak sesuai keinginan hatinya walaupun hentakannya begitu lamban namun lembut. Manjiro terus-menerus mendesahkan nama Takemichi dan begitu pula Takemichi. Ia memuji Manjiro karena selalu membuatnya bernafsu dan terpuaskan. Perkataan itu sangat membuat Manjiro merasa bangga.

Beberapa sentakan kemudian membuat ereksi Takemichi membesar bahwa pencapaiannya hampir sampai, karena tak sabar dengan pergerakan Manjiro-Takemichi memegang pinggul Manjiro dan menghentakkan lebih cepat agar orgasmenya segera sampai. Manjiro sontak menjerit karena terkejut.

Ahh ... Manjiro ... ”

Takemichi mengeluarkan seluruh cairan ejakulasinya di dalam senggama Manjiro, seolah tak boleh setetes pun lolos dari dalam lubangnya. Ia ingin Manjiro menerima dirinya di dalam liang itu. Napas keduanya tersengal dan meraup pasokan oksigen yang baru. Manjiro ambruk di atas tubuh Takemichi, pemuda itu langsung merengkuh tubuh Manjiro yang basah akan keringat maupun cairan bercintanya.

“Michi, do you like it? I mean, having sex with me. Do you like that?” tanya Manjiro kala dirinya tenggelam dalam pelukan Takemichi. Pemuda itu menyapu pandangan ke seluruh ruangan sebelum menjawab pertanyaan Manjiro.

“Saya suka setiap detail di diri kamu.” jawabnya santai.

Takemichi bangun dari posisinya sehingga pelukannya pada Manjiro terlepas, ia ambil seputung rokok dari dalam kotaknya dan membakar cerutu itu dengan pematik. Ia tak memalingkan pandangannya ke arah Manjiro yang menatapnya lamat.

Does it mean you love me too?” sambar Manjiro lagi dengan pertanyaan.

Cinta. Apakah Takemichi mencintai sosok itu? Sosok yang menjadi lawan mainnya di atas ranjang selama bertahun-tahun lamanya. Takemichi sempat abai, ia justru memilih mengepulkan asap rokoknya ke udara. Surai hitamnya mencuat tak beraturan, tubuh kekarnya basah akan keringat, juga ia menyeringai dengan segaris luka di ujung bibirnya.

Takemichi itu dipahat begitu panas.

“Saya cinta kamu, Manjiro.” jawabnya pasti.

Jawaban itu membuat Manjiro terkekeh, lekas Manjiro bangun dari tidurnya-mendudukkan tubuhnya di atas pangkuan Takemichi, ia kepulkan asap cerutunya ke wajah Manjiro tatkala pemuda itu bergelayut manja di pangkuannya.

“Apa kamu lupa dengan perjanjian awalnya? Gak ada perihal cinta dan status di antara kita, Michi. Hubungan kita hanya pura-pura dan sebatas pasangan di ranjang. Don't cross the line.” ungkapnya.

Seharusnya Takemichi tak harus terjatuh di dalam kubang asmara, ia yang membuat peraturannya dan ia yang melanggarnya. Takemichi harus sadar bahwa mustahil adanya benang cinta di antara mereka.

Sebab, selamanya mereka hanya akan menjadi pasangan seksual.

end.

Hari kedua Masa Pengenalan Sekolah dilaksanakan untuk para murid baru, agenda yang dilakukan sedikit berbeda dibanding dengan hari pertama. Entah atmosfer hari ini cukup melelahkan bagi mereka yang mengikuti kegiatan MOS. Ada banyak suara lolongan dan teriakan anggota panitia yang dilayangkan kepada murid baru, mungkin tercipta rasa kesal bagi mereka namun apa boleh buat tak ada kesempatan bagi mereka untuk melakukan resistensi selain menerima dengan terpaksa. Lagipula, tinggal tersisa satu hari lagi acara MOS dilaksanakan.

Kelompok 3 yang diketuai oleh Mitsuya dan Oikawa sebagai penatar mereka. Sebuah ketidak-beruntungan bagi kelompok itu karena harus mendapatkan panita seperti Oikawa. Ekspresi yang dingin dan selalu melemparkan teriakan kepada mereka, sekalipun anggota kelompok 3 tak melakukan kesalahan apa-apa. Mitsuya meneguk sadar bahwa ini sebuah adat balas dendam yang kerap dilakukan oleh senior atas perbuatan senior mereka terdahulu. Barangkali kapan rantai kebiasaan seperti berakhir.

Kazutora dan Seishu, teman barunya Mitsuya meminta izin untuk berkeliling mengitari area sekolah selagi kegiatan MOS belum dimulai. Sedangkan Mitsuya, Mikey, dan Chifuyu hanya berdiri tak jauh dari lapangan. Memasang atribut MOS selagi masih ada waktu bagi mereka untuk bersantai. Tiba-tiba eksistensi Oikawa hadir di tengah-tengah mereka dengan tatapan khasnya; merendahkan.

“Dari kelompok 3 atribut semuanya lengkap gak?” tanya Oikawa.

“Kami semua lengkap, Kak.” Mitsuya menjawab sembari mengedarkan pandangannya ke arah teman-temannya, yang terlihat semuanya lengkap dan tak ada satupun yang tertinggal.

“Yakin?” tanyanya sekali lagi.

“Yakin, Kak.” balas Mitsuya.

Oikawa berdecak dan berlalu meninggalkan mereka bertiga untuk bertanya dengan anggota yang lainnya.

“Kak Oikawa pagi-pagi udah bete aja.” celetuk Chifuyu yang terkesan jengah dengan perilaku anggota panitia tersebut. Mungkin tak hanya Chifuyu yang merasa demikian, tapi semua anggota kelompok 3 merasakan hal yang sama.

Oikawa lebih banyak menindas presensi mereka dan membuat anggota di bawahnya merasa tak nyaman. Mikey mencibir tak suka tatkala Oikawa menjauh dari hadapan mereka, sedangkan Mitsuya hanya terkekeh mendapati keluhan teman-temannya. Sebagai ketua kelompok, Mitsuya harus terlihat bijak dan koorperatif meskipun batinnya sedikit meringis.

“Gue jadi ikutan bete—” Belum selesai Mikey rampungkan ucapannya, terdengar suara teriakan Oikawa di dekat mereka.

“MANA ATRIBUT KALIAN?!” tanya Oikawa dengan lantang kepada salah satu orang.

“Maaf, Kak ... ketinggalan di rumah.” jawab seseorang itu pelan seraya menundukkan kepalanya ke bawah, takut dengan vokalisasi Oikawa yang menggelegar.

“Mampus, Suya. Dia dari kelompok kita.” sahut Mikey meringis.

“KETINGGALAN?! KENAPA BISA?! LO GAK SERIUS IKUT MOS, YA? BARU HARI KEDUA MOS LO UDAH BERSIKAP LAYAKNYA DEWA, MERASA SUPERIOR LO SEKARANG? HEBAT BANGET NIH UDAH BERANI LANGGAR ATURAN MOS.” teriak Oikawa. Netranya menyapu kepada Mitsuya yang berpijak ragu di tempatnya. Mitsuya sudah merasakan bahwa akan ada musibah yang menimpanya gara-gara ini. “MITSUYA TAKASHI. LO KETUA, ‘KAN? SINI LO.”

Mikey menatap nanar kepada Mitsuya namun pemuda itu hanya tersenyum tipis seolah berkata semuanya akan baik-baik saja. Sudah menjadi tanggung jawabnya sebagai ketua untuk menggiring teman-temannya selama MOS. Segera Mitsuya berlahir menghampiri Oikawa yang menatapnya dengan kilatan emosi.

“Mitsuya, katanya semua anggota lo atributnya lengkap dan lo sangat yakin tadi pas bilang ke gue. TERUS INI KENAPA DIA BISA KETINGGALAN HAH?!” Di akhir penuturan Oikawa kepada Mitsuya, pemuds itu membentak Mitsuya sehingga pemuda itu terkesiap di tempatnya.

“Maaf, Kak—”

“MAAF DOANG LO BISANYA, TAPI NGURUSIN ANGGOTA LO GAK BISA.” sambung Oikawa.

Mitsuya tak menjawab karena kesalahan murni ada pada mereka. Teman-temannya menatap iba dan merasa bersalah kepada Mitsuya, sebab sosok itu tak melakukan kesalahan apapun tapi harus mengumpuni masalah teman-temannya dengan dalih sebagai ketua kelompok. Oikawa bersidekap dada di tempatnya.

Push up seratus kali di tengah lapangan sebagai hukuman atas kelalaian temen lo.” titah Oikawa santai namun ucapannya sungguh menikam. “Cuman lo, Mitsuya.”

Mitsuya membelalakkan matanya, ia tak menyangka bahwa hukuman yang diberikan terkesan sangat berat. Mikey berlari mendekati Mitsuya, ia tak terima jikalau temannya harus melakukan hukuman tersebut atau setidaknya hukuman itu dilakukan bersama-sama, tak hanya Mitsuya seorang diri.

“Kak gak bisa gitu!” pungkas Mikey.

“Kenapa? Lo gak suka? Mitsuya lo push up duaratus kali, sekarang.”

“Kak—”

“SEKARANG.” Amarahnya seolah sudah berada di ubun-ubun, bahkan teriakannya lebih nyaring dari sebelumnya membuat seluruh anggota menjadi bungkam.

“Udah, Mai. Gak apa-apa kok.” sahut Mitsuya. Ia mengikuti Oikawa ke tengah lapangan untuk menggarap hukumannya. Mitsuya tersenyum hambar ketika menyadari lapangan dipenuhi oleh pasang mata yang menatap ke arahnya ditambah keadaan lapangan cukup terik karena tak tertutupi oleh bangunan sekolah.

Push up duaratus kali tanpa jeda.”

“Baik, Kak.” jawab Mitsuya yang telah mengambil posisi untuk push up. Namun, ketika ia hendak menghitung pergerakannya, seseorang datang dari arah belakang dan menghentikan Mitsuya.

“Saya keberatan dengan hukuman ini, Kak. Kesalahan bukan berasal dari Mitsuya dan gak ada alasan yang kuat Kak Oikawa bisa menghukum Mitsuya dengan dasar dia harus bertanggung jawab atas kesalahan anggota kelompoknya. Ketua itu tugasnya menggiring anggotanya, Kak, dan Mitsuya sudah melakukan itu dengan baik ke kami semua. Kekeliruan teman saya murni salah dia dan bukan salah Mitsuya, kalau Kak Oikawa mau ngasih hukuman, kasih ke kami semua bukan hanya Mitsuya, karena kami semua anggota kelompok. Satu yang salah maka semuanya yang harus nanggung bukan hanya ketua.” hardik seseorang pemuda bersurai hitam kepada Oikawa. Ia menyodorkan tangannya agar Mitsuya segera bangkit dari posisinya.

“Oh? Jadi lo semua mau dihukum atas kesalahan temen lo? Gimana kalo hukumannya dua kali lipat dibanding apa yang gue kasih ke Mitsuya. Pilih yang mana, Mitsuya? Mau lo sendiri ngelakuinnya atau bareng temen-temen lo tapi hukumannya bakal gue tambahin dan lebih berat.” jawab Oikawa dengan seringai tercetak di wajahnya. Mitsuya bereaksi panik mendengar ucapan Oikawa. Maka segera ia menggeleng tak setuju.

“Kakucho ... biar aku aja.” jawab Mitsuya.

“Gak, kita harus lakuin bareng-bareng, Mitsuya. Lo emang ketua kelompok tapi bukan berarti lo yang harus nanggung semuanya.” sahut seseorang yang bernama Kakucho tersebut.

Mitsuya menghela napas gusar, ia bingung harus memilih opsi yang mana. Keduanya sama-sama memberatkannya tetapi ia juga tak ingin teman-temannya yang lain terlibat. Biarlah dirinya sendiri yang melakukan hukuman untuk teman-temannya daripada harus mendapatkan hukuman yang jauh lebih berat dari ini.

“Biar aku aja yang dihukum, Kak.” jawab Mitsuya dengan yakin.

“Mitsuya, Mitsuya. Lo ketua kelompok tapi kok gak solid sih? Disaat temen lo nawarin bantuan sebagai kelompok semestinya tapi malah lo tolak. Katanya ketua tapi begini doang lo gak bisa solid. Ketua macam apa?” sindir Oikawa.

Selalu begini. Seolah-olah semua opsi yang akan mereka pilih salah besar. Tak ingin membebani teman-temannya disangka kelompok yang tak solid. MOS selalu ada kejadian seperti ini yang membuat semua murid muak melihatnya. Terlalu basi.

“Gue nyesel harus manage kelompok 3, mau anggota sama ketuanya sama-sama gak solid. Percuma lo pada bikin kelompok tapi gak bisa jadi kelompok yang bener.”

“Maafin kami, Kak. Kakucho, gak apa-apa kok, makasih banyak, ya?” Mitsuya kembali menunduk untuk mengambil posisi push up demi menjalankan hukumannya dan segera mengakhiri drama tersebut.

“Oikawa, cara lo mendidik mereka sampah. Mau jadi paling hebat lo?” pungkas seseorang yang melangkah menghampiri mereka.

“Ngapain lo?” sinis Oikawa tak suka.

“Mitsuya Takashi, ‘kan? Bangun. Gak usah lo lakuin hukumannya, jangan ngikutin aliran sesat. MOS gak ada hubungannya dengan hukuman, ngide lo bikin aturan sendiri buat nindas mereka? Jangan bikin citra anak OSIS kotor gara-gara lo.” Pemuda itu tak menunjukkan ekspresi apapun di wajahnya, tapi terlihat guratan emosi di pelipisnya. Sungguh menjengkelkan melihat kejadian seperti ini terjadi di sekolahnya.

Mendisiplinkan? Omong kosong.

“Gak usah ikut campur lo bukan anggota OSIS! Terserah gue dong sebagai ketua mereka!” jawab Oikawa dengan amarahnya yang semakin mendominasi.

“Lo ketuanya, ‘kan? Seharusnya lo yang dikasih hukuman karena gak bisa ngatur anggota kelompok lo sendiri, gak guna.”

Pemuda tersebut menarik lengan Mitsuya untuk berdiri di sebelahnya, sedangkan Mitsuya masih bingung dengan apa yang terjadi pada Oikawa dan seseorang yang sempat meminjamkannya topi disaat upacara hari pertama. Ia terkejut dengan kehadiran sosok itu dan ucapannya kepada Oikawa seperti membelanya.

“Anjing lo, Ran!” umpat Oikawa dan segera berlalu meninggalkan mereka.

Mitsuya menghela napas lega, setidaknya hari ini ia tak harus melakukan hukuman yang sempat diberikan oleh Oikawa. Ia menoleh ke arah samping dan menemukan sosok Ran dengan tubuh jangkung menjulang; surainya yang acak-acakan, seragam sekolahnya yang disengaja dikeluarkan, dan tak lupa tatapannya yang sayu. Mitsuya tak dapat berujar, kehadiran Ran selalu membuatnya membisu.

Terhitung sudah dua kali Ran menyelamatkannya dari mara bahaya.

Ran menoleh dan membalas tatapan Mitsuya seraya menciptkan senyuman. “Hai, lo baik-baik aja, ‘kan?” tanyanya lembut. Ah, kali ini Mitsuya dapat mendengar suara itu lebih jelas di rungunya. Suaranya yang berat namun terdengar lembut sekali.

“Kak Ran ... ?” Mitsuya terbata.

“Benar, seneng ketemu lo lagi, Mitsuya.” Ran mengusak surai Mitsuya sehingga membuat tataan rambut Mitsuya berantakan, tetapi Mitsuya tak dapat menahan atau melarang Ran untuk melakukan itu. Justu ia merasa aman.

“Kak Ran ... makasih banyak.”

“Sama-sama.” Senyuman itu jauh lebih hangat daripada mentari pagi, meski tatapannya sedingin embun tapi yang Mitsuya rasakan hanya kehangatan.

Eksistensi Ran seperti menjadi tameng baru di hidupnya, menghalau segala bahaya yang akan menimpa Mitsuya.

Dan Mitsuya menyukai itu.

[]

Explicit sexual content, boys love, dom/sub, Kokonoi!top, Seishu!bot, dirty talk, degradation, humiliation kink, overstimulation, multiple orgasms, fingering, rimming, masturbation, spanking, sex toys, squirting, nipple play.

Terbalut kemeja berwarna putih tulang yang ukurannya cukup besar sehingga menyelimuti tubuh ringkihnya. Tanpa sehelain kain pun yang merahap tubuh bagian bawahnya, ia biarkan begitu saja. Terpampang eksplisit bagaimana paha sintalnya terlunjur di atas ranjang yang hanya ditempati olehnya seorang diri. Maka dari itu, pemuda jelita itu merasa bosan. Tak ada hal yang menarik ia lakukan selagi sang kekasih tak menunjukkan batang hidungnya di kediaman mereka.

Sudah banyak serial drama yang ia tonton untuk menghapus rasa bosan tersebut, tapi tak kunjung hilang juga. Pemuda itu butuh seseorang untuk ia ajak berkomunikasi dan melakukan hal-hal bersama. Saat ini ia tengah merindukan sosok pujaan hatinya, sebabnya pemuda itu mengenakan kemeja yang kerap dipakai oleh sang kekasih. Menghirup aroma maskulin yang memoar dari kemeja tersebut. Semakin ia hirup, semakin besar kerindukan kepada sang kekasih yang kini menjadi budak korporat di perusahaannya. Menjadi atasan yang kompeten membuat pemuda bernama Kokonoi Hajime itu berdasar radikal.

Tiada hari tanpa bekerja, baginya harta dan takhta adalahnya segalanya untuk bertahan hidup di masa sekarang. Namun, ada satu hal yang membuat Kokonoi terjerembab tunduk. Tak lain dan tak bukan ialah kekasihnya, Seishu. Kokonoi ingin mengepal semesta di dalam genggamannya, tapi di balik itu ada sosok Seishu yang selalu menguasainya.

Fuck a boredom!” umpat Seishu lantang. Aroma maskulin dari kemeja Kokonoi membuat suhu tubuhnya seketika naik ke ubun-ubun. Tiba-tiba bayangan di mana Kokonoi menjamahnya dengan panas di atas ranjang yang saat ini sedang ia tempati. Memikirkan hal itu membuat Seishu tergiur untuk melakukannya lagi.

Sebenarnya Kokonoi telah menaklukkan semesta dari jauh hari yang lalu, sebab semestanya Kokonoi adalah Seishu.

“Gue dapet ide bagus nih.” Seishu tersenyum culas di ranum kemerahannya, segera menyambar ponselnya dan melakukan pose erotis di atas ranjang sembari menghadap sebuah kaca yang menunjukkan refleksi dirinya. Seishu nyalakan kamera ponselnya dan memotret dirinya yang tengah membuka lebar kedua pahanya yang tak dilapisi apapun.

Setelah merasa cukup memotret tubuhnya, Seishu mengirimkan gambar-gambar tersebut kepada Kokonoi dan mendapatkan balasan dari sang tambatan. Kokonoi memintanya untuk tak melakukan lebih sampai dirinya pulang ke rumah. Seishu tak acuh dengan balasan Kokonoi terhadap dirinya, sekarang ia sudah terbakar hasrat birahi. Pahanya semakin ia lebarkan sembari bertumpu dengan sikunya. Menyapu bagian perutnya hingga ke paha dan terakhir ereksinya yang sudah mengacung. Seishu itu payah dalam mengontrol birahi, ia mudah terpancing.

Seishu memejamkan matanya erat seraya membuat imaji di mana saat ini Kokonoi lah yang sedang menjamah tubuhnya. Tangannya bergerak menggoda ereksinya yang basah dan ke bawah menuju senggamanya yang berkedut-kedut. Di bayangannya, Kokonoi sedang mengusap liang senggamanya dengan jari-jarinya yang panjang. Seishu membuka mulutnya dan membiarkan lidahnya terjulur keluar.

Ahh—Koko!” Vokalnya mulai gemetar tatkala jari tengahnya melesak masuk ke dalam lubangnya yang sempit, membuat gerakan keluar masuk dengan lamban. Bayangan Kokonoi semakin jelas ketika Seishu menutup rapat matanya, salah satu tangannya bergerak ke atas untuk memanjakan puting dadanya seolah-olah Kokonoi yang sedang memilin putingnya.

Ruangan yang awalnya senyap kini berubah menjadi saksi perbuatan Seishu tanpa kehadiran Kokonoi di dalamnya. Seishu sangat binal, dadanya membusung tinggi saat jari tengahnya tak sengaja menyentuk titik ekstasinya. Seishu menambahkan satu digit jari telunjuknya untuk memenuhi pusat tubuhnya, namun Seishu masih merasa luang. Bahkan dua jarinya tak mampu membuat Seishu terpenuhi.

Fuck! The only thing that I need is Koko’s dick. When will he fucking come?!” teriak Seishu frustasi sebab jarinya tak sepiawai jari-jari Kokonoi saat melakukan fingering kepada senggamanya.

Seishu menarik kedua jarinya yang basah akan cairannya keluar dari lubangnya. Seishu juga melonggarkan kemeja yang ia kenakan sehingga mempertontonkan bahunya yang halus. Ia mengambil mainannya di dalam laci dan kembali mengangkang menghadap cermin. Benda berukuran panjang berwarna hitam itu ia jejalkan ke dalam senggamanya yang rapat, Seishu sempat meringis kala benda itu menyapa liang hangatnya. Ia tak butuh cairan penetrasi, sebab lubangnya sudah cukup basah sekarang.

Tangannya menggerakan benda itu keluar masuk di dalam senggamanya, sembari mengisi pikirannya dengan eksistensi Kokonoi. Seishu memandangi refleksinya di cermin, bagaimana lahapnya lubangnya menerima benda panjang itu. Wajahnya yang merah padam dengan keringat yang bercucuran di pelipisnya.

Ahh ... ” lenguhnya pelan.

Seishu itu sungguh indah, walau posisinya di atas ranjang bak seorang sundal haus akan hubungan intim yang tengah mengais hasrat sensualitas, refleksinya di cermin terlihat seperti sebuah lukisan artistik. Kaki yang mengangkang lebar, netra yang sayu, serta lidah yang terjulur. Dilihat dari sisi manapun, Seishu tetap masih sama indahnya. Oleh karena itu, Kokonoi sangat memuja presensinya.

Jarinya ia gunakan untuk memilin kedua putingnya yang menegang dan tangannya dipergunakan menggerakan benda panjang tersebut tak beraturan, yang ada di dalam pikiran Seishu hanya kepuasan. Ia ingin lebih dan lebih, bagaimanapun caranya. Ereksinya mengacung lebih tinggi dan perlahan mencuatkan cairan pra-ejakulasi. Sebentar lagi Seishu akan mengarungi dunia putihnya, tangannya semakin bergerak lebih cepat agar segera sampai.

Tak menyadari sepasang mata telah memperhatikannya dari arah belakang. Mengangkat sudut bibirnya ke atas sembari menyunggingkan serangai. Tercipta perasaan bangga di hatinya melihat tingkah laku kekasihnya bak begundal kecil. Tangannya ia lipat di atas dada, tak ingin menganggu kegiatan Seishu sehingga kekasihnya rampung dengan dildo yang memanjakan senggamanya.

“Sayang ... ” ringis Kokonoi pelan.

“Koko—come fuck me, oh gosh! Touch me like that, wreck me go to pieces by your fucking huge cock. Right there, aahh ... ” Seishu meracau nyaring, tubuhnya bergelinjang hebat ketika pencapaiannya hampir sampai. Lututnya seolah tak memiliki tenaga untuk bertumpu, di balik punggungnya ada sosok Kokonoi yang terkekeh mendengar tuturan Seishu.

Rupanya tengah masturbasi sembari membayangkan dirinya.

Sshh ... ” Seishu telah sampai. Cairan ejakulasi bercucuran banyak di atas sprei yang membalut ranjang tersebut. Sontak tubuh ringkih itu ambruk di atas ranjang, terlampau abai pada benda itu yang masih terpasang untuk memenuhi lubangnya.

Seishu mengatur napasnya kembali normal, sedangkan Kononoi melangkah mendekati sang kekasih yang masih mengangkang lebar di hadapanya. Terlintas ide di pikiran Kokonoi, ia meraih dildo hitam tersebut dan menggerakannya di dalam lubang Seishu sehingga sosok elok itu terkesiap dan segera membuka mata.

“Sudah puas, hm?” tanya Kokonoi lembut seraya menggerakan benda itu keluar masuk, tak peduli dengan gambaran reaksi yang tercetak di wajah Seishu.

Ahh ... Koko!” rapal Seishu masih sangat terkejut dengan kedatangan Kokonoi.

“Jawab, sayang. Sudah puas main sama dildonya? Gak perlu aku lagi untuk muasin kamu, ‘kan?” Kokonoi tak membiarkan Seishu menarik napas barang sekalipun, dari awal ia sudah memperingatkan Seishu untuk tak menyentuh dirinya sendiri sampai ia datang. Namun, kekasihnya itu membuatnya sedikit kecewa. Ah, tetapi tak menampik kenyataan bahwa ia menikmati pertunjukan yang Seishu buat.

Seishu tak dapat berujar sebab sehabis pencapaiannya sekujur tubuhnya terasa lebih sensitif, ditambah lubangnya yang kembali dihantam oleh bendal panjang yang tadi ia gunakan untuk bermain. Seishu tak sengaja menatap pada lengan Kokonoi yang semakin kekar, ada urat-urat yang menonjol di lengannya, hal itu membuat birahi naik ke pucuk.

Shh ... no, aku m-masih kurang ... aku masih butuh Koko. Koko, please ... ? Please come to fuck me right now.” mohonnya dengan nada membujuk.

Hentakan dildo hingga ke prostatnya membuat Seishu tersedak, Kokonoi menahan benda itu ke dalam lubangnya membuat Seishu kelabakan. Rasanya dua kali lipat lebih nikmat dibanding yang Seishu lakukan, mungkin sebab Kokonoi yang melakukannya. Kokonoi tak memberinya ampunan dan sosok itu menunduk untuk memagut ranum Seishu.

“Serakah banget.” pungkas Kokonoi.

Kokonoi mencabut dildo dari senggama Seishu membiarkan kekasihnya terjerembab di atas kasur, sembari dirinya menanggalkan pakaian demi pakaian yang membaluti tubuhnya secara tergesa. Sebenarnya sejak tadi ia sudah tak tahan untuk menghancurkan Seishu, maka dari itu Kokonoi tak ingin membuang banyak waktu. Ia ingin lekas menyudahi permainan Seishu dan beranjak ke permainan inti.

Seishu menatap damba pada proposi tubuh Kokonoi, kekasihnya dibentuk dengan sempurna seolah setiap jengkal tubuhnya berefek panas pada dirinya. Ketika Kokonoi menunduk untuk mengukung Seishu di bawah kekuasaannya, Seishu langsung melingkarkan kedua tangannya di leher Kokonoi. Keduanya terjalin ciuman intens dan sedikit kasar. Tangan Kokonoi justru tak tinggal diam, ia menjamah tubuh Seishu dari bagian bawah hingga atas.

Ingin menyentuh pahatan itu secara impulsif. Tangannya berhenti di pusat tubuh Seishu, mengusap liangnya yang terlampau sangat basah. Kokonoi memaksa Seiahu untuk tetap membuka matanya dan menatap telak ke netranya. Sebab Kokonoi ingin memuja Seishu sekali lagi, bahkan untuk ribuan kali.

Mitologi menceritakan bahwa Dewi Afrodit mempunyai kecantikan tiada tara dibanding dewi yang lainnya. Namun, di semestanya Kokonoi berbeda. Tak ada yang lebih indah dari sosok Seishu, tak ada yang membuatnya luluh-lantah selain desiran cintanya kepada Seishu. Kokonoi selalu bertingkah amplifikasi kepada Seishu. Tak cukup satu paragraf untuk jabarkan bagaimana keindahan yang terlukis di entitas Seishu, tak ada kata yang pas untuk mendeskripsikan Seishu selain sempurna.

Kokonoi tak hanya memujinya tapi memuja setiap lekukan tubuhnya. Kulit porselennya yang sehalus awan, netranya yang terang bak langit siang dan tentram bak lautan. Seishu adalah karya terindah yang pernah Tuhan ciptakan. Itulah sosok Seishu yang disaksikan oleh Kokonoi.

Begitu pula Seishu, tak butuh satu semesta untuk menilainya, cukup Kokonoi.

Kokonoi bubuhkan ciuman kupu-kupu di atas kulit halus Seishu, tinggalkan beberapa bercak kemerahan sebagai tanda kepemilikan. Tangannya sibuk menyapu lubang senggama Seishu yang kian basah.

Mmhh.”

Jika sudah berada di bawah dominasi Kokonoi, Seishu beringsut mengecil. Tak berani layangkan bantahan. Ia ditatar untuk diam dan nikmati selagi Kokonoi memanjakan seluruh tubuhnya.

“Kamu sekarang makin keliatan sundalnya, siapa yang ajarin kamu begitu, Inupi?”

Plak.

Tamparan tersampir di pahanya, bibirnya bergetak tak mampu mengluarkan kata.

“Kehendak s-sendiri ... ” jawabnya.

Kokonoi terkekeh dan beranjak mundur ke belakang. Ia mencengkram kedua paha Seishu dengan kuat tatkala wajahnya berhadapan langsung dengan liang Seishu yang memoarkan aroma tubuhnya. Tiba-tiba saja benda basah menyapu liangnya.

Seishu berjengit, “ah!” Kokonoi itu selalu tahu di mana setiap titik sensitifnya. Saat ini lidahnya berperang di bawah sana dengan lincah menjilati liangnya yang basah. Seishu rasanya ingin lolongkan desahan lebih nyaring lagi.

“Koko—” ucapnya tertahan.

Benda basah itu masuk melesak ke dalam senggama Seishu dan menggerakannya keluar masuk secara sensual. Seishu tak tahan lagi membendung hasratnya, ia ingin cepat-cepat dihancurkan oleh ereksi Kokonoi. Tubuhnya bergelinjang dan jari-jari kakinya menekuk. Kokonoi seolah sungguh menikmati aktivitasnya terhadap senggama Seishu sehingga membuatnya tuli akan penuturan Seishu yang meminta untuk segera dipenuhi.

Ahh ... Koko, ayo hancurin aku ... ”

Shut the fuck up, Inupi. Sejak awal kamu yang menggoda aku.” sarkas Kokonoi di bawah sana, namun beberapa sekon kemudian ia berhenti dan menegakkan tubuhnya. Menatap kondisi Seishu yang sangat kacau; dada yang terekspos di netranya, ada banyak tanda kepemilikan yang tercipta di atas kulitnya, dan wajah kemerahan karena menahan birahinya.

Sempurna.

Kokonoi meminta Seishu untuk menungging, ia ingin bercinta dalam posisi ini. Salah satu posisi kesukaannya saat bersenggama dengan Seishu. Dan, posisi yang ia suka lainnya adalah saat Seishu berada di atas pangkuannya. Ia sungguh menyukai kekacauan Seishu dalam mengais pencapaiannya sendiri.

Fill me up with you dick, Koko. I always want you.” racau Seishu.

Kokonoi tak menjawab, lagi-lagi tangannya menampar bokong sintal Seishu yang mendapatkan lenguhan panjang dari kekasihnya. “You have got a great ass.”

Pemuda bersurai legam itu sekilas menatap pada pusat tubuh Seishu yang telah cukup basah dan ia menuntun ereksinya yang sudah menegang untuk melesak masuk ke dalam senggama Seishu. Ujung ereksi pemuda itu telah masuk menghasilkan ringisan dari Seishu. Perihal kejantanan kekasihnya; Seishu sungguh mengagumi betapa gagahnya benda tak bertulang itu ketika menumbuk telak ke prostatnya, panjang dan sangat besar untuk ditampung. Namun, hal itulah yang membuat Seishu selalu merasa terpenuhi.

Ssh.” Kokonoi mendesis.

Mereka ialah sepasang kekasih, sudah puluhan kali mereka melakukan hubungan intim tetapi senggama itu masih sangat ketat. Kokonoi menghentakkan pinggulnya sehingga seluruh ereksinya berhasil masuk ke dalam, membuat sang pemuda berparas elok itu tersedak dan napasnya sedikit tersengal. Ia ingin mengumpat.

Fuck, Koko!”

I know exactly what you want to and how to ruin you in a better way.” Lidahnya bercela, sedangkan pinggulnya bergerak sangat rancu membidik kejantanannya di dalam lubang Seishu tanpa celah.

Ahh ... ”

Kokonoi menyukai vokalisasi Seishu tatkala ia mendesahkan namanya, di rungunya desahan itu bak alunan musikal yang membawanya menuju langit ke tujuh. Maka Kokonoi selalu meminta Seishu untuk tak menahan desahan serta lenguhannya, semakin nyaring teriakannya semakin besar hasrat Kokonoi timbul. Pemandangan Kokonoi berkeliaran menelaah punggung Seishu yang masih kosong seperti sebuah kanvas. Lalu, sebagai kuas bertinta merah Kokonoi menunduk untuk mencumbu punggung Seishu dengan tanda kepemilikan.

Atmosfer di ruangan itu terasa sengap membuat si submisif tercekat, tubuhnya berulang kali menggelinjang menerima tumbukan ereksi Kokonoi. Tak ada kelembutan di sana, Kokonoi bergerak brutal dan sangat kasar. Ah, tetapi tak menampik sebuah fakta bahwa ia menyukai sisi Kokonoi yang kasar saat melakukan seks bersamanya.

Mmmh ... t-touch me deep and break it.”

I have no mercy, a fucking slut.

Seishu mengulas senyuman lebar, ia tak akan goyah dan runtuh begitu saja. Ia semakin meninggikan bokongnya, memamerkan dua bongkahan sintal itu kepada Kokonoi. Bunyi kecipak yang muncul dari benturan kedua kulit mereka bergema di penjuru ruangan, Kokonoi tak akan memberi Seishu ampun sedikit pun. Ia benar-benar ingin menghancurkan Seishu di setiap hentakannya.

“Seishu I-n-u-i,” eja Kokonoi, “pada dasarnya kamu hanya akan jadi anjing peliharaanku yang setia untuk selalu mengangkang pada majikannya.” hardik Kokonoi. Netra tajamnya menatap nyalang ke bawah di mana ereksinya keluar masuk di dalam lubang sempit Seishu.

I am, sir. A-Aku cuman anjingnya Koko ... ahh—mmhh.

Kokonoi tak bermaksud untuk merendahkan derajat sang kekasih, bisa diulang bahwa Seishu itu bentuk semesta yang absolut. Visual semesta di pandangan Kokonoi adalah Seishu. Ia rela membangun sebuah kuil megah demi memuja sang kekasih, namun berbalik pada situasi saat mereka bergumul di atas ranjang yang hangat. Bagi Kokonoi, Seishu hanyalah anjing kecil yang selalu menggonggong patuh kepada majikannya.

Bau citrus dari tubuh Seishu menyeruak mengisi rongga penciumannya. Harum seperti tumpukan bunga segar. Bercinta dengan Seishu membuat Kokonoi menanggalkan akal sehatnya, tak ada usapan sehalus kapas, hanya ada usapan seduktif yang siap menghancurkan sang lawan. Kejantanannya menumbuk titik ekstasi Seishu berulang kali seolah tak ada kepuasan di relung jiwanya. Kokonoi ingin selalu melakukannya lagi dan lagi. Sentakan ereksinya semakin kuat dan rancu. Seishu tak dapat berujar selain melafalkan desahan demi desahan.

“K-Koko ... mau sampai ... ”

“Payah.” kiasnya.

Andai Kokonoi tak menahan pinggulnya, ia yakin ia akan ambruk sebab kedua lututnya sudah sangat lemah. Ereksinya berkedut sembari mengeluarkan cairan pra-ejakulasi. Sedikit tumbukan lagi Seishu akan keluar. Ia lolongkan permohonan agar Kokonoi tetap bergerak brutal tanpa memikirkan senggamanya yang memerah. Seishu terkulai lemas, tetapi lidahnya tak kunjung kelu untuk melenguhkan nama Kokonoi.

Mmhh.”

Dinding rektum Seishu menjepit ereksi Kononoi begitu erat, pertanda jikalau pemuda itu benar-benar ingin sampai ke dunia putihnya. Kokonoi lajukan gerakannya demi mengejar putihnya agar bisa melepaskan pencapaiannya bersama Seishu. Ia ingin mengisi senggama itu dengan cairannya tanpa setetes pun berceceran keluar. Seishu harus menelan semua cairannya. Dan itu mutlak.

“Desahin namaku, sayang.”

Ahh ... Koko ... ”

“Sekarang kamu boleh keluar.”

Kokonoi menyesap pundak Seishu memberikan servisan lembut pada sang kekasih agar putihnya segera sampai dan tak lama kemudian, Seishu mengeluarkan cairan ejakulasi dengan begitu banyak mengotori sprei yang ada di bawahnya.

Aah ... ” Seishu melenguh.

Kokonoi masih mengejar putihnya, menegakkan badannya agar gerakannya bisa sedikit lebih rancu. Seishu berulang kali tersedak ludahnya sendiri, takjub dengan kekuatan Kokonoi saat bercinta. Seolah-olah tenaganya untuk melakukan hubungan seks berada di tingkat dewa. Tangan Kokonoi merambat ke dada Seishu dan meremas dadanya yang cukup berisi. Seishu kembali desahkan nama pemuda itu.

Beberapa hentakan berikutnya Kokonoi berhasil mengeluarkan cairan ejakulasinya di dalam senggama Seishu yang terasa sangat penuh untuk menampung cairan.

Mmh.” Kokonoi menggeram nikmat tepat di samping telinganya. Ia mencengkram kuat dada Seishu sembari menikmati euforia yang berterbangan setelah pencapaiannya keluar. “Sayang ... ”

Seishu tak langsung menjawab, ia masih mengatur napasnya yang tersengal. Kokonoi mengangkat tubuh ringkih itu untuk duduk di atas pangkuannya. Kokonoi mengulum puting Seishu dan mengisapnya seolah-olah putingnya akan mengeluarkan cairan. Seishu meringis, tangannya terangkat untuk mengusap surai Kokonoi.

“Minum susu yang banyak, sayang, biar punya kamu makin gede.” ucap Seishu sambil terkekeh.

“Baik, Mommy.

Tak ada sesi atau ronde selanjutnya setelah mereka selesai bercinta. Kokonoi bergegas melalukan aftercare kepada Seishu, kembali memuja sang kekasih dan segala kesempurnaannya. Memandikan Seishu dengan telaten dan memasangkan pakaian kepada tubuhnya. Seishu diminta untuk tak melakukan apa-apa kala Kokonoi sibuk membersihkan tempat tidur mereka. Kokonoi tahu jikalau Seiahu sudah lumayan letih akibat pergumulan mereka.

Maka pada waktu ini biarkan dirinya layani Seishu bak pangeran kerajaan.

“Koko,”

Hm?” Kokonoi berdehem.

I really love you today, even tomorrow, and forever! Thank you.”

Melihat presensi Seishu yang tengah tersenyum sangat atraktif, jantungnya berdebar lebih cepat daripada kinerja biasanya. Netranya terpaku memperhatikan sang kekasih dengan lekat. Dari sisi manapun, Seishu itu akan tetap terlihat indah. Kokonoi merasa sangat beruntung karena sudah memiliki Seishu untuk dirinya sendiri. Ia terenyuh dan membalas senyumannya.

I love you more, Inupi. I always do.

Dalam setiap narasi berceritakan tentang hubungan keduanya, Kokonoi selalu menjabarkan perihal keindahan Seishu dalam bentuk diksi di dalam balutan puisi. Lantaran Seishu itu bak maha karya yang dicintai banyak pasang mata, namun karya itu hanya terhubung kepada pembuatnya.

Setiap seniman selalu menuangkan banyak cinta di atas karyanya, juga seniman dan karyanya selalu menjalin hubungan esensial. Kokonoi lakukan ikatan meraki dan Seishu memahami bahwa itu ialah hakiki.

end.