Iakunan

Setelah mengirimkan pesan balasan kepada Haitani tertua, Ran. Seishu bergegas membenarkan pakaiannya dan tak lupa mengenakan jaket. Lantas, ia tak tahu-menahu alasan di balik kedatangan Ran ke rumahnya di malam hari. Ada banyak sekali pertanyaan yang memenuhi seisi kepalanya, namun alangkah baiknya untuk segera menemui Ran daripada membuat pemuda itu menunggu lebih lama lagi. Seperti biasanya, Akane muncul di dalam kamarnya kerap orang tak ia kenali datang untuk mencari adiknya.

“Ada orang yang nungguin lo di luar, katanya ada urusan sama lo.” cetak Akane.

“Iya, tau.” balas si pemuda bersurai terang dengan seadanya. Ia cukup malas membalas pembicaraan Akane yang terkesan ingin tahu mengenai urusannya.

“Siapa lagi tuh? Orangnya ganteng sih, rambutnya mirip Mitsuya. Jangan-jangan cowok baru lo lagi, ya?” Melihat wajah Akane yang mengerut semakin membuatnya risih.

Seishu menghela napas, “kepo!”

Seishu tak mendengarkan teriakan Akane di belakangnya, ia lebih memilih melangkahkan tungkainya keluar rumah untuk menemui Ran. Sesampainya ia di sana, ia mendapati sosok Haitani Ran dengan setelan kasualnya. Memang benar apa yang Akane sempat katakan, Ran itu berpenampilan modis dan rupawan. Ia sangat yakin bahwa Ran banyak digandrungi para wanita maupun pria. Bahkan dengan mengedipkan matanya, pasti ada banyak orang yang akan luluh-lantah di bawah dominasi Ran.

Jikalau Ran bukan karibnya Kokonoi, Seishu juga pasti akan tunduk kepadanya. Melihat penampilan Ran yang seperti ini mengingatkan kepada Mitsuya.

“Ran?” Seishu berujar seraya menyebarkan sinyal kepada Ran yang tengah melamun.

“Hampir aja gue ketiduran nungguin lo di sini, Sei.” tukiknya dengan lesu.

Seishu terkekeh renyah mendapati protesan dari Ran. Jangan salahkan dirinya begitu saja sebab Seishu pun terheran mengapa Ran bisa berlabuh di depan rumahnya tanpa mengirimkan kabar terlebih dahulu. Motif dan alasannya pun Seishu tak tahu sama sekali.

“Lagian lo gak ngasih tau gue dulu makanya gue gak tau.” balasnya.

“Emang sengaja gak ngabarin lo sih.” sahutnya. Ran mengendarai motor yang sama seperti yang ia pakai saat mereka melakukan kegiatan sunmori.

Penampilan yang elok, motor yang gagah membelah jalanan ibukota. Ran masih saja belum menemukan seseorang yang pas untuk menempati kursi belakang yang tersisa di motornya. Seishu ingin sekali bertanya mengenai itu, tapi ia takut pertanyaannya terdengar tak sopan. Lagipula keduanya baru saja dekat setelah pertemuan pertama mereka, walaupun Ran kerap sekali melihatnya di area kampus. Ran mengeluarkan sesuatu dari kantong yang terbuat dari kertas, lalu menyerahkannya kepada Seishu.

Seishu sontak terkesiap melihat buket bunga yang Ran berikan kepadanya, juga sesuatu yang ada di dalam kantong kertas lainnya. Melihat wajah kepanikan Seishu yang jelas terpatri, Ran terbahak nyaring. Ran yakin bahwa Seishu berpikiran hal yang macam-macam, maka dari itu sebelum Seishu semakin tenggelam ke dalam dasar kepanikannya, Ran secepatnya berujar kepada pemuda itu.

“Bukan dari gue, gue di sini cuman perantara aja. Itu semua dari Koko.” Ran menunjuk buket itu sembari berujar.

Terdengar helaan napas lega dari mulut Seishu, ia bersungguh-sungguh takut apabila Ran memberinya buket bunga. Apa yang akan terjadi jikalau Ran benar-benar melakukan itu, yang pasti keadaan akan runyam dan timbulnya perpecahanbelahan antara Ran dan Kokonoi. Untung saja buket ini dari Kokonoi dan melibatkan Ran sebagai perantaranya. Namun, perasaannya tak tenang sampai situ. Ia semakin bingung dengan Kokonoi, ia menatap buket bunga itu berulang kali.

Lantas, jika semua ini berasal dari Kokonoi untuknya; mengapa tak dirinya langsung yang memberikannya kepada Seishu?

Apakah benar Kokonoi sedang menjauhinya? Seishu dibuat semakin khawatir. Ditambah akhir-akhir ini Kokonoi sangat dingin dan jarang mengirimkan pesan kepadanya. Air mukanya berubah pias dan hal itu tertangkap di netra Ran.

“Pasti lo bingung kenapa Koko gak ngasih itu langsung ke lo.” celetuk Ran.

Seishu mendongak dan mengangguk kecil, rupanya masih mengekspresikan kesenduan.

“Koko ke mana?” tanyanya.

“Dia udah balik ke Surabaya dua hari yang lalu, lo gak dikasih tau sama dia?” Mendengar perkataan Ran membuat Seishu tersentak. Bagaimana bisa Kokonoi pulang tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Biasanya Kokonoi akan mengatakannya dari jauh-jauh hari dan pasti akan ada pertemuan sebelum Kokonoi pulang. Seishu semakin larut dalam kesenduan. Tangannya memeluk buket itu dengan erat seolah-olah merasakan pelukan hangat Kokonoi.

“Dia gak ngasih tau gue apa-apa ... ” balas Seishu dengan nada pelan.

“Gak usah khawatir, Koko emang lagi ada urusan sama orang tuanya makanya dia balik duluan padahal dia bilang mau stay di sini lebih lama lagi. Bahkan dia balik sendirian, Sanzu masih di rumah gue.”

“Eh? Koko kenapa?” Netra terang itu membulat seketika, menatap netra kembar milik Ran meminta kejelasan.

Ran meringis, ia pun tak tahu apa yang terjadi pada Kokonoi secara terperinci, yang pasti urusan yang ia kerjakan saat ini berhubungan dengan orang tuanya. Ia sedikit merasa bersalah karena tak dapat mengatakannya kepada Seishu.

“Gue gak tau pasti, Sei. Jika pun gue tau, gue juga gak punya lisensi buat jelasin ke lo, ‘kan? Lebih baik lo tanya langsung ke Koko, siapa tau adanya Koko membuat perasaan Koko membaik.” ucap Ran.

“Makasih, Ran ... ”

“Sama-sama.” Ran menepuk pundak Seishu yang menurun dua kali, agar pemuda itu kembali bangkit. “Gue pulang dulu, ya? Gak enak malem-malem datengin rumah orang cantik kayak lo.” Ran sedikit menimpali guyonan agar Seishu tak banyak memikirkan keadaan Kokonoi.

Ran tahu bahwa Kokonoi akan baik-baik saja selagi ada Seishu di dekatnya.

“Sekali lagi, thanks.

“Kapan-kapan jalan berdua, ya, Sei? Siapa tau lo lebih suka sama gue daripada Koko. Sebelum semuanya terlambat.” Lagi-lagi Ran terbahak sembari menyalakan motornya bersiap pergi dari perkarangan rumah Seishu. Seishu menatapnya dengan tatapan sengit.

“Dih, ngarep! Males banget jalan sama om-om kayak lo, mendingan jalan sama Koko soalnya dia kayak ATM berjalan.” balas Seishu diiringi gelak tawa.

“Gue masih muda kali masa dipanggil om-om. Yaudah, nak, om pergi dulu ya.”

Seishu melambaikan tangannya pada kepergian Ran dan lekas masuk ke dalam rumahnya. Ia ingin secepatnya membuka sesuatu yang dibungkus kantongan kertas. Buket bunga itu sangat harum dan indah, Seishu letakkan di atas ranjang saat dirinya sibuk membuka kantong kertas tersebut. Rupanya berisi sekotak coklat, kudapan manis yang Seishu amat sukai. Di atas kotak yang membungkus coklat tersebut tertulis merk produksinya, Seishu tersenyum tulus. Ia cukup hapal beberapa merk coklat yang ada di dunia dan yang satu ini berkisaran harga tinggi.

“Sama seperti biasanya, ya, Ko? Lo selalu ngasih gue yang terbaik.” gumamnya.

Saat tangannya membuka kotak coklat tersebut, tampaknya ada secarik kertas yang menempel di balik kotak tersebut. Seishu meraih kertas itu dan membukanya tak sabaran. Tulisan tangan seseorang. Seishu membacanya perlahan dan teliti agar tak ada satu katapun yang tertinggal untuk ia baca, setelah membaca isi pesan tersebut hati Seishu tergerak haru. Ia tak dapat menahan perasaan bahagianya malam ini justru ia membiarkan tetesan air mata keluar membasahi pipi mulusnya.

Seishu, cantiknya Koko.

Maaf karena sudah mendiamkan lo beberapa hari ini, bukannya gue sudah mulai melupakan lo, hanya saja ada banyak hal yang terjadi yang membuat gue sedikit kacau, tapi itu bukan jadi masalah besar. Saat risau itu datang, maka gue akan mengingat-ngingat gimana lo tersenyum tulus untuk gue dan gimana jantung gue berdegup kencang saat bersama lo. Perasaan itu dapat menghalau perasaan negatif yang menghampiri gue. Seishu, gue gak akan pernah bosan untuk bilang bahwa perasaan gue ke lo itu absolut.

Seishu, I love you so much. Can you be waiting for me until the day come? Please don’t doubting about my feelings because all that I feel is inescapable. Thank you for being the brightest shinning star.

With love, Koko.

Seishu tak perlu menampik sebuah kenyataan yang mutlak jikalau Kokonoi lah yang menjadi alasan secercah harapan di hatinya muncul ke permukaan. Kokonoi lah yang mampu mencintainya sedalam Palung Mariana dan setinggi Gunung Everest. Jika Kokonoi telah mencintainya seperti itu, apa yang Seishu berikan kepada Kokonoi sebagai balasan? Semesta?

Bahkan semesta itu masih lalai dalam berpedar, kendatinya berkata demikian.

[]

Tatkala momen di mana Seishu masih mengemban status pacar dari Mitsuya beberapa waktu yang lalu, setiap pulang sekolah pada sampai mereka mengarungi dunia perkuliahan Seishu selalu menunggu kepulangan Mitsuya di depan kelas pemuda itu. Menyambut kekasihnya keluar dari kelas dengan senyuman secerah matahari dan seindah pelangi. Mitsuya akan membalas senyumannya dan menyapa si pemuda berpostur elok itu.

“Halo, beautiful Seishu. Kali ini menunggu aku lebih lama?”

Vokalisasi Mitsuya yang khas seperti alunan melodi surgawi, obsidiannya yang bak menyorot cahaya mentari. Dengan penampilan seperti itu, Mitsuya sudah cukup sempurna di netra Seishu. Menjadi kekasih Mitsuya merupakan hal yang sangat Seishu banggakan, ia ingin sekali seluruh semesta tahu bahwa di lubuk hatinya tertanam nama Mitsuya.

Namun, kala itu Seishu masih lugu yang buntu perihal cinta. Dikiranya dengan perasaan cinta saja sudah cukup untuk menyokong hubungan mereka, Seishu terlampau keliru yang perlahan membuatnya diam membatu. Cintanya memicu Seishu menjadi buta. Nyatanya tak ada satupun manusia dapat menjadi sempurna, baik itu Mitsuya sekali pun.

Di paruh keempat hubungan mereka terjadi pertengkaran hebat antara Seishu dan Mitsuya yang membuat hubungan mereka seketika luluh-lantah. Seishu mengekspresikan emosinya kepada Mitsuya sedangkan pemuda itu seolah tak ingin mengerti Seishu. Bahwasanya mereka selalu berada di persimpangan berbeda.

“Kamu gak pernah mau ngerti aku, ya? Selama ini aku maklumin kamu yang gak pernah nunjukin usaha kamu dalam membangun hubungan kita, tapi sekarang apa? Kamu juga bersikap gak bisa mengerti diriku sedangkan kamu selalu ingin dimengerti. Di mana adanya timbal balik di antara kita, Mitsuya?”

Suara tinggi yang menggelar di seluruh penjuru ruangan membuat Mitsuya menghembus napas kasar. Ia menatap Seishu nyalang dan seolah tak ingin kalah.

“Kamu begitu, ya, Seishu? Kamu malah menyerahkah seluruh kesalahannya ke aku seolah-olah hanya aku yang menimbulkan masalah di hubungan kita. Bagus, Seishu. Aku emang yang salah, hubungan kita hancur emang gara-gara aku.”

Setelah terjadi pertengkaran itu keduanya membentang jarak satu sama lain dan bahkan hubungan mereka tak ada kejelasan, tanpa bertemu maupun komunikasi. Mitsuya enggan memulai terlebih dahulu, membiarkan Seishu memikirkan kesalahannya kepada dirinya. Pada akhirnya Seishu akan luluh dan membakar habis seluruh egonya untuk tak menghampiri Mitsuya. Ia itu cinta kepada Mitsuya, ia sempat berpikir apa jadinya jikalau Seishu tak lagi bersama Mitsuya. Maka dari itu lebih baik egonya dijatuhkan ke dasar tanah daripada cintanya yang jatuh ke dasar lautan.

Maka Seishu akan datang kepada Mitsuya dan berkata, “maafkan aku, saat itu akulah yang salah. Tolong jangan pergi dan mari kita bangun hubungan kita kembali.”

Sekali lagi, Seishu di masa lampau itu terlalu bodoh perihal cinta.

...

Tak terlintas sekali pun di pikirannya bahwa kini Mitsuya lah yang datang kembali kepadanya setelah semuanya sudah dianggap usai. Setelah Seishu menyingkirkan perasaan cinta yang berduri itu untuk menerima cinta yang baru. Di mana semuanya sudah berjalan baik-baik saja tanpa kehadiran Mitsuya. Hatinya yang telah rumpang setelah cintanya bersama Mitsuya rampung. Seishu sungguh sudah ikhlas dengan takdir yang mengalir.

Justru saat itu mereka berpisah sebaik mungkin agar tak meninggalkan kesan buruk di perpisahan mereka, serta agar meluruhkan seluruh emosi, duka, dan lara yang sempat bersemayam di hati masing-masing. Andai kala Kokonoi tak muncul di kehidupannya, Seishu juga akan berpikir beribu kali untuk tak kembali kepada Mitsuya. Ia sudah cukup terluka karenanya.

Tin.

Seishu terkesiap melihat motor yang ia kenali terparkir di hadapannya berdiri. Pemuda dengan surai hitam keunguan dengan wangi tubuh yang masih sama. Mitsuya telah datang untuk menjemputnya, entah mengapa Seishu mengindahkan permintaan pemuda itu lagi untuk mengantarnya pulang ke rumah.

“Lama nunggu?” tanyanya.

“Gak kok, ayo pulang sekarang.” ajak Seishu yang nampaknya tak ingin bertele-tele demi membuang waktunya yang berharga. Seishu sebisa mungkin untuk menjauhi masa-masa seperti ini, tapi apa daya hari ini ia harus berduaan lagi bersama Mitsuya selama di perjalanan.

“Gak usah buru-buru gitu, Seishu. Sebelum pulang kita mampir makan dulu, aku belum makan siang soalnya sibuk rapat.” celetuk pemuda itu yang tak menyetujui Seishu.

Seishu menghela napas, “yaudah, habis makan kita langsung pulang.”

“Oke.”

Seishu menaiki motor Mitsuya yang sudah ia gunakan sejak pemuda itu duduk di bangku sekolah menengah atas. Mitsuya bilang bahwa motor ini menyimpan jutaan kenangan di dalamnya, baik itu bersama dirinya dan teman-temannya. Motor yang ia kendarai sekarang ini sungguh berarti bagi Mitsuya. Seishu meletakkan tas miliknya di tengah-tengah mereka supaya tubuh mereka tak saling bersentuhan. Mitsuya melajukan motornya dengan kecepatan rata-rata, ia ingin menjadi pengendara yang baik di jalanan dan mematuhi rambu lalu lintas yang ada.

“Seishu.”

“Iya?”

“Masih suka japanese cheesecake, ‘kan?” tanya pemuda itu kepadanya.

“Masih.”

“Kita makan itu, ya? Biar mood kamu lebih baik soalnya waktu pacaran kamu sering minta belikan cheesecake setiap kali mood kamu gak baik. Sejak tadi aku gak liat senyuman kamu.” Mitsuya memandanginya melalui kaca spion yang sengaja ia arahkan kepada Seishu.

Ia sempat tertegun bagaimana Mitsuya masih mengingat kebiasaan dirinya waktu dulu. Seishu mengalihkan pandangannya ke arah lain supaya hatinya lebih terkontrol dibanding langsung bersitatap dengan Mitsuya. Ah, waktu mereka masih berpacaran Mitsuya kerap membelikan Seishu cheesecake kesukaannya agar suasana hati Seishu menjadi lebih baik.

Cheesecake?” Netranya berbinar.

“Iya, kesukaan kamu banget, ‘kan? Makanya kita langsung menuju ke sana.”

Refleks Seishu memeluk pinggang Mitsuya karena bahagia mendapatkan kue kesukaannya. Mitsuya juga terperanjat dengan pelukan tiba-tiba Seishu, namun alih-alih ia menyamankan dirinya. Selang beberapa detik kemudian, Seishu tersadar akan perbuatannya sendiri dan segera menarik tubuhnya menjauh.

“Selain suka cheesecake ternyata kamu suka peluk aku juga.” Mitsuya terkekeh.

Seishu langsung menggeleng, ia tak sadar memeluk Mitsuya begitu saja. Seolah lubuk hatinya menuntun Seishu untuk melakukan itu seperti biasanya. Sekeras apapun Seishu merelakan hatinya, rupanya ia kalah juga. Sebab bila di hadapan Mitsuya, Seishu itu selalu kalah. Rupanya perasaan bahagia yang pernah Mitsuya ciptakan untuknya mengingat empunya, karena apabila bersama Mitsuya, Seishu akan memekik bahagia.

Seishu menjadi bingung dengan hati dan seluruh perasaannya saat ini, apakah hatinya yang sedang mempermainkannya atau malah sebaliknya; Seishu lah yang menjadi dalang untuk memainkan hatinya.

Mitsuya membawanya ke salah satu kedai yang sering mereka kunjungi dulu. Kedai yang menjadi kesukaan Seishu karena menjual menu kue yang rasanya nikmat. Mereka menduduki salah satu meja yang masih tersisa, seperti biasanya tempat ini selalu ramai pasang muda-mudi yang tengah memadu kasih, bukan seperti mereka yang tak terpaut hubungan apapun.

“Suya, aku minumnya—” ucapan Seishu terpaksa terpotong karena Mitsuya menimpali perkataannya.

“Air putih, karena kamu lagi makan yang manis-manis dan gak mau minum minuman yang manis juga.”

“Oh, thanks ... ”

Mitsuya masih sama lembutnya kepadanya walaupun saat ini tak ada ikatan yang memikat mereka, Mitsuya itu pandai bersosialisasi sebab dari itu ia terpilih sebagai Ketua BEM di kampusnya. Setiap kata yang terlontar dari mulutnya dapat memikat siapapun, terutama Seishu. Ia piawai dalam berucap yang tanpa disadari membuat orang-orang terjatuh ke dalam genggamannya. Lagipula Mitsuya termasuk mahasiswa yang pintar dan selalu menyokong prestasi yang membanggakan.

“Kabar kamu gimana, Seishu?” tanyanya untuk memulai kembali pembicaraan.

“Seperti yang kamu lihat, aku baik-baik aja sekarang.” jawab si cantik seadanya.

“Maaf waktu itu aku sempat nolak ajakan kamu untuk balikan karena aku benar-benar lagi berada di titik terbawahku dan masalah hubungan juga rasanya mencekikku. Maaf, ya? Dilihat memang benar aku ini gak pantas untuk dapetin sebongkah berlian sempurna seperti kamu, Seishu. Aku ini gak punya apa-apa selain mengandalkan cinta.” Netranya tak luput menatap Seishu dengan wajahnya menunjukkan paras muka serius.

Seishu meneguk ludahnya, berada di dalam situasi panas seperti ini membuat dirinya menjadi canggung dan tak nyaman.

“Semuanya udah terlanjur, Suya. Mungkin emang udah takdirnya kita harus berpisah hari ini, kita gak bisa maksain juga kalo di dalam garis takdir kita gak bisa bersama lagi. Mungkin itulah yang terbaik untuk kita berdua.” jelas Seishu.

Pemuda itu terdiam dengan kedatangannya pekerja kedai yang meletakkan pesanan mereka di atas meja sebelum berpamitan pergi meninggalkan mereka tenggelam dalam kesunyian.

“Makan dulu.” titahnya.

“Sekali lagi terima kasih, Suya.”

Seishu menyuapkan sesendok cheesecake yang ia ambil dari atas piringnya. Rasanya masih sama dengan cita rasa manis yang sangat pas di lidahnya. Ah, sudah lama sekali tak memakan hidangan manis seperti ini. Adanya cheesecake di tengah-tengah mereka sedikit menormalisasikan keadaan yang semulanya begitu canggung.

“Enak?”

“Banget!” jawabnya girang.

“Seishu.” panggil Mitsuya seraya meneguk minumannya hingga setengah. Obsidian kembarnya bergulir menatap Mitsuya seolah mengucapkan, ada apa? secara tersirat karena mulutnya masih dipenuhi kue yang ia makan. Mitsuya tak langsung ungkap suara, ia membiarkan Seishu menelan makanannya dengan benar. “Apa jadinya kalo kita menulis ulang takdir yang diperintahkan untuk kita? Memang benar takdir mengatakan bahwa kita harus berakhir, tapi gak ada salahnya untuk membuka buku baru dengan takdir yang menghilang perasaan haru biru.”

Seishu tergelak. Ia pun tak tahu mengapa ekspresinya berbentuk demikian. Mitsuya terlalu naif seakan jikalau mereka kembali maka semuanya akan baik-baik saja. Untungnya Seishu telah memberantas sikap adiktif kepada Mitsuya yang sempat membuatnya terlalu bodoh perihal cinta. Mengapa pula ia harus mengulang takdir bersama Mitsuya sedangkan ia terlampau hapal bagaimana akan akhirnya.

“Kamu lucu, Suya. Kamu pernah mikir gak soal perasaan—”

“Perasaan kamu yang pernah terluka karena aku, ‘kan? Sekarang aku sudah tersadar bahwa rusaknya hubungan kita karena penyebabnya itu aku. Ini emang terlambat, tapi aku sungguh-sungguh mau mengulangnya dari awal. Seishu, bisa beri aku kesempatan satu kali lagi? Aku ingin melakukannya dengan baik. Aku gak akan mengecewakan kamu lagi.”

Mitsuya meraih tangannya untuk digenggam, pemandangannya sontak menjadi buram dan pikirannya kacau balau. Seishu tak tahu harus mengeluarkan ekspresi apa untuk menggambar isi hatinya kepada Mitsuya. Bahkan kata-kata yang ingin ia lontarkan tiba-tiba tercerai-berai. Netranya menyorotkan keseriusan, Seishu berusaha mencari kebohongan di sana namun ia tak menemukan sedikit pun.

Seishu tak bisa membiarkan Mitsuya berperilaku seperti ini, tapi ada sebagian dirinya yang menerima perlakuan Mitsuya.

Seishu terlampau kompleksitas.

“Aku ... aku sudah menemukan orang baru pengganti kamu, Suya.” ujarnya pelan sekali, ia tak sanggup untuk berkata.

“Seishu, jangan pernah bohong sama diri kamu sendiri. Di hati kamu sebenarnya masih berharap ke aku, ‘kan? Aku bisa merasakannya dengan jelas. Kamu seolah bilang kamu sudah gak memerlukan aku lagi, tapi lubuk hati kamu selalu berdebar setiap kali ada aku. Pelukan kamu yang masih terasa sama seperti sebelumnya. Apa kamu benar-benar sudah merelakan kepergian aku, Seishu?”

Untaikan kalimat Mitsuya membuat Seishu bungkam seribu bahasa. Hatinya menjadi porak-poranda disebabkan Mitsuya, netranya sempat terpejam untuk merasakan debaran anomali yang mengguncang seluruh relung jiwanya. Sialnya, perkataan Mitsuya benar bahwa hatinya masih terarah kepada Mitsuya. Seishu sempat ragu; apakah benar jikalau dia belum sepenuhnya merelakan Mitsuya meskipun kini ada entitas Kokonoi?

“Seishu, cukup katakan bahwa kamu sebenarnya masih cinta sama aku.”

Cinta memang membuatnya buta.

[]

Kala sang mentari menilik dari ufuk timur, para manusia membuka jendelanya membiarkan sinar matahari menerangi kediaman mereka, tanda hari telah berganti, meninggalkan malam yang sepi. Mereka seduhkan secangkir kopi panas lalu diletakkan atas meja demi menikmati hangat mentari di tengah-tengah dinginnya embun pagi. Udara segar yang pantas dihirup, bunga yang bermekaran, aroma khas dari suasana pagi menyeruak di indera setiap manusia.

Kokonoi dan teman-temannya siap ingin berangkat melakukan sunmori yang biasanya dilakukan banyak pemuda bersama teman-teman sebayanya. Jalan-jalan santai menggunakan motor pada hari Minggu, katanya. Dengan motor mereka masing-masing, detik itu juga mereka menyalakan mesin mereka agar panas dan menarik pedal gasnya membelah jalanan ibu kota yang masih hening belum dipenuhi hiruk-pikuk kegiatan manusia, maklum hari Minggu adalah hari libur yang dinikmati orang-orang untuk lebih memilih bermalas-malasan di rumah.

Suara knalpot mengisi kedamaian yang ada, namun tak ingin beraksi anarkis. Mereka menjalankannya dengan kecepatan rata-rata. Hendak menikmati suasana ibukota di pagi hari, ujar mereka. Ada banyak yang ikut kegiatan hari ini, mereka adalah Kokonoi, Haitani bersaudara, Sanzu, Baji bersama Chifuyu, Kakucho dengan tambatan hatinya Izana, dan Seishu. Namun, rute mereka sekarang menuju ke kediaman pemuda manis itu.

Sanzu meminta untuk menumpangi kendaraan Rindou, Ran mengendarai Harley Davidson seorang diri, tentunya Baji menunggangi BMW hitamnya bersama si manis Chifuyu, Kakucho yang hanya menggunakan motor matic bersama Izana. Kokonoi yang siap memberikan tumpangannya kepada Seishu.

Wajahnya indah berseri sebab sebentar lagi ia akan bertemu dengan Seishu, jantungnya menjadi berdegub lebih kencang. Padahal ini bukan kali pertama mereka bertemu, tetapi rasa gugup selalu saja terselip di diri mereka. Sesampainya Kokonoi dan teman-temannya di depan rumah Seishu, Kokonoi mengirimkan beberapa pesan kepada pemuda itu mengatakan bahwa ia telah sampai. Tak selang waktu kemudian, Seishu hadir dengan setelan kasualnya dan betapa terkejutnya ia melihat segerombolan orang yang berada di depan rumahnya.

“Hai, Seishu!” ucap mereka bersamaan. Sontak Seishu terkesiap dan menatap Kokonoi dengan segudang kebingungan. Ia tak menyangka ada banyak orang yang ikut bersama mereka hari ini.

“Mereka semua temen-temen gue, Sei.” ujar Kokonoi memberi penjelasan.

“Oh ... ”

Chifuyu membuka kaca helm-nya ke atas dan menepuk pundak pemuda itu pelan, Seishu berjengit kaget mendapati tepukan tiba-tiba. Chifuyu menampilkan senyuman manis dan tak lupa menyapa sahabatnya juga. Seishu makin dibuat kaget dengan kehadiran Chifuyu bersama laki-laki bertubuh jangkung dengan surai ikal yang tergerai panjang. Pemuda itu tertutupi helm yang ia kenakan, Seishu tahu bahwa pemuda itu tak lain dan tak bukan Baji.

“Ada lo juga, Chi?” tanya Seishu basa-basi, sudah jelas ia melihat entitas Chifuyu di hadapannya bersama sang pujaan.

“Di ajakin sama Kak Kei.” sahutnya sembari menunjuk punggung Baji.

“Oh, ini gebetan yang lo maksud?” tukas Seishu sarkasme, ia melayangkan pandangan serius pada sosok Baji sembari bersedekap dada, “Kei ‘kan lo? Jagain temen gue, ya. Awas gak lo pulangin dengan baik-baik.” titah Seishu.

Melihat tingkah Seishu yang blak-blakan kepada Baji membuat Kokonoi tergelak, Seishu itu mempunyai urat malu yang tipis maka dari itu ia dapat menasehati Baji dengan vokalisasi dinginnya. Chifuyu yang mendengar itu gelagapan sebab temannya benar-benar tak tahu tempat.

“Seishu, bener-bener ya lo! Jangan didengerin ya, Kak? Temenku yang satu ini emang kurang waras.” timpal Chifuyu kepada Baji yang tertawa habar.

“Pinjem temennya dulu, ya, Sei?” ucap Baji kepada Seishu.

Sementara teman-temannya yang lain menyaksikan adegan itu hanya bisa tertawa sumringah sembari menggodai Baji. Mereka salut dengan keberanian yang Seishu punya, mereka sudah menyaksikan secara langsung bahwa sosok Seishu itu unik, jarang ditemukan di sekitar mereka.

“Tuh dengerin, Ji!” Sanzu meneriaki Baji seraya tertawa renyah setelahnya.

“Iya, iya.” balas Baji.

Stop php-in anak orang atau lo bakal dimarahin sama Seishu.” Ran tiba-tiba ungkap bicara untuk menggoda Baji.

Seishu menoleh pada motor yang terparkir di samping motor Baji, ia menemukan sosok laki-laki dengan surai keunguan yang ditata serapi mungkin. Lagaknya Seishu tahu siapa pemilik suara itu, dari wajahnya ia dapat mengenali bahwa itu adalah Ran. Salah satu teman Kokonoi yang pernah mengirimkan pesan kepadanya. Ran membalas tatapan Seishu dan mengangguk pelan. Seishu membalasnya dengan senyuman canggung dan segera menghampiri Kokonoi.

“Halo, cantik.” tegur Kononoi yang sedang memasangkan helm ke kepala Seishu.

“Hai, Ko.” Senyuman yang Kokonoi puja kembali terpatri di paras elok Seishu.

“Kalo kedinginan bilang gue, ya?” ujar Kokonoi lembut, tak lupa mengapit pengait helm yang Seishu kenakan agar mereka melengkapi peraturan keselamatan selama berkendara karena Kokonoi tak mau ada kejadian yang tak diinginkan tiba-tiba terjadi kepada mereka. “Nah, udah.”

“Iya, Koko. Gue udah pakai jaket kok, kayaknya gak bakal kedinginan.” balas Seishu dan segera naik ke motor yang Kokonoi kendarai. Ia segera melingkarkan lengannya pada perut Kokonoi begitu erat seolah tak ingin lepas sedetik pun.

Kokonoi memandangi lengan Seishu lalu beralih menatap kaca spion yang menunjukkan wajah Seishu yang sangat teramat indah baginya untuk dipandangi. Hangat mentari dan alunan elegi yang menyatu mengikat mereka. Tak hanya aroma rindu yang mereka sesap, tapi juga aroma kebahagiaan cinta yang mereka hirup. Rengkuhan Seishu lebih menghantar hangat dibanding sang surya. Senyumnya yang lebih manis daripada gula. Seishu itu sebuah seni yang dilukis begitu sempurna.

“Masih gak sadar, ya?” Kokonoi tiba-tibs berucap kepada Seishu.

Ia mengerutkan kening karena bingung dengan pertanyaan Kokonoi, “apanya?”

The motorbike you are riding, cantik.”

Seishu sempat menggeleng sebagai jawaban, Kokonoi tersenyum simpul dan segera meminta Seishu untuk melihat motor yang mereka naiki saat ini. Obsidiannya mengedar pada motor yang berwarna putih berkilap dengan garis-garis yang bertulisan Christian Dior di sekujur bagian motor. Seishu langsung membulatkan matanya melihat motor yang saat ini melaju membawa mereka berdua.

Vespa Dior. Motor yang selama ini ia idam-idamkan, namun siapa menyangka bahwa hari ini ia dapat menumpangi motor tersebut bersama orang terkasihnya. Pasang irisnya berbinar dan nyaris mengeluarkan air mata. Semejak berbicara dengan Chifuyu ia sampai tak menyadari dengan motor yang Kokonoi kendarai. Ia tahu bahwa harga motor ini sangat fantastis, sebab vespa Dior yang ia inginkan merupakan edisi terbatas.

“Koko ... i-ini punya siapa ... ?” Tiba-tiba saja suara Seishu bergetar, ia masih tak menyangka dengan motor tersebut.

“Punyanya kamu, biar kalo jalan sama Seishu gak perlu pinjam punya Rindou lagi. Katanya kamu mau naik vespa ini, ‘kan? Kebetulan aku nemu supaya bisa bawa kamu jalan-jalan pakai ini.” jelas Kokonoi lembut. Perasaan bahagia juga tersalur kepadanya, melihat reaksi gembira Seishu membuatnya benar-benar bahagia.

“Jangan bercanda, Ko ...

“Aku beneran, ini punya kamu.” jawab Kokonoi lagi untuk meyakinkan Seishu.

Seishu menutup wajahnya dengan salah satu tangannya, ia ingin berteriak secara lantang untuk mengungkapkan rasa bahagia yang menumpuk di hatinya saat ini. Bagaimana bisa Kokonoi memperlakukannya seperti ini? Seishu benar-benar tak paham. Sejak Seishu bercerita tentang vespa yang ia sukai, Kokonoi diam-diam membeli vespa tersebut dengan harga yang melambung tinggi, tentunya bersama bantuan Ran. Motor ini ia peruntukkan untuk Seishu, bukannya memandang harga, Kokonoi hanya ingin Seishu-nya bahagia. Itu saja.

“Gue gak tau mau bilang apa ... tapi makasih banyak ... gue gak pernah berharap lebih sama barang yang harganya terlalu tinggi, gue cuman sekedar suka dan habis itu gue coba ikhlaskan, tapi ini ... gue tiba-tiba bisa dapetin barang itu dari lo.”

“Seneng gak?”

“Banget, Ko. Gue seneng banget. Makasih banyak, ya. You’re like a miracle in my new life because when I’m with you everything’s happen. Thank you for taking me to a love. I don’t know how to describe my feelings for you, but I’m trying.” Seishu mengeratkan rangkulannya pada pinggang Kokoi sembari melayangkan pandangan yang tak dapat ia gambarkan dengan kata-kata melalui kaca spion.

“Gue juga senang bisa bersama lo sampai hari ini, Seishu.” Ditemani semilir angin yang menyegarkan relung jiwa, hati yang berdebar lebih cepat, perasaan luar biasa bahagia yang tersampir di masing-masing diri keduanya. Saat mereka bersama, dunia terasa lebih berwarna dan berarti.

Di balik itu, Chifuyu memperhatikan temannya yang berada di depan mereka. Netranya tak luput dari pemandangan yang terjadi, ia turut bahagia melihat wajah Seishu yang berseri-seri. Bagaimana pun juga sebagai sosok teman yang telah membangun pertemanan bertahun-tahun lamanya, ia pun turut merasakan kebahagiaan yang sama saat melihat Seishu menunjukkan wajah bahagianya. Tanpa ia sadari, Chifuyu menarik sudut bibirnya ke atas membentuk sebuah garis senyuman. Baji melihat rupa Chifuyu melalui spion kecil dari motornya. Ia dapat memandangi rupa Chifuyu yang sangat indah, tak kalah cantik dari Seishu.

“Chi?” celetuk Baji.

“Eh, iya?”

“Senyum kenapa?” tanyanya yang kembali menaruh atensi kepada jalanan yang terhampar di hadapannya.

“Aku seneng lihat Seishu bahagia sama Koko, kapan lagi liat Seishu sebahagia itu.”

Baji diam kemudian mengangguk singkat, pikirannya mengenai kelembutan hati Chifuyu terbukti jelas. Bukan hanya berwajah menggemaskan, rupanya Chifuyu juga mempunyai hati yang sangat putih dan tulus. Tiba-tiba Baji mengusap punggung tangan Chifuyu yang tersampir di atas pahanya. Tidah kah Chifuyu sadar bahwa dirinya pun sangat bahagia saat ini, ia bahagia bersama Chifuyu.

Pemuda bersurai terang itu terkesiap merasakan telapak tangan hangat yang bersentuhan dengan kulitnya, namun beberapa sekon kemudian ia tersenyum. Bukan hanya Seishu yang tengah bahagia bersama Kokonoi saat ini, tetapi mereka berdua juga.

“Makasih sudah ngajakin aku, Kak.” ujar Chifuyu lembut.

“Sama-sama.”

Di samping motor yang dikendarai Baji, ada Rindou yang tengah fokus melajukan motor kesayangannya bersama Sanzu yang tengah memainkan ponselnya. Rindou sempat heran mengapa Sanzu lebih banyak diam tak seperti biasanya, walaupun sebelumnya Sanzu meminta untuk membagi tumpangannya bersama dirinya, tapi ia tak akan menyangka Sanzu hanya bungkam dan tak mengeluarkan sepatah kata pun kepadanya.

Rindou yang kesal dengan itu segera melajukan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata sehingga kini ia berada di garis terdepan untuk memimpin jalan teman-temannya. Sanzu tersentak dan refleks menggenggam hoodie yang dikenakan Rindou, serta teriakan teman-temannya yang menegur dirinya.

“Rin, gak usah ngebut kali!” tegur Kakucho.

“Rin, lo apa-apaan sih!” Kali ini Sanzu yang melayangkan protesan.

“Sepet liat Baji sama Koko.” jawabnya sembarang dan terkesan dingin.

Sanzu menghela napas kasar, ia menyimpan ponselnya ke dalam tas yang ia bawa. Tangannya tiba-tiba melingkar di pinggang Rindou dan meletakkan dagunya di atas pundak lebar Rindou. Ia tak membalas tatapan Rindou, justru melirik ke arah jalanan yang sepi. Kemudian netra sebiru lautan yang tenang itu terkantup rapat, ia tengah menikmati sejuknya suasana pagi ini. Ia sama sekali tak merasa dingin sebab ia mendekap Rindou begitu erat. Merasakan dekapan Sanzu di belakang punggungnya membuat Rindou sedikit lebih tenang dan nyaman.

“Suka, ‘kan?” sambar Sanzu dengan pertanyaan. Seolah tahu apa yang dimaksudkan oleh Sanzu, Rindou langsung mengindahkannya.

“Iya.”

“Lucu ya liat Koko yang sekarang bucin banget sama Seishu bahkan rela pesan vespa Dior dari jauh. Kapan lagi kita liat dia seserius itu sama seseorang? Adanya Seishu membuat Koko lebih ekspresif sekarang, dia lebih banyak mengerti tentang cinta bersama Seishu.”

Rindou mendengarkannya sampai Sanzu berhenti berbicara, suara itu bak melodi yang mengalun halus di rungunya. Hanya bersama dirinya Sanzu dapat memperlihatkan sisi dirinya yang asli, sosok Sanzu yang sebenarnya lemah, Sanzu yang sebenarnya terluka dalam. Banyak orang tak ‘kan tahu itu sebab Sanzu bersembunyi di balik topengnya.

“Menurut kamu kenapa dia bisa cinta sama Seishu?” tanya Rindou kepadanya.

Sanzu sedikit memajukan bibirnya berpose tengah berpikir, “mungkin karena dia Seishu? Karena Seishu yang perlahan-lahan mengeja arti cinta kepada Koko makanya timbul benih-benih cinta di antara mereka dan juga karena mereka memang ingin saling mencintai.” jawabnya.

“Memangnya arti cinta itu apa?”

“Kala dua orang saling mencintai dan merasakan hal yang sama satu sama lain, itulah yang disebut cinta.” jelas Sanzu, ekspresinya sangat sulit untuk dijelaskan. Ia hanya tersenyum namun pandangannya terlihat kosong.

“Kalo kita itu apa? Apa di antara kita memang ada cinta?” Rindou kembali bertanya perihal pertanyaan yang sama yang pernah ia tanyakan padanya dahulu.

Waktu itu mungkin Sanzu akan menjawab bahwa mereka disatukan oleh cinta, namun ia berpikir bahwa mereka tak sepenuhnya disatukan oleh cinta sebab cinta mereka tak begitu kuat. Hanya Sanzu yang memberikan cinta kepada Rindou, sedangkan pemuda itu tidak membagi perasaan yang sama kepadanya.

Sanzu tersenyum, “gak ada lagi cinta di antara kita, Rin. Hanya ada obsesi.”

...

“Panas, ya?” tanya Kokonoi kepada pemuda kesayangannya. Sekarang ini mereka berhenti sejenak setelah menempuh belasan kilometer, menghentikan perjalanan mereka di sebuah taman yang ramai pengunjung.

Seishu menggeleng, ia mengeluarkan selembar tisu dari dalam tasnya dan mengusapkan tisu tersebut ke wajah Kokonoi yang dibasahi oleh keringat. Terik matahari mulai terlihat karena waktu telah menunjukkan pukul 9, Kokonoi menatap pemuda itu dengan lembut dan mengujarkan kata terima kasih.

“Gue beli minum dulu, ya? Lo bisa ngobrol sama temen-temen gue selagi gue beli minuman di sana.” titah Kokonoi.

“Iya, beli dulu aja gih.”

Setelah memberikan usakan pada surai Seishu, Kokonoi beranjak pergi untuk membeli minuman dingin agar mengisi kerongkongan mereka yang mulai kering. Chifuyu menghampiri temannya itu dan duduk di sebelahnya, mereka menatap segerombolan teman-teman Kokonoi di hadapan mereka dengan lekat. Masih canggung untuk memulai percakapan dengan mereka semua.

“Seishu.” panggil Chifuyu.

“Iya?”

Chifuyu melirik pada setelan yang dikenakan Seishu, ia sempat terdiam sejenak sebelum membuka mulutnya kembali untuk bersuara.

“Gue tau jaket yang lo pakai saat ini pemberian Mitsuya, ‘kan? Jaket yang dia kasih di hari jadian kalian dan Mitsuya punya jaket yang sama kayak punya lo soalnya kalian samaan. Gue bener, ‘kan?”

Chifuyu berujar tanpa menatap Seishu yang terperanjat kaget, Seishu membulatkan matanya karena tercengang dengan kuatnya pengingat Chifuyu terhadap jaket yang ia kenakan hari ini. Tiba-tiba saja lidah Seishu kelu, ia tak tahu mengapa memilih jaket ini untuk ia kenakan padahal Seishu bersusah payah menanggalkan barang-barang pemberian Mitsuya dari ruangannya. Seishu menyukai jaket ini karena terasa nyaman saat ia kenakan, Chifuyu memang benar bahwa jaket ini pemberian dari Mitsuya dan pemuda itu juga mempunyai jaket yang sama dengan jaket ini.

“Eh ... lo inget ternyata.” ucap Seishu pelan.

“Jangan sampai throwback pas pakai barang dari Mitsuya, lo tau ‘kan dampak Mitsuya ke lo itu gimana? Bisa aja lo pengen balik ke dia lagi setelah memberi harapan ke Koko. Jangan jadi bego, ya, Sei. Gue bukannya mau nuduh lo, gue cuman mau mengingatkan lo aja.” tutur Chifuyu.

“Gak kok.” Seishu segera menampik, ia menoleh kepada Chifuyu untuk meyakinkan temannya tersebut. “Gue sekarang udah punya Koko, Mitsuya itu masa lalu gue.” sambungnya.

“Gue tau, jangan sampai salah langkah, oke? Gue gak mau lo sedih gara-gara masa lalu lo lagi, Seishu.”

Thanks, Chifuyu.”

Seishu tak mungkin kembali kepada masa lalunya lagi, bukan? Ia telah bergerak maju untuk membentuk takdir baru. Ia tak ingin lagi terjebak dalam kisah-kasih yang pernah ia lalui bersama Mitsuya. Seseorang yang memberikan dampak terbesar di dalam hidupnya dan seseorang yang selalu membuatnya terjerumus ke dalam lubang yang sama. Seishu tak mau lagi terlarut ke dalam arus masa lalu dan mimpi buruknya.

Mitsuya itu pembawa luka dan penawar luka untuknya. Ia yang menorehkan luka, maka dia lah satu-satunya yang dapat menyembuhkan luka Seishu. Andai dunia tahu bahwa Mitsuya itu berbisa dan menjadikan Seishu sebagai korbannya.

Namun, dunia tak akan percaya dengan pernyataan itu dan akan selalu menganggap bahwa Seishu lah yang salah.

[]

Bak bunga yang bermekaran di musim semi, seterang mentari yang menyari bumi, sedingin embun yang datang di pagi hari. Raut wajah yang indah berseri, juga harsa yang membuncah di hati. Cinta yang memoar tak akan tertandingi.

Ini kisah mereka antara Sanzu Haruchiyo bersama lelakinya, Haitani Rindou.

Mengenai cinta? Ia tak tahu mengenai filosofi cinta, namun demikian ia dapat merasakan cinta yang memenuhi relung jiwa serta hatinya. Cinta itu layaknya bunga dandelion, indah tetapi mudah lebur. Jika disentuh tanpa kehati-hatian maka menyebarkan kehancuran.

Cintanya berlabuh pada sosok tangguh bernama Rindou, perasaan itu muncul sudah begitu lama namun tak ada langkah maju untuk mendasarkan perasaan cintanya. Sanzu pernah menyatakan cintanya kepada Rindou, tetapi yang Sanzu dapatkan ialah, “jangan jatuh cinta kepadaku.” sebagai balasan. Sudah kesekian kalinya Rindou mengatakan hal seperti itu, tapi namanya cinta yang sudah tumbuh mekar di hati tak dapat Sanzu lenyapkan dengan mudah. Maka dari itu ia membiarkan cinta itu tertanam agar perlahan jatuh dan berujung layu.

Kendatipun Sanzu tahu bahwa cinta tak dapat dipaksakan, ia pasrah jikalau Rindou tak dapat membalas cintanya, Sanzu pikir semua lara yang ia rasakan akan mengalir seiring waktu, tetapi rasanya Sanzu ditahan oleh Rindou. Saat Sanzu ingin beranjak pergi, Rindou segera menarik tangannya untuk kembali. Sanzu tak mengerti mengapa Rindou selalu memperlakukannya seperti itu sedangkan hatinya tak pernah bisa menoleh kepada cintanya. Apakah Rindou hanya ingin bermain-main kepada dirinya?

Sanzu terperangkap dalam sangkar yang dibuat oleh Rindou, tak diperbolehkan untuk keluar seolah Rindou menitahkan dirinya untuk selalu berada di dekat Rindou baik dengan perasaannya.

“Rin, perasaan kamu ke aku gimana sih? Aku dilarang pergi, tapi kamu gak kunjung membalas perasaanku. Maksud kamu kenapa sih?” Dengan emosi yang mengepul di kepala, Sanzu menatap Rindou nyalang.

“Bisa gak kamu gak bahas itu lagi? Aku capek dengerinnya.” sahut Rindou.

Puntung cerutu yang dibakar oleh pematik itu ia lemparkan ke tanah, Rindou membalas tatapan Sanzu sama lamatnya. Akhirnya Sanzu menciut dan menghela napas kasar. Ia membiarkan Rindou mendekap tubuhnya di dalam rengkuhan hangat Rindou. Tanpa ia sadari, air mata mulai turun dari kelopak matanya.

“Aku juga capek, Rin ... ” Suara lirih itu terdengar menyakitkan.

“Karena itu jangan jatuh cinta kepadaku, Haruchiyo. Cinta itu luka.”

Lantas, mengapa ia tak mengubahnya menjadi suka tanpa membuka luka? Menorehkan luka yang menganga di lubuk hati setelah dihunus oleh pedang panas. Sanzu teramat lelah demi perjuangkan cinta yang tak kunjung menemukan titik terang. Ingin berhenti pun tak bisa. Sanzu pasrah dengan takdir yang akan membawanya ke mana.

Sudah kerap kali Sanzu menangis karena cinta, berakhir mengeluarkan seluruh emosinya kepada Kokonoi yang rela menampung rasa sakit yang semakin menumpuk di hati. Ia juga melafalkan nama Rindou di setiap doa-doanya, agar pemuda itu membuka matanya dengan lebar untuk melihat presensi Sanzu di dalam hidupnya selama ini.

Jika bunga tak dapat mekar tanpa mentari, maka Sanzu tak dapat jatuh cinta tanpa Rindou. Sosok itulah satu-satunya yang membuat Sanzu merasakan lika-liku percintaan, yang membuatnya terjerumus ke dalam lorong tanpa celah. Dan jika Sanzu adalah sang matahari, maka Rindou akan menjadi rembulan. Matahari yang akan menyinari sang rembulan, tetapi keduanya tak akan pernah saling bersua.

...

“Sudah siap, princess?” tanya Rindou kepada Sanzu yang telah siap sejak beberapa menit yang lalu untuk mencari angin di malam hari bersama Rindou.

“Seperti yang lo lihat.” cetusnya.

Rindou terkekeh, si kecilnya masih marah kepadanya perihal beberapa waktu yang lalu. Raut wajah Sanzu saat ini sangat menggemaskan, ia memasang wajah masam tanpa senyuman di bilah ranumnya. Bahkan tak sudi memalingkan wajahnya kepada Rindou. Lantas, pemuda itu menarik tangan kanan Sanzu untuk ia genggam dengan erat.

Sanzu mengerutkan keningnya kala Rindou sudah menggenggamnya, “apa sih?”

“Katanya dingin jadi harus digenggam biar rasanya jadi hangat.” jawab Rindou yang telah menginjak pedal gasnya. Dengan setia, ia menggenggam jari-jari halus Sanzu saat dirinya fokus mengendalikan stir.

“Modus lo!”

“Gak apa-apa, sesekali.”

Sanzu menyembunyikan semburat merah di kedua pipinya, ia senang sekali ketika Rindou kembali menunjukkan kepeduliannya kepada Sanzu. Sosok itu sebenarnya sehangat terik matahari, namun sikapnya mampu sedingin bongkahan batu es. Rindou diciptakan seunik mungkin oleh sang pencipta.

“Mau ke mana sih?” tanya Sanzu yang mulai diisi oleh rasa penasaran.

“Ke mana aja asalkan saat ini kita bareng biar bisa ngobrol.” Rindou memalingkan wajahnya singkat kepada Sanzu yang kini beralih menatap kepadanya.

“Lah? Gak jelas banget sih.”

Rindou tersenyum sumringah, ia mengecup punggung tangan Sanzu yang ia genggam dengan lembut. Sanzu dapat merasakan basah yang berasal dari bibir Rindou. Tentu jantungnya berdegup beberapa kali lipat saat ini. Ingin rasanya melompat keluar dari dalam mobil yang mereka tempati untuk menyembunyikan perasaan memalukan ini. Sanzu mengulum senyumnya dalam-dalam agar tak memperlihatkan senyuman itu.

“Haruchiyo.”

“Sanzu Haruchiyo?”

“Sayang.”

“Eh, apa?”

Lamunan Sanzu buyar ketika Rindou memanggil namanya. Ia memutar bola matanya ke samping untuk memperhatikan sosok dengan balutan pakaian kasual itu. Rindou terlihat menawan seperti biasanya.

“Dipanggil sayang aja cepet nyahutnya.”

“Bodo!”

“Masih marah sama aku, ya?” Vokalisasi Rindou menurun, terdengar seperti lantunan yang menenangkan hati.

“Biasa aja.” jawab Sanzu.

“Kenapa belakangan ini selalu jauhin aku? Bahkan selama di Surabaya kamu jarang bales chat aku. Kenapa, hm?”

Rindou mematikan radio yang awalnya menyala untuk melantunkan musikal yang mereka mainkan. Ia memelankan laju mobil yang ia kendarai agar Rindou dapat memusatkan seluruh atensinya kepada Sanzu, ia ingin mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Sanzu dengan baik. Supaya hubungan di antara mereka membaik setelah adanya kepahitan.

“Gak ada apa-apanya kok, aku emang lagi sibuk kuliah aja.” Sanzu menyorotkan pandangannya ke arah depan, lebih memilih melihat jalanan yang cukup ramai.

“Sejak kapan seorang Sanzu Haruchiyo begitu fokusnya sama masalag perkuliahan? Itu bukan kamu banget.” tungkas Rindou lagi, sebab dirinya yakin jikalau Sanzu merasakan sesuatu tanpa Rindou ketahui.

“Beneran kok, gini-gini aku juga mahasiswa yang rajin kuliah.” Sanzu menyalak.

“Iya deh, si mahasiswa yang paling rajin.”

“Emang bener begitu kok.”

Rindou diam, ia membawa mobilnya ke pinggir jalanan yang ramai dipenuhi jajanan-jajanan lokal. Lumayan banyak orang yang singgah di sana untuk membeli makanan tersebut, oleh sebab itu Rindou ikut tertarik untuk berhenti di sana untuk membeli beberapa jajanan agar mengisi perut mereka yang keroncongan.

“Makan dulu, ya? Biar baby kita sehat di dalam perut bundanya.” ajak Rindou dengan diiringi gelak tawa.

Baby apaan anjir, lo pikir gue punya rahim apa.” Sanzu mengikuti Rindou untuk turun dari mobil. Rindou mengajaknya untuk membeli jajanan yang dibakar di atas panggangan. Sanzu menatap makanan-makanan itu dengan lapar. Sudah lama sekali ia tak mencicipi makanan seperti ini. Tiba-tiba Sanzu mengusap perut datarnya dan berkata, “nak, makan dulu, ya? Biar bunda punya kekuatan buat nonjok muka papamu yang kayak bajingan itu.”.

“Mas, makanannya tolong taroh di atas piring aja, ya? Saya sama istri saya duduk di sana.” ujar Rindou kepada pria paruh baya yang menjual jajanan tersebut, sedangkan tangannya menggenggam erat tangan Sanzu. Katanya tak boleh dilepas barang sedetik pun. Mendengar perkataan Rindou yang asal-asalnya membuat netranya membelalak terkejut.

Plak.

Sanzu memukul pelan lengan Rindou dan dihadiahi kekehan renyah dari pemuda itu. Rindou menariknya untuk duduk di sebuah kursi yang disediakan oleh penjual. Sanzu sibuk memainkan ponselnya sedangkan Rindou sibuk menatap wajah indah Sanzu. Surai terangnya yang panjang dibiarkan tergerai dan sebagian menutupi parasnya, Rindou mengulurkan tangannya untuk menyelipkan surai Sanzu ke belakang telinganya. Sanzu lalu menatapnya untuk berkata terima kasih dan kembali menarik atensinya kepada ponsel.

“Chiyo, kamu gak bosen apa jadi cantik terus?” tutur Rindou tiba-tiba.

“Hah? Cantik itu modelan Seishu gebetannya Koko, noh.” jawab Sanzu asal.

But you’re the prettiest, Chiyo.” timbalnya lagi.

Sanzu tersentak mendengarnya, baru kali ini Rindou memujinya secara gamblang di dalam keadaan mereka yang sedikit serius. Rindou kerap memujinya saat mereka melakukan hubungan intim, namun di situasi seperti ini benar-benar membuat hati Sanzu melebur. Ia teramat bahagia mendengar pujian tulus dari Rindou.

“Tetep jadi seperti ini, ya? Biar aku selalu menoleh ke arah kamu.” sambung Rindou.

“Rin?” Sanzu menyimpan ponselnya ke dalam saku celananya, ia menoleh ke samping dan mendapati Rindou yang tengah memusatkan pandangannya telak di sepasang iris kembarnya. Menatap netranya dengan tulus.

“Iya?” jawabnya dengan halus.

“Jangan kayak gini ... jangan bikin aku makin jatuh ke dalam dasar yang sama. Sekali aku jatuh, aku gak akan bisa keluar lagi. Please?

Rindou mengunci rapat mulutnya, namun ia memamerkan senyumannya kepada Sanzu. Ia mengusap pipi Sanzu yang lembut bak kapas dan seputih kanvas.

“Apa salahnya untuk jatuh semakin dalam?” ucapnya.

“Itu bisa menyembabkan luka yang gak akan bisa disembuhkan dengan mudah.”

Rindou bungkam kembali, sedangkan Sanzu menundukkan wajahnya tak ingin bersitatap dengan Rindou, ia cukup menikmati tangan Rindou yang mengerayangi pipinya.

“Permisi, Mas ... Mbak?” sang penjual makanan datang membawa satu piring yang dipenuhi jajanan yang Rindou beli.

Mbak. Pfft—” Rindou menahan gelak tawanya dan menerima piring yang diberikan oleh penjual. Sanzu yang mendengar itu menelan ludahnya kesal.

“Sialan lo, Rindou.”

“Mamang yang jualan aja mikirnya lo cewek soalnya lo emang cantik banget.”

“Ngeselin!”

“Udah, udah. Ini makan dulu nanti keburu dingin.” titah Rindou pada pemuda pemilik paras yang teramat elok.

“Rin, enak banget sumpah!” Obsidian itu berbinar terang, Rindou menelan pujiannya terhadap itu di dalam hatinya.

“Suka?”

“Sukaaaa bangeeet!”

“Habisin, ya.”

“Rin makanya dikit aja biar Chiyo makan yang banyak.”

“Iya, Chiyo.”

Sekitar 1 jam mereka habiskan untuk berbincang sembari menikmati beberapa jajanan yang mereka beli, Sanzu menyenderkan bahunya pada dada Rindou. Sedangkan Rindou menggenggam tangan Sanzu begitu erat.

“Rin, kenyang banget nih gue.” Sanzu menepuk perutnya dua kali mengatakan pada Rindou bahwa ia benar-benar penuh.

“Bagus kalo gitu.”

“Pulang, yuk? Kenyang gini bawaannya gue jadi ngantuk mau tidur.” ajak Sanzu yang mulai merasa kantuk mengerayangi dirinya.

“Ayo.”

Setelah membayar jajanan yang mereka beli, keduanya kembali masuk ke dalam mobil sebab angin malam mulai bertiup kencang dan terasa dingin menusuk ke tulang. Rindou menyalakan mobilnya menuju pulang ke rumahnya. Sudah cukup jalan-jalan untuk malam ini bersama Sanzu. Masih ada hari esok dan beberapa hari ke depan dapat mereka habiskan bersama-sama.

“Haruchiyo.” panggil Rindou pada Sanzu yang hampir terlelap.

“Ya?”

“Kenapa lo jauhin gue waktu itu?”

Rindou tak berpaling kepada Sanzu dan tetap fokus menatap ke arah depan serta kemudinya, begitu pula dengan Sanzu. Pemuda itu menarik napas panjang lalu mengeluarkannya secara perlahan. Tercipta senyum hambar menghiasi parasnya.

“Rin, gimana rasanya ketika usaha lo tak terbalaskan?

[]

Seishu menggigit kuku jarinya sebab risau dengan situasi yang akan ia lalui dalam beberapa menit lagi. Ia mencoba menghilangkan perasaan aneh yang bermunculan di dalam pikirannya, lalu ia menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Langit berubah menjadi abu menandakan adanya diorama kelabu, rinai hujan sebentar lagi akan menghantam permukaan tanah. Seishu tak punya pilihan lain selain mengindahkan permintaan sosok yang pernah bersemayam di masa lalunya.

Mitsuya. Mantan kekasihnya, di mana keduanya pernah menjalin kisah romansa selama 3 tahun lamanya, kisah tersebut di mulai ketikan Mitsuya dan Seishu masih duduk di bangku sekolah menengah atas, namun kisah itu berakhir kandas beberapa waktu yang lalu. Tak ada lagi kisah cinta yang terjuntai di antara Mitsuya maupun Seishu. Setelah kisahnya berakhir, mereka bak dua orang asing yang tak saling mengenal sebelumnya.

Baginya, Mitsuya itu seperti setangkai bunga mawar. Indah namun dapat menimbulkan luka. Asmaralokanya mengandung harsa dan berujung asa, serta ada luka menyebabkan duka. Seishu terlampau hafal dengan tabiat Mitsuya, ia lelah jika harus berjuang mempertahankan cintanya sedangkan Mitsuya seolah pasrah. Maka dari itu Seishu memilih mundur walau hatinya belum pulih sempurna.

Jikalau seseorang bertanya kepadanya, apakah Seishu masih menyimpan perasaan kepada Mitsuya; maka jawabannya tak tahu sebab Seishu masih bimbang dengan perasaan di hatinya. Mitsuya itu pula bak puntung nikotin yang membuatnya candu akan derita. Meskipun ada banyak celah duka, membuat seluruh sukmanya membilu, lalu Seishu akan menyeru pilu. Namun, Seishu akan memilih jalan kembali berlabuh di hati Mitsuya yang dianggapnya rumah tetapi tak pernah bersikap ramah.

Seishu itu bodoh perihal cinta, ia meromantisasi pedih di hatinya asalkan rasa itu berasal dari Mitsuya, lantas yang akan Seishu lakukan selanjutnya adalah merintih lirih. Ia terlalu apatis akan itu. Suatu ketika akhirnya Seishu tersadar dari mimpi buruknya dan memilih untuk bangkit agar menemukan jalan yang lebih baik, walaupun tanpa Mitsuya.

Kokonoi. Sosok itu bak penawar hati, tak banyak merapalkan janji justru lebih banyak menunjukkan aksi. Bersama Kokonoi, Seishu merasa amat dicintai. Menorehkan rajut puisi dalam kisah-kasih romansanya. Menyadarkan dirinya agar merelakan gumpalan memori masa lalu beranjak pergi, lalu membuka lembaran baru bersama Kokonoi.

Mitsuya, sosok masa lalunya. Orang dengan pedang bermata dua.

Brum. Brum.

Lamunan Seishu seketika buyar oleh presensi Mitsuya yang duduk di atas jok motornya dengan helm yang terpasang di atas kepala, menutupi seluruh wajah rupawannya dan hanya menyisakan obsidian kembarnya yang menawan. Seishu menegak ludahnya susah payah, canggung menyelimuti keduanya sampai ketika Mitsuya melepaskan helm-nya dan menatap ke arah Seishu.

“Sampai kapan mau berdiri di sana, hm? Ayo buruan naik nanti keburu hujan.” titah pemuda bersurai keunguan tersebut, vokalisasinya masih sama seperti dulu. Lembut dan halus yang menyayat hati.

“Iya.” jawab Seishu seadanya.

Ia menghampiri Mitsuya dan menerima helm dari pemuda itu, Seishu terlampau tak peduli pemilik helm yang ia kenakan untuk pulang ini, yang terpenting ia bisa pulang ke rumah dengan selamat maupun harus bersama dengan Mitsuya. Seishu yakin sekali, kejadian hari ini tak akan berdampak apapun di kemudian hari.

“Pegangan, nanti kamu jatuh.” Mitsuya menarik lengan Seishu lalu melingkarkannya di pinggangnya.

“Mitsuya, apaan sih ... gak usah ngebut ‘kan bisa.” cetusnya, segera menarik tangannya kembali. Seishu memalingkan pandangannya ke arah lain daripada harus bersitatap dengan Mitsuya melalui kaca spion yang mengarah padanya.

“Kalo jatuh jangan salahin aku, ya?” Bahkan saat seperti itu Mitsuya masih sempat-sempatnya terkekeh demi layangkan guyonan. Mitsuya menarik pedal gasnya dengan kecepatan maksimal membuat Seishu kalang kabut di belakang. Tanpa dirinya sadari, Seishu menggenggam ujung jaket yang Mitsuya kenakan sebab dirinya khawatir dengan kelajuan motor yang mereka naiki. Sudah lama sekali berada dalam posisi seperti ini, dirinya yang menaiki motor Mitsuya sembari melingkarkan lengannya di sisi pinggang Mitsuya. Lalu, pemuda itu akan mendengarkan setiap cerita yang Seishu keluarkan untuk mengisi kesepian selama perjalanan. Seishu menunduk melihat tangannya sendiri, ia tertegun.

Harsa kembali membuncah, seakan perasaan itu tumpah ruah di antara mereka. Seishu memperlihatkan semburat merah layaknya mosaik langit senja. Tak ada hal yang membuat mereka terusik dalam suasana menyenangkan ini. Mitsuya menangkap bayangan indah Seishu melalui kaca spion, semesta tak sama besarnya dengan bentuk cinta Mitsuya pada Seishu.

Semestanya itu berpedar pada Seishu.

“Seyi.”

“Cuya.”

Mitsuya terkekeh mendengar suara halus itu mengisi rungunya, ia menggunakan salah satu tangannya untuk mengusap lengan Seishu yang melingkar di perutnya.

“Kangen, ‘kan? Makanya aku ngajak kamu pulang bareng biar kita nostalgia sama kenangan masa lalu kita sewaktu masih pacaran. Saat Seyi masih milik Cuya.”

Seishu tersenyum hambar mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh Mitsuya. Memang benar nyatanya bahwa mereka sudah berakhir. Tak ada lagi Seishu sebagai semestanya Mitsuya maupun Mitsuya suryanya sang semesta.

“Semuanya udah berakhir.”

“Apa salahnya membuat kenangan itu terlahir lagi?”

Seishu bungkam. Ia menatap setiap jalanan yang ramai oleh pengendara lainnya, Seishu tak tahu lebih tepatnya tak mau menjawab pertanyaan Mitsuya. Ia tak ingin salah langkah lagi untuk masuk ke dalam lubang yang sama. Namun, mengapa hatinya bertolak belakang dengan egonya. Seishu mulai terlarut dalam panorama yang Mitsuya gambarkan, di mana keduanya masih sama-sama mencintai.

“Gak, gak, lupain aja.” ucap Mitsuya.

“Ah, iya.”

“Seishu, kalo semisalnya hujan kita neduh dulu, ya? Aku gak mau ngambil risiko kalo kamu hujan-hujanan terus jatuh sakit.”

“Emangnya mau hujan?”

“Kayanya.”

Selang beberapa menit kemudian, tetesan air hujan mulai turun membasahi bumi. Pengendara menyempatkan diri untuk berteduh di pinggir toko yang tutup atau sekadar berhenti untuk memasang jas hujan. Sedangkan Mitsuya memilih opsi untuk berteduh, ia lupa membawa jas hujan sehingga ia tak dapat membelah hujan yang mulai turun dengan derasnya.

“Hujan ... ” lirih Seishu. Untung saja Mitsuya bergerak cepat untuk mencari tempat berteduh agar Seishu tak terkena air hujan.

“Dingin gak?” tanya Mitsuya.

“Sedikit.”

Mitsuya menanggalkan jaketnya lalu segera meletakkan jaket itu di atas bahu sempit Seishu yang tengah mengusak kedua tangannya untuk mengusir hawa dingin. Seishu terkesiap merasakan perlakuan Mitsuya yang tiba-tiba. Pemuda itu merapatkan tubuh mungil Seishu ke dalam jaketnya yang hangat. Menatap obsidian kembar milik Seishu dengan lembut.

“Biar gak dingin lagi, biasanya juga selalu begini, ‘kan?” tukas pemuda itu.

Seishu benar-benar tak mengeluarkan sepatah kata, ia hanya diam membisu menikmati perlakuan Mitsuya kepadanya. Hal-hal seperti ini kerap terjadi pada saat mereka masih berstatus pacaran. Mitsuya yang hangat perlakuan dan perkataan. Seishu merasa sangat bahagia, ia terlalu lugu dengan apa yang terjadi. Meski berulang kali menampik perasaan yang singgah, pada akhirnya ia terlarut kembali pada arus deras yang membawanya ke kisah lama bersama Mitsuya.

Thanks, Cuya.”

“Apapun, Seyi. Apapun akan aku lakukan buat kamu.”

Mitsuya merangkul Seishu serta membiarkan kepala Seishu bersender di bahunya, menatap lurus pada rinai hujan yang menjadi saksi kisah mereka.

...

“Ko, pesen online food, yuk? Hujan-hujan gini enaknya makan, ya, ‘kan.” Pemuda bersurai terang menghampiri Kokonoi yang tengah menaruh atensinya pada ponsel.

Pemuda bernama Kokonoi itu tak kunjung menjawab karena terlalu fokus pada benda persegi panjang yang ia mainkan. Sanzu memiringkan kepalanya untuk mengintip ke arah ponsel Kokonoi dan setelahnya ia berdecak masam.

“Woi, Kokonoi Hajime!”

“Eh!” Kokonoi tersadar dari lamunannya dan segera meletakkan ponselnya di atas ranjang yang ia tempati.

“Lo gak denger apa yang gue bilang tadi?” Sanzu melemparkan pertanyaan kepadanya.

“Gak.”

Sanzu menghela napas kasar, ia merentangkan tubuhnya di atas kasur seraya meletakkan kedua kakinya di atas paha Kokonoi, pemuda itu tak melayangkan protes dan membiarkan Sanzu bertindak semaunya. Sanzu menatap langit-langit kamar yang mereka tempati selama tinggal di kediaman Haitani. Mereka memang selalu berada di dalam kamar yang sama dan kerap tidur di atas ranjang yang sama, namun tak ada hal khusus yang terjalin di antara mereka.

Sanzu itu selalu diperlakukan bak tuan puteri oleh mereka bertiga. Ia dapat bertindak sedemikian mungkin dan tak ada satupun dari mereka yang melarangnya.

“Bulol lo.” pungkas Sanzu tiba-tiba.

Kokonoi tak menjawab selain terkekeh mendengar ujaran sang kawan.

“Ko, gimana rasanya jatuh cinta?” tanyanya.

“Seperti apa yang lo lihat pada diri gue, itulah yang gue rasain selama ini.” jawab Kokonoi sembari tersenyum sumringah membayangkan wajah Seishu serta jantungnya yang berdebar-debar.

“Seru, ya, kalo dua orang saling mencintai. Cintanya jadi terbalasnya.” Vokalisasi pemuda bersurai panjang itu kian merendah, ia tak membalas tatapan Kokonoi yang mengarah kepadanya.

“Rindou?”

Sanzu langsung bangun dari posisinya, kembali menghela napas lesu. Mendengar nama temannya itu membuat Sanzu menjadi sedih. Kokonoi menepuk pundak Sanzu dua kali guna menyalurkan kekuatan kepada pemuda manis itu.

“Katanya lo mau pesan makanan, yaudah lo mau makan apa?” tanya Kokonoi untuk mengganti topik pembicaraan mereka.

“Apa aja deh yang penting yang bikin kenyang dan bikin mood bagus.”

“Oke.”

Kokonoi memesan makanan melalui aplikasi online untuk mereka berempat. Namun, ada satu hal yang membuat hati Kokonoi tak tenang sedari tadi. Ia selalu menatap ke layar ponselnya menunggu secarik pesan dari Seishu yang tak kunjung membalas pesannya. Ia khawatir kepada Seishu, ditambah cuacanya yang sedang tidak baik-baik saja.

[]

Seishu tengah bergelayut manja di atas ranjang di kamarnya, menyumpalkan headset di kedua telinganya dengan memainkan lantunan musik melalui ponselnya, ia tak dapat mendengar sorak-sorai yang terjadi di luar kamarnya. Matanya terpejam untuk lebih mengarungi musikal itu lebih dalam lagi, kadang bilah bibirnya membentuk senyum sumringah kala lagu yang sedang dimainkan memutar lagu yang menyakut perihal kehidupannya.

Saking fokusnya menaruh konsentrasinya ke dalam irama melodi, Seishu tak menyadari kehadiran figur sang kakak di ambang pintu kamarnya dengan raut wajah masam dan netra yang berkeliaran ke seluruh penjuru ruangan dan berhenti pada siluet Seishu di atas ranjang miliknya.

“Pantesan daritadi gue ngomong gak dibales-bales taunya pakai headset.” Akane Inui, saudara kandung satu-satunya Seishu. Ia bermonolog sembari menghampiri sang adik. “Woi, Seishu!” Akane memukul pelan paha sang adik yang hanya dibaluti kain tipis yang hanya menutupi bagian pahanya.

Lantas, Seishu terperanjat kaget kala mendapati saudaranya telah berdiri di samping tubuhnya dengan postur bersedekap dada, ia mendecih merasa terusik oleh kehadiran Akane.

“Apa?” jawab Seishu cetus seraya melepaskan headset yang ia kenakan.

“Lo tuh ya kalo dipanggil dengerin dong! Itu telinga mau lo jadikan pajangan doang kalo gak ada fungsinya sama sekali?” Akane menggulirkan matanya jengah.

“Berisik banget lo, lama-lama gue ganti lo.”

“Adek laknat lo, Seishu!”

Seishu memalingkan pemandangannya ke arah lain agar tak bersitatap dengan Akane, wajahnya masam sebab Akane telah memutuskan ilusinya secara tiba-tiba. Padahal ia tengah membayangkan berpegangan tangan bersama Kokonoi di bawah guyuran hujan dengan sinar rembulan yang menerangi jiwa mereka. Namun, semuanya itu buyar akibat Akane.

“Itu, ada yang nyariin lo.” ujar Akane.

“Siapa?” tanyanya.

“Tuhan.”

“Kalo bukan kakak kandung, si Akane ini udah gue buang dari lama.” Seishu menghela napas kasar dan bergumam di dalam hatinya. Sedangkan Akane tertawa melihat ekspresi Seishu.

“Udah lo turun gih ke luar, liat sendiri siapa yang mau ketemu lo, tapi jangan lupa pakai jaket. Penampilan lo sekarang seksi banget nanti dia malah hilang kontrol.” titah sang kakak sebelum meninggalkan Seishu yang termenung diam di kamarnya.

“Tumben ada yang nyari gue.” ucapnya dengan dikelilingi kebingungan.

Biasanya teman-teman Seishu tak pernah meminta Akane untuk memanggilnya terlebih dahulu, pula mereka pasti langsung menghampiri Seishu di kamarnya. Menuruti titahan Akane, Seishu menyambar jaketnya untuk menutupi postur tubuh porselennya yang terekspos. Lagipula cuaca malam ini sangat dingin, ia tak ingin angin malam merangsek masuk ke dalam pori-pori kulitnya.

Seishu bergegas keluar dari rumahnya, netranya menemukan cahaya dari balik jeruji gerbang rumahnya. Ia yakin itu sorot dari lampu kendaraan, ia membuka gerbang dan mengirit tungkainya keluar. Seishu terkesiap ketika sepasang irisnya mendapati perawakan Kokonoi yang tengah duduk di atas motor yang dikendarainya. Kokonoi sedikit menyugar rambutnya yang berantakan akibat helm.

Saat netranya berpapasan dengan Seishu, ia langsung menyunggingkan senyum ramah dan segera menyapa cintanya itu.

“Hai.” Matanya menyipit tatkala bilah bibirnya membentuk senyuman.

Seishu masih bungkam lamun netranya menatap Kokonoi dengan lekat, ia masih terkejut dengan kedatangan Kokonoi tiba-tiba di malam hari tanpa mengabarinya terlebih dahulu. Segera ia menghampiri Kokonoi yang bertengger manis di atas jok motor. Seishu tak tahu-menahu mengenai dalih kedatangan Kononoi di sini.

“Koko?”

“Iya, Seishu?” balasnya lembut.

“Kok lo bisa tiba-tiba di sini sih?” tanyanya berantakan karena masih kebingungan.

“Karena naik motor makanya bisa di sini.” ujarnya sembari diselingi kekehan.

“Serius ... kok lo gak ngabarin gue dulu kalo lo mau ke sini?”

“Kalo dikabarin nanti malah gak jadi surprise ‘kan gue mau ngasih kejutan sama lo, Seishu.” sambungnya. Netra hitam legam itu selalu menyorotkan pandangan pada sosok Seishu, selagi ada waktu yang tersisa; Kokonoi ingin selalu menatap Seishu dengan kedua irisnya.

“Apa sih ... ” Seishu berusaha menyembunyikankan semburat merah yang muncul meriasi wajahnya.

“Nih.” Kokonoi menjulurkan tangannya dengan menggenggam sekantong plastik kepada Seishu. “Tadi sebelum ke sini gue singgah beli martabak manis, gue gak tau rasanya gimana tapi gue yakin seratus persen kalo manisnya gak bisa ngalahin kemanisan lo, Seishu.” Setelah berujar demikian, ia kembali tersenyum.

Seishu melolongkan bantuan kepada siapapun agar menenggelamkan dirinya ke dasar lautan agar Kokonoi tak melihat dirinya yang dirundung rasa malu. Seishu meraih kantong plastik tersebut tanpa membalas tatapan Kokonoi.

“Koko, lo basi banget deh.” Tangan Seishu tertahan sebab Kokonoi menggenggam tangannya dengan erat, “terima kasih, ya.”

“Biarin begini, jangan dilepasin dulu karena gue pengen genggam tangan lo lebih lama.” pinta pemuda bersurai hitam tersebut.

Seiahu lantas ikut tersenyum, hangat yang ia rasakan baik tangan maupun hatinya. Ia ingin selalu melekatkan adegan romansa ini di dalam ingatannya, ia ingin selalu merasakan hangat ini di sekujur tubuhnya, ia ingin selalu memandangi sosok Kokonoi. Malam ini ia kembali dibuat sebahagia mungkin oleh Kokonoi. Seishu mengangkat sebelah tangannya dan meletakkannya di atas genggaman tangan mereka.

“Iya, Koko. Gue gak akan melepaskannya kok, tenang aja.” Vokal itu bak lantunan penang di telinga Kokonoi. Ia teramat bahagia melihat Seishu malam ini.

“Seishu, besok gue balik ke Surabaya sama Sanzu. Gue ke sini mau ngasih kabar itu dan juga mau ketemu lo lagi. Soalnya selama di Surabaya gue gak bisa genggam tangan lo kayak sekarang ini.” Kokonoi semakin mengeratkan genggamannya.

“Seharusnya lo istirahat sih, soalnya lo besok bakal bepergian jauh.” ujarnya.

“Gak apa-apa, gue udah terbiasa kok bolak-balik Jakarta dan Surabaya.”

Hampir satu jam mereka habiskan dengan saling berkomunikasi bersama, Kokonoi menolak ketika Seishu mengajaknya untuk masuk ke dalam rumah dengan dalih belum waktunya bertemu dengan calon mertua, tentu saja Seishu kembali bersemu. Maka dari itu mereka hanya berdiam diri di depan halaman rumah Seishu. Kokonoi tipikal pemuda yang selalu menatap netra lawan bicaranya, setiap Seishu berbicara kepadanya ia selalu mengarahkan netranya pada Seishu. Bahkan hal sekecil itu pun membuat Seishu terlarut dalam kebahagiaan.

“Seishu, jangan pernah takut atau ragu soal perasaan gue walaupun gue nanti ada di Surabaya, gue tetap menanam perasaan gue buat lo kok, karena saat ini seluruh perhatian gue tertuju pada lo. Pegang janji gue—bahwa gue akan selalu mencintai lo.” Kini pembicaraannya berganti menjadi topik yang lebih serius. Kokonoi kembali menarik tangan Seishu untuk ia genggam.

“Gue percaya lo kok, Ko.”

“Gue tadi minta Ran sama Rindou buat jaga lo di sini selagi gue gak di Jakarta. Mau tau reaksi mereka gimana gak? Mereka seneng banget, katanya ini pertama kalinya gue begini ke seseorang. Walaupun mereka agak aneh, mereka bertiga temen yang selalu ngebantuin gue.” pungkasnya.

“Koko, apaan sih.” Seishu tergelak mendengar penuturan Kokonoi, melihat sang puja tengah tertawa hati Kokonoi tersentuh. “Kayak anak kecil aja harus dijagain.” ujar Seishu.

“Gak apa-apa, ‘kan? Kebetulan Ran sama Rindou satu kampus sama lo, kalo mau kenalan sama mereka juga mudah.”

Seriously? Mereka ternyata satu kampus sama gue? I never thought the world would be this narrow.

Then this narrow world is what eventually brings us together.” sahut Kokonoi. Ia masih setia untuk menggenggam tangan Seishu untuk beberapa sekon sebelum ia pulang.

“Mau pulang sekarang nih?” tanya Seishu.

“Iya, kayaknya udah terlalu malam juga kasian lo kedinginan.” Kokonoi merengut kasian pada tubuh Seishu yang kini terasa sangat dingin akibat diterpa angin malam.

“Gak apa-apa, Ko.”

“Jangan, nanti malah sakit. Gue izin pulang dulu, ya? Nitip salam ke orang tua lo dan kakak lo dan titip kata maaf juga karena ngajak lo ngobrol di luar dan gak ketemu sama mereka, nanti ada waktunya gue ketemu sama keluarga lo.”

“Iya, nanti gue sampein.” Kokonoi menyalakan motornya, ia bilang bahwa motor yang ia kendarai ini ialah milik Rindou, temannya itu memperbolehkan Kokonoi menggunakannya untuk bertemu dengan Seishu. “Koko, tunggu!”

“Hm?”

Seishu meletakkan dua jarinya di atas bibir lalu mengulurkan jari itu ke atas kening Kokonoi. Ciuman tidak langsung, pikirnya dalam hati. Wajahnya berseri indah dan bibirnya melengkung membentuk sebuah senyuman. Kokonoi terkesiap dengan perlakuan Seishu tiba-tiba. Pergerakannya yang ingin mengenakan helm langsung terhenti seketika. Netranya menatap Seishu yang tengah tersenyum kepadanya.

“Hati-hati, Koko!”

“Seishu ... gue makin cinta sama lo.”

...

“Cie, cie, cie. Siapa tuh?”

Ketika tungkai Seishu memasuki rumahnya ia sudah disambut dengan godaan Akane. Seishu mendudukkan tubuhnya dia atas sofa di ruang tamu, ia meletakkan martabak manis yang telah mendingin. Akane membuka kantong plastik tersebut dan memakan martabak manis itu tanpa menunggu penuturan Seishu. Seishu berdecak sebal melihat sikap Akane.

“Menurut lo dia gimana?” tanya Seishu.

“Apanya?” Dengan mulut yang penuh dengan makanan Akane membalasnya dengan pertanyaan.

“Ya, menurut lo dia anaknya oke gak? Dia yang saat ini lagi deket sama gue.” jelas Seishu sembari mengambil sepotong martabak manis yang tersisa sedikit.

Akane itu orang yang rakus, walau tubuhnya terlihat kecil ia mampu menampung banyak makanan di dalam perutnya tersebut.

“Mana gue tau yang deket sama dia ‘kan lo, masa gue yang harus menilai dia. Kalo menurut lo dia orang yang baik, berarti dia emang cocok sama lo.” jawab Akane. “Dek, are you really done with Mitsuya?”

Seishu tersedak.

Ia mengambil banyak napas dan tenggorokannya masih terasa mencekik. Ia tak langsung membalas ucapan Akane yang terasa memojokkannya hingga ke pojokan. Seishu menatap martabak manis yang ada di hadapannya dengan lekat.

All things related to Mitsuya have ended long ago.” Vokalisasi Seishu menurun dan tatapannya mengabur.

Seishu yakin bahwa kini hatinya berporos pada Kokonoi, kendatinya pun berkata demikian. Debaran anomali yang muncul ketika bersama Kokonoi sudah cukup menjadi bukti yang jelas bahwa Seishu benar-benar terjatuh ke dalam lubuk pesona Kokonoi, ‘kan? Seishu sangat yakin.

[]

Telah tandas gelas keduanya dalam kurun waktu 2 jam. Chifuyu yang telah menghabiskan ribuan sekon di sebuah kafe klasik yang cukup terkemuka di kotanya. Lantunan musik yang dimainkan di kafe tersebut sedikit menemani Chifuyu sembari menghilangkan perasaan risau di dalam dirinya. Chifuyu berulang kali melirik pada jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, tersampir perasaan kecewa juga khawatir.

Tepat hari ini; untuk pertama kalinya bagi Chifuyu dan pelipur hati saling bertemu setelah memadu kisah romansa berbulan-bulan lamanya. Bertemu di sebuah dunia virtual namun saling memadu amikal. Tak ada keterkaitan resmi yang terjalin di antara mereka, lamun tak dapat dipungkiri kedekatan mereka yang telah berlangsung cukup lama, tak pula menampik adanya perasaan yang membuatnya terpaut asmara bahkan Chifuyu tak dapat menggambarkan dalam aksara.

Chifuyu tahu bahwa ia telak jatuh hati pada seseorang yang belum pernah ia temui sama sekali sampai hari ini.

Helaan napas beberapa kali terdengar, Chifuyu berusaha mengirim pesan kepada oknum sang kasih yang bernama Kei, ia tak tahu apakah nama tersebut merupakan nama aslinya atau berupa samaran. Chifuyu tak tahu-menahu dan tak berniat mengolek informasi mengenai Kei di balik pengetahuan pemuda itu. Chifuyu tak kunjung mendapatkan kabar maupun balasan dari Kei. Wajahnya gusar dan senyumannya hampir luntur.

“Kenapa? Kenapa Kak Kei tiba-tiba gak ada kabar begini? Apa dia memang gak mau ketemu sama gue, ya?” Chifuyu bermonolog pelan, ia menumpu wajahnya di atas meja. Ia sudah lelah menunggu.

2 jam bukan waktu yang sebentar, kerumunan yang ada di sekitarnya membuat dirinya semakin lelah. Chifuyu menyadari banyak pasang mata yang menoleh kepadanya, mungkin mereka heran dengan Chifuyu yang menyendiri dengan ekspresi datar yang terpampang jelas di raut wajahnya.

Chifuyu meletakkan ponselnya di atas meja, terlampau acuh tak acuh dengan semua ini. Obsidiannya nampak sayu dan sorot akan kesedihan, pikirannya melambung jauh di luar nalar. Chifuyu lelah jika harus didikte untuk selalu menunggu, ia membutuhkan suatu kepastian.

“Gue terlalu berharap, ya.” Tawanya terdengar hambar seraya mengusap wajahnya gusar. Sebelum berangkat ke sini, Chifuyu meminta sahabatnya untuk membantunya berpenampilan luar biasa bagus agar terlihat menawan bak pesona yang memoar pada Seishu. Namun, nampaknya semua usaha Chifuyu berujung sia-sia, pertemuan itu tak akan terjadi.

Finalnya, Chifuyu bangkit dari posisinya berniat untuk berjalan pulang dengan pikiran yang berkecamuk serta hati yang berantakan. Chifuyu ingin marah, tetapi ia tak mampu mengutarakan ekspresinya kepada Kei. Ia terlalu lemah.

Saat Chifuyu hendak menarik tungkainya keluar kafe, seseorang mencengkram pergelangan tangannya dan membuat gerakannya terhenti. Chifuyu langsung menoleh untuk mengetahui siapa seseorang di balik perlakuan tersebut.

“Chi ... ”

Deg.

Obsidian kembar Chifuyu menangkap siluet pemuda bersurai ikal legam dengan pakaian kasual tengah menaruh atensinya kepada dirinya. Chifuyu tertegun melihat sosok itu, ia menyadari bahwa sosok itu ialah Kei. Akan tetapi penampilan pemuda tersebut sangat jauh berbeda seperti apa yang pernah ia lihat sebelumnya. Surai ikal yang tergerai, netra setajam elang, dengan gigi taring lancip yang terlihat kala pemuda itu tersenyum sumringah.

“Kak Kei ... ”

“Iya, Kei. Baji Keisuke.” Genggaman pemuda berjenama Baji Keisuke itu kian mengerat dan mengarahkan sepasang irisnya lekat kepada Chifuyu. “Maaf membuat kamu menunggu lama, Chifuyu.”

Baji Keisuke. Chifuyu merapal nama itu di dalam batinnya. Air matanya nyaris keluar melihat sosok pemuda jangkung di hadapannya, ternyata penungguannya tak berujung sia-sia. Kei datang untuknya.

...

“Chifuyu, maaf aku datang terlambat sebenarnya tadi bunda nyuruh aku pergi ke swalayan buat beli kebutuhan masak, terus ternyata handphone-ku lowbatt. Sekali lagi aku minta maaf ke kamu, ya?” Baji melayangkan tatapan tak enak hati pada Chifuyu karena telah mengacaukan pertemuan pertama mereka.

Chifuyu memerkan gigi-giginya yang tersusun rapi disaat ia tersenyum, “gak apa-apa, Kak, yang penting kamu dateng.”

“Gak mungkin aku melewatkan kesempatan emas ini buat ketemu kamu.”

Baji meletakkan ponsel yang baru saja ia mainkan ke atas meja yang mereka tempati, memesan menu makanan serta minuman untuk menemani perbincangan mereka. Chifuyu bergerak kikuk dan sedikit canggung kala berhadapan dengan Baji, sedangkan pemuda itu hiperaktif dan selalu mempunyai topik pembicaraan.

“Kak ... kok kamu bisa tau namaku Chifuyu? Bukannya selama ini kamu cuman tau kalo namaku Chi?” Chifuyu melemparkannya sebuah pertanyaan.

Pemuda ikal itu hampir tersedak di tengah menegak minumannya, ia mendadak bingung harus menjawab pertanyaan Chifuyu bagaimana. Baji tak sadar bahwa ia memanggil Chifuyu dengan nama aslinya sedangkan selama ini mereka tak pernah sekalipun membahas sesuatu yang berbau identitas asli. Baji memutar otaknya untuk mencari alasan yang rasional.

“Oh! Itu ... apa sih yang gak Kakak tau tentang kamu. Gini-gini aku bisa tau tentang kamu apa aja. Hehehe.” penuturannya terbata, Baji berharap Chifuyu tak marah kepadanya karena telah mengorek informasi asli Chifuyu tanpa sepengetahuan pemuda itu.

“Gitu, ya?” Chifuyu justru menunjukkan semburat merah yang terlukis di pipi.

“Iya, sayang. Kakak ingin selalu mengenal Chifuyu bahkan hal sekecil pun.”

Baji mengulurkan tangannya untuk mengusak surai blonde Chifuyu yang berkilau tenang bak mentari di pagi hari. Baji kagum melihat sosok Chifuyu yang sangat menggemaskan apalagi ketika Chifuyu merengut malu, pula potret rupanya yang semakin menawan jika dilihat secara langsung. Lain pula dengan Chifuyu yang terperanjat melihat penampilan Baji yang sangat berbeda.

Pemuda itu berpenampilan sangat apik dan perlente, jauh berbeda dari perspektif teman-temannya terhadap Kei. Chifuyu semakin mendambakan tambatan hatinya tersebut, suara rendah yang mengisi rungunya, senyumannya yang sehangat mentari pagi, serta tatapannya yang sedingin embun pagi. Baji itu sempurna, begitu pula sosok Chifuyu di netra Baji.

“Kei itu dari Keisuke, kalo temen-temen sih sering panggil Baji, tapi buat kamu panggil apapun aku bakal tetap suka.” ujarnya.

“Kak Baji.” Senyum yang terpatri di wajah Chifuyu sangat menenang Baji.

“Aku lebih suka dipanggil sayang sih.” sahut Baji sembari membakar cerutu pertamanya dengan pematik, “gak apa-apa, ‘kan?” Baji bertanya kepada Chifuyu agar memberikannya jawaban mengenai Baji yang merokok di situasi sekarang. Chifuyu mengangguk sebagai jawaban non verbal.

“Sayang?”

“Iya, sayang?”

“Kakak!”

“Tuh lihat, pipi kamu merah-merah kayak habis dicium aja.” Baji terbahak melihat kedua pipi Chifuyu yang merona.

“Kakak salah lihat kali ... ” Chifuyu memalingkan wajahnya ke arah lain agar Baji tak melihat wajahnya yang memerah.

“Mana sini coba Kakak lihat lebih dekat.” Baji menarik rahangan Chifuyu dengan pelan dan mendekatkan wajah mereka berdua. Tanpa pemuda itu sadari, wajah mereka hanya berjarak beberapa senti bahkan Baji dapat melihat langsung obsidian itu bergerak melirik ke arahnya.

Baji mengecup sudut bibir Chifuyu dengan tempo begitu pelan sebelum berbisik di telinga Chifuyu, “kamu cantik banget kalau di lihat dari jarak sedekat ini, Chifuyu.”

...

Baji mengendarai motor ninjanya menuju kediaman Chifuyu atas dasar permintaan kecilnya, awalnya Chifuyu enggan untuk berpegangan pada Baji tetapi pemuda itu menarik kedua tangannya agar melingkar di pinggangnya. Baji hilang kontrol atas kewarasannya maka dari itu ia langsung bertindak lebih kepada Chifuyu tanpa memikirkan nasib hati Chifuyu yang berdebar kencang.

Chifuyu meminta Baji untuk singgah ke rumahnya, tak ada niat terselubung kepada Baji. Ia hanya ingin Baji mengetahui di mana letak kediamannya dan bermain dengan kucing-kucing kesayangannya.

“Kak, yang di sebelah situ!” titahnya kepada Baji yang memacu pedal gasnya.

“Siap!”

Ia pun berhenti di depan sebuah rumah besar sesuai instruksi Chifuyu, lantas pemuda bertubuh mungil itu turun dan membenarkan tataan rambutnya yang berantakan. Baji bergerak untuk ikut membenarkan surai Chifuyu dan tersenyum senang melihat pemuda di hadapannya sudah merapikan surainya.

“Nah sudah, kamu keliatan gemes.”

“Kak ... ah iya! Ayo masuk.” Chifuyu segera menghapus situasi yang menegangkan tersebut dengan menuntun Baji masuk ke dalam perkarangan rumahnya yang dipenuhi tanaman-tanaman yang menyegarkan dan pula halamannya sangat luas.

“Mama sama papa kamu di mana?” tanya Baji saat mereka telah berada di dalam rumah.

“Mereka berdua kerja, pas malem baru pulang dan ngumpul.” jawabnya.

Seekor kucing berwarna hitam tiba-tiba datang menghampiri mereka di ruang tamu untuk memecahkan keheningan yang tercipta, kucing tersebut langsung mengusap-usap kepalanya di tungkai Chifuyu seolah menyambut kedatangan sang majikan ke rumah. Chifuyu menunduk untuk meraih kucing peliharaannya ke dalam pelukannya.

“Peke J, I miss you so much. Kamu sudah makan belum, hm?” Chifuyu bergumam dengan nada vokalisasi yang lucu.

Baji memantau interaksi antara Chifuyu dan kucing peliharaannya tersebut, bibirnya terangkat ke atas tuk membentuk garis senyuman. Chifuyu memang lah pribadi yang lembut bahkan kepada binatang pun ia bersikap begitu ramah dan lemah lembut. Itulah mengapa Baji menyukai sosok Chifuyu selama ini. Chifuyu selalu bersikap baik dan penurut.

“Siapa namanya?”

“Peke J.”

Meow.” Baji meraih Peke J yang terlihat berisi dan begitu bersih, ia yakin Chifuyu merawat kucing tersebut dengan baik. Ini suatu hal yang baru Baji ketahui bahwa Chifuyu menyukai kucing. Ia usap bulu-bulu lembut milik Peke J yang membuat kucing itu merasa nyaman padanya.

“Gemes banget mirip pemiliknya.”

“Eh ... ”

Baji dan Chifuyu terlarut dalam pembicaraan santai, sesekali Baji menggoda pemuda itu sehingga membuatnya merona malu. Kadang melemparkan gumpalan lelucon yang membuat Chifuyu terbahak mendengarnya. Baji ternyata merupakan tipikal pemuda yang humoris. Saat ini Chifuyu masuk ke dalam dekapan Baji, ia tak tahu mengapa keadaan berubah yang membuatnya berada di dekat Baji.

Chifuyu dapat menghirup bau yang memoar dari tubuh Baji, sedangkan pemuda itu meletakkan kepalanya di atas kepala Chifuyu. Mereka tak mengeluarkan sepatah kata pun, hanya diam menikmati suasana yang menyenangkan tersebut.

Semakin ia hirup bau yang ada di tubuh Baji, Chifuyu seolah menyadari suatu hal. Ia tak asing dengan wewangian seperti ini, Chifuyu pernah mencium bau seperti yang ada di tubuh Baji sebelumnya, tapi ia lupa bau milik siapa.

“Baunya mirip seseorang yang gue kenal, bau manis kayak gini. Apa mungkin Kak Baji pakai parfum begini?”

“Chifuyu.” panggilan Baji membuyarkan lamunan Chifuyu seketika.

“Iya, Kak?”

“Kamu sayang sama aku, ‘kan? Apapun yang terjadi di hari esok kamu bakal tetep sayang sama aku, ‘kan, Chifuyu?”

Chifuyu terdiam sebentar sebelum mengeratkan dekapannya pada Baji. Saat ini ia tak dapat mengobservasi ekspresi yang diciptakan Baji di wajahnya, serta iris netranya yang menyorot ke arah lain. Tentu Chifuyu akan selalu menyukai Baji. Tidak, bukan hanya suka tapi juga cinta. Ia mencintai Baji sejak beberapa waktu yang lalu, ia rela melakukan apapun untuk cintanya. Debaran anomali kian muncul kala ia berada dekat pada Baji.

Ia terlampau jatuh cinta teramat dalam.

“Pasti, Kak. Aku selalu ada setiap kali kamu butuh aku, perlu kamu ketahui bahwa aku selalu mencintai kamu.” tutur Chifuyu halus. Vokalisasi itu sungguh menenangkan untuk didengar.

“Terima kasih, Chifuyu.”

“Kamu cinta sama aku juga, ‘kan?”

Pertanyaan itu mampu membuat Baji bungkam seribu bahasa. Ia tak dapat memberikan jawaban yang sesuai kepada Chifuyu bahkan hatinya pun masih dirundung bingung. Baji hanya bisa mengeratkan pelukannya dan meraih bibir mungil Chifuyu dan memagutnya dalam ciuman yang intens.

“Terima kasih telah mencintaiku, Chifuyu.”

[]

Explicit sexual content, boys love, dom/sub, anal sex, mirror sex, Kokonoi!top, Seishu!bot, dirty talk, degradation, humiliation kink, overstimulation, double penetration, multiple orgasms, hand-job, come delayed, edging, fingering.

Tak ‘kan pernah terlintas dalam akal sehatnya tatkala seseorang menganggap raganya ialah sosok orang lain. Ia menatap pantulan refleksi dirinya, rupanya terpampang jelas, tersenyum miris kala jiwanya meringis. Paras nan elok itu diibaratkan sebagai puan yang akhirnya dijadikan sebagai mainan.

Ia bertanya-tanya, “sampai kapan?”

Sampai kapan raganya dirias sedemikian rupa sehingga ia nyaris lupa akan jati diri sebenarnya. Sampai kapan ia harus membendung duka lara. Sampai kapan perasaan ini memupuk hingga menyesakan relung jiwa dan dada.

Mengapa yang kurasa hanya berupa duka? Menggores luka menganga di jiwa pendosa.

Ia tak akan pernah marah, namun ia tak menampik rasa lelah untuk menjelma menjadi seseorang yang telah lama pergi untuk menjadi pemuas dahaga kasihnya. Kasihnya-kasihnya yang mengasihi orang lain yang bukan dirinya. Saat dirinya melayangkan sebuah polarisasi, maka yang ia dapatkan hanyalah distraksi sebagai balasan agar terhindar dari situasi tersebut.

Ia teramat letih dengan sandiwara yang ia mainkan seolah-olah tak pernah terusik dengan sikap perilaku sang tambatan hati pada sosok dirinya, juga kian perih yang melara di atas lukanya. Apakah ia terluka? Tentu, ia sangat mencintai sosok itu namun seseorang yang ia cintai justru menaruh hatinya pada sosok lain.

Ia, Inui Seishu, dan sang pujaan hatinya, Kokonoi Hajime. Ini menjadi kisah kasih perihal dirinya dan Kokonoi dalam juntaian kaset yang kusut. Ia, Inui Seishu yang selalu dianggap sebagai Inui Akane oleh cintanya.

...

“Cantik sekali, Inupi.”

Kokonoi mendekap kedua tangannya di atas dada sembari melayangkan pandangannya pada refleksi Seishu di pantulan cermin. Sosok itu tengah dibaluti gaun pendek dengan surai yang tergerai. Seishu mengangkat sudut bibirnya ke atas, tengah tersenyum dengan terpaksa. Ia membalas tatapan Kokonoi melalui cermin. Ia dapat melihat raut takjub yang tergambar di paras rupawannya.

Sebahagia itukah Kokonoi saat melihat dirinya dalam keadaan seperti ini? Seishu menatap lamat pada bayangan dirinya sendiri, meringis lalu terbahak hambar. Apakah itu potret dirinya sekarang, sangat jauh berbeda dengan sosoknya dahulu. Seishu bertanya kepada jiwanya, apa ia telah meninggalkan dirinya yang lama?

“Kamu suka?” Seishu angkat bicara.

“Tentu, you're the prettiest, mon cheri.

Seishu dibuat tersipu, ia tersenyum bahagia mendengar penuturan pujian dari Kokonoi. Ia merasakan sebuah tangan melingkar di pinggang sempitnya, Seishu tak perlu berpaling ia cukup menatap bayangan mereka di cermin. Kokonoi tengah mendekapnya begitu erat dan tak ada jarak yang terbentang di antara mereka. Kokonoi membelai pinggang hingga ke bagian pahanya yang tak terbalut sehelai benang pun.

“Kamu mau?” tanya Seishu walaupun ia sudah tahu apa jawabannya.

Kokonoi menggangguk simpul, ia menunjukkan seringainya dan jari-jarinya bergerak lincah di atas paha Seishu.

“Sudah lama kita gak melakukan itu.” Kokonoi menenggelamkan wajahnya di ceruk leher jenjang Seishu, mengecupi leher itu dengan ciuman lembut.

Seishu langsung terkesima, ia memiringkan kepalanya ke samping memberi ruang untuk Kokonoi menjamah lehernya. Daging basah tak bertulang menyapu permukaan kulit lehernya, Kokonoi sedang menjilati lehernya bak tengah menjilati sebuah permen. Seishu memejamkan netranya erat, rasanya seperti terbakar di seluruh tubuhnya. Tangan Kokonoi masih bertengger di pinggang ramping itu, sedangkan tangan lainnya bergerak menjelajah tubuh Seishu.

Ssh ... ” Seishu mendesis pelan tatkala tangan Kokonoi hendak bergerak masuk ke dalam gaun yang ia kenakan. “Koko ... ”

“Boleh, ‘kan?”

“Apapun, Ko. Lakukan apapun yang kamu mau padaku.”

Kokonoi menggigit kulit sehalus porselen itu sehingga menimbulkan ringisan dari mulut Seishu, ia menghisap kulit Seishu dan meninggalkan ruam merah keunguan di sana. Warnanya sangat kontras terlihat bahkan Seishu dapat melihat tanda itu melalui cermin. Tangan Kokonoi memasuki gaun yang Seishu kenakan, ia mengusap perut Seishu dan berujung mengusap kepemilikan Seishu yang nyaris menegang.

“Sudah tegang banget, Inupi?” Kokonoi terkekeh dan tangannya masih bergerak untuk mengusap kejantanan Seishu.

Aah ... ”

Kokonoi tersenyum menyadari betapa binalnya sosok Seishu dalam situasi seperti ini dengan dibaluti gaun berwarna hitam putih yang diberikan dirinya beberapa waktu yang lalu, Seishu tak mengenakan apapun untuk membaluti tubuhnya selain gaun pendek yang hanya menutupi sebagian pahanya, pula dadanya terekspos indah untuk dipandangi. Bagi Seishu, tak ada alasan untuknya menolak permainan intim bersama Kokonoi sebab pemuda itu selalu berhasil menaikkan birahinya dan ia juga menyukai bagaimana ereksi Kokonoi menggempur habis senggamanya.

Ia sangat menyukai adegan itu.

Tungkai Seishu melemah, nyaris tak dapat menahan bobot tubuhnya sendiri, untung saja Kokonoi memeluk pinggang Seishu erat agar tubuhnya dapat berdiri tegap saat Kokonoi masih sibuk memainkan kepemilikan Seishu. Kokonoi mengusap miliknya dengan sensual dan berikutnya ia menggerakan tangannya naik turun di ereksi Seishu. Seishu refleks melenguh panjang, ia mengepalkan tangannya kuat-kuat untuk membendung perasaan kupu-kupu yang mengisi relung hatinya.

“Koko ... ”

Shout my name a little bit louder, Inupi.”

Kokonoi itu gila begitu pula dengan permainan gilanya. Tangannya bergerak brutal menjamah ereksi Seishu, sedangkan tangan lainnya meremas dada Seishu yang masih terbalut gaun. Tangan Seishu bertengger ke belakang; paha Kokonoi. Ia tak sangggup menatap lurus ke depan di mana bayangan mereka tercetak jelas di cermin. Seishu malu menatap wajah binalnya sendiri di sana.

“Koko! Aah ... ” Seishu menurut untuk mendesahkan nama Kokonoi lebih nyaring lagi, ia ingin melolongkan nama itu dengan nyaring agar dunia tahu bahwa hanya nama Kokonoi yang dapat ia rapalkan dengan perasaan cinta yang membuncah.

“Suka, Inupi? Suka saat tanganku memainkan milikmu ini? Kamu hanya objek pemberantas nafsu liarku, Inupi. Kamu itu hanya seorang sundal murahan yang memohon untuk diludahi dan digagahi dengan ereksi. Lacur.”

Apakah Seishu merasa tersinggung dengan perkataan dari Kokonoi? Maka jawabannya tidak, Seishu merasa lebih tertantang saat egonya direndahkan dan dijatuhkan di atas tanah, justru nafsunya semakin menjadi-jadi ditambah permainan Kokonoi yang liar memuaskan ereksinya di bawah sana.

Semakin direndahkan semakin besar nafsu binatangnya untuk disetubuhi Kokonoi.

Kokonoi menggerakan tangannya dengan cepat di ereksi Seishu yang menegang melawan gravitasi, lubang ereksi Seishu mulai memuntahkan cairan ejakulasi yang membasahi tangan Kokonoi. Dengan cairan itu Kokonoi dapat begerak jauh lebih cepat karena ereksinya yang licin dengan cairan orgasme-nya sendiri.

Aah ... Koko, mau keluar ... ”

“Keluarkan, Inupi. Bukankah seorang sundal memang begitu? Hanya bisa cumming tak tahu tempat, persis seperti binatang.” Batang ereksi Seishu berkedut tanda cairan putihnya akan segera sampai. Tiga kocokan terakhir mampu membuat Seishu memuntahkan cairannya membasahi tangan Kokonoi.

Seishu mencoba mengatur napasnya yang tak beraturan, ia tersengal sebab putihnya baru saja datang. Kokonoi tersenyum melihat ekspresi Seishu yang kacau dengan dipenuhi peluh di pelipisnya. Seishu menyenderkan tubuhnya pada dada bidang Kokonoi, karena tungkai semakin melemah akibat pelepasan pertamanya. Seishu kembali mengangkat wajahnya untuk melihat bayangan mereka, salah satu tangan Kokonoi mendekap pinggangnya erat sedangkan tangannya yang dikotori cairan ejakulasi Seishu, ia arahkan ke mulutnya sendiri. Kokonoi menjilati jari-jarinya yang basah dengan cairan Seishu, tatapan mereka saling bersitatap melalui cermin. Kokonoi menyeringai untuk menggoda Seishu, lidahnya bergerak naik turun untuk menjilati jari-jarinya.

Seishu menelan ludahnya susah payah, ia menyumpah nyerapahi dirinya sendiri melihat betapa panasnya sosok Kokonoi di belakangnya. Setelah membuatnya terkulai tak berdaya kini pemuda itu kembali membangkitkan nafsunya dengan bergerak sensual. Seishu sudah tak tahan, ia ingin segera dihancurkan oleh Kokonoi.

“Oh, begini rasa dari seorang sundal murahan? Tidak ada yang spesial.” Di kala jari-jarinya sudah bersih dari cairan Seishu, Kokonoi menarik tangannya yang awalnya bertengger di pinggang Seishu, ia melepaskan ritsleting gaun Seishu yang berada di bagian punggung pemuda itu.

Perlahan gaun yang semula terbalut indah di tubuh Seishu kini tanggal begitu saja di atas lantai membuat tubuh Seishu lolos telanjang tanpa sehelai benang sedikit pun. Kokonoi berdecak kagum melihat leher Seishu yang dipenuhi tanda kemerahan dan batang ereksinya yang memerah setelah pelepasan pertamanya. Kokonoi membelai tubuh Seishu yang selembut kain sutra, ia mengecup pundak Seishu dengan lembut. Melihat tubuh Seishu terekspos seperti ini membuat Kokonoi berdecak takjub. Ia sangat menyukai Seishu dalam keadaan telanjang.

“Koko ... ”

“Hm?”

“Ayo lakukan, aku mau milik kamu berada di dalamku, ayo hancurkan aku lagi. Buat aku hanya merapalkan namamu, buat aku mendesahkan namamu dengan nyaring, Koko. Aku sudah gak tahan lagi ... ”

“Kamu benar-benar murahan, ya?”

Kokonoi menarik rahang Seishu dan ia langsung menyambar bibir Seishu untuk saling memagut terlarut dalam ciuman intens. Ciuman pemuda bersurai pekat itu sangat kasar bahkan meninggalkan luka di bibir bawah Seishu, ia memasukkan lidahnya ke dalam untuk mengabsen gigi-gigi Seishu dan mengajaknya berperang lidah. Tentunya kedua tangannya tak tinggal diam, tangan kanannya bergerak ke bagian bokong Seishu dan tangan lainnya memanjakan dada Seishu yang sedikit berisi. Kokonoi sungguh teramat mendambakan sosok Seishu yang sempurna.

Ssh ... ” Seishu mendesis perih perihal luka di bibirnya, Kokonoi tak sedikit pun memberi celah di ciuman mereka bahkan tak rela sekadar Seishu menarik tarikan napas. Dadanya bergerak turun naik, ditambah pula jari Kokonoi yang memilin kedua putingnya secara bergantian.

Tubuhnya menjadi sangat sensitif. Kokonoi melesakkan satu jarinya ke dalam lubang senggama Seishu yang masih sempit dan perlu penetrasi terlebih dahulu. Kokonoi menggerakkan dua jarinya keluar masuk ke dalam pusat tubug Seishu.

“Koko! Aah! Di situ ... ”

Seishu menegang kala Kokonoi mengenai titik sensitifnya, tungkainya hampir ambruk jika saja Kokonoi tak menahannya. Ciumannya masih berlangsung hingga saat ini, Kokonoi meremas kuat dada Seishu dan dua jarinya sibuk menggempur lubang Seishu. Seishu rasanya ingin menyembah Kokonoi dan segala permainannya. Wajahnya bersimbah dengan air mata dan mulutnya terbuka nikmat.

“Koko, lebih cepat! Hngg ... ahh.” Seishu menyempatkan untuk mendesah di sela-sela ciuman mereka. Seperti dititahkan oleh tuannya, Kokonoi menaikkan gerak tangannya di dalam lubang Seishu.

“Wah, basah sekali, Inupi. Aku bangga karena menjadi satu-satunya yang bisa menyetubuhi sundal sepertimu.” Kokonoi menurunkan punggung Seishu ke depan yang membuat pemuda itu menungging tepat di hadapan sebuah cermin.

Kokonoi menampar bokong Seishu beberapa kali sehingga kedua pipi bokong Seishu menunjukkan warna kemerahan, sedangkan tiga jarinya memenuhi lubang Seishu yang basah dan berkedut-kedut. Kokonoi hilang kontrol atas kewarasannya, yang ada di pikirannya hanyalah Seishu, untuk menghancurkan Seishu menjadi ribuan kepingan yang berhamburan.

Baginya Seishu itu sosok piawai pemberantas nafsu birahi dengan raga yang dipahat sempurna. Kulit selembut kapas, sehalus porselen, seputih awan. Maka dari itu nafsunya meliar seketika melihat Seishu telanjang di hadapannya. Kokonoi pun tak mengerti mengapa ia menjadikan Seishu sebagai objek pemuas nafsunya, entah atas dasar apa ia bersikap demikian.

Jari panjang Kokonoi berulang kali menyundul titik ekstasi Seishu, pemuda bersurai terang itu menjerit kenikmatan. Walau perasaannya kalut namun tak menampik kenyataan bahwa ia pun sama menikmatinya. Mendambakan ereksi Kokonoi yang bersemayam di dalamnya.

“Lagi ... mau keluar lagi ... ”

“Gak berguna, hanya bisa keluar dan keluar. Untuk apa aku memakai kamu kalau kamu hanya bisa bersikap seperti ini? Tunjukkan taring lacurmu itu, tunjukkan pada dunia bahwa kamu tidak murahan yang hanya bisa membasahi seluruh ruangan dengan cairanmu.”

Seishu menahan napas, ia berpegangan pada kaca di depannya. Di dalam pikirannya saat ini, ia tak boleh mengeluarkan pelepasan keduanya sebelum mendapatkan izin dari sang dominan, ia harus sadar diri bahwa Seishu hanyalah budak yang harus menuruti seluruh keinginan sang tuan.

Ahh! Mau buat Koko bangga ... ”

“Jadi anjing penurut, Inupi.”

Seishu mati-matian menahan pelepasannya, ia menggenggam ereksinya sendiri dan menutup lubang maninya. Kokonoi tersenyum sumringah melihat Seishu yang menuruti penuturannya. Maka dari itu ia bisa bergerak dengan cepat di dalam lubang Seishu. Seishu tertohok saat batang kepemilikannya melalukan orgasme kering, rasanya sangat menyakitkan. Ia menggenggam erat ujung pangkal ereksinya sendiri agar tak ada setetes pun cairannya keluar.

Setelah puas dengan permainan jarinya, Kokonoi mencabut jarinya dari dalam lubang Seishu. Ia menatap lubang yang haus akan sentuhan itu dengan lamat, lalu mengalihkan tatapannya pada cermin.

“Pintar sekali, anjing kecil. Kira-kira hadiah apa yang pantas untuk diberikan kepada anjing penurut ini, Inupi?” Kokonoi menarik pundak Seishu agar kembali bersandar di dadanya. Napas Seishu tersengal-sengal, ia tak mampu mengeluarkan sepatah kata.

“Mau punya Koko di dalamku ... ”

“Hm?” Kokonoi berdehem hendak menggoda Seishu. “Kurang nyaring, sayang. Coba katakan lebih jelas.”

“Mau penis Koko menggempur lubang murahanku, mau dihancurkan oleh Koko sampai aku gak bisa berkata apapun selain menggonggongkan nama Koko dalam desahanku. Aku mau itu, Ko ... ”

Kokonoi tak langsung menjawab, ia mulai menanggalkan pakaian demi pakaian yang masih merekat di tubuhnya hingga mereka berdua sama-sama telanjang. Seishu meneguk ludahnya susah payah kala tak sengaja melihat ereksi Kokonoi yang semakin membesar dan telah menegang sempurna.

“Ini yang kamu maksud, sayang?” Kokonoi menuntun tangan Seishu untuk memanjakan kepemilikannya. Suara husky yang rendah seolah-olah menghunusnya tepat di ulu hatinya, Seishu merasa sirkulasi udara di ruangan ini semakin menipis. Tangan Seishu bergetar kala tangannya bersentuhan dengan batang ereksi Kokonoi, “usap dia.”

Seishu mengusap batang kejantanan Kokonoi dengan lembut dan teratur, tercipta perasaan bahagia yang menggerogoti jiwanya. Ia merindukan milik Kokonoi dan sudah lama sekali ia tak memanjakannya.

“Cukup.” titah Kokonoi. “Berpegangan pada kaca, Inupi, dan jangan sekalipun alihkan pandanganmu pada cermin di depan sana.”

Vokalisasi Kokonoi merendah dan perintahnya pun mutlak. Seishu tak boleh melawannya sama sekali. Kedua tangan Seishu berpegangan pada sisi-sisi cermin dengan erat dan tubuhnya sedikit menungging. Kokonoi mengarahkan batang ereksinya pada lubang Seishu yang berkedut minta dipenuhi. Ia melesakkan miliknya dengan mudah ke dalam lubang Seishu sebab ia telah melakukan penetrasi sebelumnya, liang Seishu masih terasa sempit walau telah disetubuhi beberapa kali. Seishu melenguh panjang saat ujung ereksinya langsung mengenai prostatnya.

“Koko, move.” pintanya pelan.

Kokonoi mencengkram pinggang Seishu dan ia menggerakan pinggulnya maju mundur. Ereksi Kokonoi menghujam lubangnya brutal tanpa celah sedikit pun. Seishu menatap pantulan mereka melalui cermin, menatap dengan lamat sosok Kokonoi yang menghancurkannya di belakangnya. Kokonoi membalas tatapan Seishu dan ia menyunggingkan senyuman.

Hatinya menghangat setiap kali melihat senyuman Kokonoi untuknya.

Kokonoi bergerak piston, mengeluar-masukkan miliknya di dalam lubang Seishu. Dinding rektum Seishu menjepit ereksi Kononoi dengan erat, lantas pemuda itu berdecak. Tak lupa sesekali tangannya menampar bongkahan sintal itu yang menciptkan tanda kemerahan yang kentara. Melakukan seks di depan cermin yang memantulkan bayangan mereka merupakan suatu hal yang baru.

Mereka menyukainya, sebab mereka dapat melihat kegiatan mereka yang terekam langsung di hadapan cermin. Seishu mampu memandangi batang kepemilikan Kokonoi yang menumbuk rancu di dalam lubangnya, ia juga dapat melihat tubuhnya yang dihiasi tanda kepemilikan Kokonoi.

Aah ... ahh.”

“Koko ... ahh, mau Koko selamanya. Mau selalu disetubuhi Koko seperti ini.”

“Murahan.”

Kokonoi selalu bergerak rancu ketika mereka melakukan hubungan seks bersama, Kokonoi tipikal yang kasar dan memperlakukan Seishu seperti budak. Namun, setelah mereka menyelesaikan seks maka Kokonoi akan melakukan aftercare yang baik pada dirinya. Itulah yang Seishu suka saat melakukan seks bersama Kokonoi.

“Inupi, ssh, kira-kira aku harus membayarmu dengan apa karena sudah membuatku seperti ini?” Kokonoi berujar di tengah-tengah kegiatannya.

Seishu dapat melihat Kokonoi menunduk untuk melihat permainannya di dalam liang senggama Seishu. “Cintai aku, Koko.”

Ia tak tahu apakah Kokonoi dapat mendengar penuturan tulusnya atau tidak. Seishu merasakan lubangnya semakin menjepit ereksi Kononoi dan juga kepemilikannya yang berkedut. Seishu hampir sampai untuk menuju dunia putihnya, Kononoi menyadari itu dan ia langsung menghujami senggamanya Seishu lebih cepat tanpa beraturan.

Ahh ... ahh. Koko, mau sampai ... ”

Cumming for me, Inupi.” titahnya.

Seishu mengeratkan pegangannya pada ujung cermin agar tubuhnya tak seketika ambruk ke lantai, hentakan demi hentakan seolah mengantarkan aliran birahi ke sekujur tubuhnya maka sepersekon kemudian Seishu mencapai puncaknya dan memuntahkan cairan ejakulasinya sehingga mengotori lantai dan cermin.

Sedangkan Kokonoi masih berusaha mencapai puncaknya, ia ingin mengeluarkan seluruh cairannya ke dalam lubang Seishu, Kokonoi tak begitu menyukai seks dengan alat kontrasepsi karena itu hanya penghalang miliknya bersentuhan langsung dengan lubang Seishu. Maka ia lebih menyukai raw sex agar lubang Seishu selalu mengingat setiap gerakannya di dalam sana.

“Keluarin di dalam, Koko. Biar aku bisa merakan cairan kamu lagi ... ”

Always will be, Inupi.”

Sentakan Kokonoi rancu walaupun ia telah mengeluarkan cairan ejakulasinya di dalam senggama Seishu, rasa hangat yang menyapa lubang Seishu. Baginya itu teramat nikmat untuk ia terima. Kokonoi menancapkan ereksinya lebih dalam agar tak ada cairan miliknya yang keluar.

Seishu tersedak, Kokonoi menundukkan tubuhnya sehingga dada dan punggung Seishu bersentuhan. Kokonoi menyesap kulit di bahu halus Seishu. Ia ingin menandai miliknya lagi.

“Koko.”

“Hm?” Kokonoi belum mencabut ereksinya dari dalam Seishu, ia masih ingin berada di dalam situasi seperti ini, ia masih ingin memeluk tubuh hangat Seishu.

Sshh.” Seishu mendesis ketika ia tak sengaja menggerakan tubuhnya yang masih dipenuhi ereksi Kononoi. Ia menarik napas panjang sebelum mengeluarkannya secara perlahan. Ia pandangi pandangan diorama yang terpampang di hadapannya. Netra Kokonoi yang terkatup dan tangannya yang mendekap pinggangnya erat.

“Aku ini ... siapa?”

Kokonoi berdehem pelan, ia membuka kelopak matanya dan membalas tatapan sayu yang Seishu layangkan kepadanya.

“Inupi, Inui Seishu.” tafsirnya pelan.

“Lantas, mengapa kamu selalu menganggapku sebagai Akane?”

Kokonoi membelai pipi Seishu dengan lembut, tatapannya menajam seketika.

“Karena aku selalu mencintai Akane, aku melihat sosok Akane di balik matamu. Maka biarkan aku mencintai Akane melalui dirimu, Inupi.”

[]

Seishu tengah bergelayut manja di atas ranjang di kamarnya, menyumpalkan headset di kedua telinganya dengan memainkan lantunan musik melalui ponselnya, ia tak dapat mendengar sorak-sorai yang terjadi di luar kamarnya. Matanya terpejam untuk lebih mengarungi musikal itu lebih dalam lagi, kadang bilah bibirnya membentuk senyum sumringah kala lagu yang sedang dimainkan memutar lagu yang menyakut perihal kehidupannya.

Saking fokusnya menaruh konsentrasinya ke dalam irama melodi, Seishu tak menyadari kehadiran figur sang kakak di ambang pintu kamarnya dengan raut wajah masam dan netra yang berkeliaran ke seluruh penjuru ruangan dan berhenti pada siluet Seishu di atas ranjang miliknya.

“Pantesan daritadi gue ngomong gak dibales-bales taunya pakai headset.” Akane Inui, saudara kandung satu-satunya Seishu. Ia bermonolog sembari menghampiri sang adik. “Woi, Seishu!” Akane memukul pelan paha sang adik yang hanya dibaluti kain tipis yang hanya menutupi bagian pahanya.

Lantas, Seishu terperanjat kaget kala mendapati saudaranya telah berdiri di samping tubuhnya dengan postur bersedekap dada, ia mendecih merasa terusik oleh kehadiran Akane.

“Apa?” jawab Seishu cetus seraya melepaskan headset yang ia kenakan.

“Lo tuh ya kalo dipanggil dengerin dong! Itu telinga mau lo jadikan pajangan doang kalo gak ada fungsinya sama sekali?” Akane menggulirkan matanya jengah.

“Berisik banget lo, lama-lama gue ganti lo.”

“Adek laknat lo, Seishu!”

Seishu memalingkan pemandangannya ke arah lain agar tak bersitatap dengan Akane, wajahnya masam sebab Akane telah memutuskan ilusinya secara tiba-tiba. Padahal ia tengah membayangkan berpegangan tangan bersama Kokonoi di bawah guyuran hujan dengan sinar rembulan yang menerangi jiwa mereka. Namun, semuanya itu buyar akibat Akane.

“Itu, ada yang nyariin lo.” ujar Akane.

“Siapa?” tanyanya.

“Tuhan.”

“Kalo bukan kakak kandung, si Akane ini udah gue buang dari lama.” Seishu menghela napas kasar dan bergumam di dalam hatinya. Sedangkan Akane tertawa melihat ekspresi Seishu.

“Udah lo turun gih ke luar, liat sendiri siapa yang mau ketemu lo, tapi jangan lupa pakai jaket. Penampilan lo sekarang seksi banget nanti dia malah hilang kontrol.” titah sang kakak sebelum meninggalkan Seishu yang termenung diam di kamarnya.

“Tumben ada yang nyari gue.” ucapnya dengan dikelilingi kebingungan.

Biasanya teman-teman Seishu tak pernah meminta Akane untuk memanggilnya terlebih dahulu, pula mereka pasti langsung menghampiri Seishu di kamarnya. Menuruti titahan Akane, Seishu menyambar jaketnya untuk menutupi postur tubuh porselennya yang terekspos. Lagipula cuaca malam ini sangat dingin, ia tak ingin angin malam merangsek masuk ke dalam pori-pori kulitnya.

Seishu bergegas keluar dari rumahnya, netranya menemukan cahaya dari balik jeruji gerbang rumahnya. Ia yakin itu sorot dari lampu kendaraan, ia membuka gerbang dan mengirit tungkainya keluar. Seishu terkesiap ketika sepasang irisnya mendapati perawakan Kokonoi yang tengah duduk di atas motor yang dikendarainya. Kokonoi sedikit menyugar rambutnya yang berantakan akibat helm.

Saat netranya berpapasan dengan Seishu, ia langsung menyunggingkan senyum ramah dan segera menyapa cintanya itu.

“Hai.” Matanya menyipit tatkala bilah bibirnya membentuk senyuman.

Seishu masih bungkam lamun netranya menatap Kokonoi dengan lekat, ia masih terkejut dengan kedatangan Kokonoi tiba-tiba di malam hari tanpa mengabarinya terlebih dahulu. Segera ia menghampiri Kokonoi yang bertengger manis di atas jok motor. Seishu tak tahu-menahu mengenai dalih kedatangan Kononoi di sini.

“Koko?”

“Iya, Seishu?” balasnya lembut.

“Kok lo bisa tiba-tiba di sini sih?” tanyanya berantakan karena masih kebingungan.

“Karena naik motor makanya bisa di sini.” ujarnya sembari diselingi kekehan.

“Serius ... kok lo gak ngabarin gue dulu kalo lo mau ke sini?”

“Kalo dikabarin nanti malah gak jadi surprise ‘kan gue mau ngasih kejutan sama lo, Seishu.” sambungnya. Netra hitam legam itu selalu menyorotkan pandangan pada sosok Seishu, selagi ada waktu yang tersisa; Kokonoi ingin selalu menatap Seishu dengan kedua irisnya.

“Apa sih ... ” Seishu berusaha menyembunyikankan semburat merah yang muncul meriasi wajahnya.

“Nih.” Kokonoi menjulurkan tangannya dengan menggenggam sekantong plastik kepada Seishu. “Tadi sebelum ke sini gue singgah beli martabak manis, gue gak tau rasanya gimana tapi gue yakin seratus persen kalo manisnya gak bisa ngalahin kemanisan lo, Seishu.” Setelah berujar demikian, ia kembali tersenyum.

Seishu melolongkan bantuan kepada siapapun agar menenggelamkan dirinya ke dasar lautan agar Kokonoi tak melihat dirinya yang dirundung rasa malu. Seishu meraih kantong plastik tersebut tanpa membalas tatapan Kokonoi.

“Koko, lo basi banget deh.” Tangan Seishu tertahan sebab Kokonoi menggenggam tangannya dengan erat, “terima kasih, ya.”

“Biarin begini, jangan dilepasin dulu karena gue pengen genggam tangan lo lebih lama.” pinta pemuda bersurai hitam tersebut.

Seiahu lantas ikut tersenyum, hangat yang ia rasakan baik tangan maupun hatinya. Ia ingin selalu melekatkan adegan romansa ini di dalam ingatannya, ia ingin selalu merasakan hangat ini di sekujur tubuhnya, ia ingin selalu memandangi sosok Kokonoi. Malam ini ia kembali dibuat sebahagia mungkin oleh Kokonoi. Seishu mengangkat sebelah tangannya dan meletakkannya di atas genggaman tangan mereka.

“Iya, Koko. Gue gak akan melepaskannya kok, tenang aja.” Vokal itu bak lantunan penang di telinga Kokonoi. Ia teramat bahagia melihat Seishu malam ini.

“Seishu, besok gue balik ke Surabaya sama Sanzu. Gue ke sini mau ngasih kabar itu dan juga mau ketemu lo lagi. Soalnya selama di Surabaya gue gak bisa genggam tangan lo kayak sekarang ini.” Kokonoi semakin mengeratkan genggamannya.

“Seharusnya lo istirahat sih, soalnya lo besok bakal bepergian jauh.” ujarnya.

“Gak apa-apa, gue udah terbiasa kok bolak-balik Jakarta dan Surabaya.”

Hampir satu jam mereka habiskan dengan saling berkomunikasi bersama, Kokonoi menolak ketika Seishu mengajaknya untuk masuk ke dalam rumah dengan dalih belum waktunya bertemu dengan calon mertua, tentu saja Seishu kembali bersemu. Maka dari itu mereka hanya berdiam diri di depan halaman rumah Seishu. Kokonoi tipikal pemuda yang selalu menatap netra lawan bicaranya, setiap Seishu berbicara kepadanya ia selalu mengarahkan netranya pada Seishu. Bahkan hal sekecil itu pun membuat Seishu terlarut dalam kebahagiaan.

“Seishu, jangan pernah takut atau ragu soal perasaan gue walaupun gue nanti ada di Surabaya, gue tetap menanam perasaan gue buat lo kok, karena saat ini seluruh perhatian gue tertuju pada lo. Pegang janji gue—bahwa gue akan selalu mencintai lo.” Kini pembicaraannya berganti menjadi topik yang lebih serius. Kokonoi kembali menarik tangan Seishu untuk ia genggam.

“Gue percaya lo kok, Ko.”

“Gue tadi minta Ran sama Rindou buat jaga lo di sini selagi gue gak di Jakarta. Mau tau reaksi mereka gimana gak? Mereka seneng banget, katanya ini pertama kalinya gue begini ke seseorang. Walaupun mereka agak aneh, mereka bertiga temen yang selalu ngebantuin gue.” pungkasnya.

“Koko, apaan sih.” Seishu tergelak mendengar penuturan Kokonoi, melihat sang puja tengah tertawa hati Kokonoi tersentuh. “Kayak anak kecil aja harus dijagain.” ujar Seishu.

“Gak apa-apa, ‘kan? Kebetulan Ran sama Rindou satu kampus sama lo, kalo mau kenalan sama mereka juga mudah.”

Seriously? Mereka ternyata satu kampus sama gue? I never thought the world would be this narrow.

Then this narrow world is what eventually brings us together.” sahut Kokonoi. Ia masih setia untuk menggenggam tangan Seishu untuk beberapa sekon sebelum ia pulang.

“Mau pulang sekarang nih?” tanya Seishu.

“Iya, kayaknya udah terlalu malam juga kasian lo kedinginan.” Kokonoi merengut kasian pada tubuh Seishu yang kini terasa sangat dingin akibat diterpa angin malam.

“Gak apa-apa, Ko.”

“Jangan, nanti malah sakit. Gue izin pulang dulu, ya? Nitip salam ke orang tua lo dan kakak lo dan titip kata maaf juga karena ngajak lo ngobrol di luar dan gak ketemu sama mereka, nanti ada waktunya gue ketemu sama keluarga lo.”

“Iya, nanti gue sampein.” Kokonoi menyalakan motornya, ia bilang bahwa motor yang ia kendarai ini ialah milik Rindou, temannya itu memperbolehkan Kokonoi menggunakannya untuk bertemu dengan Seishu. “Koko, tunggu!”

“Hm?”

Seishu meletakkan dua jarinya di atas bibir lalu mengukurkan jari itu ke atas kening Kokonoi. Ciuman tidak langsung, pikirnya dalam hati. Wajahnya berseri indah dan bibirnya melengkung membentuk sebuah senyuman. Kokonoi terkesiap dengan perlakuan Seishu tiba-tiba. Pergerakannya yang ingin mengenakan helm langsung terhenti seketika. Netranya menatap Seishu yang tengah tersenyum kepadanya.

“Hati-hati, Koko!”

“Seishu ... gue makin cinta sama lo.”

...

“Cie, cie, cie. Siapa tuh?”

Ketika tungkai Seishu memasuki rumahnya ia sudah disambut dengan godaan Akane. Seishu mendudukkan tubuhnya dia atas sofa di ruang tamu, ia meletakkan martabak manis yang telah mendingin. Akane membuka kantong plastik tersebut dan memakan martabak manis itu tanpa menunggu penuturan Seishu. Seishu berdecak sebal melihat sikap Akane.

“Menurut lo dia gimana?” tanya Seishu.

“Apanya?” Dengan mulut yang penuh dengan makanan Akane membalasnya dengan pertanyaan.

“Ya, menurut lo dia anaknya oke gak? Dia yang saat ini lagi deket sama gue.” jelas Seishu sembari mengambil sepotong martabak manis yang tersisa sedikit.

Akane itu orang yang rakus, walau tubuhnya terlihat kecil ia mampu menampung banyak makanan di dalam perutnya tersebut.

“Mana gue tau yang deket sama dia ‘kan lo, masa gue yang harus menilai dia. Kalo menurut lo dia orang yang baik, berarti dia emang cocok sama lo.” jawab Akane. “Dek, are you really done with Mitsuya?”

Seishu tersedak.

Ia mengambil banyak napas dan tenggorokannya masih terasa mencekik. Ia tak langsung membalas ucapan Akane yang terasa memojokkannya hingga ke pojokan. Seishu menatap martabak manis yang ada di hadapannya dengan lekat.

All things related to Mitsuya have ended long ago.” Vokalisasi Seishu menurun dan tatapannya mengabur.

Seishu yakin bahwa kini hatinya berporos pada Kokonoi, kendatinya pun berkata demikian. Debaran anomali yang muncul ketika bersama Kokonoi sudah cukup menjadi bukti yang jelas bahwa Seishu benar-benar terjatuh ke dalam lubuk pesona Kokonoi, ‘kan? Seishu sangat yakin.

[]

Explicit sexual content, vampire based, blood, boys love, anal sex, Hanma!top — Kazutora!bot, fingering, profanities, degradation, overstimulation, edging, orgasm delay, grinding, nipple play.

Temaram yang menyelimuti sebagian alam, kicauan sang burung menjadi lantunan musikal yang mengiringi para sukma menuju gerbang mimpi dan terlarut dalam juntaian kisah ilusi. Melupakan sejenak perkara dunia yang dicemari kisah-kasih fatamorgana. Kisahnya dianggap sebuah delusi bak tersengat anestesi; tak rasional.

Siapa yang percaya pada hadirnya entitas sosok bukan manusia yang haus akan darah? Di dunia kasat mata ini tak ada lagi kisah fana, maka mengapa mereka harus percaya dengan desas-desus sebuah fiksi yang diceritakan oleh orang-orang dari mulut ke mulut.

Namun, mereka tak melihat dari sudut absolut dengan mata kepala mereka sendiri bagaimana sosok manipulasi itu menunjukkan taring tajamnya di bawah rembulan. Siap untuk membidik sang mangsa dan menyesap seluruh darahnya.

Kazutora Hanemiya. Salah satu sosok yang bermanipulasi dan berhasil beradaptasi dengan manusia itu menyembunyikan kedua taring tajamnya di balik paras moleknya. Memikat banyak mangsa dengan sepasang iris yang mampu menikam siapapun.  Di bawah langit yang terbentang luas di temani oleh purnama, Kazutora meringkuk bersama prianya, Hanma. Tak menyadari bahwa jiwa haus darahnya kian meronta, ia tak dapat membendungnya lebih lama.

“Kazutora.” panggil si pemuda yang duduk tepat di sebelah sosok itu.

Kazutora tak menjawab sebab lidahnya kelu dan hanya mengeluarkan lenguhan. Sepasang netra obsidiannya berubah menjadi merah tanda haus darah. Hanma tahu betul apa yang saat ini Kazutora butuhkan, tak lain dan tak bukan ialah darah untuk menuntaskan dahaga yang menyiksa relung jiwanya.

“Kazutora.” ulangnya.

“Hanma ... ” Netra itu mendongak dan bersitatap dengan iris Hanma. Tatapan dengan permohonan yang dalam.

Hanma menyunggingkan seringainya, ia hanyalah sosok manusia biasa yang membuat sosok manipulasi seperti Kazutora luluh-lantah di bawahnya. Tak peduli sebahaya apa sosok itu jikalau di luar batas sadarnya. Tak terlukis sedikit pun ketakutan di benak Hanma melihat paras Kazutora yang berubah. Baginya, pemuda itu masih nampak elok dengan surai panjang yang tergerai.

“Butuh bantuan, little one?” singgungnya.

Sebuah pertanyaan retorik, tentu saja Kazutora membutuhkan bantuan Hanma saat ini untuk menuntaskan rasa yang menikam ini. “Hu’um ... please help me.”

Kazutora memasang wajah memelas dengan mulut yang terbuka, air liurnya menetes membasahi bagian rahang hingga leher jenjangnya. Taring tajam itu menarik perhatian Hanma sejak beberapa menit sebelumnya, katakanlah ia sosok masokis yang mengingkan benda tajam itu menancapkan di atas kulitnya untuk membuka banyak luka.

“Kamu selalu haus, eh? Jangan bilang saat ini kamu haus akan sentuhan seksual dariku dengan dalih haus darahmu itu. Katakan yang sebenarnya, Kazutora. Katakan bahwa kamu hanyalah sesosok sundal, bukan sesosok vampir. Mana ada vampir yang bersikap murahan seperti dirimu, Kazutora. Di mana martabat dan harga dirimu di hadapan makhluk terendah sepertiku? Apa harga dirimu jauh lebih rendah daripada kami—para manusia?”

Hanma menarik tubuh ringkih yang menegang itu untuk mengambil tempat di atas pangkuannya, mendominasi sosok itu secara keseluruhan. Air mata lolos dari sudut netra Kazutora dan ia terus-menerus merengek sebab Hanma belum juga mengindahkan keinginannya.

“Jawab aku, Kazutora.” serunya, bahkan vokalisasi lebih suram dibanding auman serigala yang menggila di malam hari.

“Iya ... Hanma, tolong. Tolong biarkan aku mencicipi darahmu lagi.” Kazutora melayangkan tatapan memohon pada sosok Hanma. Ia mengepalkan kedua tangannya di atas pundak Hanma.

Twopenny. I like someone who lowers his pride to beg. I like you so much, Kazutora.” Sembari berujar demikian, Hanma menjulurkan tangannya untuk meraih kepalan tangan Kazutora.

Ia menjilat jari-jari hingga punggung tangan Kazutora bak seekor anjing. Sontak Kazutora semakin menegang dan reaksi tubuhnya bekerja dua kali lipat; haus darah dan haus akan sentuhan erotis dari Hanma. Dalam situasi seperti ini, di mana Kazutora membutuhkan darah untuk menghapus dahaganya maka Hanma dengan sukarela memberikan darahnya untuk Kazutora nikmati walaupun Hanma hanyalah sosok manusia. Hanma tak pernah menolaknya, tetapi sebagai gantinya Kazutora tak diperbolehkan untuk menolak setiap permintaan Hanma sekalipun sosok manusia itu memintanya untuk menggonggong.

Namun, siapa peduli? Kazutora terlampau suka mengikuti irama Hanma atas dirinya. Apapun yang diinginkan Hanma maka akan langsung diindahkan oleh Kazutora. Entah perasaan apa yang hadir di tengah-tengah mereka sehingga keduanya seperti ini. Jikalau Kazutora haus akan darah milik Hanma, maka Hanma haus untuk menjarah senggamanya. Saling menguntungkan.

“Ingat apa yang harus kamu lakukan, Kazutora?” Hanma masih setia menjilati jari-jari Kazutora. Sedangkan yang diberikan pertanyaannya semakin terbakar hawa nafsu.

“I-Ingat.” balas Kazutora terbata.

Malam ini keduanya berada di dalam mobil sport milik Hanma, pemuda itu membawa sosok manipulasi itu ke suatu tempat di mana hanya ada mereka berdua di sana. Diterangi oleh sinar bulan dengan semilir angin yang menerpa pori-pori kulit. Kazutora menggelinjang atas sentuhan-sentuhan erotis yang menjalar dari bahu hingga pinggang rampingnya. Siapa menyangka bahwa sosok sepertinya juga dapat merasakan birahi dari manusia. Tentu saja ia menginginkan ini.

Suck my blood, Kazutora. Suck it deep, take it more as you want.” Hanma memiringkan kepalanya ke samping untuk membukakan leher jenjangnya pada Kazutora. Sudut bibirnya terangkat melihat bagaimana netra itu berbinar ketika mendengar tutur katanya.

“Hanma ... ” Kazutora menancapkan dua taringnya ke dalam pembuluh darah Hanma melalui bagian lehernya. Hanma berjengit kaget, sebab rasanya masih sama seperti pertama kali Kazutora mengisap darahnya; ngilu nan mengenakkan.

Kazutora terus-menerus mengisap darahnya dan sesekali mengeluarkan lenguhan panjang tanda ia menyukainya. Hanma mengantupkan bibirnya rapat-rapat agar tak menimbulkan suara, salah satu tangannya menyugar surai Kazutora dan tangan lainnya memasukki pakaian yang terbalut di tubuh sosok manis itu.

Ah!” Hanma menyeru sebab taring itu membenam terlalu dalam di lehernya.

Kazutora beringsut turun di atas pangkuan Hanma, tangannya mengalung di leher Hanma dan beberapa sekon kemudian ia menarik taringnya keluar dan menatap luka yang menganga di leher Hanma, pula darahnya yang bercucuran keluar. Darah Hanma menjuntai di sudut bibir Kazutora. Melihat panorama dari sosok Kazutora yang lemah seperti ini membuat Hanma menyeringai. Darahnya bagaikan candu.

“Sudah cukup?” tanyanya.

Kazutora mengangguk pelan, ia menjilati sisa-sisa darah di sudut bibirnya. Hanma menarik pakaian Kazutora ke atas agar menanggalkan balutan benang itu. Lantas, Kazutora tak dapat menahan perbuatan Hanma pada dirinya, karena setelah Kazutora mendapatkan darahnya maka Kazutora harus menjadi anjing penurut.

Deru napas Hanma menerapa kulit dadanya, tiba-tiba tubuhnya menegang kala daging basah tak bertulang tengah menjamah puting dadanya. Obsidian yang awalnya berwarna kemerahan kini memudar menjadi corak asalnya, Kazutora menggigit bibir bawahnya untuk meredam suara yang akan keluar.

This is taste sweet, Kazutora. The same as my blood.” Hanma menjilat dan menggigit puting itu secara bergantian, sedangkan tangannya menangkup bongkahan sintal milik Kazutora.

“H-Hanma ... ssh.”

“Kamu sudah mengetahui konsekuensinya, ‘kan, Kazutora Hanemiya.” Dicelah kegiatannya menyusu di puting Kazutora, Hanma mendongak untuk menatap sosok itu. Kazutora hanya mampu mengangguk untuk memberikan jawaban non verbal.

“Minum darahku sebanyak yang kamu inginkan dan aku juga membutuhkan timbal balik.” Hanma memasukkan tangannya ke dalam celana jins Kazutora. Mengusap suatu hal yang bersembunyi di sela-sela bongkahannya.

Kazutora menahan tengkuk Hanma kuat agar Hanma tak berhenti menjamah bagian dadanya, baginya itu sangat nikmat. Rona merah menguras paras eloknya, paras yang berseri dengan pipi bersemu. Kazutora melirik pada rembulan yang menjadi saksi sebelum memutar pandangannya kembali kepada Hanma. Ia mengangguk.

“Mengangkang untukmu setelah meminum darahmu. Begitu, Hanma?” ujarnya dengan nada yang disengajakan sensual, sembari menggerakan bokongnya maju-mundur di atas ereksi Hanma yang mengembung di balik celana yang ia kenakan.

“Pintar.”

Plak.

Ahh ... ”

Sekali tamparan mendarat di bongkahan Kazutora, ia menggelinjang dan mengingkan tamparan itu lagi dan lagi. Hanma menggigit keras putingnya menimbulkan protesan nikmat dari Kazutora. Sang submisif mencoba melepaskan dasi yang mengikat di leher Hanma dan melonggarkan kemeja Hanma agar ia bisa memperhatikan dada bidang itu terekspos dengan dua luka di lehernya.

Lidah Hanma menjalar naik ke area leher Kazutora, ia menyapu leher itu dengan lidahnya dan akhirnya meninggalkan tanda. Menandai Kazutora sebagai miliknya. Tatapan takjub memoar dari Hanma melihat ruam merah tercipta dengan indah di leher sang submisif.

“Jikalau luka ini sebagai tandamu atas diriku, maka ini sebagai tandaku kepadamu, Kazutora. Kamu milikku satu-satunya, hanya aku yang boleh menandaimu dan aku membiarkanmu menandaiku semaumu.” ujarnya.

T-Thank you, Hanma.” Kazutora berbicara dengan nada melenguh.

Hanma membuat tanda yang kontras di leher hingga bagian dada Kazutora, kemudian ia mengambil dasi yang telah dilepaskan Kazutora. Lalu, pemuda itu mengikatkannya pada lengan Kazutora agar mengunci pergerakan sosok itu.

Kazutora melayangkan tatapan bingung, saat mulutnya terbuka hendak melemparkan sebuah keluhan. Hanma terlebih dahulu menyalak.

“Turuti, Hanemiya.” ujarnya sarkastik.

“Iya.”

Tangannya yang terikat dengan dasi Hanma tiba-tiba gemetar, tatapan sayunya bersitatap dengan tatapan tajam milik Hanma. Lidah Hanma memilin puting dadanya seraya menanggalkan satu potong pakaian yang dikenakan Kazutora, hingga pada saat ini Kazutora lolos tanpa sehelai benang pun. Hanma membelai pinggang Kazutora dengan lembut dan belaian itu kini turun mengenai pahanya. Kulit yang halus porselen, putih bak sebuah kanvas.

“Mau ... mau Hanma ... ” ujarnya lirih.

“Mau apa, Kazutora?” Hanma melesakkan satu jarinya ke dalam pusat Kazutora dan membuat sosok itu berjengit.

I want yours ... aah.”

Hama menggerakan jari tengahnya di dalam lubang senggama Kazutora, pergerakannya sangat lamban seolah sengaja untuk menggoda pemuda itu.

Make it faster.” titahnya diselingi dengan desahan.

“Seperti ini, sayang?” Bukannya mempercepat gerakan jarinya, justru Hanma semakin bergerak pelan.

Kazutora meraung mengingkan suatu yang lebih tapi Hanma tak kunjung memberikannya. Ia telah terbakar nafsu seksual setelah dahagnya telah sirna. Hanma memilin puting Kazutora dengan lidahnya dan kini jari telunjuknya ikut andil berada di dalam senggama Kazutora.

Aah.

Hanma mulai mempercepat gerakan jarinya di dalam Kazutora, ia hanya membutuhkan dua jari panjangnya untuk mengisi lubang sempit itu. Setiap gerakan jari itu selalu mengenai titik ekstasinya, menandakan bahwa jari-jari itu sudah setara permainan sang dewa. Hanma menggerakan jarinya rancu membiarkan Kazutora tercekik.

“Hanma ... sebentar lagi ... ”

“Kenapa, sayang?”

I’m cumming soon ... ”

Kazutora menjulurkan lidahnya keluar, keringat mulai membasahi pelipisnya dan tatapannya semakin sayu. Hanma segera menarik keluar kedua jadinya kala dinding rektum Kazutora mulai menghimpitnya, katakanlah saat ini Hanma memang benar-benar menguji Kazutora. Ia tahu sosok itu akan datang, maka dari itu Hanma segera mencabut jarinya keluar.

“Hanma ... ” Kazutora merengek sebab putihnya tak jadi datang dan ereksinya semakin tegang di bawah sana. Hanma hanya tertawa sumringah melihatnya.

Ia benci sekali kali ini ia tak dapat menjamah tubuh Hanma karena tangannya yang terikat dan hal ini membuatnya lebih berdegup kencang karena gelisah. Baru pertama kali Hanma mengikat tangannya seperti ini dan tentu saja sedikit membuatnya menelan gugup.

“Jangan keluar saat ini, sayang. Kita keluar bersama nantinya.”

Whatever you want I’ll hold by.” Bibir keduanya saling memagut terjalin dalam ciuman intens dan kasar, Hanma menggigit bibir bawah Kazutora dan melesakkan lidahnya masuk ke dalam mulut Kazutora. Lidah mereka saling bertaut satu sama lain.

Di saat mereka terlarut dalam ciuman, Hanma merebahkan tubuh Kazutora dengan sangat hati-hati seolah Kazutora sebuah barang yang mudah pecah jika tak diperhatikan dengan baik, ia mengangkat tangan Kazutora di atas kepalanya dan menggenggam kedua lengannya dalam satu kepalan tangan Hanma. Hanma masih setia menjamat ranum kemerahan yang seperti berperisa manis, sangat lezat untuk dirasakan. Hanma melonggarkan gespernya dan menurunkan ritsletingnya.

Kazutora mengantupkan netra indahnya rapat-rapat, namun setelah ciuman mereka terlepas Hanma membisikkan kalimat-kalimat pujian dan memintanya untuk membalas tatapan Hanma.

“Buka mata indahmu, Kazutora. Aku ingin melihat duniaku melalui matamu.”

Mendengar ucapan itu hatinya langsung menghangat, tak salah jikalau hatinya berpaling kepada Hanma sebab sosok ini sama sepertinya; sang piawai manipulasi.

Hanma mengarahkan batang ereksinya pada liang Kazutora yang basah dan berkedut, salah satu tungkai Kazutora telah bertengger di atas bahu Hanma. Kazutora membuka mukutnya kala ujung ereksi itu mulai masuk menyapa senggamanya.

Ssh ... ”

“Kazutora, pesonamu adalah panorama terbaik yang pernah aku lihat.”

Hanma langsung menghujam lubang senggama Kazutora dengan ereksinya dalam sekali hentakan, sontak pemuda itu berteriak nyaring namun diredam oleh bilah bibir Hanma yang memagutnya dalam sebuah ciuman. Hanma memiliki kepribadian yang kadang membuat Kazutora bingung, sebab pemuda itu dapat bersikap lembut bak malaikat dan pula berubah menjadi sosok berbahaya melebihi sosok iblis.

Kazutora sempat berpikir bahwa Hanma ialah sosok dewa. Ia mengerang ketika sodokan Hanma di dalam lubangnya mengenai prostatnya beberapa kali. Tubuh Kazutora terhentak ke belakang dikarenakan Hanma bergerak brutal. Ia tak membiarkan Kazutora untuk beradaptasi dengam kehadiran ereksinya di bawah sana, yang Hanma cari hanyalah kepuasan semata. Kazutora ingin sekali merengkuh erat tubuh Hanma, namun niat itu harus dikubur dalam-dalam karena permainan malam ini tangannya terikat erat.

Sentara brutal itu membuatnya mabuk kepalang, Kazutora nyaris dibikin gila—ia merapalkan nama Hanma Shuji dengan desahan dan lenguhan bak lantunan melodi indah. Luka yang membekas di leher Hanma sangat kentara, Kazutora terenyuh melihatnya.

Hanma adalah miliknya.

This is the world as it should be, Kazutora. Sebuah dunia di mana aku yang menggerakan semuanya dan semua orang tunduk di bawah kekuasaanku. Just like you who bow under my tutelage, begging for a cock to fill the ecstasy hole of you.”

Lubang senggama Kazutora melahap miliknya hingga ke pangkal, Hanma menyunggingkan sebuah senyuman kemenangan. Ia masih bergerak rancu tanpa celah sedetik pun, Kazutora hanya tersungkur pasrah di bawahnya yang bisa ia lakukan adalah mendesah dan mendesah.

“H-Hanma ... ”

Entah sejak kapan Kazutora menjadi sosok untuk mmemenuhi kebutuhan biologisnya dan sosok yang mengikis hasrat birahi. Namun, ia bukan sosok egois, ia membiarkan Kazutora yang notabenya sebagai sosok vampir untuk mengisap darahnya sebanyak yang ia mau selagi kontrol Kazutora masih berada di dalam genggamannya. Hanma terlampau tak peduli pada percikan perasaan yang timbul di hatinya yang ia butuhkan hanya lubang Kazutora untuk memenuhi fananya.

Hanma menyesap puting Kazutora bergantian dan menorehkan banyak tanda kepemilikan di area dada. Ia berulang kali menumbuk prostat Kazutora dan sontak dinding-dinding rektumnya menghimpit ereksinya. Lubang Kazutora masih terasa sempit untuk menampung miliknya padahal mereka telah melakukan hubungan intim beberapa kali.

Aah.”

“Kazutora.” Hanma menggeram rendah.

Vokalisasi pemuda itu pun mampu membuat lubang Kazutora berkedut. Suaranya begitu rendah serendah harga dirinya di hadapan sosok Hanma. Tak peduli sebanyak apa tanda di atas kulit porselennya, ia senang Hanma menandai dirinya sebagai miliknya.

“Hanma ... mau keluar ... ”

“Bersama, sayang.”

Hanma menghentakkan pinggulnya kuat, begitu pula dengan Hanma yang menggerakan pinggulnya berlawanan arah. Ia telak kehilangan kewarasannya ketika berada di bawah dominasi Hanma. Kazutora meracau diselingi lenguhannya untuk mengiringi gerakan piston Hanma. Semakin dekat dengan putihnya, dinding rektum itu semakin menjepitnya.

Plak. Plak.

Hanma menampar bokongnya berulang kali dan memainkan ereksinya yang menegang. Kazutora membusungkan dadanya ke atas, tak mampu membendung perasaan nikmat tiada tara yang ia terima.

Ahh! Hanma!”

Saat itu juga, Kazutora menyemburkan putihnya sehingga mengenai lengan Hanma dan membasahi perutnya. Peluh cinta menetes turun dari pelipis keduanya. Hanma masih setia menggempurnya ddngan rancu, tak membiarkan Kazutora terlarut dengan pelepasannya. Hanma masih meraih putihnya di dalam senggama Kazutora.

“Hanma ... fill me up with your cums, I want that taste too ... ” titahnya.

As you wish, my dear Hanemiya.”

Hanma menundukkan tubuhnya untuk memagut ranum Kazutora, tiga hentakan terakhir Hanma akhirnya mengeluarkan seluruh cairan ejakulasinya di dalam lubang sempit Kazutora. Ia menahan ereksinya sedalam mungkin agar tak sedikit pun cairan keluar dari lubangnya. Kazutora melepaskan ciuman mereka dan menciptakan benang saliva di antara mereka. Tatapannya masih sayu dan mulutnya terbuka untuk melenguh.

“Ssh ... ” Hanma menggeram.

Ia mendongakkan kepalanya ke atas setelah mendapati kenikmatan fatamorgana. Ia menunduk kembali untuk menatap pemandangan dunianya. Ditatapanya tubuh Kazutora yang kacau; ada banyak tanda di sekujur tubuhnya, mata yang menyorotkan hasrat birahi, mulut yang terbuka untuk menampilkan taring tajamnya.

“Hanma.”

“Hm?”

“Apa perasaan ini salah? Apa perasaan cinta yang hadir di hatiku ini salah?”

Hanma mengecup kedua netra Kazutora dengan lembut, ia tak kunjung membalas pertanyaan Kazutora, ia sibuk membenarkan pakaiannya dan melepaskan dasi yang mengikat lengan Kazutora. Ia sempat meringis melihat pergelangan tangan Kazutora yang memerah. Ia kembali mendudukkan tubuh Kazutora di atas pangkuannya. Menyugar surai sehalus sutra itu dengan lembut.

“Hanma, jawab.” pungkasnya.

Hanma mengecup punggung tangan Kazutora dan menjilatnya hingga ke lengan.

“Jikalau perasaan itu semakin membuatmu menggila, maka aku yang akan membunuhmu, Kazutora.”

[]