Iakunan

Explicit sexual content, boys love, dom/sub, Kokonoi!top, Seishu!bot, dirty talk, degradation, humiliation kink, overstimulation, multiple orgasms, fingering, rimming, masturbation, spanking, sex toys, squirting, nipple play.

Terbalut kemeja berwarna putih tulang yang ukurannya cukup besar sehingga menyelimuti tubuh ringkihnya. Tanpa sehelain kain pun yang merahap tubuh bagian bawahnya, ia biarkan begitu saja. Terpampang eksplisit bagaimana paha sintalnya terlunjur di atas ranjang yang hanya ditempati olehnya seorang diri. Maka dari itu, pemuda jelita itu merasa bosan. Tak ada hal yang menarik ia lakukan selagi sang kekasih tak menunjukkan batang hidungnya di kediaman mereka.

Sudah banyak serial drama yang ia tonton untuk menghapus rasa bosan tersebut, tapi tak kunjung hilang juga. Pemuda itu butuh seseorang untuk ia ajak berkomunikasi dan melakukan hal-hal bersama. Saat ini ia tengah merindukan sosok pujaan hatinya, sebabnya pemuda itu mengenakan kemeja yang kerap dipakai oleh sang kekasih. Menghirup aroma maskulin yang memoar dari kemeja tersebut. Semakin ia hirup, semakin besar kerindukan kepada sang kekasih yang kini menjadi budak korporat di perusahaannya. Menjadi atasan yang kompeten membuat pemuda bernama Kokonoi Hajime itu berdasar radikal.

Tiada hari tanpa bekerja, baginya harta dan takhta adalahnya segalanya untuk bertahan hidup di masa sekarang. Namun, ada satu hal yang membuat Kokonoi terjerembab tunduk. Tak lain dan tak bukan ialah kekasihnya, Seishu. Kokonoi ingin mengepal semesta di dalam genggamannya, tapi di balik itu ada sosok Seishu yang selalu menguasainya.

Fuck a boredom!” umpat Seishu lantang. Aroma maskulin dari kemeja Kokonoi membuat suhu tubuhnya seketika naik ke ubun-ubun. Tiba-tiba bayangan di mana Kokonoi menjamahnya dengan panas di atas ranjang yang saat ini sedang ia tempati. Memikirkan hal itu membuat Seishu tergiur untuk melakukannya lagi.

Sebenarnya Kokonoi telah menaklukkan semesta dari jauh hari yang lalu, sebab semestanya Kokonoi adalah Seishu.

“Gue dapet ide bagus nih.” Seishu tersenyum culas di ranum kemerahannya, segera menyambar ponselnya dan melakukan pose erotis di atas ranjang sembari menghadap sebuah kaca yang menunjukkan refleksi dirinya. Seishu nyalakan kamera ponselnya dan memotret dirinya yang tengah membuka lebar kedua pahanya yang tak dilapisi apapun.

Setelah merasa cukup memotret tubuhnya, Seishu mengirimkan gambar-gambar tersebut kepada Kokonoi dan mendapatkan balasan dari sang tambatan. Kokonoi memintanya untuk tak melakukan lebih sampai dirinya pulang ke rumah. Seishu tak acuh dengan balasan Kokonoi terhadap dirinya, sekarang ia sudah terbakar hasrat birahi. Pahanya semakin ia lebarkan sembari bertumpu dengan sikunya. Menyapu bagian perutnya hingga ke paha dan terakhir ereksinya yang sudah mengacung. Seishu itu payah dalam mengontrol birahi, ia mudah terpancing.

Seishu memejamkan matanya erat seraya membuat imaji di mana saat ini Kokonoi lah yang sedang menjamah tubuhnya. Tangannya bergerak menggoda ereksinya yang basah dan ke bawah menuju senggamanya yang berkedut-kedut. Di bayangannya, Kokonoi sedang mengusap liang senggamanya dengan jari-jarinya yang panjang. Seishu membuka mulutnya dan membiarkan lidahnya terjulur keluar.

Ahh—Koko!” Vokalnya mulai gemetar tatkala jari tengahnya melesak masuk ke dalam lubangnya yang sempit, membuat gerakan keluar masuk dengan lamban. Bayangan Kokonoi semakin jelas ketika Seishu menutup rapat matanya, salah satu tangannya bergerak ke atas untuk memanjakan puting dadanya seolah-olah Kokonoi yang sedang memilin putingnya.

Ruangan yang awalnya senyap kini berubah menjadi saksi perbuatan Seishu tanpa kehadiran Kokonoi di dalamnya. Seishu sangat binal, dadanya membusung tinggi saat jari tengahnya tak sengaja menyentuk titik ekstasinya. Seishu menambahkan satu digit jari telunjuknya untuk memenuhi pusat tubuhnya, namun Seishu masih merasa luang. Bahkan dua jarinya tak mampu membuat Seishu terpenuhi.

Fuck! The only thing that I need is Koko’s dick. When will he fucking come?!” teriak Seishu frustasi sebab jarinya tak sepiawai jari-jari Kokonoi saat melakukan fingering kepada senggamanya.

Seishu menarik kedua jarinya yang basah akan cairannya keluar dari lubangnya. Seishu juga melonggarkan kemeja yang ia kenakan sehingga mempertontonkan bahunya yang halus. Ia mengambil mainannya di dalam laci dan kembali mengangkang menghadap cermin. Benda berukuran panjang berwarna hitam itu ia jejalkan ke dalam senggamanya yang rapat, Seishu sempat meringis kala benda itu menyapa liang hangatnya. Ia tak butuh cairan penetrasi, sebab lubangnya sudah cukup basah sekarang.

Tangannya menggerakan benda itu keluar masuk di dalam senggamanya, sembari mengisi pikirannya dengan eksistensi Kokonoi. Seishu memandangi refleksinya di cermin, bagaimana lahapnya lubangnya menerima benda panjang itu. Wajahnya yang merah padam dengan keringat yang bercucuran di pelipisnya.

Ahh ... ” lenguhnya pelan.

Seishu itu sungguh indah, walau posisinya di atas ranjang bak seorang sundal haus akan hubungan intim yang tengah mengais hasrat sensualitas, refleksinya di cermin terlihat seperti sebuah lukisan artistik. Kaki yang mengangkang lebar, netra yang sayu, serta lidah yang terjulur. Dilihat dari sisi manapun, Seishu tetap masih sama indahnya. Oleh karena itu, Kokonoi sangat memuja presensinya.

Jarinya ia gunakan untuk memilin kedua putingnya yang menegang dan tangannya dipergunakan menggerakan benda panjang tersebut tak beraturan, yang ada di dalam pikiran Seishu hanya kepuasan. Ia ingin lebih dan lebih, bagaimanapun caranya. Ereksinya mengacung lebih tinggi dan perlahan mencuatkan cairan pra-ejakulasi. Sebentar lagi Seishu akan mengarungi dunia putihnya, tangannya semakin bergerak lebih cepat agar segera sampai.

Tak menyadari sepasang mata telah memperhatikannya dari arah belakang. Mengangkat sudut bibirnya ke atas sembari menyunggingkan serangai. Tercipta perasaan bangga di hatinya melihat tingkah laku kekasihnya bak begundal kecil. Tangannya ia lipat di atas dada, tak ingin menganggu kegiatan Seishu sehingga kekasihnya rampung dengan dildo yang memanjakan senggamanya.

“Sayang ... ” ringis Kokonoi pelan.

“Koko—come fuck me, oh gosh! Touch me like that, wreck me go to pieces by your fucking huge cock. Right there, aahh ... ” Seishu meracau nyaring, tubuhnya bergelinjang hebat ketika pencapaiannya hampir sampai. Lututnya seolah tak memiliki tenaga untuk bertumpu, di balik punggungnya ada sosok Kokonoi yang terkekeh mendengar tuturan Seishu.

Rupanya tengah masturbasi sembari membayangkan dirinya.

Sshh ... ” Seishu telah sampai. Cairan ejakulasi bercucuran banyak di atas sprei yang membalut ranjang tersebut. Sontak tubuh ringkih itu ambruk di atas ranjang, terlampau abai pada benda itu yang masih terpasang untuk memenuhi lubangnya.

Seishu mengatur napasnya kembali normal, sedangkan Kononoi melangkah mendekati sang kekasih yang masih mengangkang lebar di hadapanya. Terlintas ide di pikiran Kokonoi, ia meraih dildo hitam tersebut dan menggerakannya di dalam lubang Seishu sehingga sosok elok itu terkesiap dan segera membuka mata.

“Sudah puas, hm?” tanya Kokonoi lembut seraya menggerakan benda itu keluar masuk, tak peduli dengan gambaran reaksi yang tercetak di wajah Seishu.

Ahh ... Koko!” rapal Seishu masih sangat terkejut dengan kedatangan Kokonoi.

“Jawab, sayang. Sudah puas main sama dildonya? Gak perlu aku lagi untuk muasin kamu, ‘kan?” Kokonoi tak membiarkan Seishu menarik napas barang sekalipun, dari awal ia sudah memperingatkan Seishu untuk tak menyentuh dirinya sendiri sampai ia datang. Namun, kekasihnya itu membuatnya sedikit kecewa. Ah, tetapi tak menampik kenyataan bahwa ia menikmati pertunjukan yang Seishu buat.

Seishu tak dapat berujar sebab sehabis pencapaiannya sekujur tubuhnya terasa lebih sensitif, ditambah lubangnya yang kembali dihantam oleh bendal panjang yang tadi ia gunakan untuk bermain. Seishu tak sengaja menatap pada lengan Kokonoi yang semakin kekar, ada urat-urat yang menonjol di lengannya, hal itu membuat birahi naik ke pucuk.

Shh ... no, aku m-masih kurang ... aku masih butuh Koko. Koko, please ... ? Please come to fuck me right now.” mohonnya dengan nada membujuk.

Hentakan dildo hingga ke prostatnya membuat Seishu tersedak, Kokonoi menahan benda itu ke dalam lubangnya membuat Seishu kelabakan. Rasanya dua kali lipat lebih nikmat dibanding yang Seishu lakukan, mungkin sebab Kokonoi yang melakukannya. Kokonoi tak memberinya ampunan dan sosok itu menunduk untuk memagut ranum Seishu.

“Serakah banget.” pungkas Kokonoi.

Kokonoi mencabut dildo dari senggama Seishu membiarkan kekasihnya terjerembab di atas kasur, sembari dirinya menanggalkan pakaian demi pakaian yang membaluti tubuhnya secara tergesa. Sebenarnya sejak tadi ia sudah tak tahan untuk menghancurkan Seishu, maka dari itu Kokonoi tak ingin membuang banyak waktu. Ia ingin lekas menyudahi permainan Seishu dan beranjak ke permainan inti.

Seishu menatap damba pada proposi tubuh Kokonoi, kekasihnya dibentuk dengan sempurna seolah setiap jengkal tubuhnya berefek panas pada dirinya. Ketika Kokonoi menunduk untuk mengukung Seishu di bawah kekuasaannya, Seishu langsung melingkarkan kedua tangannya di leher Kokonoi. Keduanya terjalin ciuman intens dan sedikit kasar. Tangan Kokonoi justru tak tinggal diam, ia menjamah tubuh Seishu dari bagian bawah hingga atas.

Ingin menyentuh pahatan itu secara impulsif. Tangannya berhenti di pusat tubuh Seishu, mengusap liangnya yang terlampau sangat basah. Kokonoi memaksa Seiahu untuk tetap membuka matanya dan menatap telak ke netranya. Sebab Kokonoi ingin memuja Seishu sekali lagi, bahkan untuk ribuan kali.

Mitologi menceritakan bahwa Dewi Afrodit mempunyai kecantikan tiada tara dibanding dewi yang lainnya. Namun, di semestanya Kokonoi berbeda. Tak ada yang lebih indah dari sosok Seishu, tak ada yang membuatnya luluh-lantah selain desiran cintanya kepada Seishu. Kokonoi selalu bertingkah amplifikasi kepada Seishu. Tak cukup satu paragraf untuk jabarkan bagaimana keindahan yang terlukis di entitas Seishu, tak ada kata yang pas untuk mendeskripsikan Seishu selain sempurna.

Kokonoi tak hanya memujinya tapi memuja setiap lekukan tubuhnya. Kulit porselennya yang sehalus awan, netranya yang terang bak langit siang dan tentram bak lautan. Seishu adalah karya terindah yang pernah Tuhan ciptakan. Itulah sosok Seishu yang disaksikan oleh Kokonoi.

Begitu pula Seishu, tak butuh satu semesta untuk menilainya, cukup Kokonoi.

Kokonoi bubuhkan ciuman kupu-kupu di atas kulit halus Seishu, tinggalkan beberapa bercak kemerahan sebagai tanda kepemilikan. Tangannya sibuk menyapu lubang senggama Seishu yang kian basah.

Mmhh.”

Jika sudah berada di bawah dominasi Kokonoi, Seishu beringsut mengecil. Tak berani layangkan bantahan. Ia ditatar untuk diam dan nikmati selagi Kokonoi memanjakan seluruh tubuhnya.

“Kamu sekarang makin keliatan sundalnya, siapa yang ajarin kamu begitu, Inupi?”

Plak.

Tamparan tersampir di pahanya, bibirnya bergetak tak mampu mengluarkan kata.

“Kehendak s-sendiri ... ” jawabnya.

Kokonoi terkekeh dan beranjak mundur ke belakang. Ia mencengkram kedua paha Seishu dengan kuat tatkala wajahnya berhadapan langsung dengan liang Seishu yang memoarkan aroma tubuhnya. Tiba-tiba saja benda basah menyapu liangnya.

Seishu berjengit, “ah!” Kokonoi itu selalu tahu di mana setiap titik sensitifnya. Saat ini lidahnya berperang di bawah sana dengan lincah menjilati liangnya yang basah. Seishu rasanya ingin lolongkan desahan lebih nyaring lagi.

“Koko—” ucapnya tertahan.

Benda basah itu masuk melesak ke dalam senggama Seishu dan menggerakannya keluar masuk secara sensual. Seishu tak tahan lagi membendung hasratnya, ia ingin cepat-cepat dihancurkan oleh ereksi Kokonoi. Tubuhnya bergelinjang dan jari-jari kakinya menekuk. Kokonoi seolah sungguh menikmati aktivitasnya terhadap senggama Seishu sehingga membuatnya tuli akan penuturan Seishu yang meminta untuk segera dipenuhi.

Ahh ... Koko, ayo hancurin aku ... ”

Shut the fuck up, Inupi. Sejak awal kamu yang menggoda aku.” sarkas Kokonoi di bawah sana, namun beberapa sekon kemudian ia berhenti dan menegakkan tubuhnya. Menatap kondisi Seishu yang sangat kacau; dada yang terekspos di netranya, ada banyak tanda kepemilikan yang tercipta di atas kulitnya, dan wajah kemerahan karena menahan birahinya.

Sempurna.

Kokonoi meminta Seishu untuk menungging, ia ingin bercinta dalam posisi ini. Salah satu posisi kesukaannya saat bersenggama dengan Seishu. Dan, posisi yang ia suka lainnya adalah saat Seishu berada di atas pangkuannya. Ia sungguh menyukai kekacauan Seishu dalam mengais pencapaiannya sendiri.

Fill me up with you dick, Koko. I always want you.” racau Seishu.

Kokonoi tak menjawab, lagi-lagi tangannya menampar bokong sintal Seishu yang mendapatkan lenguhan panjang dari kekasihnya. “You have got a great ass.”

Pemuda bersurai legam itu sekilas menatap pada pusat tubuh Seishu yang telah cukup basah dan ia menuntun ereksinya yang sudah menegang untuk melesak masuk ke dalam senggama Seishu. Ujung ereksi pemuda itu telah masuk menghasilkan ringisan dari Seishu. Perihal kejantanan kekasihnya; Seishu sungguh mengagumi betapa gagahnya benda tak bertulang itu ketika menumbuk telak ke prostatnya, panjang dan sangat besar untuk ditampung. Namun, hal itulah yang membuat Seishu selalu merasa terpenuhi.

Ssh.” Kokonoi mendesis.

Mereka ialah sepasang kekasih, sudah puluhan kali mereka melakukan hubungan intim tetapi senggama itu masih sangat ketat. Kokonoi menghentakkan pinggulnya sehingga seluruh ereksinya berhasil masuk ke dalam, membuat sang pemuda berparas elok itu tersedak dan napasnya sedikit tersengal. Ia ingin mengumpat.

Fuck, Koko!”

I know exactly what you want to and how to ruin you in a better way.” Lidahnya bercela, sedangkan pinggulnya bergerak sangat rancu membidik kejantanannya di dalam lubang Seishu tanpa celah.

Ahh ... ”

Kokonoi menyukai vokalisasi Seishu tatkala ia mendesahkan namanya, di rungunya desahan itu bak alunan musikal yang membawanya menuju langit ke tujuh. Maka Kokonoi selalu meminta Seishu untuk tak menahan desahan serta lenguhannya, semakin nyaring teriakannya semakin besar hasrat Kokonoi timbul. Pemandangan Kokonoi berkeliaran menelaah punggung Seishu yang masih kosong seperti sebuah kanvas. Lalu, sebagai kuas bertinta merah Kokonoi menunduk untuk mencumbu punggung Seishu dengan tanda kepemilikan.

Atmosfer di ruangan itu terasa sengap membuat si submisif tercekat, tubuhnya berulang kali menggelinjang menerima tumbukan ereksi Kokonoi. Tak ada kelembutan di sana, Kokonoi bergerak brutal dan sangat kasar. Ah, tetapi tak menampik sebuah fakta bahwa ia menyukai sisi Kokonoi yang kasar saat melakukan seks bersamanya.

Mmmh ... t-touch me deep and break it.”

I have no mercy, a fucking slut.

Seishu mengulas senyuman lebar, ia tak akan goyah dan runtuh begitu saja. Ia semakin meninggikan bokongnya, memamerkan dua bongkahan sintal itu kepada Kokonoi. Bunyi kecipak yang muncul dari benturan kedua kulit mereka bergema di penjuru ruangan, Kokonoi tak akan memberi Seishu ampun sedikit pun. Ia benar-benar ingin menghancurkan Seishu di setiap hentakannya.

“Seishu I-n-u-i,” eja Kokonoi, “pada dasarnya kamu hanya akan jadi anjing peliharaanku yang setia untuk selalu mengangkang pada majikannya.” hardik Kokonoi. Netra tajamnya menatap nyalang ke bawah di mana ereksinya keluar masuk di dalam lubang sempit Seishu.

I am, sir. A-Aku cuman anjingnya Koko ... ahh—mmhh.

Kokonoi tak bermaksud untuk merendahkan derajat sang kekasih, bisa diulang bahwa Seishu itu bentuk semesta yang absolut. Visual semesta di pandangan Kokonoi adalah Seishu. Ia rela membangun sebuah kuil megah demi memuja sang kekasih, namun berbalik pada situasi saat mereka bergumul di atas ranjang yang hangat. Bagi Kokonoi, Seishu hanyalah anjing kecil yang selalu menggonggong patuh kepada majikannya.

Bau citrus dari tubuh Seishu menyeruak mengisi rongga penciumannya. Harum seperti tumpukan bunga segar. Bercinta dengan Seishu membuat Kokonoi menanggalkan akal sehatnya, tak ada usapan sehalus kapas, hanya ada usapan seduktif yang siap menghancurkan sang lawan. Kejantanannya menumbuk titik ekstasi Seishu berulang kali seolah tak ada kepuasan di relung jiwanya. Kokonoi ingin selalu melakukannya lagi dan lagi. Sentakan ereksinya semakin kuat dan rancu. Seishu tak dapat berujar selain melafalkan desahan demi desahan.

“K-Koko ... mau sampai ... ”

“Payah.” kiasnya.

Andai Kokonoi tak menahan pinggulnya, ia yakin ia akan ambruk sebab kedua lututnya sudah sangat lemah. Ereksinya berkedut sembari mengeluarkan cairan pra-ejakulasi. Sedikit tumbukan lagi Seishu akan keluar. Ia lolongkan permohonan agar Kokonoi tetap bergerak brutal tanpa memikirkan senggamanya yang memerah. Seishu terkulai lemas, tetapi lidahnya tak kunjung kelu untuk melenguhkan nama Kokonoi.

Mmhh.”

Dinding rektum Seishu menjepit ereksi Kononoi begitu erat, pertanda jikalau pemuda itu benar-benar ingin sampai ke dunia putihnya. Kokonoi lajukan gerakannya demi mengejar putihnya agar bisa melepaskan pencapaiannya bersama Seishu. Ia ingin mengisi senggama itu dengan cairannya tanpa setetes pun berceceran keluar. Seishu harus menelan semua cairannya. Dan itu mutlak.

“Desahin namaku, sayang.”

Ahh ... Koko ... ”

“Sekarang kamu boleh keluar.”

Kokonoi menyesap pundak Seishu memberikan servisan lembut pada sang kekasih agar putihnya segera sampai dan tak lama kemudian, Seishu mengeluarkan cairan ejakulasi dengan begitu banyak mengotori sprei yang ada di bawahnya.

Aah ... ” Seishu melenguh.

Kokonoi masih mengejar putihnya, menegakkan badannya agar gerakannya bisa sedikit lebih rancu. Seishu berulang kali tersedak ludahnya sendiri, takjub dengan kekuatan Kokonoi saat bercinta. Seolah-olah tenaganya untuk melakukan hubungan seks berada di tingkat dewa. Tangan Kokonoi merambat ke dada Seishu dan meremas dadanya yang cukup berisi. Seishu kembali desahkan nama pemuda itu.

Beberapa hentakan berikutnya Kokonoi berhasil mengeluarkan cairan ejakulasinya di dalam senggama Seishu yang terasa sangat penuh untuk menampung cairan.

Mmh.” Kokonoi menggeram nikmat tepat di samping telinganya. Ia mencengkram kuat dada Seishu sembari menikmati euforia yang berterbangan setelah pencapaiannya keluar. “Sayang ... ”

Seishu tak langsung menjawab, ia masih mengatur napasnya yang tersengal. Kokonoi mengangkat tubuh ringkih itu untuk duduk di atas pangkuannya. Kokonoi mengulum puting Seishu dan mengisapnya seolah-olah putingnya akan mengeluarkan cairan. Seishu meringis, tangannya terangkat untuk mengusap surai Kokonoi.

“Minum susu yang banyak, sayang, biar punya kamu makin gede.” ucap Seishu sambil terkekeh.

“Baik, Mommy.

Tak ada sesi atau ronde selanjutnya setelah mereka selesai bercinta. Kokonoi bergegas melalukan aftercare kepada Seishu, kembali memuja sang kekasih dan segala kesempurnaannya. Memandikan Seishu dengan telaten dan memasangkan pakaian kepada tubuhnya. Seishu diminta untuk tak melakukan apa-apa kala Kokonoi sibuk membersihkan tempat tidur mereka. Kokonoi tahu jikalau Seiahu sudah lumayan letih akibat pergumulan mereka.

Maka pada waktu ini biarkan dirinya layani Seishu bak pangeran kerajaan.

“Koko,”

Hm?” Kokonoi berdehem.

I really love you today, even tomorrow, and forever! Thank you.”

Melihat presensi Seishu yang tengah tersenyum sangat atraktif, jantungnya berdebar lebih cepat daripada kinerja biasanya. Netranya terpaku memperhatikan sang kekasih dengan lekat. Dari sisi manapun, Seishu itu akan tetap terlihat indah. Kokonoi merasa sangat beruntung karena sudah memiliki Seishu untuk dirinya sendiri. Ia terenyuh dan membalas senyumannya.

I love you more, Inupi. I always do.

Dalam setiap narasi berceritakan tentang hubungan keduanya, Kokonoi selalu menjabarkan perihal keindahan Seishu dalam bentuk diksi di dalam balutan puisi. Lantaran Seishu itu bak maha karya yang dicintai banyak pasang mata, namun karya itu hanya terhubung kepada pembuatnya.

Setiap seniman selalu menuangkan banyak cinta di atas karyanya, juga seniman dan karyanya selalu menjalin hubungan esensial. Kokonoi lakukan ikatan meraki dan Seishu memahami bahwa itu ialah hakiki.

end.

Sebagai salah satu murid baru di sekolah ternama di kotanya, ada banyak hal yang harus dirinya tekuni sebagai murid baru demi memenuhi syarat pelaksanaan MOS berlangsung, seperti memakai potongan kardus yang dilapisi kertas karton sebagai identitas diri lalu dipasangkan di lehernya, dan berbagai macam hal lainnya.

Mitsuya Takashi, namanya. Diterima di sekolah menengah atas tersebut karena nilainya yang sangat memungkinkan untuk masuk menjadi siswa sekolah barunya. Sebab sudah sejak lama ia mengidam-idamkan sekolah ini dan akhirnya ia bisa menjadi salah satu murid di SMA Tokrev. Ada banyak usaha yang terlibat, tak terlintas doa, niat, kerja keras, dan keringat. Bak kata pepatah yang mengatakan, usaha tak akan mengkhianati hasil. Inilah yang Mitsuya dapatkan dari buah usahanya.

Lamun, Mitsuya tak beruntung hari ini sebab tanpa dirinya sadari ia melupakan topi sekolahnya padahal sudah jelas di hari pertama akan ada upacara pagi dan upacara sambutan untuk siswa baru. Ia baru teringat jikalau topi itu dimainkan oleh kedua adiknya beberapa hari yang lalu. Pastinya akan ada ganjaran bila seseorang tak memakai topi ketika upacara berlangsung, dengan berat hati Mitsuya harus menampung hukuman itu.

Merupakan awal yang buruk, ujarnya.

Ditambah eksistensi Mikey, sahabatnya, tak berada di dekatnya saat ini membuat suasana hati Mitsuya melebur. Ia merasa kesepian di tengah-tengah kerumunan, pun jiwanya tak punya pretensi yang mendorongnya untuk mengajak seseorang berbicara terlebih dahulu, membangun komunikasi sesama murid baru. Mitsuya tipikal orang yang tak bisa memulai pembicaraan, kecuali seseorang yang mengajaknya berbicara. Tak sepenuhnya introvert, cenderung orang lain yang memulai komunikasi padanya.

“Mikey di mana sih?” racaunya pelan. Ia merogoh sakunya untuk mengambil benda persegi panjang itu dan mengirimkan beberapa pesan kepada Mikey.

Mitsuya tak menyadari ada presensi siluet seseorang yang menghalangi sinar matahari yang awalnya mengenainya kini terhalang oleh tubuh jakung seseorang. Mitsuya alih tak menghiraukan, ia pikir sosok yang di sampingnya ada murid baru seperti dirinya yang berbaris di sebelahnya. Akan tetapi, seseorang tersebut memasangkan topi miliknya di atas kepala Mitsuya yang tak mengenakan topi.

Spontan Mitsuya terkesiap dan menyapu pandangan pada sosok tersebut.

“Lo gak bawa topi, ‘kan? Nih pakai punya gue aja, kalo lo gak pakai topi pas upacara bisa dihukum sama anak-anak OSIS. Mereka kalo ngehukum anak baru bisa bakal sadis banget loh.” kata seseorang tersebut dengan garis senyuman di wajah tampannya. Sosok jangkung dengan proporsi tubuh yang yang tinggi menjulang, rahang tegas namun tatapan yang sayu, juga rambut yang ditata rapi.

Mitsuya tak bergeming, netranya hanya menyorot pada sosok itu, bahkan tak sepatah pun keluar dari mulutnya. Masih tak menyangka dengan tindakan orang itu.

“Dah, semangat upacaranya.” Setelah berujar demikian, sosok itu bergegas pergi dan punggungnya mulai menghilang dari kerumunan. Mitsuya masih menganga di tempatnya, lalu memegang topi yang ada di kepalanya.

“Taka bego! Bukannya bilang terima kasih atau nanya sesuatu malah diam aja.” rutuk Mitsuya pads dirinya sendiri.

Mitsuya lepaskan topi milik seseorang tadi dan menatapnya lekat, ia tak tahu harus mengembalikan topi itu kepada siapa bahwasanya ia tak sempat bertanya identitas sang empu dari topi tersebut. Namun, Mitsuya sungguh berterima kasih kepadanya karena sudah meminjamkan topi miliknya kepada Mitsuya. Setidaknya Mitsuya terselamatkan kali ini.

“Cuya!” Mikey menepuk pundaknya tiba-tiba membuat Mitsuya berjengit.

“Mai ... ”

“Itu topi yang dipinjemin kakak kelas tadi?” tanya Mikey yang mengarahkan pandangan kepada sebuah topi yang Mitsuya pegang.

Mitsuya mengangguk, “iya.” Lalu, mengangkat topi iti untuk di pasangkan di kepalanya. Ah, Mitsuya tak harus kepanasan karena adanya topi sekolah.

“Suya, ini temen baru yang aku maksud, aku ketemu dia pas lagi jajan di kantin. Nama dia Inupi, ayo kalian kenalan.” suruh Mikey sembari menyenggol pundak Mitsuya untuk berkenalan dengan siswa yang dibawa oleh Mikey.

Tak menampik ucapan Mikey, pemuda bersurai terang nan panjang itu mempunyai visual yang luar biasa. Senyumannya secerah cakrawala, pipinya yang merona jingga, setiap helai rambutnya bak dibaluri permata. Mitsuya yakin, Tuhan saat menciptakan orang itu tengah bahagia-bahagianya atau ia sengaja dijatuhkan ke bumi karena parasnya terlalu indah disandingkan dengan para bidadari. Mitsuya seperti menulis puisi hiperbola, tapi itulah gambaran sosok itu di matanya.

Mitsuya mendorong tangannya ke depan dengan maksud mengajak siswa itu berkenalan dengannya.

“Hai, namaku Mitsuya Takashi. Kamu bisa panggil aku apa aja sesukamu, sebenernya aku sama Mikey dulunya temen satu sekolah dan sekarang satu sekolah lagi. Nice to meet you, semoga kita bisa jadi temen yang baik.” ujar Mitsuya lembut.

“Halo, Mitsuya! Aku Inui Seishu, panggil aja Inupi, ya? Nice to meet you too.” Sosok dengan nama Inupi itu menjabat tangan Mitsuya langsung dengan semangat.

Ia baru saja mendapatkan dua teman di sekolah barunya, sementara tadi berjalan seorang diri karena tak mempunyai satupun teman yang berasal dari sekolah lamanya seperti Mitsuya dan Mikey.

“Suya, aku ngajakin dia temenan karena dia cantik pasti nanti dia bakal jadi murid yang famous.” Mikey tiba-tiba berbisik.

“Mikey jangan begitu ... ” tegurnya, sedangkan sosok itu hanya terkekeh.

Upacara segera berlangsung dan para siswa berbondong-bondong menuju lapangan sesuai kelas masing-masing, sedangkan murid baru digiring oleh salah satu anggota OSIS untuk berbaris di secara acak karena belum adanya pembagian kelompok. Seperti upacara sambutan pada umumnya, banyak para guru menyampaikan pidato yang cukup panjang membuat para siswa mendesah lelah.

Akhirnya upacara berakhir dalam kurun waktu 45 menit. Mitsuya, Mikey, dan Seishu duduk di sebuah kursi dekat pohon sembari mengibaskan topi mereka ke wajah. Berdiri selama 45 menit di bawah terik matahari membuat mereka kepanasan dan dicucuri banyak keringat.

Di tengah-tengah itu, Mitsuya hanya memikirkan bagaimana cara mengembalikan topi yang ia gunakan saat upacara tadi. Ia tak tahu siapa pemilik topi tersebut dan saat dirinya mengedarkan pandangan ke barisan siswa yang tak memakai perlengkapan sekolah, tak ada eksistensi dari orang itu. Seolah-olah sosok itu memang tak mengikuti kegiatan upacara. Mitsuya harus mencari seseorang tersebut untuk mengembalikan topinya dan mengatakan kalimat terima kasih.

Karena adanya sosok itu membantu Mitsuya mendapatkan koin keberuntungannya pada hari ini.

[]

Seishu harus menelan ludahnya tatkala berada dalam kecanggungan yang mendominasi di dalam sebuah mobil yang ia masuki. Di sana terdapat Seishu, Sanzu, dan Rindou. Ia tak akan menyangka bahwa Sanzu kerap membawa Rindou bersama mereka pada agenda jalan-jalan yang direncanakan oleh Sanzu sebelumnya. Mendapati ketidaknyamanan yang terpatri di rupa Seishu, Sanzu menggaruk tengkuknya yang tak gatal karena merasa tak enak hati kepada teman barunya tersebut. Seishu pasti merasa canggung perihal beberapa kejadian, ditambah spekulasinya terhadap Rindou yang juga tak suka kepadanya gara-gara pernah mengecewakan Kokonoi.

“Seishu, maaf ya ... gue gak dibolehin sama Rin kalo jalan sendirian.” ucapnya pelan.

Seishu menggeleng sebagai jawaban awal, “gak apa-apa kok.”

Pemuda bersurai keunguan itu menangkap gelagat Seishu yang duduk di jok belakang. Rindou menghela napasnya pelan, menatap kaca spion yang menyorot ke arah belakang di mana Seishu berada.

“Santai aja, Sei, gue gak seperti apa yang lo pikirin kok.” ungkap Rindou tiba-tiba.

“E-Eh, iya, Rindou.”

“Okay! Sekarang kita pergi! Nanti keburu telat sampai di sananya.” ajak Sanzu yang teramat antusias, Rindou tersenyum melihat kekasihnya yang terlihat bahagia. Tanpa ia sadari tangannya terangkat untuk mengelus pipi Sanzu dengan lembut.

Tentu, pemandangan itu disaksikan langsung oleh Seishu, ia hampir berteriak histeris melihat adegan romansa yang tayang secara nyata tepat di hadapannya. Seishu merasa kehadiran dirinya di antara Sanzu dan Rindou seperti orang ketiga yang menganggu kegiatan dua pemuda itu. Sedangkan Sanzu terbelalak kaget, semenjak mereka menjalin hubungan bersama Rindou kerap sekali pemuda itu melakukan sesuatu yang romantis, bahkan sekarang lebih sering memperlakukannya bak pangeran kerajaan yang harus diayomi begitu baik. Sentuhan-sentuhan Rindou berubah menjadi lebih lembut dan penuh akan cinta, tak seperti sebelumnya.

“Ekhm.” Seishu berdehem seraya membuyarkan adegan itu.

“Seishu! Maaf, maaf. Rin, ih! Nanti aja bucinnya ‘kan lagi ada Seishu.” tegur Sanzu dengan pipi yang bersemu kemerahan.

“Maaf ya, Sei, kebiasaan soalnya.” timpal Rindou yang terbahak melihat Sanzu.

“Emang tujuan kita mau ke mana?” Seishu melemparkan pertanyaan kepada dua orang itu, ia masih bingung ke mana mereka membawa dirinya. Melalang buana bak tanpa arah yang jelas.

“Nanti lo juga tau.” balas Rindou.

Pemuda itu menginjak pedal gas membelah kerumunan malam. Sanzu itu pandai dalam bercakap dan bersosialisasi, ia selalu membangun berbagai macam topik untuk dibicarakan oleh mereka sehingga Seishu merasa nyaman bersamanya, pun Rindou yang perilakunya sangat berlawanan dengan saudara tertuanya, Ran. Walaupun mereka saudara namun keduanya jelas berbeda, Rindou sedikit lebih tenang dan minim bicara. Ia lebih banyak mendengarkan terlebih cerita yang berasal dari Sanzu. Terkadang Rindou menanyakan perihal perkuliahan mereka, sebab Rindou dan Seishu berada di dalam jurusan yang sama.

Sekitar 25 menit membelah malam bersama kedua temannya, mobil itu berhenti di sebuah gedung yang menjulang tinggi bak gedung pencakar langit. Seishu menaikkan sebelas alisnya heran mengapa mereka bertiga berhenti di tempat ini. Ia tahu betul tempat apa ini, gedung alias hotel berbintang yang cukup tersohor di kota Jakarta. Saat mereka berjalan masuk menuju gedung tersebut, Seishu menghentikan langkah kakinya. Sanzu termenung dan menoleh ke arah Seishu.

“Kenapa, Sei?” tanyanya.

“Kenapa kita ke sini ... ” Keraguan itu tiba-tiba terpatri kembali di paras eloknya.

“Nurut aja, oke? Gak bakal ada yang jahatin lo di sini kok, kalo pun ada nanti biar gue hajar orangnya.” ujar Sanzu untuk meyakinkan Seishu yang masih ragu.

“Bukan gitu ... ”

“Gak apa-apa.”

Sanzu menarik lengan Seishu dan membawa pemuda itu memuju lift yang akan mengantar mereka ke tempat yang mereka tuju. Rindou menekan angka 15 pada lift tersebut membuat Seishu tercengang, rupanya hotel yang ia pijaki memiliki 15 tangga dan entah berapa ketinggian dari hotel ini. Genggaman tangannya pada Sanzu begitu erat seolah tak ingin terpisah dari Sanzu. Pintu lift telah terbuka rupanya tujuan mereka adalah rooftop dari hotel tersebut. Manik obsidiannya menelaah sekitaran tempat itu yang tak ada penerangan sedikit pun, hanya diterangi oleh cahaya bulan.

Netranya menangkap ada sebuah panggung yang dihias sedemikian rupa, pula ada satu meja dan dua kursi yang tersusun tak jauh dari panggung. Seishu menatap manik kembar Sanzu dan Rindou bergantian, tatapannya tersorot ribuan pertanyaan dan minta kejelasan dari ini semua. Namun, yang ia dapatkan hanya segaris senyuman. Sanzu menghampiri Seishu dan menggenggam kedua pundak Seishu sembari menatapnya lamat.

“Bakal ada sesuatu di sini, tapi gue harap lo jangan panik, ya? Pegang ucapan gue, gak akan ada yang jahatin lo di sini, gue yang menjamin keselamatan lo jadi jangan khawatir. Gue minta lo satu hal untuk nutup mata lo pakai ini.” Sanzu mengambil secarik kain dari dalam saku celananya, menyerahkan kain itu kepada Seishu.

Mendengar kalimat tutup mata membuat Seishu semakin ketakutan, entah mengapa ada pikiran negatif yang menyergapnya. Bagaimana jika Sanzu dan Rindou sedang berencana untuk membunuhnya karena telah melukai sahabat mereka. Seishu tak mudah percaya begitu saja. Kepalanya menggeleng rancu, ia tak mau melakukan itu. Jikalau ia tahu bahwa tujuan mereka tak ada kejelasan seperti ini, mungkin Seishu akan segera menolaknya.

Meskipun mereka bukan berada dalam dunia fiksi kriminal, tetapi tetap saja Seishu memiliki pikiran negatif terhadap pasangan itu. Sanzu mengusak surai terang Seishu dengan amat lembut, menenangkan pemuda itu agar dapat berpartisipasi.

“Tenang aja, Sei. Gue gak mungkin ngelakuin hal buruk ke lo yang ada kepala gue yang ditebas sama si onoh.” timpal Rindou.

“Mau, ya? Lebih cepat lebih baik.”

“Yaudah ... ”

Sanzu membantu memasangkan kain tersebut untuk menutup netra Seishu, tangannya masih bertengger di kedua pundak Seishu. “Nanti di saat lo denger suara, lo boleh buka penutup mata lo.”

“Sanzu, lo mau ke mana?!” tanya Seishu yang semakin dibuat panik karena mendengar derap langkah Sanzu dan Rindou yang semakin menjauh dari rungunya. Seishu menggigit bibirnya ketakutan, pikiran negatif itu masih ada memenuhi isi kepalanya walau Sanzu sudah berusa untuk meyakinkannya.

Tiba-tiba ada derap kaki yang terdengar di rungunya, diiringi suara mic yang dinyalakan. Seishu berpedar mencari sumber suara tersebut. Seseorang berdiri di atas panggung sembari memperhatikan gerak-gerik Seishu dengan matanya yang tertutup, bibirnya membentuk senyuman tulua melihat sosok itu hadir di hadapannya. Ia memegang mic yang telah menyala di mic holder yang sudah diatur sesuai tinggi badannya.

Sosok itu masih belum membuka mulutnya, ia masih ingin memandangi panorama indah itu. Siluet Seishu yang bersinar sangat terang bak hamparan bintang, di bawah langit yang ditemani rembulan. Figur itu merupakan ciptaan terindah yang pernah ia lihat.

“Hai, Seishu.”

Saat namanya dirapalkan oleh seseorang melalui mic, Seishu terkesiap sebab ia seperti mengenali sang empu suara. Seishu hanya mengantupkan kedua bibirnya menunggu suara itu datang lagi.

“Sekarang lo boleh buka penutup matanya and come to see me.” titahnya.

Dengan rasa penasaran yang menggebu-gebu, Seishu melepaskan kain itu yang melingkar di kepalanya. Betapa terkejutnya ia kala melihat entitas Kokonoi di hadapannya sembari menyapanya dengan senyuman hangat, pemuda itu dibaluti pakaian kasual yang terlihat menawan di tubuhnya. Visualisasi Kokonoi malam ini benar-benar luar biasa, pemuda itu terlihat sangat rupawan. Seishu tak berkutik bahkan lidahnya cukup kelu untuk berujar.

Miss me?” ujarnya lagi. Senyuman itu bahkan tak luntur menghiasi wajahnya, Seishu sungguh merindukan sosok itu. Sosok hangat yang diperlihatkan Kokonoi hanya kepadanya.

“Koko ... ” ujarnya gemetar.

Wait and see, okay? Gue mau nunjukin ke lo sesuatu.” pinta Kokonoi padanya.

Musik tiba-tiba dilantunan dan menggelegar di seluruh penjuru rooftop, netra Seishu tak luput dari presensi Kokonoi di atas sana, ia ingin memperhatikan Kokonoi lebih lama lagi. Seishu memiringkan kepalanya menunggu pertunjukan yang Kokonoi ingin perlihatkan kepadanya. Ia cukup kenal dengan instrumen lagu itu dan saat itu juga Kokonoi membuka mulutnya untuk menyanyikan lagu tersebut.

Lagu yang berjudul, My Universe, Kokonoi tengah menyanyikan itu untuknya. Suara yang damai itu melapalkan setiap bait lagu dengan sangat indah. Bukan pertama kali baginya mendengar suara Kokonoi saat bernyanyi, tapi ini pertama kalinya Seishu mendengar dan menyaksikan Kokonoi bernyanyi secara eksplisit di hadapannya. Membawakan lagu yang cukup romantis.

Seiahu tak dapat membendung euforia yang membuncah di hatinya. Saking bahagianya melihat itu tanpa ia sadari air mata bercucuran dari pelupuk matanya.

I fly to you every night. Forgetting that it’s just a dream. I meet you with a smile. Never ending forever, baby.

Saat bait itu dinyanyikan, Kokonoi menatap ke lubuk sorot matanya. Seolah tengah menyalurkan perasaannya kepada Seishu melalui tatapannya.

What light me up are. Stars adorned with love made of you. In my universe, you. Make another world for me. Because you are my stars and my universe. These hardships are just temporary. Just shine as bright as you shine now. We will follow you to adorn this long night.

Bagi Kokonoi, Seishu itu adalah bintang yang bersinar terang di langit. Anggap saja Seishu itu seperti bintang Antares di konseltasi Scorpio. Meskipun Antares bukan bintang yang paling bersinar terang, tetapi ia lebih bersinar dari bintang biner yang menjadi pendampingnya.

I fly with you. When I’m without you, I’m crazy. Please hold my hand.

Kokonoi menggenggam kedua tangannya dan mengangkatnya ke depan.

We are made of each other, baby.

Seishu menyeka air matanya yang sempat membasahi wajahnya, setiap bait yang Kokonoi nyanyikan kepadanya seperti membawanya kembali ke mana mereka bertemu dan menghabiskan waktu singkat bersama-sama. Masa-masa itu sangat indah dan ingin Seishu abadikan selamanya di dalam hatinya. Lagu telah berakhir, Kokonoi beranjak turun dari panggung dan tiba-tiba semua lampu menyala, tempat yang awalnya cukup gelap sekarang berubah jadi terang benderang. Seishu dapat melihat sekitarnya yang dihias sangat indah.

“Seishu.” Kokonoi berdiri di hadapan Seishu, mengangkat tangannya ke atas untuk mengusap pipi Seishu dengan jarinya. Seishu menatap sosok itu dengan tatapanya yang menyayu, serta wajah yang berseri-seri. “Semua ini emang rencana gue. Mungkin lo bingung kenapa Sanzu tiba-tiba ngajakin lo ke sini tanpa alasan, tapi itu semua karena gue yang minta.”

“Tapi kenapa? Kenapa lo lakuin ini semua?”

“Karena gue suka sama lo.” jawabnya tegas.

“Bukannya lo gak—”

“Sampai kapapun gue selalu suka sama lo, Seishu. Gue udah terlanjur secinta ini sama lo, yang gue butuhkan cuman kejujuran perasaan lo ke gue dan akhirnya gue udah dapetin itu semua. Makanya lebih baik kita akhiri ini semua, ‘kan?” Vokalisasi itu sangat tenang dan tenteram.

Akhiri? Mungkinkah Kokonoi ingin mengakhiri hubungan mereka saat ini juga? Padahal hubungan mereka belum dimulai tapi harus diakhiri hari ini. Seishu tak lagi berucap, ia tengah menahan air matanya yang ingin keluar. Ia tak ingin menangis lagi di hadapan Kokonoi. Ia harus siap menyandang keputusan Kokonoi.

Kokonoi masih setia mengusap wajah Seishu, bak menoreh lukisan di atas kanvas yang sangat bersih. Dari sudut mana pun, Seishu terlihat sempurna dan artistik. Ia pantas dipamerkan di ajang pameran sebagai pemegang ciptaan terbaik di seluruh semesta, semua orang berhak memujanya.

“Koko, kalo itu mau lo gue gak ada hak buat melarang lo ... ”

Lagi-lagi pemuda bersurai legam itu tersenyum.

“Iya, gue ingin mengakhiri ini. Gue ingin mengakhiri ketegangan di antara kita, gue ingin menghapus kecanggungan di antara kita, gue ingin mengikis jarak yang membentang di antara kita. Gue ingin menggenggam lo lebih erat lagi. Itu yang gue mau di antara kita, Seishu. Biarlah masalah itu menjadi pelajaran yang bisa kita petik untuk menjadi lebih baik di masa yang akan datang nanti. Gue gak akan pergi dari lo, Seishu, kapanpun gak akan pernah. Karena cinta gue ke lo udah terlalu dalam.”

Kokonoi menarik kedua tangan Seishu untuk ia genggam begitu erat, menyalurkan perasaan mereka ke masing-masing hati membiarkan semesta menjadi saksi atas cinta yang mereka bangun dari awal.

“Jadi ... ayo jadi milik gue seutuhnya? Gue emang bukan tipikal cowok romantis, tapi gue berusaha untuk membangun hubungan kita menjadi fantastis. Kita sama-sama berjuang demi hubungan kita, ‘kan? Ayo akhiri masalah itu dan rajut benang baru untuk kita. Be my forever love, Seishu, can you?

Tak dapat ia bendung lagi tangisannya, ia menubrukkan badannya pada Kokonoi, ia tumpahkan seluruh tangisannya di dalam pelukan Kokonoi. Seishu amat bahagia, ia merasa semesta selalu memantaskan untuk mendapatkan segala hal. Kokonoi terlalu baik kepadanya sehingga harsa itu tumbuh semakin besar di dalam jiwanya. Seperti menemukan orang yang selama ini ia cari, Seishu berhasil merengkuh orang itu di dalam dekapannya. Seseorang yang selalu mengerti dirinya, seseorang yang menerimanya apa adanya padahal sosok itu sungguh luar biasa.

“Koko, gue mau!” jawabnya setengah teriak.

From now on until forever, there’s no ending between us. You’re gonna be my one and only lover. My heart always belongs to you, because we meant to be.”

I will always forever love you, Koko.”

Me too, cantik.”

Kokonoi menangkup rahang Seishu dan perlahan mengikis jarak di antara mereka. Sengaja membenturkan bilah bibir mereka satu sama lain, Kokonoi memagut ranum Seishu dan langsung dibalas oleh sang empu. Mereka saling merengkuh tak ingin dipisahkan barang sedetik pun. Berhenti untuk berlayar melalang buana tanpa arah dan kini menetap dan berlabuh. Memperbaiki benang kisah cinta mereka yang pernah kusut didasari oleh cinta.

Seishu dan Kokonoi pada dasarnya memang ditakdirkan untuk bersama.

Ciuman mereka terlepas dan diiringi oleh kekehan dari masing-masing, dua pemuda yang tengah jatuh cinta sehingga lupa pada eksistensi orang-orang yang menyaksikan pertunjukan mereka di tengah-tengah sana. Ran memulai bertepuk tangan riuh dan diikuti oleh Sanzu. Padahal sejak awal mereka melihat itu semua, namun tak ada niat untuk mengganggu mereka. Membiarkan Kokonoi dan Seishu menikmati waktu mereka untuk saling mengungkapkan.

“Kalian liat?!” Seishu terperangah.

“Semuanya, kita lihat.” jawab Ran santai.

Wajah Seishu langsung memanas karena malu, tetapi hal itu dihentikan oleh Kokonoi yang memeluk pinggangnya.

“Makasih banyak ya semuanya, makasih udah mau bantu gue sama Seishu.” ujar Kokonoi pada semua temannya.

“Gak masalah, Ko. Kita seneng-seneng aja bantu lo berdua.” balas Rindou.

Sanzu datang untuk memeluk Seishu dengan sangat erat, ikut terharu melihat Seishu dan Kokonoi akhirnya menemukan takdir indah mereka. “Selamat, Seishu!!”

“Makasih banyak, Zu. Gue terlalu banyak ngerepotin lo.” ungkapnya pelan.

“Lho gak apa-apa kok!”

Saat pelukan mereka terlepas, seseorang datang dari arah belakang Seishu. Sanzu melihat orang itu dan mengangguk padanya.

“Hai, beautiful Seishu.” panggilnya.

Suara itu. Seishu berbalik dan matanya langsung terbelalak melihat dua sosok yang sangat ia kenali. Seishu menggenggam tangan Koko lebih erat dan Kokonoi berusaha menenangkannya bahkan raut ekspresi Kokonoi tak berubah sama sekali meskipun telah melihat sosok itu lagi.

“Mitsuya ... ”

“Kaget? Aku dateng ke sini gak ada maksud apa-apa kok, aku dateng ke sini hanya sebagai teman kamu. Dan aku mau bilang, selamat. Selamat karena sudah menemukan orang yang baik untuk hidup kamu. Aku turut bahagia.” ujarnya dengan vokalisasi lembutnya.

Seishu mengangguk sembari tersenyum, akhirnya ia bisa menganggap Mitsuya sebagai temannya tanpa ada embel-embel masa lalu lagi sebab hubungan mereka telah lama berakhir. Tak ada yang bisa dipertahankan dalam hubungan mereka.

“Terima kasih, Mitsuya.”

“Sama-sama.”

Namun, tiba-tiba saja Kazutora menghampiri Seishu dan menangkup pipi Seishu dengan ekspresi yang sulit diartikan. Matanya berbinar melihat sosok Seishu pada malam ini. Ia sungguh merindukan sosok Seishu yang bahagia seperti ini.

“Jelek! Lo harusnya bahagia kayak gini bukan kayak kemarin-kemarin tau gak?!”

“Iya, Zut, iya ... ”

“Gue juga seneng liat lo udah bahagia.”

Seishu mengusap punggung Kazutora, menyalurkan kalimat-kalimat terima kasih yanh banyak pada pemuda itu karena selalu ada untuknya. Ia sangat menyayangi Kazutora dan ia juga berharap perihal yang sama; Seishu ingin Kazutora bahagia.

Kokonoi mengajak Seishu ke pembatas rooftop sama-sama memandangi langit yang sama sembari bergandengan tangan. Keduanya terlampau bahagia dan saling mencinta.

Seishu, the tales of us is neverending, if we’re already at the ending line, then I’ll make a new better ending as long I’m with you.

Ungkap Kokonoi pada akhir narasinya.

[]

Seishu menarik napas panjang, lalu menghembuskannya ke udara. Jantungnya berdegup lebih kencang daripada sebelumnya, entah mengapa atmosfer yang ada di malam ini membuat pemuda rupawan itu nampak tak tenang, namun ia merasa ada ribuan keyakinan yang tengah menyelimuti dirinya yang memberikankannya tonggak untuk tetap bertahan di tempat tersebut.

Ia membenarkan tata letak surai terangnya yang berperai, wajahnya tak menggambarkan ekspresi apa-apa selain kekhawatiran yang mendominasi. Seishu cukup takut jikalau rencananya tak sesuai dengan apa yang ia harapkan. Malam ini, malam yang akan menjadi saksi perjumpaan antara Seishu dan Kokonoi kembali setelah munculnya friksi yang dialami oleh mereka. Kejadian itu menyebabkan Seishu dan Kokonoi tercerai-berai, tanpa melakukan komunikasi satu sama lain meskipun hati mereka sama-sama menjerit rindu.

Rupanya ada ego yang melambung tinggi, sebelum ego itu diluluh-lantahkan oleh Seishu. Seumpama mereka tak luput dari ego masing-masing, mungkin hubungan yang pernah mereka bina tak akan terpagut lagi. Seishu tak menginginkan hal itu terjadi, ia terlampau jatuh cinta pada sosok Kokonoi dan tak ingin melepaskan genggaman pada Kokonoi.

Cukup sekali ia pernah merasa kehilangan dan tak untuk kedua kali.

Seishu ingin bersujud di bawah kaki Sanzu sembari melemparkan juntaian kalimat terima kasih kepadanya karena sudah membantu Seishu untuk bertemu dengan Kokonoi, Seishu menduga bahwa Kokonoi akan terkejut dengan kehadirannya di sini. Di lubuk hatinya ia berharap agar Kokonoi masih mau meluangkan waktunya untuk berbincang dengannya dengan dalih membenarkan benang merah yang kusut.

“Gue kangen Koko ... ” Ia bermonolog dalam hatinya, mengirimkan seenggok rindu kepada sang empu hati.

Perihal cinta kepada Kokonoi, Seishu tak mampu menjabarkannya menggunakan kata-kata, terlalu banyak dan besar mengalahkan besarnya semesta. Lidahnya kelu saat membeberkan perasaannya, hingga hal itu membuahkan masalah baginya. Tanpa ia sadari, langkahnya yang salah telah membuat Kokonoi terluka. Tak ada satupun lagi yang mengisi ruang di hati Seishu, seolah ruang yang rumpang itu hanya boleh ditempati oleh Kokonoi, sekalipun orang itu Mitsuya.

Seishu tak pernah berpaling kepada Mitsuya, bukan tengah menampik realitas namun itulah faktanya. Ia sudah tak mencintai Mitsuya lagi, satu-satunya yang kini Seishu cintai adalah Kokonoi. Bagi siapapun yang mengira dirinya masih mengharapkan kasih Mitsuya maka semua itu salah, sebab hatinya saat ini hanya bisa menampung sosok Kokonoi. Maka dari itu, permintaannya bertemu dengan Kokonoi malam ini untuk membongkar seluruh isi hatinya agar Kokonoi tahu.

Namun, momen saat Seishu masih mengarungi lamunannya, eksistensi seseorang di hadapannya membuatnya terinterupsi dan lamunannya seketika buyar. Seishu mendongak untuk mencari tahu siapa pemilik siluet orang tersebut.

“Seishu.” ujar seseorang itu.

Seishu terperanjat melihat sosok itu lagi hadir di hadapannya seolah-olah pemuda itu dapat berada di masa saja. Seishu berdecih tak suka, “Mitsuya.”

Pemuda bersurai keunguan itu menyunggingkan senyum tulus dan mengambil tempat duduk di dekat Seishu, padahal Seishu tak memintanya untuk menempati tempat yang kosong tersebut. Seishu menggulirkan matanya malas, ia sedang tak berada di dalam suasana hati yang bagus. Melihat sosok Mitsuya membuat dirinya meledak-ledak.

“Kamu ngapain di sini? Mana sendirian.” tanyanya kepada Seishu.

“Seharusnya aku yang nanya begitu, kenapa kamu di sini?” Bukannya langsung menjawab, Seishu malah balik bertanya kepada Mitsuya.

“Kebetulan mau ke tempat ini dan gak nyangka bakal ketemu kamu.” balas Mitsuya sembari terkekeh ringan.

“Kebetulan apa kamu emang ngikutin aku ke sini, Mitsuya?” Laksana di tengah-tengah mereka berubah seketika kala Seishu melemparkan suatu pertanyaan pada Mitsuya yang membuat pemuda itu bungkam tak berkutik.

Masa menegangkan itu bertahan hingga beberapa sekon, lalu Seishu kembali angkat bicara sambil menatap kedua obsidian Mitsuya dengan lamat.

“Kali ini maumu apa lagi, Mitsuya?” tanyanya.

Terlihat Mitsuya tengah menghela napas gusar, “masih sama seperti sebelumnya. Aku lagi berusaha dapetin hati kamu lagi, karena aku mau mengulang masa lalu bersama kamu, Seishu. Aku mau membangun hubungan kita secara lebih baik lagi. Aku memang punya ribuan salah ke kamu, tapi aku udah tersadar untuk memperbaiki diriku menjadi yang terbaik dibanding sosok Mitsuya di masa lalu. Kenapa kamu selalu menghindari itu? Kenapa kamu gak kunjung ngasih aku kesempatan kedua? Aku yakin kita bisa memperbaikinya sama-sama.” Tiba-tiba saja Mitsuya menggenggam kedua tangan Seishu yang terletak di atas meja, tatapanya berubah sayu saat menatapnya.

“Mitsuya ... ” Seishu menarik napas dan menghembuskan perlahan, “cukup dan sudahi semuanya. Aku udah gak bisa ngasih kamu kesempatan untuk kesekian kalinya, meskipun di masa depan nanti kita berubah menjadi lebih baik namun bukan berarti kita harus saling kembali. Hubungan kita di masa lalu kurang menyehatkan, Mitsuya, seharusnya kamu sadar itu. Aku gak bisa menerima kamu lagi, tolong hargai keputusanku.”

“Apa semua ini karena Koko?”

Pertanyaan itu membuat Seishu sempat terkesiap, ia heran bagaimana Mitsuya mengetahui sosok Kokonoi.

“Bukan hanya perihal Koko, tapi ini perihal kita yang emang pada dasarnya udah gak bisa bersama lagi. Biarpun gak ada Koko, aku tetep gak bisa kembali lagi sama kamu. Ini sudah jadi takdir untuk kita berdua, Mitsuya. Kamu harus terima itu.”

Keduanya sama-sama terdiam dengan pikiran masing-masing, Mitsuya menunduk sembari menatap tangannya yang menutupi tangan mungil Seishu. Hangatnya tak lagi dapat mendekap Seishu, pula dekapnya tak dapat membuat hati Seishu berdegup. Sebab ruang yang dulunya diberikan untuknya telah tergantikan oleh sosok baru. Bukankah Mitsuya menyadari itu semua? Bagaimana sorot mata itu tak seteduh saat mereka masih menjalin asrama, bagaimana tutur kstanya tak sehalus bak dahulu.

Mitsuya seharusnya sadar bahwasanya ia tak dapat menggapai bintang kala dirinya berpijak di atas tanah. Patutnya Mitsuya sadar jika di atas sana ada bulan yang mengambil peran untuk menyinari sang bintang. Ia tak berperan apa-apa lagi ketika dirinya sudah terhempas di tanah.

Mitsuya hanyalah pijaran udara yang tak mampu merengkuh bintang.

“Cukup, ya? Jangan jadikan aku alasan satu-satunya kamu bisa bahagia, karena ada banyak hal di sekitar kamu yang bisa membuat kamu lebih bahagia.”

“Seishu, aku udah gak bisa maju, ‘kan?”

...

Kokonoi merengut heran tatkala Sanzu mengirimkan situs lokasi kepada dirinya tanpa mengatakan sepatah kata pun. Ia yang masa itu tengah berada di luar bergegas mengikuti jalur lokasi tersebut dan berhenti pada sebuah kafe minimalis namun berdesain cukup elegan. Alisnya menukik naik karena terheran mengapa ia harus berada di tempat ini.

Namun, ia tetap melangkah masuk mengikuti instingnya. Takut-takut Sanzu memerlukan bantuannya, kala kedua tungkainya sudah menggeretnya masuk ke dalam, pertama kali yang ia dapati adalah presensi sosok yang sangat ia kenali.

Seishu dan sosok masa lalunya, Mitsuya.

Kokonoi mendecih, bukannya menjauh dari tempat itu justru ia berjalan mendekat menghampiri dua sosok pemuda yang sedang bergenggaman tangan secara kontras. Ia menyunggingkan seringainya dengan kedua tangan ia masukan ke dalam saku hoodie yang ia kenakan. Menatap dua sosok itu dengan angkuh.

“Gimana? Kalian berdua udah balikan?” ujarnya terkesan menyindir. Tatapannya setajam belati yang siap menghunus siapa saja, hatinya tiba-tiba mengeluarkan alunan pilu melihat adegan itu terpotret jelas di kepalanya.

Seishu terkesiap mendengar vokalisasi Kokonoi yang muncul tiba-tiba di hadapannya, Seishu langsung menarik tangannya dalam genggaman Mitsuya, berdiri tegap mengimbangi Kokonoi.

“Koko, nggak—”

“Sekarang lo seneng udah balikan sama mantan lo, Seishu?” sahutnya.

“Ini nggak seperti apa yang lo lihat, Ko. Gue sama Mitsuya gak balikan!”

Shut the fuck up, liar.” sinisnya. Tak ada ekspresi yang tercetak di paras Kokonoi, rahangnya mengeras dan giginya yang bergemelatuk. Emosi Kokonoi hendak meledak melihat itu, sedangkan Seishu menahan dirinya agar tak meloloskan air mata keluar dari pelupuknya.

“Gak ... ”

“Gue udah bener-bener muak sama lo.”

Kokonoi membawa tungkainya pergi dari hadapan mereka berdua, Mitsuya yang masih berada di situ hanya diam seraya menunduk. Tak tahu harus bersikap senang atau bingung dengan situasi seperti ini. Seishu menyapu air matanya yang lolos membasahi pipinya, ia berlari cepat mengejar sosok Kokonoi yang hampir hilang dari pandangannya. Suara stiletto yang Seishu kenakan menggema di rungu Mitsuya, sosok itu beranjak pergi dari tempat asalnya. Melihat itu bak menyaksikan sebuah serial drama; di mana sang semesta tengah mengejar sang mentari. Keduanya benar-benar dinyatakan oleh cinta. Mitsuya seperti ditampar, Seishu tak lagi cinta kepadanya.

Sedangkan Seishu bersusah payah mengejar laju Kokonoi di depannya, ia tak peduli dengan rasa perih di telapak kakinya gara-gara stiletto yang ia gunakan. Bagian terpentingnya adalah ia bisa menghampiri Kokonoi sebelum sosok itu benar-benar pergi. Kokonoi tiba-tiba berhenti melangkah dan spontan Seishu menghentikan laju tungkainya tak jauh di belakang Kokonoi.

Tangisan sudah tak dapat ia bendung, ia takut harus kehilangan Kokonoi. Seishu tatap punggung itu dengan nanar, walaupun Kokonoi sudah berhenti berjalan ia masih enggan untuk berpaling padanya.

“Kenapa lo ngikutin gue—”

“KARENA GUE CINTA SAMA LO, KOKO. GUE CINTA BANGET SAMA LO!” teriak Seishu nyaring dengan isak tangis.

Kokonoi terperanjat mendengar teriakan Seishu ditambah suara itu terdengar gemetar. Walau demikian, Kokonoi masih tak kunjung berbalik ke belakang untuk melihat keadaan Seishu. Jujur saja, hatinya masih terasa nyeri saat melihat tangan Mitsuya menggenggam tangan yang seharusnya menjadi miliknya. Seishu melangkah tertatih menghampiri punggung Kokonoi dan setelahnya memeluk tubuh Kokonoi dari belakang.

“Semua isi hati gue hanya ada nama lo, Ko. Gak ada orang lain yang bisa mengambil posisi itu di hati gue. Semuanya gue persembahkan hanya untuk lo; hati, jiwa, dan raga gue itu milik lo. Karena gue bener-bener cinta sama lo, gue sayang sama lo, gue suka sama lo saat pertama kali kita bertemu. Gue selalu berharap suatu saat lo dan gue menjadi kita, gak ada Mitsuya di tengah-tengah hati gue, Ko. Dia cuman peran di masa lalu gue, gak ada yang spesial dari gue untuk dia. Kalo gue gak move on dari Mitsuya, gak mungkin sampai hari ini gue masih mencintai lo. Gue gak lagi bohong, Ko ... gue lagi pengakuan perihal perasaan tulus gue ke lo.”

Kokonoi hanya diam sembari mendengarkan penuturan halus Seishu, lara yang sempat mendera di hatinya perlahan terlepas dari belenggu tergantikan dengan sepucuk euforia yang berterbangan di hatinya. Rengkuhan hangat itu menjadi penguat hati Kokonoi, hati kecilnya berujar bahwa Seishu sedang mengutarakan kejujurannya.

“Koko, jangan pergi ... jangan biarin cinta kita mati ... ” Tangisan Seishu kembali pecah, kedua tangannya yang melingkar di pinggang Kokonoi menjadi gemetaran.

“Gue sungguhan minta maaf ... gue gak bermaksud nyakitin lo. Gue cinta banget sama lo, Ko.” racaunya.

Kokonoi menarik sudut bibirnya ke atas, apakah ini akhir dari ego mereka, meruntuhkan segala dinding yang menjulang tinggi. Lalu, Kokonoi mengangkat tangannya untuk mengusap tangan Seishu yang bertengger di sana.

“Maaf, Seishu. Maaf karena gue terlalu mencintai lo.” Kokonoi melepaskan pelukan Seishu yang langsung membuat Seishu kalang kabut, tapi tatkala Kokonoi menatap dengan tatapan sayu dan lembut, Seishu sedikit lebih tenang. Tangannya mengusap surai Seishu yang tergerai. Menghapus bekas air mata yang tersisa di pipi kemerahannya, di matanya Seishu masih sangat elok seperti biasanya.

“Gue percaya sama lo, Seishu.”

Seishu menghambur pelukan ke dalam tubuh Kokonoi, ia mendekap Kokonoi dengan begitu erat seolah tak ingin melepaskannya pergi. Seishu baru saja mengungkapkan perasaannya pada Kokonoi, walau ia sempat membuat pemuda itu kecewa dan parahnya terluka karena dirinya, tapi di lubuk hatinya tetap tertoreh nama Kokonoi. Meskipun ia berada di dekat Mitsuya, nama itu masih terpatri di dalam hatinya.

Ia tak lagi mencintai Mitsuya, bahkan sejak awal ia tetap memilih Kokonoi kendati Mitsuya berusaha menggoyahkan hatinya. Keputusannya sudah begitu bulat ketika Mitsuya menunjukkan tanda-tanda untuk memintanya kembali. Ia memang salah karena masih berurusan dengan Mitsuya dan terbayang-bayang dengan sosok masa lalu meski hatinya teguh pada Kokonoi.

Hal itu dapat membuat Kokonoi terluka jua. Sekarang Seishu ingin berlari mengejar Kokonoi tanpa berbalik ke belakang.

Sebab ia hanya mencintai Kokonoi.

“Koko, I really love you, I love you so much, I really mean it.”

Kokonoi tersenyum lebar seraya membelai pipi kemerahan itu dengan lembut.

I know, I love you too.

[]

Baji menghentikan laju motor kesukaannya tepat di depan area kampus Chifuyu, banyak sekali pasang mata menatap ke arahnya ketika pemuda bersurai legam itu melepaskan helmnya dan membiarkan surai panjangnya tergerai diterpa angin. Tatapannya tajam meneliti ke setiap figur yang lewat di hadapannya. Ia sudah berkata kepada Chifuyu jikalau ia akan menjemput pemuda itu pulang. Setiap kali mahasiswa maupun mahasiswi yang bersitatap dengannya akan berbisik pada teman yang ada di sampingnya.

Mungkin merasa asing dengan presensi Baji yang sangat kontras di tengah-tengah mereka, pula pakaian yang ia kenakan begitu mencorak. Rahangnya yang tegang, benar-benar fitur rupa yang rupawan. Chifuyu baru saja keluar dari kampusnya bergandengan bersama Kazutora. Netra keduanya berhenti pada sosok Baji yang tengah duduk di atas motornya.

Tak sengaja tatapan antara Kazutora dan Baji bertemu sebelum Kazutora memalingkan wajahnya ke arah lain. Ia belum bisa untuk menerima kehadiran Baji lagi, melihat rupanya terpampang bak membuka luka lama yang belum sepenuhnya terobati. Chifuyu menyadari perubahan ekspresi sang teman, ia menggenggam tangan itu dengan erat.

“Maaf bikin kamu ketemu dia.” ujarnya lembut dan memancarkan ketulusan dari sorot sepasang irisnya.

Kazutora tersenyum canggung lalu menggeleng, “gak apa-apa, kamu pulang dijemput sama dia?”

“Iya.”

“Hati-hati, ya.” tutur si pemuda bersurai panjang. Sungguh, tak ada rasa marah yang hinggap apabila Chifuyu memilih untuk tetap bersama Baji, lagipula itulah tujuan utama Kazutora melepaskan tuntutannya pada Baji. Semuanya sudah jelas tercetak di kenyataan, bagaimana cintaya Baji kepada Chifuyu ketimbang dirinya.

“Kamu pulang sama siapa?” tanya Chifuyu kepada Kazutora yang masih enggan menatap Baji, sedangkan pemuda itu justru bungkam tak ingin membuka suara walau sekadar menyapa Chifuyu atau Kazutora.

Ia sadar diri karena menjadi penyebab kedua orang itu terluka lara.

“Naik—”

“Dia pulang sama gue, Chi.” Tangan kekar seseorang tiba-tiba bertengger di atas pundak Kazutora, menarik tubuh ringkih itu ke dalam rengkuhannya.

Hanma Shuji. Mahasiswa jurusan DKV yang sedang dalam misi mengejar Kazutora. Ia memamerkan senyuman lebar karena berhasil menemukan eksistensi Kazutora. Sebenarnya sudah cukup lama Hanma menaruh atensi kepada Kazutora, berbagai cara ia lakukan demi dapatkan atensi Kazutora tetapi banyak caranya gagal sebab Kazutora waktu itu lebih memilih Baji.

Namun, saat ini Kazutora sedang terluka, ada ruang yang tengah rumpang di hatinya. Di situlah harapan baru muncul di benak Hanma, ia bersedia menjadi penawar dan bagian yang mengisi kehampaan di lubuk hati seorang Kazutora. Tatapan pemuda bertubuh jangkung itu mendapati sosok Baji yang tengah terjengit melihat perilakunya kepada Kazutora.

Ada tatapan bengis yang ia perlihatkan, akan tetapi Hanma lebih memilih untuk diam dam lebih merapatkan rengkuhannya. Hanma sadar Kazutora sedang menahan sesuatu di dalam dirinya agar tidak membuncah keluar.

“Lo pulang sama gue, ‘kan, Zut?” ujar Hanma, ketika Kazutora hendak layangkan protesan lagi-lagi Hanma menghentikannya.

“Gak—”

“Yuk, pulang sekarang nanti lo pulangnya kesorean.” Sebelum beranjak dari tempat mereka berdiri, Hanma sempat berujar sesuatu kepada Chifuyu dan Baji. “Duluan, ya? Kasian pacar gue kalo pulangnya kemaleman, nanti sakit lagi kayak kemarin, cukup hatinya aja fisiknya jangan sampai sakit juga.” Lalu sosok itu membawa Kazutora pergi dari tempatnya.

“Dadah ... ” celetuk Chifuyu pelan.

Chili menarik napas kasar dan menghembuskannya. “Kak Baji.”

“Eh? Chifuyu, hai.” ujarnya kikuk sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

“Ayo pulang, aku capek.” titahnya langsung.

Baji mengangguk mengindahkan permintaan dari sang pujaan, saat Chifuyu telah memasang helm-nya, Baji memasangkan pengait helm yang Chifuyu kenakan seraya menarik sudut bibirnya ke atas untuk membentuk senyuman lembut. Setelah itu, tangannya menjalar ke atas pipi berisi Chifuyu dan memberikan usapan-usapan yang teramat lembut.

“Ayo.”

Chifuyu langsung naik ke atas motor Baji dan menyembunyikan wajahnya yang tiba-tiba bersemu akibat perbuatan Baji yang spontan. Jantungnya kembali menghasilkan debaran anomali. Ia sekuat mungkin mengulum bibirnya agar tak membentuk senyuman, Chifuyu sangat benci kepada Baji karena ia tak dapat sepenuhnya membenci sosok itu setelah kejadian hari itu. Bahkan perasaannya untuk Baji masih sama seperti sedia kala.

“Pegangan, Chi. Nanti kamu jatuh, soalnya anak kucing terlalu ringan dibawa.” pinta Baji lalu diiringi dengan kekehan ringan.

“Maumu.” Tapi, Chifuyu menurutinya. Ia lingkarkan tangannya pada pinggang Baji dengan erat, ia dekap lagi sosok itu untuk kesekian kalinya. Mempertontonkan pagutan dirinya pada Baji untuk seluruh semesta yang tengah memasang netra untuk menyaksikan asmaranya.

Baji rasakan hangat dalam dekapannya, sungguh rindu dengan sosok yang menjadi bagian di dalam ruang hatinya. Baji ingin seluruh semesta tahu bahwa Chifuyu lah yang sangat ia cintai, sosok yang selalu melumpuhkannya dengan cinta. Ia tak mencintai Chifuyu dengan sederhana, ia mencintai Chifuyu apa adanya, ia luruhkan segala ego dan usahanya untuk menggenggam Chifuyu di dalam hatinya.

Baji tak akan berhenti mengejar hingga ia dapat sepenuhnya berlabuh di tempat di mana semestinya.

Dan tempat itu bernama Chifuyu.

Andai waktu bisa berhenti berdetik agar ia bisa mengabadikan kenangan ini di dalam benaknya, merasakan rasa hangat itu lebih lama lagi. Merasakan jantungnya yang berdebar tak karuan seraya bercerita suka.

...

Tak ada hari tanpa mencintai Chifuyu, setiap harinya Baji habiskan untuk menanam benih-benih cinta di hatinya. Chifuyu bagaikan mentari untuk menerangi setiap ujung hidupnya, pula bak embun pagi yang selalu menyejukkan hati, berakhir pada malam hari menjadi rembulan yang bersinar terang untuk menuntun genggam tangannya menuju kembali pulang.

Pulang pada sebuah rumah yang selalu ingin ia tempati, Chifuyu.

“Mau masuk dulu?” tawar Chifuyu ketika keduanya telah menapaki langkah di perkarangan rumah Chifuyu yang sepi.

“Gak apa-apa?” tanya Baji meyakinkan.

“Kalo kamu mau sih gak apa-apa.” balasnya Chifuyu.

“Aku izin mampir ke rumah kamu dulu, ya? Ada banyak yang mau aku bicarain ... ”

“Oke.” Chifuyu mengajak Baji untuk masuk ke rumahnya, seperti biasa rumah itu nampak sepi sebelum kehadiran mereka untuk menghapus kesunyian tersebut.

Orang tua Chifuyu tengah mengarungi dunia kerjanya masing-masing, sama seperti orang tua Kazutora. Mereka yang semasa kecilnya membutuhkan afeksi terpaksa harus merangkak sendiri untuk beranjak dewasa. Orang tua Chifuyu pribadi yang lembut, walau tak banyak mempunyai waktu luang pada sang anak semata wayang, mereka masih memperhatikan pertumbuhan anak itu agar suatu saat menjadi pribadi yang luar biasa baik. Sedangkan Kazutora tidak, ia tumbuh dengan dirinya sendiri tanpa atensi maupun afeksi. Tumbuh hingga dewasa yang perlahan membuatnya terbiasa bahwa sebenarnya afeksi itu tak pernah ada.

“Sebentar, ya, kak. Aku mau ganti baju dulu di kamar.” ujar Chifuyu yang meninggalkan Baji seorang diri di ruang tamu, pemuda itu mengangguk sebagai balasan lalu beralih mengusap kucing hitam milik Chifuyu.

“Peke J ... ” Baji mengusap bulu halus milik kucing itu tetapi tatapan tak suka yang ia dapatkan, “makin galak aja lo gue liat-liat. Lo tau gak kalo gue sayang banget sama majikan lo. Saking cintanya kalo dia minta seluruh dunia pun pasti gue jabanin, apa sih yang gak buat Chifuyu?”

“Gimana kalo aku minta Kak Baji pergi dari hatiku, apa kamu bakal mau?”

Baji sontak terkesiap mendengar suara dari arah belakang tubuhnya; suara milik Chifuyu. Baji langsung menggeleng tak setuju, apabila permintaan Chifuyu demikian maka ia tak akan bisa mengindahkannya. Ia sangat mencintai Chifuyu, ia tak ingin membayangkan harus beranjak pergi dari hati Chifuyu.

“Gak ... aku gak bisa.” jawab Baji pelan.

Chifuyu terkekeh mendengarnya lantas mengambil tempat duduk di samping Baji.

“Kalo aku minta kamu jadi milikku, gimana?” ujarnya lagi.

Baji ternganga, masih memproses perkataan yang masuk ke dalam rungunya. Kesadarannya seperti ditarik dari dalam dirinya seketika, wajahnya menampak seperti orang yang kehilangan kewarasannya. Baji tak tahu apakah Chifuyu sedang bergurau atau sebaliknya.

“Chifuyu ... ?”

“Jawabannya mau apa gak?”

“Kamu serius?”

“Kamu mau aku bercanda?”

Baji langsung menggeleng keras, ia tatap obsidian kembar itu untuk mencari kebenaran di dalam sorotnya. Dan bagusnya, ia tak menemukan kebohongan yang terpancar seolah-olah Chifuyu tengah serius dengan ucapannya.

“Seperti yang Kakak bilang tadi, bahkan dunia pun bakal aku kasih kalo perihal cinta ke kamu, Chifuyu. Menjadi milik kamu itu satu-satunya keinginanku saat ini. Aku benar-benar bahagia.”

Chifuyu mendekatkan dirinya pada tubuh Baji, ia mengangkat sebelah tangannya untuk membelai fitur wajah Baji yang menunjukkan kebahagiaan tiada tara. Chifuyu dapat mengetahui itu dari bagaimana Baji memandang dirinya. Bak ada pengaruh yang tengah merasuki dirinya, ia dengan sengaja mendaratkan bibirnya di atas bibir Baji. Menjauhkan dirinya dan mendapati ekspresi keterkejutan yang tercetak di wajah Baji. Ia tak mampu berkutik apa-apa, serta kini wajah keduanya sama-sama berseri.

“Maka jadikan aku sebagai milikmu, Kak.”

[]

Kokonoi menyesap secangkir kopi americano yang ia pesan beberapa menit yang lalu, suasa di sekitarnya sangat suram dan tak bersahabat. Emosi masih tersulut di dalam dirinya hingga ke puncak ubun-ubun. Parasnya tak menunjukkan ekspresi damai selain tajam bak sebuah pedang panjang yang siap menghunus lawan. Giginya bergemetak, ia hisap putung rokok yang ia bakar menggunakan pematik dan menghembuskan asap yang mengepul di udara.

Pada sekon ini, pikirannya berkecamuk yang membuatnya pening. Ada banyak yang yang menganggu isi kepalanya ditambah perasaan di hatinya yang tak kunjung padam. Hawa permusuhan begitu kontras mendominasi diri Kokonoi. Sesuai janjinya kepada Mitsuya, sosok pemuda yang pernah menjalin asmara bersama Seishu, menerima ajakan pemuda itu untuk bertemu di suatu tempat.

Lantas apa yang pemuda itu rencakan, Kokonoi tak tahu pasti. Ia tak ingin kalah karena menolak invitasinya untuk berjumpa, hatinya pun tak gentar sekalipun Mitsuya menunjukkan batang hidungnya. Selain itu, terjadi pertengkaran antara dirinya bersama Seishu yang membuat ia semakin nampak kompleksitas. Pikirannya berkata; sulit dilakukan bahkan untuk memberikan secercah kepercayaan kepada seseorang yang berulang kali berdusta kepadamu. Ia terlampau kecewa, tapi hati kecilnya masih berkata cinta pada Seishu.

Bahwasanya Kokonoi tanpa Seishu bak kota kecil yang telah mati, yang mana bila tak ditinggali akan perlahan lenyap.

Apakah berjuang selalu dilandasi oleh perasaan seperti ini? Hatinya tak cukup menjadi sebuah rumah bagi Seishu untuk singgah, apalagi menetap.

Hati Seishu tak yang dapat ia reka, apa di dalamnya ada guratan cinta yang tertera.

“Kokonoi, benar?” Seseorang menarik sebagian atensinya saat tengah melamun.

Kokonoi terkesiap dan membenarkan posisi duduknya, “Mitsuya.”

Pemuda dengan fitur tubuh yang mirip dengannya, baru pertama kalinya mereka bertemu namun langsung terbias atmosfer perseteruan. Mitsuya dengan kemeja putih seraya layangkan senyuman sopan kepada Kokonoi, walau ia tahu bahwa senyuman itu tak sepenuhnya tulus dari hati. Ia mengambil tempat duduk di seberang Kokonoi dan Kokonoi langsung menggeser segelas minuman untuk Mitsuya.

Thanks.

“Ya.” jawabnya singkat, “ada maksud apa lo ngajakin gue ketemuan gini?” tanyanya pada intinya.

Can you put out your cigarette, Kokonoi? Your interlocutor isn’t fine with smoke.” cercah Mitsuya kepada Kokonoi.

Kokonoi menaikkan sebelah alisnya lalu mematikan rokoknya yang tersisa setengah pada asbak yang tersedia, melambaikan tangannya ke udara demi asap rokoknya segera hilang. “Sorry.” ujarnya.

Mitsuya sungguh tahu, mengapa pemuda di seberangnya itu membakar seputung tembakau dengan tatapan yang tak bisa digambarkan melalui kata-kata. Pertemuan mereka membuat sosok itu tertekan. Mitsuya berdehem untuk menetralkan suasana yang berada di antara mereka. Kokonoi membalas tatapannya sehingga mereka saling bersitatap satu sama lain.

“Gue yakin lo pasti udah tau siapa gue, ‘kan? Bahkan sebelum gue show up ke lo sebagai mantannya Seishu.” awalnya.

“Ya, gue tau karena Seishu yang bilang.”

Bohong. Kokonoi baru saja melontarkan pernyataan kebohongan. Ia tahu sosok Mitsuya melalui Ran dan Rindou yang menceritakan semuanya Mengenai Mitsuya dan hubungan dulu bersama Seishu.

“Oh, Seishu yang bilang?” tanyanya retoris.

“Begitulah.”

“Baguslah kalo Seishu cerita pasal gue ke lo biar lo tau gimana hubungan gue sama Seishu sebelum adanya lo.” ujarnya dengan alunan keangkuhan.

Kokonoi menyunggingkan seringainya, ia masih meredam amarahnya di dalam hati agar tak mudah tersulut perkataan Mitsuya yang membuatnya terkecoh. Ia tahu lawan bicaranya tersebut bermulut licin.

What if he tells the bad side of dating you? Berhubungan dengan seorang Mitsuya tak sebaik apa yang orang lihat. Bagaimana jika keadaannya begitu?”

Pemuda dengan surai keungunan itu sontak tertegun sebelum kembali memamerkan senyumannya angkuhnya.

Which part shows my meanness of dating me? Gak ada, Kokonoi. Seishu loved me that much just so you know.

“Jangan sombong dulu, Mitsuya. Jika hubungan lo baik-baik aja gak mungkin kalian putus nyambung dan berakhir putus kayak sekarang. Which one said you were good enough on your relationship? That’s all just a bullshit.” balas Kokonoi.

Mitsuya maupun Kokonoi masih nampak tenang meskipun obrolan mereka mulai panas dan saling menusuk. Kokonoi mengangkat gelasnya dan menyesapnya tak gangguan sekalipun.

“Asal lo sadar, Mitsuya. You gaslighted Seishu by then, did you ever realise? Gue gak paham sama konsep lo untuk bertemu sama gue saat ini, sedari tadi lo cuman menyombongkan diri lo kepada seseorang yang tau sebagian tabiat buruk lo. Kalo gak ada hal yang penting untuk dibicarain mending gue izin pulang sekarang. Gue gak punya waktu buat mendengar cerita yang lo anggap berkesan itu. Crap, man.”

Mitsuya terdiam sembari mengepalkan kedua tangannya hingga buku-bukunya memutih, mengapa keadaan menjadi terbalik sekarang. Kokonoi membuatnya seketika terpojok ketika ia tengah melambungkan ujarannya ke langit. Ia menggulirkan matanya jengah, sedangkan Kokonoi masih setia menatapnya lamat.

“Gue minta lo berhenti buat deketin Seishu karena gue mau balik sama dia lagi, gue harap lo gak jadi penghambat hubungan gue. Gue udah muak liat kalian berdua, lagian lo sama Seishu keliatan gak cocok.” finalnya pada pembahasan mereka.

Bolehkah Kokonoi terbahak sekarang juga, sebab Mitsuya tiba-tiba menjadi sosok pelawak piawai yang tengah mempertunjukkan aksinya di atas panggung. Konyol. Guyonan itu tak pantas di dengar oleh rungu Kokonoi, terlalu murahan untuk orang yang berkelas tinggi seperti Kokonoi. Ia terkekeh membalas penuturan Mitsuya yang terkesan lucu.

“Mitsuya, Mitsuya, sebegitu putus asanya lo buat balikan sama Seishu? Daripada lo mohon-mohon begini ke gue yang mana di mata gue itu beneran menjijikkan mending lo berusaha buat dapetin hati Seishu lagi. Lo takut, eh? Takut Seishu udah gak bisa suka sama lo lagi makanya lo berpaling cara seperti ini? Coba kita bayangin gimana reaksi Seishu liat mantannya pakai cara menjijikkan kayak gini buat pacaran sama dia? He must be sorry because he ever dated a man like you.”

Brengsek. umpat Mitsuya dalam hati.

Mitsuya tak mampu lagi berucap, ia benar-bemar dipojokkan oleh Kokonoi. Ia sungguh bingung memikirkan cara agar menarik perhatian Seishu agar berpusat kepadanya lagi. Adanya eksistensi Kokonoi di netra Seishu membuat jalannya merengkuh Seishu menjadi terhambat. Dulunya ia dengan mudah menggenggam dan melepas Seishu, tapi untuk saat ini rasanya begitu sulit bahkan untuk berbicara dengan Seishu saja susah. Apalagi menanamkan benih cinta di lubuk hati Seishu.

Pemuda itu lantas berdiri dan meninggalkan Kokonoi tanpa sepatah kata pun. Kokonoi hanya mengendikkan bahunya tak acuh dengan kepergian Mitsuya. Bukannya Kokonoi menang dalam ajang malam ini, justru Kokonoi merasa sama hancurnya. Pembicaraan bersama Mitsuya juga menimbulkan suasana buruk di hatinya. Ia hanya menghela napas kasar.

Alih-alih mengeluarkan cara seperti tadi, tidak kah Mitsuya sadar bahwa posisinya jauh lebih tinggi daripada kehadiran Kokonoi? Mitsuya adalah mantan kekasih Seishu, yang mana orang yang dulunya menjadi sosok yang selalu Seishu agung-agungkan, sosok yang menjadi pelita di dunia fana yang gelap, sosok yang menyebabkan luka dan satu-satunya yang menjadi penawar lara. Tidak kah Mitsuya sadar akan hal itu?

Untuk apa ia meminta Kokonoi menyerah jikalau tanpa ia menyerah pun Mitsuya masih akan selalu menang di hati Seishu. Seharusnya Kokonoi yang merasa takut apabila Seishu berpaling kepada Mitsuya dan meninggalkannya begitu saja.

Ia menghembuskan napas lelah, “lo salah, Mitsuya. Posisi lo menjadi paling teratas di hati Seishu.”

Sebab Kokonoi bukan sosok pengganti yang sama sekali tak memiki arti.

[]

“Kenapa kamu bohong?”

Pertanyaan yang terlontar dari mulut Chifuyu membuat Rindou terpaku. Ia tak membalas tatap Chifuyu padanya, lebih memilih menatap layar ponsel yang menyala. Baru saja mengetik pesan untuk seseorang dan menekan tombol kirim. Deru napasnya terdengar jelas di rungu, ia mengacak surai panjangnya gusar.

Bingung pada dirinya sendiri, merasa dirinya menjadi sosok teramat bodoh sebab telah berbohong pada hatinya sendiri. Berulang kali menampik perasaan yang tumbuh bermekaran di hatinya. Berulang kali ia layukan, namun bunga itu tumbuh begitu subur di tanah hatinya. Seolah tak ingin mati begitu saja sebelum dipetik oleh tangan Rindou.

“Gak apa-apa.” sahutnya singkat padat.

Chifuyu memamerkan senyumannya tulusnya, “jangan nyesel kalo suatu saat dia bakalan jauh dari kamu, Rin.”

Pemuda itu kembali terdiam. Bagaimana jika kejadian tak diinginkan itu terjadi? Baginya itu akan menjadi mimpi buruk di sepanjang hidupnya. Ia terlalu menjunjung tinggi egonya untuk menampik perasaan yang mulai hadir di hatinya, padahal nyatanya berbanding terbalik. Ia sangat mencintai sosok itu sampai rasanya ingin mati apabila sosok itu pergi darinya.

Egois. Dirinya sangat egois kepada Sanzu Haruchiyo, melabeli Sanzu sebagai miliknya tetapi ia tak kunjung membalas perasaan yang Sanzu berikan kepadanya. Menyimpan Sanzu dalam pelukannya tanpa terikat tali relasi apapun. Tak kunjung menyadari Sanzu yang semakin terluka dalam kurungannya. Ia sudah sangat terlambat untuk menangkal hati Sanzu untuk terluka, karena Sanzu sudah menderita terlalu banyak hingga hari ini.

Padahal waktu itu Rindou berjanji untuk senantiasa menjaga Sanzu, namun ia tak ada bedanya dengan mereka yang pernah melukai hati kecil Sanzu. Ia menjadi salah satunya penyebab Sanzu terluka. Bagaimana sosok ringkih itu terlarut dalam lara dan masih bisa menggelakan tawa. Sanzu itu ahlinya berbohong, tak ada yang tahu ribuan beban yang tengah ia pikul di pundaknya seorang diri.

Sanzu itu bak sebuah kaca, mudah untuk dihancurkan dan tak dapat diperbaiki.

“Gue bego, ya?” Ia bergumam pelan. Merutuk dirinya sendiri sebab telah berjalan terlalu jauh dari sosok Sanzu, membiarkan sosok itu melangkah tertatih di belakangnya.

Kinda? Soalnya kamu terlalu sibuk menepis kenyataan bahwa kamu sebenarnya gak bisa tanpa adanya Sanzu, kamu berusaha jauhin dia, ‘kan? Tapi lihat, kamu satu-satunya yang selalu meraih tangan Sanzu setiap dia berjalan jauh. Semestinya, kamu yang sangat mencintai Sanzu, Rin. Aku bener, ‘kan? Walaupun kita baru aja sedeket ini tapi aku udah bisa mencium gelagat kamu.” ujar Chifuyu.

“Gue ketahuan nih kalo gue secinta itu sama Sanzu.” Rindou terkekeh dan mendapatkan anggukan dari Chifuyu.

Baru kali ini Rindou mengutarakan perasaan riilnya pada seseorang, terlebih perihal hubungan dengan Sanzu. Telah menjalin hubungan tanpa kejelasan selama bertahun-tahun tak menempis fakta jikalau keduanya pasti hanyut dalam aliran cinta. Mustahil jika itu tak terjadi. Saling menghabiskan waktu bersama, berbagi ranjang hangat berdua, dan hal lainnya.

Mustahil jikalau Rindou tak mencintainya.

“Gue harus apa, Chi?” tanyanya dengan netranya yang kelabu.

“Jujur sama Sanzu tentang perasaan kamu sebelum semuanya terlambat. Sebelum cinta Sanzu ke kamu perlahan hilang karena ketidakjelasan dari kamu. Emangnya apa lagi yang kamu tunggu sampai kamu menggantung ini semua?”

Rindou menarik napas lalu menghembuskannya berangsur-angsur, melepaskan kembali oksigen yang ia hirup mengudara di langit-langit. Sebelum lisannya menyusun narasi, ia membawa pikirannya mengarungi fantasi. Melintas ke masa lalu di mana pikiran ini bisa timbul.

“Pada hakikatnya gue ini takut, Chi. Gue takut dengan perasaan cinta bisa membuat kami berdua menderita dan berujung berpisah. Itu yang sangat gue takutin, gue gak mau suatu saat Sanzu pergi ninggalin gue. Gue punya pemikiran seperti ini; cinta itu gak ada yang abadi dan kemungkinan suatu saat akan pergi. Makanya gue berusaha untuk gak jatuh cinta agar gue bisa selalu dekat sama Sanzu biar gak ada alasan bagi kami untuk saling berpisah.

Gue gak mau terjalin hubungan apapun sama Sanzu walaupun tanpa adanya hubungan di antara kami, gue sama dia masih bisa aja sedeket itu. Tapi, nyatanya pemikiran gue salah. Tanpa gue sadari, pemikiran itu juga membuat Sanzu terluka padahal usaha gue selama ini untuk Sanzu bahagia. Gue terlalu egois pada Sanzu, gue sering ngelarang dia ini itu, tapi dia sama sekali gak ngantur hidup gue, dia percaya sama gue bahkan dia percaya kalo gue sebenernya nyimpan perasaan ke dia.

Hanya saja gue terlalu banyak denial, padahal yang dia katakan itu benar. Sanzu itu butuh hangatnya suasana rumah, tapi yang dia dekap hanya antah berantah. Gue gak bisa sepenuhnya melindungi Sanzu dari bahaya yang mengancam, sebab bahwanya bahaya yang selalu berada di dekat Sanzu itu diri gue sendiri.”

Chifuyu terlampau mengerti apa yang Rindou katakan kepadanya. Awalnya bersikap ketakutan namun berujung tersesat dalam hutan belantara yang tak menunjukkan arah jalan keluar. Seperti bait sebuah lagu yang dinyanyikan penyanyi tersohor, ‘we got lost in translation.’ Minimnya suara dari hati ke hati membuat mereka tak saling mengerti satu sama lain.

Ia menepuk pundak lebar Rindou, mengatakan jikalau ia tahu apa yang Rindou rasakan dan dibalas senyuman canggung dari Rindou. Rasanya setelah mengutarakan seluruh isi hatinya membuat sosok rupawan itu menghembuskannya napas kelegaan. Akhirnya ia bisa terbuka kepada seseorang yang mengerti dirinya.

“Aku mengerti, Rin.” celetuk Chifuyu.

Thanks, ya.”

“Setiap manusia itu akan pergi dan mati, Rin. Tapi gak ada namanya cinta yang gak abadi kalo keduanya menjalani perasaan itu dengan sungguh-sungguh dan dengan hati yang kuat. Biarpun ombak menghantam kalian tapi jikalau cinta kalian itu kuat, memangnya bisa terhempaskan? Yang kamu butuhkan adalah kepercayaan yang penuh akan cinta kalian, bahwa kalian senantiasa akan selalu saling mencintai hingga maut yang memisahkan kalian. Jauhin pikiran kamu yang begitu sebelum semuanya benar-benar terlambat. Jangan membuat kalian sama-sama menderita.”

Walau manusia beranjak mati, tak ada jiwa lagi yang disinari, tak ada bunga yang akan disirami, tenggelam dalam suasana malam yang sunyi, telah meraih segumpal mimpi, cintanya akan selalu abadi dibaluti bingkai lukisan memori.

...

Tentang Sanzu.

Sanzu Haruchiyo, kerap mereka kenali. Sosok konseptual yang tak seorang pun dapat mengenali perangai asli darinya. Sosok jenaka yang selalu membawa gelak tawa, namun siapa yang akan menyangka bahwasanya ia hanya berpura-pura. Tak ada yang tahu bagaimana rapuhnya sosok Sanzu bak daun yang telah layu. Tak ada yang menangkap luka lara yang menganga di setiap jenjang tubuh Sanzu. Ia terlalu piawai dalam menyembunyikan semuanya seolah-olah ia baik-baik saja.

Di balik topengnya, Sanzu itu rapuh. Bahkan untuk melangkah pun masih tertatih. Sebab itu ia menggapai tangan seseorang untuk membantunya berjalan. Namun, rupanya berpegangan tangan pada sesama umat manusia tak akan menghasilkan apa-apa. Ia juga berakhir terjatuh ke tanah. Tapi, bukannya memang begitu? Apa yang bisa diharapkan dari insan yang sama rapuhnya?

Mari membuka buku yang telah lama Sanzu tinggalkan, jika bisa ia ingin menguburkan.bait-bait kenangan itu agar tak kembali tercium ke permukaan. Di mana saat itu Sanzu baru saja duduk di bangku sekolah menengah atas. Si bungsu, alias adik perempuannya baru berusia 15 tahun, tak jauh terpaut usia dengannya. Sedangkan, saudara tertuanya sudah cukup berumur sekitar 20 tahun. Awalnya biasa-biasa saja hubungan keluarga mereka sama seperti keluarga pada umumnya. Senju dan Sanzu yang sikapnya hampir mirip dan Takeomi yang paling bijak di antara mereka.

Hidup tanpa orang tua membuat merea bertiga harus berjuang sendiri demi melangsungkan kehidupan yang semakin melambung seiring waktu. Takeomi mengemban kebutuhan kedua saudaranya agar mereka memiliki kehidupan yang lebih baik. Tak peduli pekerjaan apa yang ia tekuni yang penting menghasilkan lembaran cuan. Kehidupan Sanzu dan Senju sangat terpenuhi, dilimpahi banyak harta kekayaan, serta bergelimang tahta.

Itu semua berkat usaha Takeomi.

Suatu ketika, Takeomi mengambil langkah yang salah demi hasilkan makin banyak uang. Tanpa disengaja ia telah menjual salah satu adiknya pada sosok berjas yang mendominasi dunia atas dengan kedudukannya yang tinggi. Takeomi tak dapat berbuat banyak selain bungkam seribu bahasa membiarkan mereka meraih pergelangan tangan Sanzu yang masih lugu. Rupanya Takeomi telah dimanipulasi oleh mereka semua tanpa ia sadari. Mereka yang jatuh cinta pada paras Sanzu melegalkan segala cara untuk mendapatkan anak itu dari Takeomi.

Sanzu tak dapat berbuat banyak selain membenci sosok Takeomi dengan amarah yang menggebu-gebu. Hatinya telah menghitam, tak ada lagi tatapan seterang langit di sepasang iris Sanzu, awan hitam sudah menguasai seluruh dirinya. Sanzu yang masih remaja hanya mengeja kebencian daripada yang lain. Orang-orang itu meninggalkan banyak goresan luka di tubuhnya membuatnya nampak menyedihkan dengan bekas yang selamanya membelenggu dirinya.

Namun, semua itu untung saja tak berlangsung lama, Kokonoi mengambil alih hak milik Sanzu menggunakan kekuasaannya. Kokonoi satu-satunya yang melihat bagaimana hancurnya sosok Sanzu. Membuat orang-orang penuh dosa itu perlahan mati di balik jeruji besi. Sementara itu ia menyelamatkan Sanzu yang berada di ujung jurang. Kokonoi lah yang memberikannya pelukan hangat dan selalu menjaga dirinya.

Sanzu mulai membenci keluarganya, pergi dari hadapan mereka seolah-olah telah lama mati. Hidupnya hanya diisi derita, lara, dan luka. Terperangkap dalam ruangan tanpa pintu keluar sampai ia bertemu dengan sosok Rindou. Sosok baru yang mengajarkannya cinta di celah-celah dunia gelapnya. Mulai merasakan rasa nyaman saat sosok itu memberikan perhatiannya kepada Sanzu.

Dan sosok itu juga yang membuatnya kembali trauma saat Rindou mengajaknya melakukan hal di luar batas pertemanan mereka, tapi ia tak sepenuhnya ragu sebab ia melakukan atas dasar cinta. Ia percayakan seluruh semestanya pada Rindou. Ia biarkan Rindou menjadi dalang di hidupnya, karena hanya kepada Rindou ia bisa merasakan hidup kembali.

Namun, buana tak selamanya berpedar pada keinginan umat di dalamnya.

Sanzu berujung terluka karena bersama Rindou, tetapi ia tak begitu saja menyerah. Ia ingin selalu mengejar Rindou ke mana pun pemuda itu pergi. Tak peduli rasa sakit pada dirinya yang penting ia bisa selalu berada di dekat Rindou, kapanpun itu. Sekali lagi karena Sanzu itu percaya padanya. Percaya bahwa Rindou adalah orang yang benar untuk ia ikuti.

Kembali di masa sekarang, Sanzu meringkuk di dalam lipatan kakinya. Wajahnya sudah kacau balau dengan air mata yang membasahi seluruh parasnya. Ia baru saja menangis setelah membalas pesan Rindou dan mendapati postingan Rindou dengan pemuda lain yang membuatnya murka. Ia meredam suara tangisannya agar tak ada seorang pun yang dapat mendengarnya. Terlebih jikalau Kokonoi yang tahu bisa aja pemuda itu akan langsung terbakar emosi.

“Benci ... benci banget sama diri gue sendiri. Seharusnya lo gak usah hidup aja, hidup lo gak guna sama sekali, Sanzu ... ”

Namanya Sanzu, Sanzu Haruchiyo. Tak ada lagi embel-embel Akashi yang tertera di namanya. Lantara orang itu telah lama mati, namun telah berganti dengan sosok yang baru. Lisannya menuturkan kalimat-kalimat yang begitu memilukan, menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian yanh tengah terjadi. Tangisannya kembali runtuh membasahi wajah cantiknya.

Hingga ada tangan yang mendekap tubuhnya dengan erat dan mengusap punggungnya dengan sangat lembut, tak ingin membuat sosok itu makin hancur. Sanzu langsung terperanjat dan matanya membelalak kaget. Ia tak sanggup untuk mengeluarkan suara selain isak tangis.

“Jangan nangis, Haruchiyo. Melihat kamu kayak gini bikin aku juga terluka. Jangan khawatir aku gak akan pernah berpaling dari kamu. Selamanya, Haruchiyo. Selamanya aku akan selalu bersama kamu dan mencintai kamu. Sudah, ya?”

Tangisannya tiba-tiba terhenti, ia tahu betul siapa pemilik vokalisasi itu serta pelukan hangatnya yang khas. Sosok itu adalah Rindou, orang yang sangat ia sayangi. Tangisannya langsung pecah begitu saja ketika mendengar penuturan Rindou.

Cinta, katanya.

Apakah Rindou sudah membuka hatinya untuk menerima perasaan cinta itu?

“Rin ... ?”

“Di sini, sayang. Jangan menangis lagi, ya? Aku gak akan pergi lagi kok.”

Sanzu membalas pelukan Rindou, yang pertama kali ia lihat adalah sosok Rindou yang tersenyum dengan tulus kepadanya. Tangannya yang menghapus jejak air mata di pipinya, bibir yang menyentuh bibir ranumnya dengan ciuman lembut.

“Aku sangat mencintaimu, Haruchiyo.”

[]

Setelah pertengkaran yang terjadi di ruang obrolan mereka, Seishu menjadi tak tenang di dalam kamarnya. Ia terperanjat mendapati balasan sarkasme Kazutora kepadanya saat dirinya ingin memperbaiki benang yang kusut di antara mereka. Tak pernah sekalipun Kazutora semarah itu kepadanya selama mereka berteman. Kazutora tipikal orang yang mudah menelan emosinya dibandingkan dengan temannya yang lain.

Takemichi berperan sebagai orang yang cukup bijak di tengah-tengah mereka, ditambah kehadiran Souya yang menjadi pelengkap. Hakkai dan Kazutora yang selalu membuat pertemanan mereka berkesan dengan tingkah laku mereka yang di luar akal sehat manusia, tanpa adanya mereka berdua pertemanan mereka akan begitu membosankan. Lalu, sosok manis Chifuyu. Sosok penurut dan patuh pada segala titahan yang dilemparkan kepadanya. Tak banyak melayangkan keluhan mengenai teman-temannya.

Dan si bintang utama, Seishu. Sosok yang banyak dikagumi oleh orang-orang, baik paras eloknya maupun kebaikan hatinya. Tokoh Seishu itu sebagai pelengkap di hubungan mereka, menjadi orang yang netral kepada semuanya. Ia dapat menjadi apa saja untuk mengisi ruang yang rumpang di tengah-tengah pertemanannya. Maka dari itu Seishu akan selalu menjadi bintang yang tersohor.

Merajut ikatan relasi enam orang terkadang membuat kewalahan, sebab menggabungkan sekian banyak personalitas dari berbagai karakter yang terlihat di dalam satu wadah yang sama. Ada beberapa cairan yang tak dapat bersatu, pula ada partikel-partikel yang ingin selalu berdampingan. Namun, perbedaan itulah yang membuat mereka saling bertaut.

Tak jarang ada pertikaian kecil yang menguap, namun akan mereka selesaikan dengan komunikasi yang baik sebelum pertikaian itu meluap menjadi besar. Komunikasi adalah kunci segala hal, tanpa adanya komunikasi yang lancar hanya menyebabkan kejadian simpang siur.

Seperti di masa ini, tampaknya ada ego yang membumbung tinggi di diri Kazutora dan Chifuyu yang membuat keduanya tenggelam dalam lautan emosi. Tak berpikir panjang dan mengambil keputusan sepihak, percikan masalah itu menyebar kepada yang lainnya. Memanifestasikan terjadinya perpecahan dan menghasilkan perbedaan kubu. Ada pihak yang membela oknum a dan ada juga yang membela oknum b.

“Brengsek!” umpat Seishu dengan melemparkan ponselnya ke atas ranjang.

Sebenarnya ia juga tengah emosi, tapi ia berusaha sekuat tenaga untuk menahan emosi itu agar tak meluap-luap supaya tak memperkeruh suasana. Sepertinya mengeluarkan sepatah kata pun dapat mematahkan hati mereka yang tengah rapuh. Maka dari itu Seishu lebih memilih diam sementara waktu.

“Gue capek ... ” ujarnya pelan.

Namun, selang beberapa menit kemudian sosok itu bangun dan bergegas keluar dari dalam kamarnya. Meminta sang kakak agar membiarkannya mengendarai mobil. Tujuan Seishu saat ini adalah rumah Kazutora. Lantaran Seishu ingin memotong jalur pelarian Kazutora, ia ingin mendengar langsung cerita Kazutora. Tak acuh pada kemungkinan amarah Kazutora muncul karenanya. Ia ingin menemui sahabatnya tersebut sebelum semuanya runyam.

Tok. Tok.

Seishu mengetuk pintu rumah Kazutora secara terburu, dua menit tak kunjung di buka oleh sang empu, tentunya ia tak mudah menyerah begitu saja.

“Kazutora, bukain, ini gue.” teriak Seishu.

Tak ada balasan dari dalam rumah, tetapi Seishu tahu jikalau eksistensi Kazutora ada di dalam rumahnya. Seishu mengetik beberapa pesan untuk Kazutora dan bergegas mengirimnya, tangannya masih mengetuk daun pintu sampai Kazutora mau membukakan pintu untuknya.

“Gue gak akan pulang sampai lo keluar.” sambung Seishu.

Tak lama kemudian, pintu utama terbuka lebar menampilkan sosok Kazutora yang berantakan. Surai berwarnanya acak-acakan, wajahnya yang pasi, serta mata yang membengkak. Kazutora sekacau itu, tetapi tak ada satupun yang menyadari. Pun tak ada yang tahu apa rencana yang bersemayam di benak Kazutora dan bagaimana hancurnya perasaannya setelah dilempar oleh kenyataan yang menyakitkan. Kazutora sama terlukanya.

“Kenapa—”

Belum selesai Kazutora menyalak, ia mendapatkan tubuh ringkih Seishu mendekapnya begitu erat. Meletakkan kepalanya agar bersandar di pundak sempitnya. Meminta pemuda itu untuk meluruhkan egonya sekarang juga. Seishu mengusap surai panjang Kazutora dengan begitu lembut seolah tak ingin meninggalkan luka di atasnya.

“Ssut. Gue tau ada yang gak beres sama lo.” ujar Seishu dengan nada pelan, “makanya gue dateng ke sini buat liat keadaan lo secara langsung. Gue tau perasaan lo, Kazutora, tapi gue akan sangat mengerti apabila lo cerita sama gue.”

Detik itu juga Kazutora menumpahkan segala tangisannya di dalam dekapan Seishu. Meluruhkan semua perasaannya di dalam tangisan tersebut, tak peduli Seishu akan mendapati sosoknya yang lemah. Rasanya begitu berat untuk membendung itu lebih lama lagi dan tangisan itu sedikit membuatnya lega. Seishu tersenyum, setia membelai surai Kazutora. Menyalurkan semangat kepada temannya itu.

“Gak apa-apa, gue ada di sini, lo gak akan sendiri, Kazutora.”

...

“Bisa gue tau apa yang sebenarnya terjadi sama lo dan juga Baji?” tanya Seishu tatkala Kazutora telah usai dengan tangisannya, keduanya berada di dalam kamar Kazutora untuk menenangkan pemuda itu.

“Seperti yang pernah gue ceritain ke kalian, gue sama Baji itu childhood friend which turned out to be crushes for each other on the basis of affection. Awalnya berjalan lancar layaknya dua orang yang sedang jatuh cinta, kadang kita ketemuan atau nge-date and the worst, gue pernah tidur sama dia atas kemauan kita berdua sih, gak ada paksaan dari dia soalnya gue bener-bener cinta sama dia, Sei. Jadi, gue mikirnya gak masalah untuk melakukan itu sama dia. Sampai di mana dia mulai agak berubah sama gue, dia sering main handphone pas lagi jalan sama gue dan ngerasa ragu dengan perasaan dia sendiri.”

Kazutora menghambur deru napas, rasa mencekik kian muncul kala lidahnya menuturkan kata demi kata. Seishu hadir untuk mengusap punggung Kazutora atau sembari mengatakan, ‘tidak apa, perlahan aja.’ Kazutora menetralisasikan napasnya seraya berjalan mundur mengingat-ngingat kenangan di masa lalu.

“Gue bukan tipikal orang yang gak ngasih privasi ke seseorang yang deket sama gue, sekalipun itu pacar gue. Jadi, gue gak pernah maksa Baji untuk ngasih handphone dia ke gue biar gue tau apa yang dia lakuin di benda itu. Gue cuman bermodalkan kepercayaan ke dia. Makanya gue gak tau ternyata dia main cyber juga dan di sana lah dia ketemu sama Chifuyu.”

“Kazutora, sorry for not knowing anything about what you’re going through.”

“Makasih banyak, Seishu. Lo satu-satunya yang selalu ngertiin gue.” Walau dengan wajahnya yang sendu, Kazutora masih menyelipkan senyuman terlukanya. Berusaha terlihat baik-baik saja di hadapan sahabatnya tersebut. Sampai kapanpun, Kazutora ingin selalu berusaha agar semuanya berjalan dengan baik. Tak peduli akan ada banyak lara yang mengemban di dalam dirinya.

“Gue selalu mendukung Chifuyu untuk deket sama Kei walaupun Kei tarik-ulur hubungan mereka, gue marah banget tentang itu. Gue gak suka Kei permainin Chifuyu, karena semua temen gue berhak bahagia bukan untuk terluka. Sampai pada saat Chifuyu ketemu sama Kei, gue sebahagia itu lihat hubungan mereka yang ada kemajuan. Di chat gue bilang semangat ke Chifuyu, berharap pertemuan mereka berjalan lancar, tapi kayaknya pas mereka ketemu gue adalah salah satu penghambatnya. Gue minta Baji untuk nemenin gue ke mall bertepatan Baji sama Chifuyu ketemu, di situ gue gak tahu apa-apa perihal Baji maupun Chifuyu. Gue cuman berpikir, Baji itu deket sama gue.

Pula, gue gak tahu bagaimana kecewanya Chifuyu menunggu Baji yang lagi jalan sama gue. Semuanya masih sesuai dengan rencana Baji, gue dan Chifuyu masih gak tau apa-apa. Sampai ketika Chifuyu ngirim foto mereka berdua dan di situ lah gue tahu semuanya. Lo mau tau, gue nangis dan kecewa sama Baji karena udah main belakang dari gue, lebih buruknya sama sahabat gue sendiri. Kayaknya dunia itu terlalu sempit, sampai-sampai gue sama Chifuyu jatuh cinta dengan orang yang sama tanpa sepengetahuan kami.

Gue nangis bukan karena Baji, tapi karena Chifuyu. Gue ketakutan jikalau Chifuyu tahu bahwa Baji sebenernya gak 100% serius sama dia. Gue takut Chifuyu terluka, tapi bodohnya gue membuka semua fakta itu secara tiba-tiba di pertemuan kita kemarin. Gue bongkar di hadapan Chifuyu dengan emosi.”

Sekarang Seishu mengerti alasan di balik kejadian yang terjadi beberapa waktu yang lalu, tebakannya di awal benar. Kazutora tipikal orang yang selalu memikirkan orang lain, tak peduli apa yang akan terjadi pada dirinya sendiri. Ia rela menjadi pondasi yang kuat bagi orang-orang di sekitarnya, walau diterpa angin ribut ia akan selalu berdiri kokoh. Seishu menatap iris Kazutora yang kosong, seperti ada beban yang tengah ia tanggung di pundaknya.

“Gak apa-apa, Kazutora. Lo udah sangat hebat.” ujar Seishu menenangkan.

“Gue harus gimana ke Chifuyu ... ? Gue gak beneran marah sama dia tapi gue pengen tau perasaan Chifuyu ke Baji gimana supaya gue bisa lepasin Baji dengan baik dan dengan alasan yang tepat.” sambungnya. Melihat sosok Kazutora seperti ini juga membuat Seishu menjadi sedih. Kazutora yang hancur hingga berkeping, berjuang demi kebahagiaan orang lain.

“Komunikasi. Bukannya kita selalu selesaiin masalah dengan komunikasi? Lo harus ngobrol berdua sama Chifuyu, jelasin ke dia sejelas-jelasnya. Chifuyu juga sedih liat hubungan lo berdua kayak gini.”

“Gue malu ... ”

“Buat apa? Lo berjuang terlalu banyak untuk kita semua.”

Kazutora menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan, ia merasa bersalah ketika tak sengaja membentak Chifuyu saat temannya itu mengirimkan pesan obrolan kepadanya. Ia hanya ingin menguji kekuatan hati Chifuyu dan ingin mendapatkan jawaban yang tulus dari Chifuyu mengenai perasaan ke Baji.

Sebab ia rela melepaskan Baji untuk Chifuyu apabila hati mereka saling kokoh ‘tuk menorehkan nama masing-masing.

...

Mall. Pusat pembelanjaan terbesar di kota mereka, tempat yang mereka kunjungi saat ini. Seishu mengajak sahabatnya itu pergi bersama agar Kazutora tak terpuruk dengan hawa lara yang semakin menguasainya. Kazutora perlu bernapas lega sejenak dibanding memikirkan masalah yang sedang ia arungi. Seishu meminta Kazutora untuk makan malam sebab keduanya belum memasukkan apapun ke dalam perut mereka.

Ditambah menangis membuat keduanya kelaparan. Seishu nampak senang ketika melihat wajah Kazutora yang lebih cerah dan ekspresif daripada sebelumnya. Ia mulai tersenyum tulus tatkala Seishu melayangkan guyonan. Memang sejak dahulu keduanya sedekat ini.

Seishu melayangkan pandangannya ke sosok pemuda bertubuh jangkung dengan surai merah muda. Seishu mengenali sosok itu sebab dari itu, Seishu langsung melolongkan namanya dengan lantang.

“Sanzu!” teriak Seishu.

Merasa namanya dipanggil oleh seseorang, sosok itu mengedarkan pandangannya ke sana ke mari mencari di mana munculnya suara tersebut. Pandangannya terhenti pada Seishu yang melambaikan tangannya kepadanya. Spontan sosok itu menunjukkan senyum lebar dan bergegas menghampiri meja yang ditempati Seishu.

“Wah, Seishu!” ujarnya antusias.

“Kebetulan banget ketemu di sini, lo sama siapa ke sini?” tanya Seishu kepada Sanzu.

“Iya nih, gue sendirian aja.” jawabnya.

“Yaudah duduk sama gue aja sini daripada lo sendirian, ‘kan?” tawar Seishu. Sanzu langsung menerimanya dan mengambil tempat duduk di samping Seishu.

“Kazutora, ini temennya Koko, namanya Sanzu, dia juga main cyber. Nah, Sanzu. Kenalin ini temen gue namanya Kazutora. Gue bakalan seneng kalo kalian kenalan.” Seishu memperkenalan Sanzu dan Kazutora, lalu mereka saling berjabat tangan dan menampilkan senyuman ramah satu sama lain.

Terasa ada yang aneh, Sanzu menatap Kazutora lamat dan sempat terdiam. Nama Kazutora tak begitu asing di telinganya, hingga beberapa sekon kemudian Sanzu terperanjat. Kazutora adalah pujaan hatinya Baji sebelum bersama Chifuyu.

“Kazutora ... maaf sebelumnya, I feel bad for you because of Baji.” lirih Sanzu.

Kazutora mendongakkan kepalanya, sempat terheran karena Sanzu mengetahui permasalahannya dengan Baji tapi setelah itu ia hanya tersenyum simpul. Ia sudah mengatakannya kepada Seishu bahwa mulai sekarang ia akan baik-baik saja. Kazutora merasakan punggung tangannya diusap oleh Sanzu, seolah mengirimkan banyak semangat untuknya.

I’m fine, Sanzu. But, thank you.”

“Tenang aja pas gue ketemu Baji nanti, orangnya bakal gue tonjok!” ujarnya dengan emosi yang menggebu-gebu.

Mendengar itu membuat Kazutora terkekeh seketika. Ia merasa senang karena dikelilingi orang-orang baik sekarang, mereka yang khawatir akan dirinya, mereka yang setia mendengar setiap ceritanya. Kazutora setidaknya sudah cukup bersyukur diberikan teman-teman yang peduli padanya. Maka dari itu ia korbannya perasaannya demi kebahagiaan yang akan mereka raih.

Lantaran, teman segalanya untuknya.

[]

Kala sang mentari menilik dari ufuk timur, para manusia membuka jendelanya membiarkan sinar matahari menerangi kediaman mereka, tanda hari telah berganti, meninggalkan malam yang sepi. Mereka seduhkan secangkir kopi panas lalu diletakkan atas meja demi menikmati hangat mentari di tengah-tengah dinginnya embun pagi. Udara segar yang pantas dihirup, bunga yang bermekaran, aroma khas dari suasana pagi menyeruak di indera setiap manusia.

Kokonoi dan teman-temannya siap ingin berangkat melakukan sunmori yang biasanya dilakukan banyak pemuda bersama teman-teman sebayanya. Jalan-jalan santai menggunakan motor pada hari Minggu, katanya. Dengan motor mereka masing-masing, detik itu juga mereka menyalakan mesin mereka agar panas dan menarik pedal gasnya membelah jalanan ibu kota yang masih hening belum dipenuhi hiruk-pikuk kegiatan manusia, maklum hari Minggu adalah hari libur yang dinikmati orang-orang untuk lebih memilih bermalas-malasan di rumah.

Suara knalpot mengisi kedamaian yang ada, namun tak ingin beraksi anarkis. Mereka menjalankannya dengan kecepatan rata-rata. Hendak menikmati suasana ibukota di pagi hari, ujar mereka. Ada banyak yang ikut kegiatan hari ini, mereka adalah Kokonoi, Haitani bersaudara, Sanzu, Baji bersama Chifuyu, Kakucho dengan tambatan hatinya Izana, dan Seishu. Namun, rute mereka sekarang menuju ke kediaman pemuda manis itu.

Sanzu meminta untuk menumpangi kendaraan Rindou, Ran mengendarai Harley Davidson seorang diri, tentunya Baji menunggangi BMW hitamnya bersama si manis Chifuyu, Kakucho yang hanya menggunakan motor matic bersama Izana. Kokonoi yang siap memberikan tumpangannya kepada Seishu.

Wajahnya indah berseri sebab sebentar lagi ia akan bertemu dengan Seishu, jantungnya menjadi berdegub lebih kencang. Padahal ini bukan kali pertama mereka bertemu, tetapi rasa gugup selalu saja terselip di diri mereka. Sesampainya Kokonoi dan teman-temannya di depan rumah Seishu, Kokonoi mengirimkan beberapa pesan kepada pemuda itu mengatakan bahwa ia telah sampai. Tak selang waktu kemudian, Seishu hadir dengan setelan kasualnya dan betapa terkejutnya ia melihat segerombolan orang yang berada di depan rumahnya.

“Hai, Seishu!” ucap mereka bersamaan. Sontak Seishu terkesiap dan menatap Kokonoi dengan segudang kebingungan. Ia tak menyangka ada banyak orang yang ikut bersama mereka hari ini.

“Mereka semua temen-temen gue, Sei.” ujar Kokonoi memberi penjelasan.

“Oh ... ”

Chifuyu membuka kaca helm-nya ke atas dan menepuk pundak pemuda itu pelan, Seishu berjengit kaget mendapati tepukan tiba-tiba. Chifuyu menampilkan senyuman manis dan tak lupa menyapa sahabatnya juga. Seishu makin dibuat kaget dengan kehadiran Chifuyu bersama laki-laki bertubuh jangkung dengan surai ikal yang tergerai panjang. Pemuda itu tertutupi helm yang ia kenakan, Seishu tahu bahwa pemuda itu tak lain dan tak bukan Baji.

“Ada lo juga, Chi?” tanya Seishu basa-basi, sudah jelas ia melihat entitas Chifuyu di hadapannya bersama sang pujaan.

“Di ajakin sama Kak Kei.” sahutnya sembari menunjuk punggung Baji.

“Oh, ini gebetan yang lo maksud?” tukas Seishu sarkasme, ia melayangkan pandangan serius pada sosok Baji sembari bersedekap dada, “Kei ‘kan lo? Jagain temen gue, ya. Awas gak lo pulangin dengan baik-baik.” titah Seishu.

Melihat tingkah Seishu yang blak-blakan kepada Baji membuat Kokonoi tergelak, Seishu itu mempunyai urat malu yang tipis maka dari itu ia dapat menasehati Baji dengan vokalisasi dinginnya. Chifuyu yang mendengar itu gelagapan sebab temannya benar-benar tak tahu tempat.

“Seishu, bener-bener ya lo! Jangan didengerin ya, Kak? Temenku yang satu ini emang kurang waras.” timpal Chifuyu kepada Baji yang tertawa habar.

“Pinjem temennya dulu, ya, Sei?” ucap Baji kepada Seishu.

Sementara teman-temannya yang lain menyaksikan adegan itu hanya bisa tertawa sumringah sembari menggodai Baji. Mereka salut dengan keberanian yang Seishu punya, mereka sudah menyaksikan secara langsung bahwa sosok Seishu itu unik, jarang ditemukan di sekitar mereka.

“Tuh dengerin, Ji!” Sanzu meneriaki Baji seraya tertawa renyah setelahnya.

“Iya, iya.” balas Baji.

Stop php-in anak orang atau lo bakal dimarahin sama Seishu.” Ran tiba-tiba ungkap bicara untuk menggoda Baji.

Seishu menoleh pada motor yang terparkir di samping motor Baji, ia menemukan sosok laki-laki dengan surai keunguan yang ditata serapi mungkin. Lagaknya Seishu tahu siapa pemilik suara itu, dari wajahnya ia dapat mengenali bahwa itu adalah Ran. Salah satu teman Kokonoi yang pernah mengirimkan pesan kepadanya. Ran membalas tatapan Seishu dan mengangguk pelan. Seishu membalasnya dengan senyuman canggung dan segera menghampiri Kokonoi.

“Halo, cantik.” tegur Kononoi yang sedang memasangkan helm ke kepala Seishu.

“Hai, Ko.” Senyuman yang Kokonoi puja kembali terpatri di paras elok Seishu.

“Kalo kedinginan bilang gue, ya?” ujar Kokonoi lembut, tak lupa mengapit pengait helm yang Seishu kenakan agar mereka melengkapi peraturan keselamatan selama berkendara karena Kokonoi tak mau ada kejadian yang tak diinginkan tiba-tiba terjadi kepada mereka. “Nah, udah.”

“Iya, Koko. Gue udah pakai jaket kok, kayaknya gak bakal kedinginan.” balas Seishu dan segera naik ke motor yang Kokonoi kendarai. Ia segera melingkarkan lengannya pada perut Kokonoi begitu erat seolah tak ingin lepas sedetik pun.

Kokonoi memandangi lengan Seishu lalu beralih menatap kaca spion yang menunjukkan wajah Seishu yang sangat teramat indah baginya untuk dipandangi. Hangat mentari dan alunan elegi yang menyatu mengikat mereka. Tak hanya aroma rindu yang mereka sesap, tapi juga aroma kebahagiaan cinta yang mereka hirup. Rengkuhan Seishu lebih menghantar hangat dibanding sang surya. Senyumnya yang lebih manis daripada gula. Seishu itu sebuah seni yang dilukis begitu sempurna.

“Masih gak sadar, ya?” Kokonoi tiba-tibs berucap kepada Seishu.

Ia mengerutkan kening karena bingung dengan pertanyaan Kokonoi, “apanya?”

The motorbike you are riding, cantik.”

Seishu sempat menggeleng sebagai jawaban, Kokonoi tersenyum simpul dan segera meminta Seishu untuk melihat motor yang mereka naiki saat ini. Obsidiannya mengedar pada motor yang berwarna putih berkilap dengan garis-garis yang bertulisan Christian Dior di sekujur bagian motor. Seishu langsung membulatkan matanya melihat motor yang saat ini melaju membawa mereka berdua.

Vespa Dior. Motor yang selama ini ia idam-idamkan, namun siapa menyangka bahwa hari ini ia dapat menumpangi motor tersebut bersama orang terkasihnya. Pasang irisnya berbinar dan nyaris mengeluarkan air mata. Semejak berbicara dengan Chifuyu ia sampai tak menyadari dengan motor yang Kokonoi kendarai. Ia tahu bahwa harga motor ini sangat fantastis, sebab vespa Dior yang ia inginkan merupakan edisi terbatas.

“Koko ... i-ini punya siapa ... ?” Tiba-tiba saja suara Seishu bergetar, ia masih tak menyangka dengan motor tersebut.

“Punyanya kamu, biar kalo jalan sama Seishu gak perlu pinjam punya Rindou lagi. Katanya kamu mau naik vespa ini, ‘kan? Kebetulan aku nemu supaya bisa bawa kamu jalan-jalan pakai ini.” jelas Kokonoi lembut. Perasaan bahagia juga tersalur kepadanya, melihat reaksi gembira Seishu membuatnya benar-benar bahagia.

“Jangan bercanda, Ko ...

“Aku beneran, ini punya kamu.” jawab Kokonoi lagi untuk meyakinkan Seishu.

Seishu menutup wajahnya dengan salah satu tangannya, ia ingin berteriak secara lantang untuk mengungkapkan rasa bahagia yang menumpuk di hatinya saat ini. Bagaimana bisa Kokonoi memperlakukannya seperti ini? Seishu benar-benar tak paham. Sejak Seishu bercerita tentang vespa yang ia sukai, Kokonoi diam-diam membeli vespa tersebut dengan harga yang melambung tinggi, tentunya bersama bantuan Ran. Motor ini ia peruntukkan untuk Seishu, bukannya memandang harga, Kokonoi hanya ingin Seishu-nya bahagia. Itu saja.

“Gue gak tau mau bilang apa ... tapi makasih banyak ... gue gak pernah berharap lebih sama barang yang harganya terlalu tinggi, gue cuman sekedar suka dan habis itu gue coba ikhlaskan, tapi ini ... gue tiba-tiba bisa dapetin barang itu dari lo.”

“Seneng gak?”

“Banget, Ko. Gue seneng banget. Makasih banyak, ya. You’re like a miracle in my new life because when I’m with you everything’s happen. Thank you for taking me to a love. I don’t know how to describe my feelings for you, but I’m trying.” Seishu mengeratkan rangkulannya pada pinggang Kokoi sembari melayangkan pandangan yang tak dapat ia gambarkan dengan kata-kata melalui kaca spion.

“Gue juga senang bisa bersama lo sampai hari ini, Seishu.” Ditemani semilir angin yang menyegarkan relung jiwa, hati yang berdebar lebih cepat, perasaan luar biasa bahagia yang tersampir di masing-masing diri keduanya. Saat mereka bersama, dunia terasa lebih berwarna dan berarti.

Di balik itu, Chifuyu memperhatikan temannya yang berada di depan mereka. Netranya tak luput dari pemandangan yang terjadi, ia turut bahagia melihat wajah Seishu yang berseri-seri. Bagaimana pun juga sebagai sosok teman yang telah membangun pertemanan bertahun-tahun lamanya, ia pun turut merasakan kebahagiaan yang sama saat melihat Seishu menunjukkan wajah bahagianya. Tanpa ia sadari, Chifuyu menarik sudut bibirnya ke atas membentuk sebuah garis senyuman. Baji melihat rupa Chifuyu melalui spion kecil dari motornya. Ia dapat memandangi rupa Chifuyu yang sangat indah, tak kalah cantik dari Seishu.

“Chi?” celetuk Baji.

“Eh, iya?”

“Senyum kenapa?” tanyanya yang kembali menaruh atensi kepada jalanan yang terhampar di hadapannya.

“Aku seneng lihat Seishu bahagia sama Koko, kapan lagi liat Seishu sebahagia itu.”

Baji diam kemudian mengangguk singkat, pikirannya mengenai kelembutan hati Chifuyu terbukti jelas. Bukan hanya berwajah menggemaskan, rupanya Chifuyu juga mempunyai hati yang sangat putih dan tulus. Tiba-tiba Baji mengusap punggung tangan Chifuyu yang tersampir di atas pahanya. Tidah kah Chifuyu sadar bahwa dirinya pun sangat bahagia saat ini, ia bahagia bersama Chifuyu.

Pemuda bersurai terang itu terkesiap merasakan telapak tangan hangat yang bersentuhan dengan kulitnya, namun beberapa sekon kemudian ia tersenyum. Bukan hanya Seishu yang tengah bahagia bersama Kokonoi saat ini, tetapi mereka berdua juga.

“Makasih sudah ngajakin aku, Kak.” ujar Chifuyu lembut.

“Sama-sama.”

Di samping motor yang dikendarai Baji, ada Rindou yang tengah fokus melajukan motor kesayangannya bersama Sanzu yang tengah memainkan ponselnya. Rindou sempat heran mengapa Sanzu lebih banyak diam tak seperti biasanya, walaupun sebelumnya Sanzu meminta untuk membagi tumpangannya bersama dirinya, tapi ia tak akan menyangka Sanzu hanya bungkam dan tak mengeluarkan sepatah kata pun kepadanya.

Rindou yang kesal dengan itu segera melajukan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata sehingga kini ia berada di garis terdepan untuk memimpin jalan teman-temannya. Sanzu tersentak dan refleks menggenggam hoodie yang dikenakan Rindou, serta teriakan teman-temannya yang menegur dirinya.

“Rin, gak usah ngebut kali!” tegur Kakucho.

“Rin, lo apa-apaan sih!” Kali ini Sanzu yang melayangkan protesan.

“Sepet liat Baji sama Koko.” jawabnya sembarang dan terkesan dingin.

Sanzu menghela napas kasar, ia menyimpan ponselnya ke dalam tas yang ia bawa. Tangannya tiba-tiba melingkar di pinggang Rindou dan meletakkan dagunya di atas pundak lebar Rindou. Ia tak membalas tatapan Rindou, justru melirik ke arah jalanan yang sepi. Kemudian netra sebiru lautan yang tenang itu terkantup rapat, ia tengah menikmati sejuknya suasana pagi ini. Ia sama sekali tak merasa dingin sebab ia mendekap Rindou begitu erat. Merasakan dekapan Sanzu di belakang punggungnya membuat Rindou sedikit lebih tenang dan nyaman.

“Suka, ‘kan?” sambar Sanzu dengan pertanyaan. Seolah tahu apa yang dimaksudkan oleh Sanzu, Rindou langsung mengindahkannya.

“Iya.”

“Lucu ya liat Koko yang sekarang bucin banget sama Seishu bahkan rela pesan vespa Dior dari jauh. Kapan lagi kita liat dia seserius itu sama seseorang? Adanya Seishu membuat Koko lebih ekspresif sekarang, dia lebih banyak mengerti tentang cinta bersama Seishu.”

Rindou mendengarkannya sampai Sanzu berhenti berbicara, suara itu bak melodi yang mengalun halus di rungunya. Hanya bersama dirinya Sanzu dapat memperlihatkan sisi dirinya yang asli, sosok Sanzu yang sebenarnya lemah, Sanzu yang sebenarnya terluka dalam. Banyak orang tak ‘kan tahu itu sebab Sanzu bersembunyi di balik topengnya.

“Menurut kamu kenapa dia bisa cinta sama Seishu?” tanya Rindou kepadanya.

Sanzu sedikit memajukan bibirnya berpose tengah berpikir, “mungkin karena dia Seishu? Karena Seishu yang perlahan-lahan mengeja arti cinta kepada Koko makanya timbul benih-benih cinta di antara mereka dan juga karena mereka memang ingin saling mencintai.” jawabnya.

“Memangnya arti cinta itu apa?”

“Kala dua orang saling mencintai dan merasakan hal yang sama satu sama lain, itulah yang disebut cinta.” jelas Sanzu, ekspresinya sangat sulit untuk dijelaskan. Ia hanya tersenyum namun pandangannya terlihat kosong.

“Kalo kita itu apa? Apa di antara kita memang ada cinta?” Rindou kembali bertanya perihal pertanyaan yang sama yang pernah ia tanyakan padanya dahulu.

Waktu itu mungkin Sanzu akan menjawab bahwa mereka disatukan oleh cinta, namun ia berpikir bahwa mereka tak sepenuhnya disatukan oleh cinta sebab cinta mereka tak begitu kuat. Hanya Sanzu yang memberikan cinta kepada Rindou, sedangkan pemuda itu tidak membagi perasaan yang sama kepadanya.

Sanzu tersenyum, “gak ada lagi cinta di antara kita, Rin. Hanya ada obsesi.”

...

“Panas, ya?” tanya Kokonoi kepada pemuda kesayangannya. Sekarang ini mereka berhenti sejenak setelah menempuh belasan kilometer, menghentikan perjalanan mereka di sebuah taman yang ramai pengunjung.

Seishu menggeleng, ia mengeluarkan selembar tisu dari dalam tasnya dan mengusapkan tisu tersebut ke wajah Kokonoi yang dibasahi oleh keringat. Terik matahari mulai terlihat karena waktu telah menunjukkan pukul 9, Kokonoi menatap pemuda itu dengan lembut dan mengujarkan kata terima kasih.

“Gue beli minum dulu, ya? Lo bisa ngobrol sama temen-temen gue selagi gue beli minuman di sana.” titah Kokonoi.

“Iya, beli dulu aja gih.”

Setelah memberikan usakan pada surai Seishu, Kokonoi beranjak pergi untuk membeli minuman dingin agar mengisi kerongkongan mereka yang mulai kering. Chifuyu menghampiri temannya itu dan duduk di sebelahnya, mereka menatap segerombolan teman-teman Kokonoi di hadapan mereka dengan lekat. Masih canggung untuk memulai percakapan dengan mereka semua.

“Seishu.” panggil Chifuyu.

“Iya?”

Chifuyu melirik pada setelan yang dikenakan Seishu, ia sempat terdiam sejenak sebelum membuka mulutnya kembali untuk bersuara.

“Gue tau jaket yang lo pakai saat ini pemberian Mitsuya, ‘kan? Jaket yang dia kasih di hari jadian kalian dan Mitsuya punya jaket yang sama kayak punya lo soalnya kalian samaan. Gue bener, ‘kan?”

Chifuyu berujar tanpa menatap Seishu yang terperanjat kaget, Seishu membulatkan matanya karena tercengang dengan kuatnya pengingat Chifuyu terhadap jaket yang ia kenakan hari ini. Tiba-tiba saja lidah Seishu kelu, ia tak tahu mengapa memilih jaket ini untuk ia kenakan padahal Seishu bersusah payah menanggalkan barang-barang pemberian Mitsuya dari ruangannya. Seishu menyukai jaket ini karena terasa nyaman saat ia kenakan, Chifuyu memang benar bahwa jaket ini pemberian dari Mitsuya dan pemuda itu juga mempunyai jaket yang sama dengan jaket ini.

“Eh ... lo inget ternyata.” ucap Seishu pelan.

“Jangan sampai throwback pas pakai barang dari Mitsuya, lo tau ‘kan dampak Mitsuya ke lo itu gimana? Bisa aja lo pengen balik ke dia lagi setelah memberi harapan ke Koko. Jangan jadi bego, ya, Sei. Gue bukannya mau nuduh lo, gue cuman mau mengingatkan lo aja.” tutur Chifuyu.

“Gak kok.” Seishu segera menampik, ia menoleh kepada Chifuyu untuk meyakinkan temannya tersebut. “Gue sekarang udah punya Koko, Mitsuya itu masa lalu gue.” sambungnya.

“Gue tau, jangan sampai salah langkah, oke? Gue gak mau lo sedih gara-gara masa lalu lo lagi, Seishu.”

Thanks, Chifuyu.”

Seishu tak mungkin kembali kepada masa lalunya lagi, bukan? Ia telah bergerak maju untuk membentuk takdir baru. Ia tak ingin lagi terjebak dalam kisah-kasih yang pernah ia lalui bersama Mitsuya. Seseorang yang memberikan dampak terbesar di dalam hidupnya dan seseorang yang selalu membuatnya terjerumus ke dalam lubang yang sama. Seishu tak mau lagi terlarut ke dalam arus masa lalu dan mimpi buruknya.

Mitsuya itu pembawa luka dan penawar luka untuknya. Ia yang menorehkan luka, maka dia lah satu-satunya yang dapat menyembuhkan luka Seishu. Andai dunia tahu bahwa Mitsuya itu berbisa dan menjadikan Seishu sebagai korbannya.

Namun, dunia tak akan percaya dengan pernyataan itu dan akan selalu menganggap bahwa Seishu lah yang salah.

[]

Suatu hari yang disambut langsung oleh sinar mentari yang menyebarkan sinar terangnya ke sebagian permukaan bumi. Semuanya antusias menjalani hari seperti biasanya, terutama teman-teman Seishu. Menghabiskan beberapa jam hanya untuk berbincang mengenai pakaian yang pantas mereka kenakan pada hari ini. Berujung Seishu yang menjadi penata busana untuk teman-temannya, mereka berkata bahwa hari ini sangat bersejarah selama pertemanan mereka berlangsung. Maka dari itu semuanya ingin berias untuk memoles paras mereka masing-masing.

Setelah membangun persahabatan bertahun-tahun lamanya, bahkan saat itu penampilan mereka masih bercompang-camping yang sama sekali tak pernah memikirkan tampilan diri. Masih tercetak jelas di ingatan Seishu, ketika mereka masih berusia belia yang hanya memikirkan permainan. Kini semuanya telah beranjak dewasa, permainan yang mereka lakukan jauh berbeda dengan permainan di masa kecil.

Mereka yang inosen dan lugu perihal dunia, terlebih kisah cinta. Pikiran mereka didoktrin hanya untuk bermain seperti pada anak-anak umumnya, tak banyak memikirkan masalah buana yang tumpah ruah. Hari demi hari berlalu, pikiran yang luas membuat mereka mengerti bahwasanya kehidupan berada di bawah asas. Hidup bukan untuk bermain belaka, di dalamnya ada banyak rintangan yang mereka lalui dan menjadi permainan baru yang harus mereka menangkan. Bila mereka terjatuh, maka mereka akan kalah.

Seperti itulah dunia yang mereka tinggali. Di permainankan oleh banyak oknum yang duduk di kursi besar kekuasaan.

Alih-alih, perihal Kazutora yang mulai merangkak ke dalam dunia asmaraloka. Di usianya yang masuk kepala dua, ia melangkah maju ke rintangan kehidupan baru. Cinta. Ia merasakan cinta yang tumbuh kian membesar di relung hatinya, terkadang membuat napasnya tercekik dengan jantung yang berdebar. Rasanya begitu asing di dalam dirinya, namun ia teramat menyukainya.

Selama ia tinggal di bawah langit biru, tak pernah sekalipun teman-temannya mendengar cerita mengenai Kazutora yang jatuh cinta dengan seseorang. Sebab dari itu ketika Kazutora terbuka kepada teman-temannya bahwa saat ini ia sedang jatuh cinta, semuanya menjerit antusias. Penasaran dengan sosok yang mampu menaklukkan hati Kazutora yang sekeras batu permata. Terlihat indah tetapi tidak mudah untuk ditaklukkan.

Seishu salah satunya yang teramat bahagia mengetahui temannya yang telah menemukan cintanya. Ia berharap agar Kazutora jatuh di tangan yang benar, ia tak ingin temannya itu terhempas ke atas tanah karena cinta alasannya. Hakkai dan Souya memilih berangkat bersama ke tempat yang mereka tentukan dari jauh hari, sedangkan Seishu, Chifuyu, dan Takemichi bepergian bersama.

Makanan dan minuman telah mereka pesan dan terhidang rapi di atas meja sembari menunggu peran utama yang datang. Mereka tenggelam dalam berbagai topik obrolan dengan diselingi guyonan yang membuat mereka tergelak.

“Chifuyu, menurut lo doi-nya Kazutora bakal secakep Koko gak?” sambar Seishu kepada Chifuyu yang duduk di sebelahnya.

“Gak tau, Seishu. ‘Kan kita semua belum pernah ketemu dia.” jawabnya.

“Cakepan gue sih dibanding cowok-cowok lo pada, makanya Hina mau sama gue.” Takemichi menyahut dari seberang meja dan dihadiahi sinisan remeh Seishu.

“Koko gak ada tandingannya, pokoknya dia paling ganteng. Gue jadi kebelet nikah kalo bahas calon suami gue itu.” celetuk Seishu dengan penuh kepercayaan diri.

“Ngarep!” timpal Hakkai. “Sei, lebih oke yang mana antara Jime dan Taka?”

Uhuk!” Pertanyaan yang Hakkai layangkan membuat Seishu tersedak minumannya, Chifuyu sigap menepuk pelan punggung Seishu seraya tersenyum. Pertanyaan yang bahkan Seishu tak pernah menemukan jawabannya. Ia tak bisa membandingkan dua pemuda itu. Keduanya memberikan kesan yang berbeda, baik Kokonoi maupun Mitsuya.

“Pasti lo gak bisa jawab.” ujar Hakkai.

“Gak jelas lo.” ujar Seishu sarkasme.

“Kazutora kok belum dateng-dateng juga sih? Padahal ini udah telat dari jam yang kita tentuin sebelumnya.” keluh Souya.

Semuanya setuju, Kazutora terlambat 15 menit dari waktu yang mereka tentukan. Biasanya pemuda itu selalu datang lebih awal ketika mereka merencanakan bepergian ke sesuatu tempat. Namun, kali ini Kazutora justru terlambat sedangkan teman-temannya sudah sangat terbakar perasaan penasaran pada sosok yang kerap Kazutora ceritakan kepada mereka.

Ketika Seishu ingin mengeluarkan keluhannya lagi, vokalisasi seseorang dari balik tubuhnya spontan membuatnya terdiam dan tak ingin buka suara. Sang peran utama telah datang, mereka berdua yang dinanti-nanti oleh mereka semua.

Kazutora memamerkan senyuman lebarnya seraya menyapa teman-temannya. Surai panjangnya dibiarkan tergerai serta dibaluti pakaian kasual. Pada saat Seishu dan Kazutora berjalan beriringan, orang-orang akan mengarahkan sorot matanya kepadanya sebab keduanya memiliki panjang surai yang sama dan terkesan mirip satu sama lain.

“Hai, temen-temen gak guna.” sapa Kazutora dengan semangat.

“Hai, sampah.” balas Hakkai, ia langsung mendapati teguran dari Souya, kekasihnya.

“Lama banget sih, tumben banget lo bikin kita nunggu.” pungkas Takemichi kepadanya.

Kazutora menyengir tak bersalah, ia memiliki tempat duduk di samping Takemichi. Seluruh netra temannya tersorot kepada dirinya sebab Kazutora datang seorang diri padahal ia berjanji mengajak kekasih hatinya bersamanya.

“Mana doi lo yang lo maksud itu? Kok lo dateng sendirian?” tanya Seishu yang masih kebingungan dengan Kazutora.

“Oh! Dia bilang mau ke toilet dulu baru samperin gue ke sini.” jawab Kazutora santai. Tak sengaja tatapannya bertemu dengan Chifuyu yang tengah tersenyum kepadanya. Kazutora hanya menghela napas dan meminum minumannya.

“Kami semua pada gak sabar mau ketemuan sama doi lo, Kazutora.” ujar Chifuyu dengan suara khasnya, halus.

“Bentar lagi dia nyamperin kok—eh! Itu dia di situ.” Perkataan terpotong kala dirinya melihat pemuda bertubuh jangkung berjalan ke sana ke mari, ia langsung melambaikan tangannya ke atas agar pemuda itu menangkap sinyalnya. “Sini!” titahnya pada pemuda tersebut.

Hakkai, Souya, dan Takemichi mengarahkan iris kembar mereka kepada sosok yang ditunjuk oleh Kazutora. Namun, ekspresi mereka langsung berubah tegang dan diam membisu. Sedangkan pemuda tersebut, menghampiri Kazutora dengan senyuman yang merekah di bibirnya. Ia juga teramat antusias bertemu teman-teman dari sosok yang ia cintai. Ia ingin mengenal Kazutora lebih dalam lagi.

“Sayang.” Pemuda itu angkat suara untuk memanggil Kazutora.

“Hai.” sapa Kazutora senang.

Mendengar suara seseorang itu membuat Chifuyu tersentak. Ia sungguh hapal dengan pemilik suara orang tersebut, bahkan Seishu pun langsung menoleh ke arah pemuda itu berpijak. Ia membelalakkan matanya tertegun melihat eksistensi Baji Keisuke di sampingnya, rungunya mendengar jelas bagaimana Baji memanggil Kazutora dengan sebutan sayang. Tiba-tiba suasana di meja yang mereka tempati menjadi senyap dan pengap. Tatapan Baji menyapu ke seluruh muka teman-teman Kazutora dan tatapannya terpaksa terhenti pada sosok Chifuyu yang tengah menatapnya.

“Kak Baji ... ?” ucap Chifuyu pelan sebab lidahnya spontan kelu.

“Baji?! Lo ngapain ada di sini?” tanya Seishu sarkastik, ia sangat terkejut dengan kejadian yang ada di depan matanya. Kepalanya langsung pening dan ia sontak berdiri seolah meminta penjelasan.

Hilang sudah paras mereka yang berseri menunggu kehadiran Kazutora dan pujaannya, semuanya berubah menjadi pias. Pijakan Chifuyu di atas lantai menjadi melemah, sedangkan Baji hanya bisa diam. Ia sungguh panik sekarang, ia tak menyangka bahwa Chifuyu adalah salah satu temannya Kazutora. Di balik itu ada entitas Kazutora dengan bersedekap dada dan melayangkan tatapan dingin, wajahnya bahkan tak menunjukkan ekspresi apapun. Datar. Memperhatikan sedetil mungkin kejadian yang sedang dimainkan di hadapannya. Hakkai dan Souya menatap Kazutora. Takemichi hanya terdiam.

“Kenapa apanya? Baji doi gue, makanya dia bisa ada di sini.” jawab Kazutora.

“Baji? Lo Kei, ‘kan? Gue gak mungkin salah lihat. Bukannya lo lagi deket sama Chifuyu, ya? Kenapa lo ada di sini, berdiri di hadapan teman-teman gue sebagai doi-nya Kazutora. Maksud lo apa, bangsat?” Hakkai naik pitam, ia sudah tak dapat menahan emosinya melihat ekspresi Baji yang memuakkan. Namun, secepat mungkin Souya menahan lengan Hakkai dan berbisik padanya, “jangan ... ”

Chifuyu? Hatinya mencelos, netranya tak salah mendapati kehadiran Baji di hadapannya sembari mengklaim dirinya sebagai pujaan hati Kazutora. Suaranya telah hilang di makan lara. Ia nyaris mengeluarkan air matanya. Apakah ini sosok yang mengucapkan janji kepadanya? Ia yang mengujarkan penuturan cinta. Sosok itu yang telah mengambil ciuman pertama. Baji yang merebut ruang kosong di hatinya. Chifuyu terlampau kecewa.

“Kenalin, cowok gue, namanya Baji Keisuke. Kita sudah dekat sekitar 10 bulan yang lalu walaupun gue sama Baji belum pacaran tapi kita sekarang lagi berkomitmen untuk menjaga perasaan kita masing-masing. Alasan gue membawa Baji hari ini di hadapan kalian supaya kalian tahu bahwa Baji itu milik gue.” tutur Kazutora dingin. Tak ada ekspresi yang terpatri rupa eloknya, tak ada penjelasan dari sorot matanya yang kosong.

“Chi-Chifuyu ... ?” cicit Baji kepada Chifuyu.

Souya sekuat mungkin menahan lengan Hakkai agar pemuda itu tak melayangkan tinjuan kepada Baji. Baji tergagap, ia bak didapati selingkuh oleh kekasihnya saat ini. Netranya berbeda pada Kazutora dan berakhir pada sosok Chifuyu yang menatapnya nyalang. Ia tahu bahwa pemuda itu amat terluka karenanya, ditambah diamnya Kazutora seketika.

Bak bunga yang telah layu, rapuh dan akan jatuh berhamburan di tanah. Begitulah gambaran hati Chifuyu saat ini, hatinya melebur menjadi kepingan yang berhamburan. Bagai ribuan godam yang menghunus ulu hatinya, meninggalkan luka yang menganga lebar, rasanya teramat perih. Tatapannya beralih menelisik Kazutora yang memalingkan pandangannya ke arah penaka tak ingin bersitatap dengannya.

Perasaannya bercampur aduk baik kecewa maupun marah. Rasa sakit itu semakin menjadi kala mendapati Kazutora yang memoarkan kemurkaan padanya. Ia membayangkan bagaimana terlukanya Kazutora saat dirinya membuka identitas Baji kepada semua temannya waktu itu. Ia sadar diri bahwa Kazutora tak akan sudi berbicara kepadanya saat ini.

“Jadi kalian ... udah deket sejak lama?” tanya Chifuyu dengan suaranya yang bergetar. Ia sebenarnya ingin menumpahkan air matanya.

“Iya, asal lo tau itu.” sahut Kazutora cepat.

“Tunggu! Kok bisa sih Kazutora dekat sama Kei, bukannya dia selama ini dekat sama Chifuyu. Bukannya kita semua udah tau itu? Kenapa bisa jadi kayak gini sih?!” Takemichi telah memelan kesabarannya, ia tersulut api emosi melihat kejadian yang melibatkan teman-temannya tersebut.

Semuanya terdiam, bahkan Kazutora memilih menutup rapat mulutnya. Ia pun tak tahu harus menuturkan apa, ia merasa Baji bermain di belakangnya. Di saat seperti ini hanya Baji lah yang bisa menjelaskannya, mengapa ia bisa mendekati Chifuyu sedangkan hatinya tengah berlabuh pada Kazutora. Melihat ekspresi yang ditampilkan Baji membuat Chifuyu muak. Ia bergegas bangun dari tempatnya dan menghampiri Baji.

Plak.

Satu tamparan keras mendarat di pipi kanan Baji, pipinya terasa terbakar akibat tamparan Chifuyu yang tak main-main. Ia tatap wajah yang dulunya memamerkan kelucuan, kini hanya ada kekecewaan. Bahkan ia mampu melihat netra zamrud itu memancarkan aura kebencian kepadanya. Baji cukup sadar diri, presensi di sini membuat semua orang kecewa pun terluka terutama Chifuyu dan Kazutora.

“Maaf—”

“Bangsat.” umpat Chifuyu sebelum berlari meninggalkan tempat yang menjadi saksi pertengkaran yang sempat tercipta.

“Chifuyu, tunggu!” teriak Souya yang panik melihat Chifuyu pergi meninggalkan mereka. Hakkai dan Souya ikut meninggalkan tempat mereka demi menyusul Chifuyu yang entah pergi ke mana.

Meja mereka sekarang hanya ditempati Takemichi, Kazutora, Baji, dan Seishu. Tempat itu diselimuti kesunyian, tak ada yang berbicara. Seishu termenung dengan kejadian yang baru saja ia saksikan, netra birunya tiba-tiba meneteskan air mata. Rasanya begitu menyiksa melihat hubungan pertemanan mereka yang kacau balau akibat seseorang. Ia mendongak untuk melihat Kazutora dan tatapannya di balas langsung oleh pemuda itu.

Sosok yang sangat dekat dengan dirinya, wajah yang selalu dirias sebaik mungkin kini hanya menggambarkan kekosongan. Ia mengerti apa yang Kazutora rasakan saat ini sebab kedekatan mereka satu sama lain, bahkan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun untuk menjelaskan perasaannya Seishu terlampau mengerti yang sosok itu rasakan. Pun ia mengerti apa yang Chifuyu rasakan saat ini. Berada di ambang teman-temannya membuat Seishu bingung.

“Puas lo, Baji?” sindir Seishu sembari terkekeh hambar, “puas lo melihat temen-temen gue hancur karena lo? Apa lo sekarang merasa bangga dengan perbuatan lo ini? Lo cuman sampah, sampai kapanpun gue gak sudi liat lo berada di deket temen gue. Lo brengsek.”

Seishu bangkit dan tiba-tiba tangannya terangkat untuk menampar wajah Baji yang masih meninggalkan rona kemerahan akibat tamparan Chifuyu sebelumnya. Namun, tangannya ditahan oleh Kazutora yang membuat Seishu merengut bingung.

“Mau lo suka atau gak, gue gak masalah. Gue udah yakin untuk tetap menjadikan Baji sebagai milik gue. Gue gak peduli lo mau anggap gue jahat atau egois sekalipun. Gue udah gak peduli sama semuanya.” tutur Kazutora dingin.

Seishu membelalakkan matanya tak percaya dengan apa yang Kazutora katakan kepadanya, Seishu yang telah bersimbah air mata tak dapat berkutik apa-apa. Perasaannya sungguh kalut, padahal ia ingin menolong Kazutora untuk keluar dari lingkaran berbahaya dari Baji tetapi sahabatnya itu justru memilihnya. Takemichi menggertakkan giginya, ia langsung mencekal lengan Kazutora agar melepaskan genggaman tangannya pada Seishu dan lalu berujar.

“Lo bilang udah gak peduli lagi, ‘kan? Maka dari itu kita juga gak mau peduli sama lo lagi. Gue harap semoga pilihan lo untuk menetap sama si brengsek ini gak membuat lo semakin hancur.” timpal Takemichi dan segera menarik lengan Seishu menjauh dari mereka. “Seishu, ayo gue anterin lo pulang.”

Tersisa Kazutora dan Baji yang telah duduk di tempat mereka masing-masing, Baji tertunduk lemas. Gurat kemarahan tercetak jelas di rupa manis Kazutora, tiba-tiba suara deru napas terdengar di rungunya. Tangan Kazutora bertengger di atas tangannya.

Aku tahu.” ujarnya pelan.

“Kazutora, maafin aku ... ”

“Semuanya udah terjadi, apa yang harus diperbaiki? Semua itu sudah hancur layaknya sebuah kaca.”

[]