Iakunan

Explicit sexual content, Rindou!top, Sanzu!bot, boys love, anal sex, blow-job, whore word usage.

Rindou abai pada panorama yang ditunjukkan oleh entitas pemuda berjenama, Sanzu Haruchiyo. Pemuda dengan perawakan tubuh yang memikat siluet Rindou dalam rantai belenggu. Sanzu yang mengingkan sebuah cerita yang dibalut dalam lakon cinta. Baginya, sosok Rindou diibaratkan bak cahaya purnama yang menyoroti dirinya kala ditelan gema.

Sanzu tak mempunyai alasan yang sulit untuk dimengerti mengapa dirinya begitu jatuh cinta terhadap pemuda di hadapannya, Haitani Rindou. Semuanya mengalir tanpa diminta dan secara tiba-tiba. Namun, dibalik perasaan itu Sanzu lebih mengharapkan di mana ia bisa berada di bawah kukungan dominasi Rindou.

Dewi Fortuna tengah berpihak kepadanya sebab malam ini Rindou memintanya untuk datang ke unit pribadinya secara cuma-cuma, meskipun pemuda itu memiliki maksud tertentu, tak lain dan tak bukan ialah mengerjakan tugas proyek yang diberikan oleh dosen mereka. Sialnya, Rindou harus menerima Sanzu sebagai kawan kelompoknya, kelompok yang hanya diisi oleh dua orang.

Rindou berkutat pada laptop yang menyala di hadapannya, sesekali membenarkan tata letak kacamatanya yang bertengger di hidung bangirnya. Setiap pergerakan Rindou tak luput dari pasang iris Sanzu. Ia begitu mendambakan Rindou yang menaruh seluruh atensinya kepada laptop dengan pakaian kasual, menurutnya malam ini Rindou semakin terlihat panas. Tak ada yang memulai obrolan di antara mereka, diselimuti ketenangan dan suara deru napas masing-masing.

“Rin.” celetuk Sanzu dengan vokalisasi rendah, pemuda itu mengeluh bosan.

Rindou mendongak namun kembali mempusatkan atensinya pada laptop dan tak berniat membalas perkataan Sanzu.

“Rin.” ulangnya sekali lagi.

Rindou mendengus, terpaksa ia harus mengalihkan atensinya kepada sosok Sanzu yang meringkuk di atas ranjang milik Rindou dengan netra yang memancarkan kejenuhan. “Kenapa?” balasnya.

“Kamu bener-bener mau diemin aku kayak sekarang ini? Do nothing and just pay attention to you while doing that shits. Rin, I came here not only for that, make me a little more worthwhile. Can you?” Sanzu bangun dari posisinya dan menata Rindou dengan lamat.

“Apa yang berguna dari sosok Sanzu Haruchiyo? Totally worthless.” Rindou menyunggingkan seringainya kepada Sanzu, walau perkataan Rindou terdengar kasar, namun baginya perkataan itu membuat Sanzu tertantang dan mulai menyukai situasi yang kian berubah.

Sanzu merangkak maju dengan telapak tangan dan lututnya bak seekor anjing yang menghampiri majikannya. Mendekati Rindou yang tengah duduk di sebuah kursi yang mengarah pada ranjang. Sanzu menarik sudut bibirnya ke atas dan Rindou selalu memperhatikan setiap gerak-geriknya. Ia tak menampik sebuah fakta bahwa Sanzu tengah memikatnya dalam juntaian tali birahi. Ia tahu betul gelagat yang diperlihatkan oleh Sanzu kepadanya.

Worthless?” Sanzu menarik tangan kanan Rindou sehingga jari-jarinya yang semula berada di atas papan ketik kini berada di dalam genggaman Sanzu. Kedua pundak Rindou beringsut turun, ia hanya menyaksikan tanpa suara. “Kalau aku melakukan ini, apa aku masih gak berguna, Rin?” Pemuda dengan surai panjang berwarna merah muda itu tengah menjilati jari-jari Rindou.

Whore.” tukas Rindou sarkastik.

Daging basah tak bertulang itu sibuk melecehkan jari milik Rindou sehingga tiga jarinya basah akan air liurnya. Sanzu justru bangga dengan keberaniannya saat ini, melihat Rindou yang diam tak berkutik membuat dirinya semakin menjadi-jadi. Tatapan Rindou tertuju pada Sanzu yang tengah menjilati jarinya, ia suka melihat pemandangan itu. Lantas, detik berikutnya Sanzu memasukkan dua jari Rindou ke dalam mulutnya, mengeluar-masukkan jari itu bak sebuah lolipop kesukaannya.

Tubuhnya bergerak erotis, tatapannya sayu dan mulutnya terbuka lebar. Rindou masih memagari dirinya agar tak bergerak brutal kepada Sanzu. Gurat wajahnya mulai nampak di sekitar pelipis, tangannya terangkat untuk mencengkram tengkuk Sanzu. Menahan pemuda itu untuk tetap bertahan pada kegiatannya.

“Rin, I can do it more than this.” Pemuda bersurai panjang itu melenguh, tubuhnya mengenjang kala Rindou mulai mengikuti irama permainannya.

“Tunjukkan kalau kamu benar-benar berguna buat saya, Sanzu.” titahnya mutlak.

Rindou menjauhkan laptop yang semula berada di pangkuannya pada nakas yang berada di dekatnya. Sanzu turun bertekuk lutut di hadapan sang dominan, dengan netra seterang permata yang mensyaratkan sebuah kopulasi birahi. Tangannya bertengger di atas paha kekar Rindou, sedangkan wajahnya mendekati ereksi Rindou yang masih terbalut pakaian.

“Mau ini ... boleh?” Sanzu melemparkan pertanyaan kepadanya.

Rindou mengangguk untuk menjustifikasi permintaan Sanzu. Ia bukanlah sosok munafik yang akan menampik perasaan yang mulai bersemayam di dalam dirinya. Sanzu telah menghantarkan perasaan eksentrik yang membuat hasrat seksualnya  naik hingga ke bagian puncak. Sanzu menggunakan giginya untuk menarik ritsleting celana Rindou, mengeluarkan batang kepemilikan sang empu.

Sanzu meneguk lidahnya susah payah sebab dirinya terlampau tercengang namun terpukau dengan ereksi Rindou yang mengacung melawan gravitasi telak berada di hadapannya. Kepalanya sedikit mendongak untuk membalas tatapan sang dominan kepadanya. Tatapan setajam bilah belati yang mengikis keberaniannya.

“Lakukan yang terbaik, mon chéri.

Mendapat sejuntai pujian tulus dari Rindou membuat Sanzu terbakar gelora gairah. Tak ingin membuat Rindou kecewa dan menunggu terlalu lama, Sanzu memasukkan batang ereksi Rindou ke dalam mulutnya. Siap untuk memberikan servis terbaik kepada Rindou. Pemuda bersurai keunguan tertegun kala merasakan miliknya hangat yang bersarang di mulut Sanzu. Rindou tak berniat ikut campur dalam permainan Sanzu, ia menunggu Sanzu untuk menampilkan permainan terbaiknya malam ini. Sebab Sanzu lah yang memulainya.

Sanzu melenguh dalam kegiatannya, ereksi yang menyumpal seluruh rongga mulutnya tak membuat Sanzu hanya diam. Ia justru mengeluarkan vokalisasi yang lebih sensual agar Rindou semakin bernafsu. Lidahnya bergerak piawai melecehkan ereksi Rindou, menari-nari serta menjilati ereksi itu dengan senang hati. Rindou mengepalkan tangannya pada surai Sanzu yang dibiarkan tergerai. Rindou menggeram rendah tanda ia menyukai mulut Sanzu yang memanjakan miliknya.

“Masukan lebih dalam, Sanzu Haruchiyo. Gunakan mulutmu itu untuk memuaskan miliku. Bukankah ini yang kamu idam-idamkan sedari lama? Sekarang kamu sudah mendapatkannya, maka lakukan dengan benar. Jangan membuat saya kecewa karena kamu memang tidak ada gunanya.” Saat Sanzu mengeluar-masukkan ereksi Rindou ke dalam mulutnya, Rindou menahan tengkuk Sanzu agar miliknya tetap berada di dalam tenggorokan Sanzu. Deep throat.

Napas Sanzu tercekat sebab tenggorokannya penuh dengan ereksi Rindou, netra seterang safir itu mulai meneteskan air mata. Ia memohon pada Rindou agar melepaskan tangannya pada tengkuknya, namun rupanya Rindou menyukai pemandangan ini; di mana Sanzu merengek dengan keadaan yang mengenaskan. Rindou melepaskan tangannya pada tengkuk Sanzu, lalu tertawa sumringah mendapati Sanzu yang tersengal mengais napas sebanyak mungkin. Ia mengusai surai panjang itu dengan lembut.

“Bagus, sayang.” ucapnya.

Sanzu melanjutkan kegiatannya dengan mengeluar-masukkan ereksi Rindou, ia ingin Rindou memuntahkam cairan putihnya di dalam mulutnya, sebab hal itu akan semakin membuatnya bangga. Rindou kembali menggeram, sedangkan Sanzu melenguhkan namanya.

Cumming out ... on my mouth, Rin.” ujarnya terbata. Rindou mengindahkan permintaan itu. Selang beberapa menit kemudian, Rindou mengeluarkan putihnya di dalam tenggorokan Sanzu. Kembali menahan tengkuk sang loka agar menelan habis seluruh cairannya.

Rindou mengantup rahang Sanzu agar mulutnya tertutup dan tak setetes pun cairannya keluar sia-sia dari dalam mulut Sanzu. Rindou berdecak kagum dengan sosok yang ada di bawah kekuasaannya ini, nampak mengenaskan namun jua panas. Mulut yang basah akan cairan miliknya, surai panjangnya yang menutupi paras rupawannya, dan tatapan sayunya.

“Suka, ‘kan?” Rindou menarik tangan kiri Sanzu, membubuhkan ciuman kupu-kupu di atas punggung tangannya.

“Suka! Suka banget. Can you make me feel that too on ... on my hole.” Sanzu memelankan suaranya pada baris terakhir ucapannya. Netranya menyapu pada pemandangan yang lain agar tak bersitatap dengan netra Rindou.

Pathetic, Sanzu. Pikiranmu terlalu kotor dan hanya memikirkan perihal seks.”

Walau berkata demikian, Rindou mengangkat tubuh ringkih itu ke atas pangkuannya. Kedua tangannya bergerak untuk melucuti satu-persatu balutan benang yang menutupi tubuh erotis Sanzu. Sanzu berpagut pada bahu lebar Rindou, ia membelai leher jenjang Rindou yang menarik perhatiannya. Sirkulasi udara di antara mereka mulai menipis, namun perasaan birahi lah yang membuat mereka sesak dan tergesa untuk melakukannya.

Tubuh Sanzu kini polos tanpa sehelai benang sekalipun, ia memamerkan tubuh porselen tanpa cacat sedikit pun. Rindou mengedarkan pandangannya pada tubuh Sanzu, ia menyapu bagian leher hingga belakang telinga Sanzu dengan lidahnya. Meninggalkan ciuman intens di atas kulit sehalus kanvas milik Sanzu. Ia membuat tanda kepemilikan yang berwarna merah keunguan di atas kulit itu. Menandai Sanzu bahwa pemuda itu menjadi miliknya malam ini. Tak mau merasa kalah, Sanzu menciptakan ruam kemerahan atas tanda nafsu seksualitasnya.

Ssh ... ” Sanzu melenguh kala jari Rindou menelusuri lekuk tubuhnya. Ia membenamkan wajahnya pada leher jenjang Rindou, mengeluarkan suaranya yang gemetar tepat di samping rungunya.

“Jangan menyesal karena melakukan ini bersama saya, Haruchiyo.”

Rindou menuntut ereksinya yang masih tegak menegang di bawah sana, ia mulai memasukkan miliknya ke dalam senggama Sanzu tanpa memberikan stimulasi apapun. Walau saat ini lubang senggama Sanzu basah, namun ia butuh penetrasi lebih agar dapat menampung milik Rindou di dalamnya. Akan tetapi, Rindou rupanya tipikal pemuda yang tak terlalu mengidamkan sebuah pemanasan awal dan sedikit mengulur waktu.

Sanzu mendesis ngilu, ia menancapkan kuku-kukunya di punggung Rindou. Rasanya ngilu meskipun Rindou belum memasukkan miliknya sepenuhnya. Sepasang obsidian safir itu mengantup, ia membukakan mulutnya untuk meredam rasa sakit itu. Sedangkan Rindou seolah tak memperdulikannya, ia masih keukeuh memasukkan miliknya dalam sekali hentakan. Tangan kekar Rindou mencengkram pinggulnya erat, menurunkan tubuhnya supaya menelan habis ereksinya di dalam pusat tubuhnya.

“Rin ... pelan-pelan.”

Bukannya mengindahkan permintaan sang submisif, Rindou langsung menghentakkan pinggulnya ke atas dan berhasil menenggelamkan miliknya ke dalam liang Sanzu, otomatis Sanzu menyerukan nama Rindou dengan nyaring dan pelupuk matanya mulai mengeluarkan air mata. Ia meringis dalam tangis, Rindou bergerak brutal. Tak membiarkan lubang Sanzu beradaptasi terlebih dahulu.

“Bukankah ini yang kamu mau?”

Ah!

Rindou menumbuk miliknya tanpa ampun dan tanpa celah sedikit pun. Walau Sanzu memohon untuk bergerak pelan, Rindou malah bergerak sebaliknya. Cepat dan brutal. Rasa ngilu yang awalnya menyapa senggamanya kini berubah menjadi nafsu yang menjadi-jadi. Ia memagut bibir Rindou untuk melakukan ciuman intens bersama, Rindou menerima ciumannya. Tatapan Rindou terpaku pada pana asmara yang memoar di entitas Sanzu. Ia bak terpikat pesona atraktif sang submisif.

Begitu pula dengan Sanzu, ia seperti mengarungi dunia fiksi yang semuanya hanya berupa delusi. Kendatinya tak pernah membayangkan untuk berada di bawah kekuasaannya Rindou. Pikirannya melambung di atas langit tuk menyisihkan sikap apatit. Bahwasanya malam ini bukanlah fragmem mimpi melainkan yang akan menjadi sebuah filosopi.

Gerakan Rindou tak kunjung melambat, ia masih menghentakkan miliknya dengan kuat. Sanzu ikut andil untuk menggerakan pinggulnya berlawanan arah. Ia mendongak ke atas dan mendorong tengkuk Rindou untuk mengempu dadanya. Rindou memasukkan puting Sanzu ke dalam mulutnya; melakukannya layaknya sedang mengais air susu dari puting Sanzu, namun ia berakhir menggigit puting itu dengan erat.

Plak.

Suara tamparan andil mendominasi ruangan ini, Rindou menampar pipi bokong sintal Sanzu dengan kuat sehingga menimbulkan ruam kemerahan. Sanzu dibuatnya gila, tak menyangka untuk kesekian kalinya bahwa Rindou ialah sosok dewa. Rindou mencumbu bibir Sanzu yang membuatnya apiun. Ia menyesap sepanjang tulang selangka Sanzu, tak lupa membubuhkan lebih banyak tanda cinta.

“Rin ... aah ... ”

You’re soaking all wet, chère.

I wanna ... cum.”

Sanzu merapalkan nama Rindou Haitani di sela-sela desahannya, ia bertekad bahwa Rindou satu-satunya atma yang membuatnya jatuh dan berakhir patuh akan setiap titah yang ia berikan. Ia mencintai setiap hal yang Rindou lakukan kepadanya. Ujung ereksi Rindou berulang kali mengenai prostat Sanzu sehingga pemuda itu menggelinjang, tubuh Sanzu mulai terkulai lemas tak berdaya. Dinding rektumnya menjepit batang ereksi Rindou dengan erat. Sentakan demi sentakan semakin brutal untuk mengejar kepuasan masing-masing. Sanzu mendekap punggung Rindou dengan erat, napas tersengal Rindou menerpa kulit lehernya.

Hingga pada hentakan terakhir, Sanzu berhasil mencapai putihnya yang mengotori tubuh keduanya, sedangkan Rindou masih menghujami senggamanya dengan ereksinya tersebut. Rupanya pemuda bersurai keunguan itu masih meraih putihnya. Kedua tangan Rindou menangkup pipi bokong Sanzu, tak memberikan ampunan pada Sanzu baik untuk menarik napas pun.

Ssh ... ”

Gerakan Rindou masih sama rancu, berkali-kali mengenai titik ekstasinya. Tubuh Sanzu masih sangat sensitif akibat pencapaian pertamanya, tetapi Rindou belum kunjung datang. Tatapan menelisik itu bak menghardik Sanzu, setelah lima hentakan berikutnya Rindou mengeluarkan cairan ejakulasi di dalam lubang Sanzu. Ia ingin lubang Sanzu menelan habis semua cairannya, maka dari itu Rindou tak kunjung beranjak.

Sanzu melenguh panjang dan berakhir menyebut nama Rindou dengan vokalisasi yang melemah.

“Rindou ... ”

“Hm?” Rindou berdeham, ia meletakkan dagunya di atas bahu Sanzu, mendambakan bau citrus yang memoar dari tubuh Sanzu.

Thank you? Thank you for having sex with me, because this is what I’ve been dreaming of. You’re not bad as anyone think about.” Sanzu bergelayut manja di leher Rindou dan ia juga mencuri satu ciuman pada bibir pemuda itu.

Rindou mengusap punggung Sanzu secara kordial. Menarik sudut bibirnya ke atas untuk menyunggingkan senyuman tulus. Ia sedikit membenarkan surai Sanzu yang mencuat agar netranya dapat menyaksikan pahatan sempurna tersebut. Melakukannya bersama Sanzu tak membuatnya menyesal, ia juga menyukainya walau perasaan itu sebatas ada di atas ranjang.

It’s my pleasure.”

Sanzu duduk di atas nakas yang berhadapan langsung dengan jendela yang menampilkan panorama langit mosaik temaram. Ia menyalakan penatik untuk membakar batang cerutunya. Sanzu tak terbalut dalam helaian benang, semilir angin yang masuk melalui jendela terbuka tak membuatnya kedinginan. Netranya setia menatap sang dominan dengan lamat. Rindou kembali berkutat dengan aktivitas sebelumnya, menyelesaikan tugas kelompok mereka.

Kepulan asap yang memenuhi ruang tak membuatnya terusik, Sanzu mengulas senyuman lebar memperhatikan sosok yang beberapa jam lalu menggempurnya habis-habisan. Rindou telah mengenakan pakaiannya, namun Sanzu enggan melalukan hal yang sama. Bertelanjang di hadapan Rindou membuatnya tersipu.

“Rin, gak mau nge-rokok juga?” sambar Sanzu dengan pertanyaan retoris.

“Gak suka nikotin.” jawab Rindou singkat.

“Rasanya enak, bisa bikin kamu candu. Yakin gak mau nyoba juga?” Sanzu menghembus asapnya di samping wajah Rindou dengan niat menggoda pemuda itu.

Rindou mengendik bahu acuh, tetapi netranya tertanam ke arah Sanzu. Ia mensejajarkan rupa mereka dan ia berujar tepat di hadapan bibir Sanzu.

“Lubangmu jauh lebih membuat saya candu, Sanzu Haruchiyo.”

[]

Kala itu terik matahari telak berada di atas pucuk kepala, menyinari sebagian bumi yang dipijak oleh para manusia. Seishu memoles wajah rupawannya agar tampak luar biasa daripada biasanya, ada suatu alasan yang membuatnya bersikap sedia kala. Saat refleksi dirinya terlihat sesuai dengan ekspektasinya, bibirnya merekah. Teramat puas dengan penampilannya saat ini. Seishu meraih tasnya, lalu menyampirkannya di bahunya. Pemuda bersurai terang itu hanya mengenakan pakaian kasual namun terlihat begitu menawan di tubuhnya.

All done, saatnya kita jalan.” Seishu bermonolog ketika kedua tungkainya telah melangkah meninggalkan perkarangan rumah. Tercipta perasaan yang bercampur aduk di dalam dirinya, tetapi tak membuat niatnya ciut sama sekali. Lantas, ia sangat bersemangat untuk hari ini.

“Demi ketemuan sama Koko, gue rela dolled up and get dressed for hours. Gue pengen keliatan sempurna di depan dia.”

Pemuda dengan sepasang iris safir itu menaiki angkutan umum yang beroperasi di tengah perkotaan. Seperti biasanya, bis dipenuhi oleh orang-orang yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Seishu memilih untuk duduk di sebuah kursi yang masih tersisa dan menyumpal telinganya dengan earphone agar kegaduhan dari hiruk-pikuk yang ada di sekitarnya tak membuatnya terganggu.

Memakan waktu 20 menit untuk sampai ke tempat tujuannya, Seishu bergerak menuruni bis dan masuk ke dalam kerumunan yang sedikit membuat dirinya pengap. Seishu menggerutu sebab ada beberapa orang sedari tadi meledeknya.

“Cantik, sendiri aja.”

“Cantik, boleh minta nomor teleponnya?”

“Daripada sendirian mending aku temenin sini, biar gak ngenes.”

Seishu memasang tatapan sinis kepada gerombolan laki-laki itu seolah-olah ia ingin mengajak mereka untuk beradu tinju. Baginya, orang yang seperti itu sangat menjijikan dan tak pantas menyebut namanya barang sekali pun.

“Diem lo, jelek.” ucapnya sarkastik.

Ia melanjutkan tungkainya yang sempat terhenti untuk masuk ke dalam pusat pemberlanjaan terbesar di kotanya, mencari-cari siluet seseorang yang kini menjadi pusat atensinya. Seishu mengedarkan pandangannya ke sana dan ke mari untuk mencari sebuah kafe yang dimaksud oleh orang itu. Saat netranya telah menemukan tempat yang dimaksud, ia segera menjalar masuk dengan secercah harapan dan senyum sumringah.

Ia mendapati siluet seseorang dengan surai ikal berwarna hitam, rupa dari seseorang yang dirinya kenali. Tanpa pikir panjang, Seishu langsung mendekatinya dan menyapa pemuda berpostur tubuh jangkung itu. Seishu menarik sudut bibirnya ke atas dengan kegembiraan.

“Koko, right?”

Lantas, sang pemuda itu menoleh setelah menyesap kopi yang ada di dalam gelasnya, nampak keterkejutan yang tercetak di wajah sang rupawan. Pemandangannya menelaah pada sosok Seishu yang tepat berdiri di hadapannya, ia langsung berdiri tegap untuk memastikan apakah sosok ini ialah orang yang telah ia nantikan.

“Seishu.” Lidahnya merapalkan namanya.

I am.” Senyuman itu tak luntur menghiasi wajah Seishu.

Gosh, you’re as beautiful as I imagined.” Tangan Kokonoi sontak bergerak ke atas untuk merapikan poni Seishu dan membentuk sebuah senyuman takjub di wajah berseri.

Thank you.

“Ayo, duduk dulu.” Kokonoi mempersilakan sang atma dengan pesona dewa untuk duduk di sebuah kursi yang ia pesankan khusus untuk mereka berdua. “Cantik. Seishu, lo cantik banget.” rapalnya.

Ssuut. Masa bahasan kita cuman lo doang yang lagi muji-muji gue?” Seishu berdehem walaupun kini semburat merah muncul di pipinya. Kokonoi mengangguk-angguk tanda setuju jikalau Seishu pantas mendapatkan seribu pujian akan kesempurnaan dirinya.

“Gue baru kali ini ketemu orang secantik lo, jadi bikin gue teramat antusias.” balasnya.

Ditatapnya sosok itu dengan lamat penaka sebuah panorama senja yang layak untuk mendapatkan puja. Kulit porselen yang halus bak selembut sutra serta serupa apsara, dan netranya yang memancarkan kedamaian laut. Pasang irinya berbinar dengan ekspresi suka ceria pada sang jelita.

Kokonoi dibuat bertekuk lutut untuk memujanya. Sedangkan Seishu merasakan hal serupa. Tak menyangka bahwa Kokonoi memiliki paras yang elok , membuat dirinya bersikeras untuk selalu menaruh seluruh atensi kepada sosok di hadapannya tersebut.

“Lo juga ganteng banget.” celetuk Seishu.

Thanks, sayang.”

“Ajak jadian dulu kali baru boleh panggil sayang.” Seishu menggerutu dengan nada yang pelan membuat Kokonoi mengerut.

“Iya, Sei, kenapa?”

“Eh! Gak apa-apa kok!”

Kokonoi menghela napas, “mau pesan apa? Pasti capek tadi harus naik bis sendirian, lain kali kalo kita ketemuan gue aja, ya, yang jemput lo? Jadinya gue gak terlalu khawatir, tadi gue khawatir banget tau lo naik bis sendirian.”

Seishu tertawa sumringah dan ia salut kepada Kokonoi yang selalu menatap telak kepada dua netranya kala dirinya maupun Kokonoi berbicara bagaikan menyalurkan seisi atensinya kepada si lawan berbicara.

“Gue suka naik bis kok soalnya enak gak perlu nyetir sendiri, ya walaupun kadang ada gak enaknya juga.” pungkasnya.

“Nah, ‘kan. Nanti pulangnya gue yang antar sampai ke depan rumah lo, gak ada penolakan sama sekali.” tegasnya.

“Iya, Koko. Gak ada alasan bagi gue untuk nolak tumpangan dari lo.”

“Bagus-bagus. Seishu, habis ini mau ke mana? Gue pengen ngabisin seharian ini sama lo—gue pengen selalu natap wajah lo selagi gue bisa berdiri di dekat lo.”

“Hari ini harinya kita, Ko.” Seishu mengulas senyum kembali, saat itu perasaan seperti ini bak lenyap dalam dirinya namun siapa sangka perasaan itu muncul kembali ke permukaan kepada orang yang berbeda.

Seishu selalu terpaku kepada orang yang sama, menganggap kalau kisahnya yang telah berakhir itu tak akan menimbulkan adanya kisah kedua, tetapi rupanya Seishu keliru. Saat ini dirinya baru saja menemukan kisah baru dan meninggalkan kisah haru biru. Walau terdengar begitu cepat untuk kembali jatuh cinta, tapi tak ada yang bisa menampik perasaan cinta yang terbentang seketika. Seishu menyadari bahwa kini atensinya tertuju pada sosok Kokonoi yang memikat hatinya beberapa waktu yang lalu.

“Seishu, gue seneng banget karena bisa merasakan hati yang berujar cinta dan jantung yang berdebar untuk pertama kalinya. Kalo aja sedari awal gue tau cinta itu semenyenangkan ini maka gue akan jatuh cinta sama lo jauh sebelum ini.” Kokonoi meraih tangan halus milik Seishu, menggenggam tangan itu dengan erat seolah tak ada ruang yang tersisa. “Seishu, izinkan gue untuk mencinta lebih dalam lagi. Izinkan gue menorehkan nama lo ke dalam puisi cinta tentang bagaimana gue selalu mengingat cinta yang berarti lo.”

Kokonoi menatapnya tanpa bekedip dan senyuman itu berubah menjadi lebih tulus, hati Seishu menjadi bergemuruh dan merasakan ada ribuan bunga mengisi relung jiwa hampanya.

“Seishu, jangan pernah pergi karena lo sangat berarti.”

...

Langit yang dicat mosaik temaram, menandakan hari telah berganti malam. Hampir sebagian aktivitas manusia berhenti untuk mengarungi dunia mimpi. Ada rasa cinta membuncah yang perlahan mulai kian tumbuh dan akan berlabuh. Siapkah kedua insan terlebut berkelana dalam dunia fatamorgana. Menikmati dunia romansa yang menjadi dua jiwa asmaraloka. Bulan menjadi saksi bahwa keduanya tengah memadu memori. Dihiasi sejuntai senyuman apresiasi.

Dua tangan yang saling berpagutan erat dengan Seishu yang menyenderkan kepalanya pada pundak lebar Kokonoi, sedangkan pemuda lainnya menyenderkan kepalanya di atas kepala Seishu. Keduanya sama-sama menatap langit yang sama jua perasaan hati yang sama. Kokonoi memberikan usapan lembut di tangan Seishu dengan ibu jarinya. Tak ada rasa canggung yang menyelimuti mereka, hanya tergantikan rasa bahagia.

“Hari ini lo seneng gak?” Kokonoi melemparkan pertanyaan.

“Banget, Ko. Seneng banget.”

“Berarti gue juga, gue seneng ngelewatin hari ini bareng lo.”

Can we do this again?” Seishu mendongak untuk menatap rahang tegas Kokonoi dari arah samping.

“Tentu, kita akan selalu melakukan hal kayak gini, selamanya.” balasnya.

“Gue seneng dengernya karena hari ini bukan cuman pertama dan menjadi akhir bagi kita. Ko, thanks for loving me gue harap gue bisa menuhin ekspektasi lo.”

“Hm? Ekspektasi? Gue gak punya ekspektasi apa-apa tentang lo, perasaan cinta gue murni tanpa meminta dan menuntut lo. Hanya saja gue berharap kisah kita gak akan berawal suka dan berakhir duka. Itu aja sih.” Kokonoi menoleh kepada sosok prianya, meninggalkan usapan lembut pada surainya.

“Begitukah?”

“Iya, Seishu.”

Keduanya kembali terlarut dalam suasana damai, kadang mereka saling bersitatap satu sama lain dan saling terpikat pesona. Seishu memajukan wajahnya mendekati Kokonoi, berniat hendak meraih bibir Kokonoi. Namun, dengan sigap Kokonoi meletakkan jari telunjuknya di atas bibir Seishu. Saat ini jarak mereka begitu tipis, ia bisa merasakan hembusan napas Kokonoi yang menerpa wajahnya.

“Gue lagi menahan diri untuk gak mencium lo malem ini, biar gue selalu punya alasan untuk ketemu lo, Seishu.”

Seishu memiringkan wajahnya bingung.

“Alasan?”

“Alasan untuk menjadikan lo sebagai seseorang yang mengambil ciuman pertama gue.”

[]

Explicit sexual content, dom/sub, anal sex, profanities, hand-job, fingering, dirty talk, rimming, humiliation, multiple orgasms, slight of humour.

Sejuntai cipta sensasi dalam benak balutan ilusi, serta membubuhkan sebuah adiksi. Dua siluet yang tenggelam dalam pias merah yang membuat mereka saling menjarah. Menjadikan langit yang dicat oleh mosaik kelam di bawah sang bulan yang temaram sebagai bukti perbuatan dosa. Melahap sosoknya bak seenggok mangsa.

Tak pernah terbayang oleh dirinya untuk berada di bawah kukungan seorang yang memoarkan aura dominasi yang kuat, tak lain ialah Kokonoi Hajime. Mengikis seluruh ego-nya dalam semalam hingga dirinya mampu bertekuk lutut di bawah kekuasaan Kokonoi. Pada detik ini terjadi, Kokonoi menyapu habis seluruh bagian tubuhnya dengan benda basah tak bertulang itu. Membuat tubuhnya bergelinjang tak kuasa menahan berahi yang Kokonoi berikan.

Balutan kain yang mulanya membalut tubuhnya kian tanggal beberapa menit yang lalu, Kokonoi datang kepadanya dengan netra yang menyala akan nafsu, seolah telah siap untuk segera melahapnya. Seishu tunduk akan sosok itu walau sebelumnya tak terjalin konstelasi yang bagus di antara mereka berdua.

Namun, Seishu tak akan menolak sebuah ajakan dosa yang mengikatnya dalam belenggu. Baginya dosa itu sebuah hal yang menggiurkan untuk dilakukan dan membuatnya ketagihan. Tubuh kekar Kokonoi semakin menghimpitnya membuat saluran napas Seishu terhimpit. Mulutnya menganga seraya menjulurkan lidah keluar setelah melalukan ciuman intens dengan bilah bibir Kokonoi.

“Koko ... ” ujarnya sayu.

Tatapan pemuda bersurai hitam itu mengerling menelaah sosok Seishu yang tak berdaya di bawahnya, tubuh bak kanvas putih yang sempurna memohon untuk segera ditorehkan oleh kuas yang akan meninggalkan sebuah karya. Kokonoi sungguh takjub akan pemandangan ini. Seishu bergelayut manja, mungkin efek dari berahi yang membakar jiwa laranya.

Kokonoi memagut bilah ranum itu lagi, mengepal kedua lengan Seishu ke atas kepalanya, ingin mengunci pergerakan si pemuda cantik itu. Lidahnya menyapu bibir Seishu, membawanya ke dalam sebuah ciuman yang akan terpaku abadi di dalam memori masing-masing. Selang beberapa menit kemudian, pemuda itu melepaskan ciuman mereka dan beralih untuk menjarah leher jenjang Seishu yang menarik atensinya. Menjilati leher itu dengan lidahnya, lalu meninggalkan setidaknya tiga tanda cinta di atasnya.

“Gak nyangka lo bisa sebinal ini.” Kokonoi berujar sarkastik, netra hitam itu seolah merendahkan sosok Seishu.

“Gak nyangka lo bisa sebangsat ini, gak tahan sama kharisma gue, ya?” balas pemuda dengan sepasang netra berwarna safir, netra yang dapat memikat Kokonoi.

“Siapa yang mampu nahan diri pas dikasih makan enak? Mungkin cuman orang bodoh yang mengambaikan sosok binal yang rela melucuti bajunya demi nafsu.”

Kokonoi menyambar puting Seishu yang menegang meminta untuk dimanjakan. Tubuh Seishu otomatis membusungkan dadanya ke atas, mulutnya terbuka melolongkan lantunan desah. Seishu ingin sekali melepaskan kedua tangannya dari cekalan tangan Kokonoi agar ia bisa leluasa menjamah tubuh Kokonoi, tetapi sosok itu bersikukuh mengontrol pergerakannya.

Mmh!” Seishu bergerak gusar, Kokonoi bak piawai yang memainkan putingnya dengan lidahnya itu. Menjilat, lalu memasukannya ke dalam mulutnya.

Setelah puas memanjakan kedua puting Seishu yang memerah, Kokonoi menjalar naik untuk mengecup bibir ranum itu lagi sebab dirinya terlampau candu. Desahan Seishu tertahan dengan ciuman itu, setelah Kokonoi melepasnya ia kembali mengeluarkan alunan desahan sembari merapalkan nama Kokonoi.

“Gila, gue dibuat sinting. Gue gak menyangka tubuh lo sebagus ini buat dipakai, gue bisa aja pakai tubuh lo ini setiap waktu biar lo tau kalo gue yang bisa buat seluruh ego lo runtuh dan lo tunduk di bawah gue. Inupi, jawab gue, sebagai ucapan rasa terima kasih, kira-kira apa yang harus gue kasih ke lo?” Kokonoi akhirnya melepaskan cengkraman tangannya pada lengan Seishu dan beralih menenggerkan tangannya di lingkaran leher jenjang Seishu, siap mencekik leher itu kuat dengan satu kepalan tangannya.

Seishu meneguk liurnya susah payah, netra seterang lautan itu berkelana ke sembarang arah agar tak terpaku di dalam tatapan mematikan milik Kokonoi. Seishu tak mampu menjabarkan sebuah kata, yang mana membuat Kokonoi menjadi geram dan berujung menampar bokong Seishu keras sehingga menimbulkan bekas kemerahan yang tercetak jelas di bawah sana. Sekali lagi, Seishu meneguk lidahnya.

“Jawab gue, Inupi. Gunain mulut lo buat ngomong, jangan digunain buat blow job doang. Ke mana perginya sosok sombong lo itu? Kok sekarang tunduk banget kayak anjing peliharaan. Ah, apa jangan-jangan lo emang dididik untuk patuh kalau ada seseorang yang bikin lo kayak gini?” Tangan Kokonoi masih melingkar di lehernya dan wajah pemuda itu sangat dekat dengan wajahnya, lantas saja membuat Seishu kaku.

“Berisik, mending sekarang lo masukin aja punya lo itu.” sungutnya sebal.

Tawa Kokonoi pecah mendengar jawaban Seishu, baiklah, Seishu tetaplah Seishu. Masih sama menyebalkannya seperti sedia kala. Kokonoi sedikit menjauhkan tubuhnya dari Seishu, membuka paha Seishu dengan lebar sehingga ia dapat melihat liang Seishu yang berkedut dan ereksinya yang sudah menegang. Tercipta semburat merah di wajah Seishu ketika Kokonoi meluruhkan seluruh atensinya kepada liangnya yang seolah memohon untuk segera dimasukin, rupanya Seishu telah mengidam-idamkan permainan utama.

Kokonoi memundurkan tubuhnya ke belakang, mensejajarkan wajahnya dengan lubang Seishu. Seishu terperanjat melihat Kokonoi yang berada tepat di depan lubangnya. Tanpa menunggu Seishu melayangkan sebuah protesan, Kokonoi mengarungi lubang Seishu dengan eforia yang membara. Seishu mendongakan kepalanya tak dapat menampung nikmat tiada tara yang Kokonoi salurkan ke sekujur tubuhnya, sedangkan Kokonoi sibuk dengan lubang Seishu; menjilat permukaan lubang Seishu dan mengecupnya dengan ciuman kupu-kupu.

Shit! Koko, lo orang terbangsat yang pernah gue temui—ah!” Seishu tak sanggup melanjutkan kata-katanya sebab rasa nikmat itu semakin merusak akal sehatnya. Pahanya mengapit kepala Kokonoi, namun dengan sigap pemuda bersurai kelam itu menahannya.

Kokonoi memasukkan lidahnya ke dalam lubang senggama Seishu, lantas pemuda itu mengluarkan lenguhan serta desahan dengan begitu lantang agar dunia tahu bahwa kini ego-nya telak berada di tanah. Ia tak ingin menampik sebuah kebenaran bahwa Kokonoi ialah seorang piawai, dewa seks yang membawanya ke terbang ke atas langit. Setiap sentuhannya mengantarkan listrik berahi ke sekujur tubuhnya. Lidah Kokonoi bergerak brutal nan piawai di dalam sana membuat si pemuda bernetra safir kewalahan.

It feels good ... ” pungkasnya.

Indeed so.” celetuk Kokonoi yang menekuni kegiatannya di dalam lubang Seishu, ia menarik wajahnya menjauh lalu menekan lubang Seishu dengan jarinya. Bagai ingin memasukkannya namun dua jari Kokonoi hanya menari-nari di sekitar lubang senggama Seishu.

“Koko, masukin.” titah Seishu.

“Gak sabaran banget.” Satu jari Kokonoi berhasil masuk ke dalam liang Seishu tanpa melakukan penetrasi terlebih dahulu, Seishu menukik jari-jari kakinya. Panjangnya jari milik Kokonoi mampu menyentuh titik ekstasinya.

Mmh ... ”

Kokonoi bergerak brutal memanjakan sang lubang surgawi, menyatakan bahwa sebuah ambrosial yang ada di tengah-tengah mereka ialah hakiki. Tak cukup dengan satu jarinya, pemuda itu menambahkan dua jarinya untuk bergabung bersemayang di bawah sana.

Rektum Seishu mejepit tiga jarinya begitu erat, namun pergerakannya masih sama gesit. Tangkas sehingga Kokonoi terlihat teramat beringas. Seishu tak henti-hentinya menuturkan kalimat tak senonoh, desahan seishu bagaikan alunan melodi Yunani,menjadi pengiring gerakan harmoni. Siapapun menyadari bahwa dosa sangat indah untuk dinikmati, namun tak akan pernah menyadari bahwa dosa mampu membawanya ke dalam lubang neraka. Hal itu yang kini menguasai seluruh otak Kokonoi.

“Koko ... something gonna come out ... ” Seishu tak tahu-menahu mengenai seks sebelumnya, ia merasa ada hal aneh yang menjanggal di dalam tubuhnya. Sesuatu yang merongrong minta dikeluarkan.

Cumming already? Get it all out, Inupi.”

Kokonoi semakin cepat menggerakkan jari-jarinya, dinding rektum Seishu mengerat memberikan pertanda bahwa sebentar lagi Seishu akan sampai ke puncaknya. Kembali terbesit kebanggaan di dalam diri Kokonoi karena mampu membuat sosok Seishu keluar hanya dengan jarinya.

Aah!

Seishu memuntahkan cairan ejakulasinya sekaligus, menyembur permukaan perutnya dan tangan Kokonoi. Napas Seishu tersengal dan tubuhnya semakin sensitif. Kokonoi mencabut jarinya dari liang Seishu dan berujar lembut.

“Bagus, Inupi.” ujarnya.

Seishu hanya terkulai lemas di atas ranjang, pemuda itu terlihat sangat panas dengan dada yang turun naik serta semburat merah merona di wajahnya, dan jangan lupakan tanda kemerahan yang menghias sekujur tubuh Seishu. Kokonoi akan mengabadikan momen ini dalam benaknya seumur hidup.

“Mau langsung ke intinya, Inupi?”

“Mau ... ” Vokalisasi pemuda itu sangat halus dan pelan.

Kokonoi bergerak menindih Seishu, bertumpu dengan tangannya yang berada di sisi kepala Seishu agar tubuhnya tak terjatuh menimpa Seishu. Kokonoi kembali mencumbu bilah bibir Seishu membuat Seishu terenyuh akan sikap lembut Kokonoi. Ia tak ingin menutup kelopak matanya, ia ingin melihat bagimana Kokonoi memagut bibirnya, netra kelamnya yang menyelami ke dalam netra safirnya. Baginya momen ini sangat menenangkan juga indah.

“Gue masukin, ya?”

“Iya.” Seishu sudah teramat yakin namun tak dapat dipungkiri bahwa ia merasa takut. Vokalisasinya menjadi gemetar.

Kokonoi mengarahkan ereksinya menuju lubang senggama Seishu yang telah basah akibat orgasme pertamanya. Segaris senyuman terpatri di wajah Kokonoi, pandangannya tak luput dari Seishu, sebab ia ingin selalu melihat sosok itu. Napas Seishu tercekat kala ujung ereksi Kokonoi telah tertanam di liangnya.

“Koko.”

“Kenapa, sayang?” Suara husky itu mengalun indah di rungunya.

“Kenapa di Bikini Bottom ada pantai? Terus, kenapa di Bikini Bottom bisa nyalain api unggun, logikannya aja Bikini Bottom ‘kan ada di dasar laut.”

Tiba-tiba Kokonoi bungkam dan diam seribu bahasa, ia tak melanjutkan ereksinya masuk ke dalam senggama Seishu, sedangkan si pemuda bersurai terang itu menatap Kokonoi dengan lamat.

“Inupi, anjing lo, jangan bikin gue turn off gara-gara lo nanya begitu.” Kokonoi berdecak kesal, sedangkan Seishu hanya terkekeh canggung.

“Gue tegang, anjing.”

“Ya, tapi gak begitu juga, lo bisa cium gue atau desahin nama gue daripada lo ngelantur hal yang gak jelas, yang ada kita berhenti nge-sex cuman gara-gara mikirin logika Bikini Bottom doang.”

“Maaf.”

Kokonoi membungkam sosok itu dengan ciumannya sembari menuntut ereksinya untuk masuk jauh lebih dalam. Tubuh Seishu spontan bergerak gusar dan menarik dirinya untuk melepas ciuman Kokonoi, pemuda itu melenguh kala ereksi Kokonoi hampir masuk keseluruhan. Sekali hentakan Kokonoi lakukan agar seluruh miliknya bisa masuk ke dalam lubang Seishu. Pemuda itu langsung mendesah nyaring karena rasa sakit yang menjalar naik, rasanya ngilu tapi masih terasa nikmat.

“Sabar, ya? Rasanya emang begitu.” Kokonoi mengusak surai Seishu yang berantakan dan mencium kening sang submisif dengan lembut seolah-olah Seishu ialah barang mudah pecah yang harus dijaga dengan baik.

Mmh ... ”

...

Keduanya kini sama-sama mengejar hasrat berahi, dengan posisi Seishu berada di atas meja rias dan Kokonoi berdiri untuk membidiknya. Seishu berpegangan dengan sisi meja agar tubuhnya tak tumbang akibat gerakan piston Kokonoi. Salah satu tangan Kokonoi menangkup dada Seishu, pinggulnya menghentak kuat titik ekstasinya. Menghujam Seishu seolah tak ada lagi hari esok bagi mereka.

“Koko, ah!” Seishu terus-menerus melafalkan nama Kokonoi di sela-sela desahannya, sedangkan Kokonoi merapalkan kalimat-kalimat pujian yang tertuju kepada Seishu.

“Lubang lo tiada tandingnya, Inupi. It holds me so tight, served mine so well. Inupi, I love it when we have sex like this. You’re so beautiful, no one looks flawless as you. You’re the one and only who makes me like this. Inupi, my little one, do come out for me. Show up to the world that you’re even begging for a cock.

Oh, Seishu langsung semakin bergairah, ia bergerak berlawanan dengan gerakan rancu Kokonoi. Ia telah meninggalkan rasa sakit yang ia dera di bagian awal, sekarang yang ia rasakan ialah perasaan gandrung yang besar kepada sosok Kokonoi.

Ereksi Kokonoi mengenai prostatnya berulang kali dan kala itu terjadi segumpal renjana spontan mengisi lakuna di dalam diri serta hatinya. Seishu sangat menyukai bagaimana ereksi Kokonoi bergerak keluar masuk dari dalam lubang sempitnya.

Meja yang mereka tempati untuk bercinta, berderit dan menjadi saksi bisu atas dosa yang mereka lakukan. Seishu mengerang keras, senggama melahap ereksi Kokonoi habis. Kokonoi menggeram rendah sedangkan Seishu telah meracau.

“Koko, mau keluar!” serunya.

“Keluarin sekarang, sayang.”

Gerakan Kokonoi itu brutal dan rancu, tak ada celah sedikit pun bahkan untuk bernapas saja terasa sulit dilakukan. Hentakan demi hentakan Seishu terima di lubang senggamanya. Kokonoi berangsur mendekat ke leher jenjang Seishu yang telah dilukis tanda kepemilikan.

Ssh ... Koko.”

Come out, Inupi.”

Selang beberapa menit kemudian, Seishu menuju ke puncak putihnya dan mengeluarkan cairan ejakulasinya yang membasahi tubuh mereka berdua. Kokonoi masih bergerak untuk mengejar puncaknya. Seishu mengalungkan tangannya pada leher Kokonoi, tanpa ia sadari kuku-kukunya menancap pada punggung Kokonoi.

Fuck you, Inupi.”

Yaash, fuck me, Koko!”

Tiga hentakan terakhir membuat Kokonoi sampai menuju dunia putihnya. Mengeluarkan seluruh cairannya di dalam kondom yang ia kenakan. Ia menumpukan kepalanya di atas bahu Seishu. Keduanya sama-sama menetralisasikan napas mereka yang tersengal, baik Kokonoi maupu. Seishu merasakan adanya debaran anomali yang muncul dan berdebar tak biasanya.

Pikirannya melambung jauh dan membuatnya terkekeh mengingat adegan-adegan yang mereka lakukan beberapa jam yang lalu. Kokonoi mendekap tubuh basah Seishu, membubuhkan kecupan lembut di atas bahu Seishu. Rasanya saat ini Kokonou terpikat pesona si pemuda bersurai terang ini. Ia tak akan menampik perasaan itu.

“Koko.”

“Hm?” Kokonoi berdehem dan tak ingin melonggarkan pelukan mereka.

“Ternyata nge-sex itu seenak ini, kenapa gak dari awal kita ngelakuinnya?”

“Yaudah, gimana kalo mulai dari sekarang kita ngelakuin ini? Kita bakal sering nge-sex bareng.” tawar pemuda bersurai hitam. Seishu membelalakkan matanya bahagia, tentu ia akan menyejutujui hal itu.

“Mau!”

Kret.

Kokonoi dan Seishu menoleh ke sumber suara dan mereka terperanjat ketika mendapati Akane yang masuk ke dalam kamar mereka. Ah, sial. Seishu merutuki dirinya karena lupa mengunci pintu dan tak mengingat sebuah fakta bahwa hari ini hari kepulangan Akane dari kegiatannya. Dalam posisi ini; Kokonoi yang masih menancapkan ereksinya di senggama Seishu dan tubuh mereka yang polos tanpa sehelai benang pun. Akane mengangkat wajahnya dengan niat menyapa si bungsu, namun tiba-tiba wajahnya berubah pias dan lidahnya kelu tuk berucap.

“KOKO? SEISHU?”

Fuck, malah keliatan kak Akane.”

[]

Explicit sexual content, dom/sub, boys love, anal sex, overstimulation, profanities, praise-kink, doll & dog calling, blow-job, hand-job, fingering, grinding, dry-humping, multiple orgasms, breeding, humiliation.

Paras molek yang dihias begitu elok, ranum yang dipoles dengan corak kemerahan. Surai panjang disugar dengan rapi. Liuk badan yang dibaluti kain kemewahan.

Seishu Inui nampaknya harus melontarkan kalimat terima kasih yang besar untuk kekasih Draken yang meminjamkan pakaiannya kepada dirinya. Kontras dikara yang tersorot di dirinya pada saat ini. Sesuai janji yang telah ia tepati pada sang pelanggan pertamanya, malam ini ia harus rela melucuti kehormatannya demi setumpuk uang. Tak ada rasa sesal yang terselip, ia terlampau yakin.

Derap stiletto yang bertemu dengan lantai dingin menggema di seluruh penjuru lorong hotel. Inui menarik napas panjang, lalu menghembuskan udara dengan pelan. Sekali lagi, tak ada perasaan sesal pada dirinya, selain rasa gugup yang mendera.

Calm down, Seishu.” monolog sang pemuda bersurai terang.

501.

Nomor ruangan yang diberikan oleh resepsionis yang menyambut kedatangannya dengan sambutan hangat, seolah telah didikte sang pemimpin untuk menjamunya dengan baik. Tercetak kekaguman di wajah bersemunya, seseorang itu begitu besar di banding dengan seenggok dirinya ini. Ia tak percaya diri, namun tak ada jalan untuk melangkah mundur. Ia telah bertekad untuk melakukan ini demi sebongkah harapan di masa depan. Saat ini hanya Inui inginkan adalah power untuk bertahan hidup, di masa saat ini power yang dimaksud adalah angka yang tercetak di atas kertas.

Tungkainya lantas terhenti di depan pintu mewah berlapis mahoni yang berwarna iboni. Inui menegak liurnya susah payah, tersampir perasaan risau yang membuncah. Namun, langkahnya tak kian terhenti juga, tangannya terangkah meraih kenop pintu yang bersinar kilau menandakan bahwa kenop tersebut kemungkinan dilapisi oleh perak.

Suara derit pintu tersebar ke seluruh penjuru ruangan, Inui mengedarkan pandangannya menyapu seisi ruangan yang nampak teramat bersih dan tentunya didesain oleh goresan tangan-tangan piawai, terkesan mewah dan juga indah. Si pemuda bersurai terang mendapati presensi lainnya yang duduk di atas sofa bercorak hitam legam sembari menyalai batang cerutunya dan melipat kakinya.

Kepulan asap pertama kali menyapa kehadiran Inui di dalam ruangan tersebut. Lidahnya kelu tak mampu merapal kata, netranya langsung menunduk pada sang tuan yang memoarkan aura dominasi yang besar kepadanya. Pikirnya, ia harus patuh kepada sang tuan.

“Inupi.” pungkas pemuda bersurai hitam, vokalisasi yang rendah dan netra yang tajam, di sana jelas tercipta harum kesempurnaan yang ada pada pemuda itu.

“Ya?” Inui tak terbata, namun vokalisasinya tak mampu menghasilkan suara yang lebih besar. Jiwa dan raganya seakan tertunduk.

Get a seat here.” titahnya mutlak. Jelas tak ada penolakan dan pengulangan, Inui bergerak maju mendekati sang tuan, saat hendak mendaratkan badannya di samping sang tuan, ia berujar. “Di atas saya, Inupi. Di atas pangkuan saya, di sini.”

Degub jantungnya bekerja ekstra daripada biasanya, ia sempat menelan dalam-dalam keraguannya dan bergerak kaku untuk mendaratkan seluruh bebannya di atas paha kekar yang tercetak di balutan benang mahal yang membaluti tubuhnya. Bak seorang piawai, kedua tangannya tersampir di atas tegapnya bahu sang tuan. Pembuluh nampak tegang di wajahnya, Kokonoi menarik sudut bibirnya ke atas, membubuhkan kecupan lembut di atas hidung bangir milik Inui.

“Jangan tegang, Inupi. Seharusnya yang tegang itu di bawa sini.” racaunya, menyesap kuat cerutunya yang membakar tembakau, sengap yang Inui rasakan.

Sorry.”

Nevermind, ini pertama kalinya, 'kan?”

Inui mengangguk tanpa memberikan jawaban verbal. Wajahnya terhias semburat merah, muncul tanpa tahu malu. Harum yang memoar dari tubuh Kokonoi membuatnya candu untuk menghirup bau itu lebih lama lagi, perlahan Inui mendekatkan tubuhnya pada dada bidang Kokonoi sehingga jarak antar keduanya semakin menipis. Salah satu tangan Kokonoi merambat naik mengusap pinggang sempitnya, lembut dari usapan Kokonoi membuat tubuhnya sontak menegang walau ada buntalan kain yang membatasi sentuhan mereka.

“Saya tentunya gak akan menyesal karena sudah membeli kamu malam ini. Kamu sangat cantik, Inupi. Pantas untuk memuaskan nafsu binatang saya.” ucapnya sensual, usapan demi usapan tertoreh di pinggang hingga bongkahan miliknya. Inui tertegun, tanpa sadar menggerakan tubuhnya gusar di atas Kokonoi. “Walaupun ini pertama kalinya untukmu, saya gak akan membatasi diri, karena saya telak sudah membeli kamu. Mau tak mau kamu harus mengikutinya.” sambung si pemuda bersurai gelap itu.

I know it right, Inupi is supposed to follow his master’s obsecration, isn’t he?

Sumpah demi dewa siapapun yang telah mengirim Inui padanya hari ini, Kokonoi ingin bersujud di atas telapak kaki Inui, suara lembut itu membakar birahinya serta membawanya ke ilalang buana. Kokonoi mematikan batang cerutunya yang masih tersisa setengah, memagut daging kenyal ranum kemerahan milik si dewa, memuja Inui sehingga menimbulkan balada.

Shrewd submissive you are.” Lagi, Kokonoi menjajah bibirnya seolah kecanduan. Inui merasa euforia berterbangan melalui perutnya. Ia memuji betapa indahnya bibir Kokonoi saat berjumpa dengan lembut bibirnya.

“Inupi likes to be praised.” balasnya.

Kecupan turun pada area leher jenjengnya, membubuhkan kecupan kupu-kupu dan merubahnya menjadi tanda kepemilikan. Kokonoi ingin seluruh dunia tahu bahwa barang sebagus Inui ialah miliknya, ia harus melabelinya dengan gigitan yang menciptkan ruam kemerahan. Inui melenguh rendah, kepalan tangannya semakin erat di atas pundak Kokonoi. Sang submisif memberi sinyal bahwa ia teramat menyukai perlakuannya itu.

Setidaknya ada empat sampai lima tanda yang tertoreh di kanvas putih porselen milik Inui, teramat kontras denga warna kulitnya. Kokonoi mengecup tandanya berulang kali, “tanda kepemilikan.” gumamnya mengagumi dengan penuh hasil karyanya malam ini.

Inui menatap netra kembar Kokonoi dan lantas sang tuan membalas tatapannya, tak ada juntaian kalimat yang terucap, mereka hanya saling bersitatap. Akan tetapi, tangan Kokonoi bekerja secara seduktif di bawah sana, mengusap ereksi Inui yang masih terbungkus celana, bongkahan sintal yang merengek untuk dijamah. Inui menggigit bibir bawahnya menahan lenguhan, ia begitu patuh pada sang tuan; sebab Kokonoi tak memintanya untuk berucap maka dari itu dirinya membisu.

Pemuda bersurai hitam itu menampar pipi bokong Inui dengan cukup keras sehingga menghasikan suara yang nyaring, Inui yang berada di atas pangkuannya terjengit.

“Keluarin desahanmu, Inupi. Kamu gak bisu, ‘kan? Mulutmu masih berfungsi sewajarnya, bukan? Apa mulutmu sudah gak mampu melalukan apa-apa selain menyumpal kepemilikan orang lain?” Sarkastik, namun menyulut api birahi di dalam tubuh Inui.

Tanpa ditatar dua kali, Inui langsung melolongkan desahan yang sempat tertahn di dadanya. Desahan nyaring yang masih malu-malu kali Kokonoi menggesekan batang ereksi mereka, Kokonoi kembali menyambar bibirnya untuk melakukan sebuah ciuman. Inui seorang piawai, Kokonoi mengakui itu. Walau mereka hanya bertemu sekitar beberapa menit yang lalu, Inui telah mampu mengimbangi permainannya. Lidahnya yang bergerak lincah di dalam rongga mulut Kokonoi, sengaja terlebih dahulu mengait lidah sang tuan. Inui bergerak rancu dan Kokonoi yang menjadi pemicu. Inui menggesekan bokongnya di atas kelamin Kokonoi, rasanya begitu menikmati pikirnya.

“Sudah gak sabar, Inupi?” Kokonoi melepaskan cumbuan mereka yang dihadiahi kekecewaan oleh Inui.

Teach me how to make out, Ko—”

Sir. Saya di sini bukan sebagai kerabat kamu, saya tuan kamu, Inupi. Tuan yang akan mengajarimu bagaimana nikmatnya bercinta dan tuanmu tak senang sekali pada seseorang yang tidak penurut. Mengerti, slave?” Intonasi Kokonoi secara tiba-tiba berubah. Dalam dan begitu menusuk. Inui menunduk takut, ia mengangguk menuruti perintah.

“I-Iya ... “

Kokonoi melonggarkan dasi hitam yang ia kenakam dan sengaja menanggalkannya. Inui tertegun mendapati betapa indahnya sosok yang menjadi tuannya malam ini. Inui bersumpah tak akan pernah menyesali pilihannya untuk menjadi salah satu pekerja di rumah bordil, sebab sebuah keberuntungan baginya untuk menjadi salah satu pemuas nafsu melayani seorang Kokonoi; oh dia pemuda yang tampan dan sangat panas.

“Lepasin baju saya, Inupi.” titahnya.

Inui langsung bergerak dengan senang hati untuk melepaskan pengait kemeja Kokonoi satu persatu. Tangannya bergetar dan tubuhnya semakin panas, badan kekar dan dada bidang Kokonoi terekspos begitu saja kala kemeja mewah itu tanggal dari tubuhnya. Inui menjulur lidah, Kokonoi memang sosok yang sempurna. Ingin sekali tangannya menyentuh tubuh itu dan menjilatinya bak anjing liar.

Can I feel them?” sambar Inui dengan pertanyaan penuh keyakinan.

“Tentu, sayang. Milikku juga milikmu, lakukan apapun yang kamu mau tapi selalu kamu torehkan di dalam kepalamu, Inupi. Kamu akan selalu berada di bawah kekuasaanku. Patuh dan tanpa mengeluh.” Kokonoi mengecup bibirnya lagi, Inui merasakan jantungnya berdebar cepat.

Oh, ayolah. Siapapun pasti akan luluh-lantah bertekuk lutut di bawah Kokonoi jikalau Kokonoi memperlakukan lawannya dengan sangat lembut dan hati-hati.

Be naked for me, Inupi.” Kata yang penuh penekanan dari Kokonoi. Inui melucuti potongan pakaian yang membaluti tubuhnya. Feromon yang dihantarkan oleh Kokonoi begitu kuat dan teramat mengikat.

Lantas, Inui telah seluruhnya lolos dari sehelai benang. Semu kemerahan berseri di wajah indahnya, Kokonoi berdecak kagum dengan apa yang Inui miliki di tubuhnya.

“Indah, kamu bener-bener indah, Inupi. Jadi milik saya selamanya, Inupi. Mengangkang hanya demi saya seorang, desahkan nama saya dengan lantang agar semua orang tahu bahwa hanya saya yang mampu membuat kamu gila dan haus nafsu. Inupi, tolong hidup untuk saya nikmati.” Kokonoi meracau dengan tangannya yang menggerayangi seluk-beluk tubuh Inui. Jarinya menyapa lubang senggama Inui yang berkedut juga basah.

Untaian kalimat itu justru semakin memacu Inui untuk bergerak, ia semakin menggesekan miliknya dengan ereksi Koko yang nampak menegang di balik balutan kain tersebut. “Sir, saya memang hanya dinikmati untuk Anda.” balasnya.

Kokonoi mengukir garis senyuman, ia memajukkan wajahnya agar sejajar dengan dada Inui. Tanpa menunggu lagi, Kokonoi memasukkan puting dada Inui ke dalam mulutnya dan di bawah sana tangannya bergerak memanjakan lubang serta dua bongkahan sintal tersebut. Inui menggenggam kepalan tangannya erat. Ia tak akan menahan diri, Inui tahu bahwa Kokonoi ingin mendengar desahannya.

Sir ... ssh!

Inui semakin kalang kabut kala satu digit panjang Kokonoi melesak masuk ke dalam lubangnya yang sensitif. Tentu bagi seorang pemula seperti dirinya kesusahan untuk menerima jari Kokonoi masuk ke dalam. Salah satu tangan Kokonoi mengusap punggung polosnya, menghantar kehangatan agar Inui bisa lebih tenang.

“Ini akan sedikit menyakitkan, Inupi, tapi saya harap kamu bisa menahannya.”

“Iya, masukin aja ... “

Kokonoi memainkan lidahnya di sekitar puting Inui, menjilati puting kemerahan itu bak permen manis yang ia sukai, menjilatinya seduktif sebelum memasukkannya ke dalam mulut Kononoi. Inui dibuat kepalang, semua titik sensitifnya dimainkan oleh Kokonoi tanpa celah sedikit pun. Jari tengah Kokonoi berhasil menerobos masuk ke dalam lubang senggamanya, Inui menggerakan pinggulnya maju dan mundur ingin segera meraih kenikmatan tiada tara.

Walau Kokonoi hanya menggunakan satu digitnya di dalam lubang Inui, baginya itu sudah teramat memuaskan apalagi saat ini jari telunjuknya Kokonoi melesak masuk untuk ikut serta merasakan kehangatan yang diberikan oleh lubang basah Inui.

Inui terperanjat, kini netranya terbuka dan bersitubruk dengan tatapan tajam Kokonoi. Pemuda itu seolah bangga dengan apa yang ia lakukan saat ini.

S-Sir ... “

“Di sini, Inupi?” Kedua jari Kokonoi berhasil menyundul titik sensitifnya dan menghantar gelombang nikmat hingga ke jantungnya. Inui mengangguk mengindahkannya. Lantas, Kokonoi langsung bergerak rancu dan beberapa kali mengenai titik sensitifnya.

“Di sana! Koko, please—

Koko langsung mencabut kedua jarinya keluar dari dalam lubang senggama Inui, ia berdecak dan menatap Inui tajam.

“Koko?” dengus Kokonoi tak suka.

Seolah telah sadar apa yang baru saja ia lakukan, Inui langsung membungkam mulutnya, takut jikalau Kokonoi tak menyukai perbuatannya barusan.

Sir or Koko, which one do you like the most?” tanya sang tuan.

“B-Boleh jujur?”

Kokonoi mengecup bibirnya lagi, tangannya menjajah kedua bongkahan sintal Inui. “Tentu, my dear Inupi.”

“Koko, lebih suka Koko. Mau desahin nama Koko dengan nyaring agar semua orang tahu kalau Inupi rela membuang seluruh egonya di bawah tanah untuk menggapai langit bareng Koko. Koko, I want you so bad, it's the first time to me but I won't ever regret so. Please be telling me how wonderful is that to have sex with you, because I just want your cock, want your fucking mouth to destroy me in a kiss, please send me to the heaven and fall down to the hell with you. Koko, please? My mind full of sex, sex, and sex.

Kokonoi terkesiap, terbesit kekaguman di wajahnya karena dirinya mampu membuat Inui telah berada di bawah kukungannya. Seorang pemuda polos yang pada akhirnya hanya mampu memohon untuk dihancurkan dan disetubuhi. Ke mana hilangnya sosok lugu itu? Saat ini Inui berubah menjadi anjing liar yang terbakar hawa nafsu. Kokonoi melepaskan gasper miliknya dan membuangnya sembarang. Miliknya merengek untuk segera diloloskan. Ia tahu bahwa ereksinya butuh tempat yang pantas saat ini.

Mungkin jikalau di hadapannya bukanlah sosok Inui, maka tak segan-segan Kokonoi menendangnya keluar sebab dirinya tak sudi bermain dengan jalang murahan yang terlalu monoton dan terkabut nafsu menjijikkan demi kepuasannya sendiri. Tak penurut dan membosankan. Namun, ia membuang itu semua, justru ia merasa senang kala Inui bertingkah seperti ini.

“Anjing yang pintar, Inupi. Jutaan maupun milyaran dolar akan saya keluarkan untuk membeli kamu, Inupi. Uang hanyalah angka, sedangkan kamu barang langka.” Kokonoi kembali melesakkan dua digit panjangnya menusuk senggama Inui yang basah, air liur berjatuhan dari sudut bibirnya. Menggiurkan baginya.

Fuck!

Tusukan demi tusukan di lubang senggama yang sempit serta lantunan desahan bak melodi yang menggema berbait. Kokonoi menjarahkan benda basah tak bertulang di atas permukaan dada Inui, menorehkan sebanyak mungkin tanda kepemilikan. Sepasang netra indah tertutup rapat, tak mampu berpikir rasional selain meliuk bak piawai binal. Inui telak terperunggu dalam juntaian utas hasrat sukma.

Senantiasa jemari panjang itu membawa Inui menelaah angkasa. Mengantarnya ke suatu tempat antah berantah yang membuatnya menjadi seorang bedebah. Cukup baginya untuk menahan sesuatu yang bergejolak di area vitalnya, Inui mencengkram bahu Kokonoi makin erat kala gerakan jarinya semakin kuat. Kokonoi terlampau sadar jikalau anjing pintarnya hendak menuju dunia putihnya, maka dari itu gerakan Kokonoi semakin tak beraturan. Selang beberapa menit kemudian Inui memuntahkan seluruh putihnya hingga mengotori perut keduanya.

Kokonoi lantas takjub.

“Inupi, kamu sangat-sangat mengagumkan. You just came out because of me, sangat pintar dan penurut.” Kokonoi menarik jarinya ke luar dari dinding rektum yang menjepit kedua jarinya, tangannya membelai bongkahan Inui hingga ke atas pucuk kepalanya, “sekarang menunduk di bawahku, sayang. My Koko deserves his contentment too. Kulum, Inupi.”

Huum.

Inui bergerak turun dari atas dominasi sang tuan, bertekuk lutut di hadapan kaki jenjang Kokonoi yang terbuka lebar. Kokonoi memandangi panorama citra penuh harsa yang tergambar di bawahnya, Inui bak vista terindah yang pernah Kokonoi jumpai selama hidupnya. Kulit sehalus porselen, putih bak kanvas. Baginya sosok Inui telah menekan batas kesempurnaan.

Saat tangan mungkin itu hendak menyentuh pengait celananya, Kokonoi menginterupsi, “pakai gigitmu, Inupi. Gunakan mulutmu dengan baik selain menggerungkan desahan.”

Inui terperanjat, intonasi rendah itu telak menghantam keberaniannya. Inui bertumpu tangan pada paha kekar Kokonoi, mendekatkan wajahnya pada pengait celana milik Kokonoi. Menurunkan ritsleting itu menggunakan gigit serta dua bilah bibirnya. Tangannya terangkat menurunkan celana Kokonoi hingga tanggal. Inui sempat tertegun menengok pada ukuran kejantanan Kokonoi.

Luar biasa.

Ia bergidik jua, ujung ereksi Kokonoi tertanam suatu benda yang mengerlap menyapa netranya. Sebuah tindikan berlapis perak, Inui tahu bahwa itu ialah; apadravya. Lantas, Inui semakin terpukau dengan sosok Kokonoi yang luar biasa panas. Membayangkan benda perak itu menusuk lubangnya dengan hebat membuatnya jatuh kepayang.

Lidahnya sedikit kelu namun tak membuatnya bergerak kaku.

Apadravya?” gumam Inui sedari melempar pandangan pada benda tersebut.

“Tingkat kesakitannya saat itu 80%, namun siapa peduli? Apadravya ini memuaskan, Inupi. Setelah ini kamu pasti merasakannya.” jawabnya santai.

Raganya sangat tertantang, maka Inui langsung memasukkan batang ereksi Kokonoi ke dalam mulutnya, seolah tengah memasukkan jiwa Kokonoi dalam dunia fatamorgana. Benda runcing bak timah panas yang menghunus rongga mulutnya. Lidahnya bergerak lincah memuja ereksi Kokonoi dari bagian terbawah sampai ke bagian atas, apadravya-nya menyapa Inui.

Inui melenguh suka dengan benda asing yang menjejal mulutnya, Kokonoi menggerakan kepala Inui agar ereksinya bergerak keluar masuk di dalam mulut surgawi Inui. Kokonoi menggeram rendah, mulut Inui memang pas untuk menjamu kejantanannya. Benda dingin itu menusuk tenggorokannya, Inui rasanya ingin muntah akan tetapi ia tak menampik bahwa melakukan hal ini bukan suatu yang buruk.

Suck it deep, Inupi. Ini perintah mutlak, buat saya keluar dengan mulutmu, saya akan sangat merasa bangga kalau kamu bisa membuat saya terpuaskan. Do it more and more, Inupi. My cock is yours, so suck it like a lollipop until you can't breath, your mind is blank unless my cock.

Kalimat pemacu, Inui semakin terbakar api semangat menyumpal seisi mulutnya dengan ereksi Kokonoi. Lututnya mulai gemetar yang menimbukan ribuan mawar mekar di relung jiwanya. Lidah yang menyapu batang ereksi, juntaian liur yang berjatuhan dari sudut bibir, mulut yang bergerak keluar-masuk. Panorama terindah itu berlangsung kian lama, sebab Kokonoi tak kunjung menunjukkan putihnya.

Mmh!

“Yang benar, Inupi.”

Semakin apadravya itu mengenai titik tenggorokannya, jalur pernapasan semakin menyempit. Ia tak ingin berhenti di waktu ini, ia ingin membuktikan bahwa dirinya juga mampu membuat Kokonoi keluar.

“Masih sanggup mengulum punya saya, cantik? Kamu mulai haus, ‘kan? Kulum lebih dalam, Inupi, buat saya keluar untuk mengisi rasa dahagamu.” Kokonoi memacunya lagi. Memang anjing yang terlatih, Inui memaju-mundurkan kepalanya lebih cepat, abai dengan sesak di dadanya demi titah Kokonoi yang mendesak. Intinya, ia harus bisa membuat Kokonoi keluar di mulutnya.

“Sedikit lagi, sayang.” Kokonoi menggeram, tangannya mengepal surai cerah Inui. “Shit!

Kokonoi menahan tengkuk Inui agar miliknya tertanam sepenuhnya di mulut Inui, si pemuda bersurai manis gelagapan karena dadanya kian sengap, lalu Kokonoi mengeluarkan cairan putihnya secara langsung di dalam tenggorokan Inui, membuat pemuda itu tersedak. Kokonoi menarik miliknya keluar dari mulut surgawi itu, menyapu jejak putihnya di sudut bibir Inui. Secarik seringaian terpoles di wajah Kokonoi, ia merasa bangga.

“Inupi, saya bangga sama kamu. Merasa lebih baik, sayang? Sekarang dahaganya sudah hilang karena sudah menelan cairan milik saya. Hebat, Inupi.” Pujiaan itu membuat Inui tersipu.

“Seneng ... seneng karena bisa buat Koko keluarin cairannya di sini.” ujarnya dengan lembut. Inui menunjuk lidahnya yang masih meninggalkan acap aneh dari cairan yang keluar dari milik Kokonoi.

“Mengangkang di atas ranjang, Inui. Sudah cukup untuk bermainnya.” pinta sang dominan secara mutlak.

Dengan langkah tertatih, Inui menuju ranjang besar yang spreinya masih tertata apik. Inui merebahan punggungnya di atas sana dan langsung membuka kedua pahanya ke berlawanan arah. Kokonoi menyusulnya, sosok tegap itu masih berdiri menatapnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dalam posisi seperti ini, Inui merasa dirinya terbenam rikuh. Kokonoi merambat naik mengukung dirinya.

Tak ada jarak yang membatasi mereka, ereksi Kokonoi telak mengenai ereksinya. Ibarat bedebah yang haus akan sentuhan, Inui menggesekkan miliknya dengan milik.Kokonoi, tak sabaran. Sensasi nikmat menyambar dirinya. Kokonoi hanya diam tak kunjung bersuara, menatap sosok ringkih di bawahnya dengan leluasa. Menelaah setiap inchi yang tertoreh pada Inui.

“Sudah gak tahan, Inupi? Lubang kamu selalu haus akan milik saya, ya?” Kokonoi membelai pipi mulus itu lembut.

“I-Iya ... mau secepatnya ngerasain punya Koko di dalam sana.”

Brat.”

Kokonoi menjarah bilah bibir ranum itu dengan ciuman intens sembari menuntun kepemilikannya ke dalam lubang senggama si pemuda bersurai cerah. Terbesit rasa takut pada Kokonoi karena menjadi orang pertama yang akan menghancurkan boneka sempurna ini. Lantas mengapa dirinya berubah dalam sekejap ketika bersama dengan Inui. Ia lebih banyak menorehkan perhatian pada sosok ini.

Kokonoi perlahan melesakkan miliknya untuk masuk ke dalam lubang senggama yang bekedut itu, Inui tak sengaja menggigit bilah bibir bawahnya karena terkejut dengan kegiatan Kokonoi. Inui meringis pelan, ngilu yang efemeral tercipta di lubangnya. Kokonoi mengecup leher jenjangnya.

“Tahan.” ucapnya.

Shh ... sakit.”

Ujung benda dari apadravya itu mengenai dinding rektumnya, rasa dingin dari benda terbalut perak itu sedikit membuatnya tenang. Kokonoi tak bergerak gegabah, ia melakukannya secara hati-hati agar Inui tak hancur dalam sekejap. Kokonoi terus-menerus merapalkan pujian pada sosok manis di bawahnya. Lalu, Kokonoi menghentak pinggulnya lebih cepat agar miliknya tertanam sepenuhnya di lubang Inui. Tak menampik rasa sakit yang mendera, Inui meneteskan air matanya.

I’m sorry, little doll, but I have to do this. Saya jamin akan terganti dengan rasa nikmat. Tahan sebentar lagi, ya, Inupi?”

Kokonoi menyapu air mata yang tertinggal di sudut netra Inui, ia masih belum bergerak supaya Inui bisa membiasakan kehadirannya di dalam lubangnya. Inui merengkuh erat tubuh Kokonoi, sedangkan kedua tangan Kokonoi bertumpu di samping kepala Inui.

“Koko, do it now ... “ titah sang submisif yang sudah yakin bahwa dia akan baik-baik saja walau Kokonoi akan menghancurkannya hingga berkeping.

I will.

Kokonoi menghentakkan pinggulnya rancu, tanpa celah sedetikpun, gerakan yang berkaru melepaskan hawa haru biru. Inui menutup sepasang netranya, membayangkan dunia fana di bawah sebuah delusi surgawi. Inui tak menyangka bahwa seks akan berakhiran semenakjubkan ini. Ia lantas tak menyesal.

Apadravya milik Kokonoi mengenai titik ekstasinya berulang kali. Ia mengerang tatkala apadravya itu menusuknya bak sebuah peluru yang siap menghunusnya. Raganya terkulai di bawah kukungan besar Kokonoi. Pemuda bersurai hitam itu selalu mengedarkan pandangannya tak luput pada sosok sempurna yang memohon di bawahnya.

“K-Koko ... “

Damn, Inupi. I didn't think that you were the paradise I was looking for.”

Gerakan Kokonoi yang berantakan telak menghantam lubang senggama Inui, ia tak berniat memelankan gerakannya sama sekali, sejak dari awal Kokonoi seperti berniat untuk menghancurkan Inui, mentinta kejadian malam ini secara permanen di dalam otak Inui. Mendokumentasikan bahwa Kokonoi lah yang mampu membuat sosok Inui porak-poranda dan luluh-lantah.

Aah ... “

“Inupi.” Kokonoi membisikkan nama sang anjing pemeliharaan tepat di cupingnya, dengan intonasi vokal yang rendah.

“Koko ... I won't regret.”

Me either.”

Cumbuan menjadi penutup pembicaraan mereka, kala pinggul Kokonoi menghajar lubang senggama Inui habis-habisan, lidahnya menjarah seisi mulut Inui dan turun memanjakan area dada Inui. Masih kurang baginya tanda di dada Inui, makanya Kokonoi membuat lukisan baru di atas kanvas Inui.

Sentakan brutal itu bertahan dalam kurun waktu 30 menit, membuat Inui sangat kewalahan. Bahkan dirinya pun tak kunjung untuk datang, tanda yang kentara kontras di sekujur tubuh Inui membuat Kokonoi terpacu berahi. Tungkai Inui bergetar hebat dan ereksinya pun ikut menjulang melawan gravitasi.

“Koko ... mau keluar ... “

“Bareng sama saya, Inupi.”

Ah!

Desahan Inui semakin menggema mengisi ruang hampa, diiringi dengan suara tamparan badan mereka yang bertemu. Tak lama kemudian, batang ereksi Inui mulai mengeluarkan cairan pra-ejakulasi sebelum memuntahkan seluruh cairan putihnya membasahi sprei dan tubuh Kokonoi. Namun, saat ini Kokonoi masih belum keluar. Masa keluarnya membuat lubang Inui semakin sensitif, ia membusungkan dadanya dilanda kenikmatan tiada tara.

“Inupi, tampung milik saya agar kamu sepenuhnya bisa menjadi milik saya.”

I want it, Koko ... mmh.”

Tiga hentakan terakhir berhasil membuat Kokonoi mengluarkan cairan ejakulasinya di dalam lubang senggama Inui. Rasa hangat dari cairan itu begitu kentara di lubangnya, menyesap seluruh cairan itu ke dalam raganya. Kokonoi maupun Inui sama-sama menetralisasikan napasnya yang menipis. Kokonoi masih menatap sang dewa sempurna, memuja pahatan indah itu di dalam relung hatinya.

“Inupi.”

Inui memiringkan kepalanya sembari membuka mulutnya kecil, “hmm?

“Saya ingin memiliki kamu seutuhnya.”

Kokonoi membubuhkan ciuman kupu-kupu di atas pundak Inui dan wajahnya, sebelum mencumbu ranum itu. Inui terbelanga dengan juntaian kalimat yang dilontarkan oleh Kokonoi.

“Saya ingin kamu untuk memuaskan saya dan selamanya hanya untuk saya. Maka dari itu, saya mau memiliki kamu sepenuhnya, dari atas hingga kakimu akan jadi milik saya, Inupi.”

“Kenapa ... ?”

“Karena saya jatuh cinta pada sosok eminen dirimu.”

Menoreh puisi cinta dalam bentuk aksara, di balik bias-bias temaram yang dirundung kegelapan malam. Kokonoi mengikrarkan sumpah bahwa dirinya telak jatuh ke dalam lubuk asmara. Menaklukkan seluruh relung jiwa yang sukar pada sang loka, Inui.

end.

Explicit sexual content, overstimulation, face-fucking, hand-job, nipple play, profanities, orgasm delay/denial, fingering.

Presensi seseorang memoarkan dominasi yang kuat, mengambil seluruh atensi sehingga tak mampu mengeluarkan sepatah narasi. Napas tercekat bak ada sebuah tali yang mengikat lehernya erat. Menejerit walau tak ada rasa sakit, sirkulasi udara menipis yang menyosong kuat sebuah konstelasi. Ia berlutut pada pahatan manusia yang sempurna sehingga menuntut dirinya untuk meraih ampunan dibalik kenikmatan.

Berkelana di langit fatamorgana, mendorong euforia serta sempena untuknya. Bukankah ini terlalu berlebihan? Memuji sosok itu, tetapi terkesan memujanya. Akankah ia memang terlarut dalam ombak obsesi? Ia pun tak tahu.

...

You’re drop-dead gorgeous woman ever.

Stop praising me, Sukuna.”

You deserve to be flattered.

You want my service, aren’t you? Just say it directly that you want sex.

Pemuda bersurai yang mencuat, tubuh kekar yang mampu menghancurkan siapapun dalam sekejap kala bertukar pandang dengan dirinya. Ia sungguh pemuda yang dipoles dengan sempurna, setiap inchi tubuhnya begitu indah. Netra rubi yang menyala bak surya bara neraka. Dia adalah pujaan hatiku, pemuda yang selalu haus akan permainan tubuh. Memuaskan hasrat liarnya pada tubuh ringkihku ini. Sukuna selalu saja memakai tubuhku tatkala ia sedang menginginkannya. Lantas, apakah aku merasa keberatan dengan itu? Nyatanya tidak. Fantasi kami sangatlah liar saat sudah berada di atas ranjang. Saling mengejar friksi dan tak hanya berupa delusi.

Aku hanyalah wanita pendosa yang dengan suka hati mengangkang untuk priaku. Menerima setiap sentakannya di dalam pusat tubuhku. Mengulang kembali cuplikan-cuplikan itu di dalam kepala membuat diriku ingin melakukannya sekali lagi, oh tidak, aku ingin selalu melakukannya berkali-kali atau bahkan ribuan kali, asal bersama Sukuna.

Kami baru saja mengeluarkan cairan ejakulasi yang pertama akan tetapi bagi Sukuna, sekali tidaklah cukup. Maupun diriku juga masih menginginkannya lagi. Aku bukan wanita suci yang akan berseri ketika kekasihku memberikan serangkai mawar merah, maka aku lebih memilih lidah Sukuna untuk menjarah. Aku bukan seorang piawai dalam hal memuaskan, namun dengan tubuh ini aku dapat merengkuh Sukuna untuk mecapai langit tertinggi kenikmatan.

“Lagi?” tanya Sukuna dengan suara yang rendah, bahkan hanya mendengar juntaian kalimat-kalimatnya yang terlontar mampu membuat kewanitaanku basah.

“Kamu gak akan puas hanya sekali.” jawabku lantang penuh kepercayaan diri.

Sukuna menyunggingkan seringai kemenangan, di atas ranjang sana ia bertumpu menggunakan kedua sikunya untuk tetap menaruh tatap kepadaku. Kejantanannya menegak lurus menerobos gravitasi, aku menggelinjang tak karuan. Ingin sekali rasanya menyesap batang keras itu menggunakan mulutku. Rupanya nafsu liar di dalam tubuhku mulai menunjukkan taringnya sedikit demi sedikit.

Show me how a stripper does. Be my private stripper tonight.” titahnya.

Pardon?

“Gak ada pengulangan, do it now.” mutlaknya seolah tak ada ampunan.

Aku mengulum bibirku agar senyumku tak merekah, menjadi penari untuk kekasihku bukanlah hal yang buruk. Aku handal dalam hal ini, aku handal menari di atas tubuh kekarnya saat miliknya menumbuk titik pusatku. Ini merupakan hal yang luar biasa. Namun, kali ini aku tak menari di atas tubuhnya. Aku mempertontonkan tubuhku telak di hadapannya.

Tubuhku meliuk-liuk bagaikan penari papan atas yang berpengalaman, tanpa sehelai benang pun yang terlilit di permukaan kulitku, aku menari dengan seduktif di hadapannya. Terkadang aku membuat suatu gerakan untuk menggodanya, seperti memainkan bokong sintalku atau memilin puting tegangku.

Sial. Aku merasa saat ini diriku adalah bedebah kecil yang baru saja dibayar oleh pemuda di atas ranjang sana untuk menjadi tontonan eksplisitnya. Namun, justru aku sangat menyukainya.

Aku menarik sebuah kursi dan duduk di sana, membuka lebar-lebar kedua pahaku untuk memperlihatkan lubang senggamaku yang berkedut lapar. Si bedebah ini memasukkan dua jarinya ke dalam mulut seraya melemparkan tatapan kepada Sukuna yang membungkam.

Fuck you, babe.

Don’t curse that such things, use your mouth to fuck me instead.” ucapku.

Sukuna berdecak dan masih memasang seringai di wajahnya, rahangnya mengeras. Ia benar-benar kubakar dengan birahi.

Aku memainkan kedua jariku di dalam mulut seolah sedang mengulum miliknya dengan lembut dan teratur. Sesekali aku melenguh untuk menggodanya. Merapalkan namanya di tengah-tengah kegiatanku. Netraku tak luput memandangnya, ia masih bertumpu dengan siku-sikunya, membiarkan tubuhnya bereaksi dengan sendirinya.

Fuck me, Sukuna, like you get used to do. Make this whore kneels down on your territory. Show me how good your service is, destroy me again. Don’t you want that?

Shit.

Aku tertawa pelan, melihatnya yang kacau-balau di atas ranjang sana. Hanya dengan melihat tubuhku saja, ia sudah menegang. Sebesar itukah dampakku kepadanya? Aku merasa sangat tersanjung. Aku membawa jariku yang basah dengan air liur menjalar ke bawah, di mana kewanitaanku berada. Mengusap labiaku yang dengan jari-jariku, menggodanya agar semakin menaikkan birahinya. Sukuna berdecak, ia menyapu pandangannya kepadaku dengan netra rubi menyalanya.

Aku merasa sangat panas saat ini.

Jariku terus memainkan area kewanitaanku, melenguh keras sebab permainanku sendiri. Sukuna menegak liurnya, nampaknya ia ingin sekali menyentuh tubuhku. Batinku tertawa melihatnya putus asa seperti itu. Aku membuat pola melingkar di sekitar lubang senggamaku, tak berniat sekalipun untuk memasukkannya. Tatapanku menyayu dengan mulut yang terbuka.

Get yours into me, Sukuna, because no one is really great at fuck me unless you.” Bibirku bergerak mengeluarkan kata yang bermaksud untuk menggodanya.

I’ll fuck you hard, babe. Don’t you even gripe to me.” ujarnya sarkastik.

I won’t.

Aku mengitari liangku dengan jari telunjukku, tak ingin menggunakan permainan tanganku sendiri untuk mengisi ruang hampa di bawah sana, sebab aku hanya menginginkan Sukuna untuk mengisinya, hanya Sukuna yang mampu membuatnya terbelah dan hancur.

“Masukan, bajingan.” gerutu Sukuna kesal.

“Gak akan.” Aku menampiknya.

You want me to fill yours up?” Ia bangkit dari posisinya dan berubah menjadi duduk di pinggir ranjang, jarak kami menipis sehingga ia bisa melihat seluruh tubuhku sepuasnya. Aku yang masih melebarkan paha di hadapannya menatapnya intens.

If only.” Aku mendorong dadanya dengan kakiku agar Sukuna kembali berbaring di atas ranjang, lantas aku segera bangkit untuk mengukung badan kekarnya.

Sukuna menyeringai dan tak lama kemudian menampar pipi bokongku dengan kencang. Oh, bahkan aku sangat yakin bahwa tamparannya akan meninggalkan bekas di sana. Aku menyunggingkan senyuman, tanpa didikte olehnya aku menarik kedua tangannya ke atas kepalanya menggunakan kedua tanganku, tubuhku terpaksa menurun sehingga napas kami saling bertukar.

Dari jarak seminim ini aku mampu menelisik ke dalam netra rubi itu, ia menaikkan sebelah alisnya ke atas.

Babe?” Tercipta kebingungan dari suara yang Sukuna lontarkan.

I’ll lead the game, so shut your fucking mouth, Ryomen Sukuna.” sahutku.

Bibirku bergerak di atas bibirnya, pergelangan tangannya kukunci menggunakan gumpalan tanganku yang kecil. Bibir kami saling bersentuhan, aku merasakan lidahnya menyapu bibirku. Lalu, Sukuna tersenyum miring.

Do it then.

I’ll show you that I’m the best girl you’ve ever met, you never disappoint to choose me as your bed-partner.

I know right, you’re the only one.

Aku mengikat kedua tangan Sukuna menggunakan dasi merah marun miliknya, bahkan ia tak memberontak sekalipun. Ia hanya menatapku sembari mengulum putingku yang berhadapan langsung dengan mulut bajingannya. Aku sempat melenguh sebelum melanjutkan kegiatanku untuk menguci pergerakannya. Sukuna menggerus putingku dengan benda basah miliknya. Saat ini tangannya tak akan berfungsi leluasa, lalu ia menggantinya dengan mulutnya sendiri.

Fuck!” Aku menggeram nyaring.

“Ayo lakuin cepetan.” titahnya mutlak.

Walau kini aku yang memimpin permainan ranjang kami, aku tetap tak mampu menolak permintaan mutlaknya. Sukuna meninggalkan bekas kemerahan di buah dadaku, entah ada berapa banyak tapi aku sangat meyakini bahwa ia membuat banyak tanda kepemilikan di sana, sebab leher hingga bahuku telah penuh dengan tanda-tanda cintanya.

Ssh ... ” lenguhku lepas.

Aku memaksa Sukuna untuk menghentikan permainannya, segera aku bangkit dan bertumpu dengan kedua lututku. Kini aku menyungguhkan kewanitaanku di hadapan wajah Sukuna. Katakanlah bahwa saat ini aku memang sinting, aku meminta Sukuna untuk menjejalkan daging basahnya ke dalamku.

You’re so hypocrite, baby. You said that you want to lead the game, then why don’t you just use your body rather than begging for face-fucking by me?” Sukuna mentertawakan perbuatanku, meski berkata demikian Sukuna tetap menjilati area bawahku dengan lidahnya.

Liar dan sangat lincah.

Ia bahkan bisa membunuhku dengan lidahnya, aku sangat yakin itu.

Lututku bergetar hebat seolah tak dapat menahan bobot tubuhku. Aku berpegangan pada kepala ranjang untuk menahan tubuhku agar tetap tegak. Sukuna tengah memanjakanku di bawah sana. Lidah piawainya sedang menelisik bahkan menusuk lubang senggamaku. Aku mengerang nikmat, ayolah siapapun akan bertekuk lutut demi permainan Sukuna yang luar biasa ini.

“Sukuna, touch me there.” pintaku dengan vokalisasi yang goyah dan bergetar.

“Iya, sayang.”

Sukuna menjejalkan lidahnya masuk ke dalam pusat tubuhku, daging basah itu menyapa dinding-dinding lubangku yang menyempit. Ia mengeluar-masukkan lidahnya beberapa kali, lalu menjilati bibir serviksku yang basah. Basah akan cairan kewanitaanku ditambah dengan air liurnya. Sungguh kenikmatan yang tiada tara.

Aku semakin memegang erat kepala ranjang agar tubuhku tak jatuh di atas wajah Sukuna. Putihku akan segera sampai karena permainan lidah Sukuna, namun tiba-tiba saja kekasihku itu berhenti dan membuatku mendesah kecewa.

“S-Sukuna ... why did you stop? I almost come.” sungutku.

“Hei, bedebah kecil. Inget apa yang kamu bilang tadi? Lead the game, you said, tapi kamu minta aku buat muasin kamu. Munafik, eh? Mana bagian kamu untuk memuaskan aku?” balasnya.

Aku memundurkan tubuhku ke belakang dan kembali mengukung badan kekarnya. Ia menatapku sembari menyunggingkan sebuah senyuman lebar. Aku benci itu, aku merasa direndahkan sekali hari ini.

“Masukan, sayang. Put mine in yours, lead the game and bring me to the heaven. Show me how good heaven on the earth is. Let’s fly together to reach that.” Sukuna mengecup bibirku lembut, bibir yang manis dan membuatku teramat candu.

Aku mengangguk patuh, sedikit menaikkan bokongku ke atas seraya memegang ereksi Sukuna yang total menegang. Miliknya masih saja sebesar ini, bahkan sangat kontras berbeda dengan ukuran genggaman tanganku. Aku sempat mengusap ereksinya dengan sensual sebelum memasukkan miliknya ke dalam lubangku dengan tergesa-gesa.

“Hei, calm, baby.” ujarnya untuk menenangkanku.

“S-Sukuna ... ” lenguhku kala ujung ereksinya sudah memasuki liangku.

Aku menurunkan badanku ke bawah, membawa miliknya untuk masuk semakin dalam menuju kenikmatan yang sebenarnya. Aku mendongakkan kepalaku ke atas, menerima rasa perih dan nikmat yang datang secara bersamaan.

Ah!” Aku sedikit berteriak dikala miliknya sudah masuk sepenuhnya ke dalam liangku. Sukuna merapalkan kalimat-kalimat pujian atas diriku agar aku lebih tenang dan bergerak teratur.

Make some move, baby.” pintanya.

“Huum.”

Aku bertumpu pada dadanya sembari menaikkan bokongku ke atas lalu menurunkannya ke bawah. Gosh, aku mengakui bahwa ereksinya begitu besar dan panjang sehingga langsung menumbuk titik ekstasiku. Aku mendesahkan namanya beberapa kali seiring pinggulku bergerak naik-turun.

Yes, do it like that.” Sukuna menggeram.

Aku senang sekali mendengar geraman rendahnya yang membuktikan bahwa ia terlarut dalam alur permainan kami. Aku semakin bergerak rancu di atasnya, mengais sensasi nikmat ini dan menumbuk titik sensitifku dengan ereksinya.

Aku melalukannya berulang-ulang dan itulah hal yang menyenangkan untuk kulakukan malam ini. Melihat sosok Sukuna yang tak bisa berbuat apa-apa dengan tangan yang terikat di atas kepalanya benar-benar sangat memuaskan.

Aku mengubur aura dominasinya.

Aku mendesahkan namanya lagi, menarik bibir bawahnya dengan bibirku dengan pinggul yang bergerak naik dan turun. Sukuna tak sekalipun mengalihkan pandangannya padaku. Ia terus menatapku yang memantul di atas tubuhnya.

Baby, you’re the best.

I ... know, ssh.

“Bisa tolong lepasin talinya?” Sukuna tiba-tiba meminta ikatan dasinya, aku sempat termenung sebelum melepaskannya. Namun, aku memutuskan untuk membuka ikatannya karena aku ketakutan saat melihat pergelangan tangannya yang memerah akibat ikatan itu.

“S-Sebentar.”

Aku tak berhenti bergerak walau tanganku melepaskan talinya, lantas tiba-tiba saja Sukuna membalikkan posisi kami dalam sekejap. Ia menahan kedua tanganku ke atas kepalaku, seperi yang aku lakukan kepadanya. Saat aku ingin melayangkan sebuah protesan, Sukuna lebih dahulu berujar.

Change position.

Sukuna menumbuk titik ekstasiku dengan rancu dan tak beraturan, ia benar-benar ingin menghancur lubangku dengan ereksinya. Aku membusungkan dadaku dan mengeluarkan desahan. Sukuna sangat hebat. Ia mampu membuatku menuju kenikmatan. Ia menghentakkan miliknya hingga terdalam, aku gelagapan. Bergerak ke sana ke mari mengais birahi.

Fuck you! Sukuna, fuck you.

I love you.

Sentakan demi sentakan aku terima, ereksinya menghantam tepat di titik ekstasiku, menggodaku untuk segera mengeluarkan cairan putih hasil permainannya. Sukuna menggeram saat dinding-dinding lubangku mengapit miliknya, ia tak goyah dan tetap menstabilkan gerakan laju nan rancu.

“S-Sukuna ... I almost ... ” lidahku kelu dan ucapanku terbata.

Come, baby.”

Sebuah izin yang diberikan padaku, tangan Sukuna teramat kuat menggenggam kedua pergelangan tanganku, ia hanya menggunakan satu tangannya, sedangkan tangannya yang lain mengusap labiaku di bawah sana. Lidahnya menyapu seluruh tubuhku. Nampaknya ia ingin memanjakan seluruh tubuhku. Aku sangat berterima kasih karena saat ini Sukuna kekasihku, satu-satunya yang dapat membuatku seperti ini. Haus akan sentuhan, nafsu akan seks.

Dua hentakan terakhir mampu membuatku meluncurkan cairan ejakulasi, membasahi ereksi Sukuna dengan cairan putih tersebut. Sukuna masih belum mencapai putihnya, ia masih menumbuk miliknya di dalamku. Seluruh badanku bergetar setelah pelepasan keduaku. Beberapa hentakan berikutnya Sukuna mengeluarkan cairannya di dalam tubuhku. Mendiamkan ereksinya di dalamku agar lubangku menehan semua cairannya.

“Sayang ... ” lenguh Sukuna.

Ia melepaskan genggamannya sehingga aku bisa bergerak leluasa, aku bergelayut manja di lehernya. Hangat dari cairannya memenuhi lubangku, kami memang jarang menggunakan alat kontrasepsi saat melakukan seks. Sukuna tak begitu menyukai alat itu, begitu pula diriku.

Sukuna mengecup keningku.

Let’s have a baby.

Aku terenyuh dan kembali mengukir senyum, mengusap pelipisnya yang dibasahi keringat. “Pasti, sayang. Sebentar lagi kita akan punya baby.”

Mimpi seorang Ryomen Sukuna, mempunyai seorang bayi di antara kami.

[]

Langit biru yang meredam pilu, semilir angin mengudara dan menerpa pori-pori kulitnya. Wajahnya berseri dan senyuman merekah indah di ranum semerah ceri. Hari ini merupakan hari kedua baginya dengan kata lain ada 58 hari yang tersisa. Toh, ia tak peduli hari-hari yang tersisa sebelum perpisahan yang Kenma rasakan hanyalah kebahagiaan. Hari ini ia ingin mendatangi sebuah taman yang letaknya beberapa meter dari bangku sekolah menengahnya. Saat dirinya masih muda dan belia, acap kali menghabiskan waktu sore-nya bersama Kuroo, pujaan hatinya.

Bukan, Kuroo bukan lagi pujaan hatinya. Mereka telah berakhir beberapa tahun yang lalu. Saat ini Kuroo telah dimiliki oleh hati yang lain, bukan dirinya lagi.

Kenma memilih opsi untuk menggunakan transportasi umum ketimbang menggunakan kendaraan pribadinya. Hanya dibalut pakaian kasual dan tas yang tersampir di bahunya, ia memasuki peron kereta. Harum khas dari hiruk-pikuk menyerbak untuk masuk ke dalam indranya. Tercium jelas sehingga membuat dirinya merindukan masa-masa ini.

Let’s go.” Ia bergegas memasuki kereta dan memilih kursi yang masih kosong.

Kereta melaju dengan rancu, membawa jiwa serta dirinya membelah perkotaan. Ketika dirinya masih duduk di bangku sekolah menengah, ia sering menggunakan alat transportasi umum bersama Kuroo untuk berangkat sekolah bersama. Bak kebiasaan yang dilakukan setiap hari, setiap bel berdering maka Kuroo akan bertengger di daun pintu kelasnya, mengajaknya untuk pulang bersama.

The old memories was surely beautiful.

Kenma memainkan nintendo kesayangannya untuk menyapu kesunyian yang melanda, selagi kereta masih melaju di jalurnya.

...

Cukup menghabiskan waktu 20 menit menaiki kereta untuk sampai ke tempat tujuannya. Pandangannya mengedar ke seluruh area taman yang sangat berbeda sejak terakhir kali tungkainya berpijak di atas rerumputan ini. Begitu banyak hal yang baru yang mengagumkan. Suara gemercik air sungai menyambut intensitas dirinya, angin yang membuat dedauan bergerak.

It’s beautiful.” gumam Kenma.

You missed a lot.” Tanpa Kenma sadari Kuroo telah berdiri di sampingnya beberapa menit yang lalu, sebab seluruh atensinya tertuju pada pemandangan yang terhampar di hadapannya.

“Kuroo?”

Kuroo menepuk pelan bahunya agar Kenma mengikuti langkah kakinya. Ia membawa si pemuda yang lebih kecil ke pinggiran sungai yang ada di taman ini. Kenma hanya diam dan menurut apa yang Kuroo titahkan kepada dirinya, tak menampik dan melayangkan pertanyaan. Ia memang selalu bertingkah demikian.

Kuroo menghamparkan sebuah kain di atas hamparan rerumputan, ia meletakkan beberapa barang yang sengaja ia bawa untuk hari ini. Ia melepas sepatu yang ia kenakan dan memgambil tempat duduk di atas kain tersebut. Kenma masih tak bergeming di tempatnya, Kuroo memperhatikan sosok itu dan membuatnya terkekeh pelan.

“Ayo duduk sini.” pintanya kepada Kenma.

Kenma menurut, menanggalkan sepatu bercorak putih itu di samping sepatu Kuroo dan ikut duduk bersamanya. “Apa ini?”

Date, apa lagi? Di taman ini dan ditambah sungai bersih yang mengalir emang cocok buat jadi tempat nge-date.” jawab Kuroo santai seraya mengeluarkan beberapa toples dari keranjang rotan. “Lo sudah makan belum?” Kuroo melemparkan pertanyaan.

Kenma menggeleng, “belum.”

“Yaudah, kita makan siang dulu aja.”

Kuroo memberikan sekotak bento dan air mineral kepada Kenma, ia memang berniat melakukan ini bersama Kenma dan lagipula ia belum menikmati jatah makan siangnya setelah berkecimpung dengan pekerjaan yang menumpuk. Kenma tak membantah justru ia merasa teramat bahagia, karena perlakuan Kuroo memang kembali seperti sedia kala.

“Katanya ini enak, tadi gue sempat beli di deket kantor. Mau nyoba gak?” Kuroo mengambil jajanan di pinggir jalan yang tengah ramai di jual oleh para pedagang. Ia memakan makanan tersebut setengah dan bagian setengahnya lagi ia julurkan kepada Kenma.

“Mau.”

Kenma memegang pergelangan tangan Kuroo sembari dirinya memakan makanan yang disuapkan Kuroo untuknya. Debaran anomali itu kembali muncul, terbesit perasaan hangat singgah di hatinya. Kenma tak menyangka Kuroo akan bersikap seperti ini seolah-olah masalah yang pernah terjadi di antara mereka lenyap dan lesap begitu saja. Kenma menahan air mata yang ingin berjatuhan, karena perlakuan Kuroo yang sangat baik kepadanya.

“Kenma?”

“I-Iya?”

“Kok cuman diem sih?”

“Gak apa-apa.”

Kuroo menghela napas pelan, tatapannya menyapu ke seluruh penjuru taman. Ia meletakkan kotak bentonya yang telah tandas dan menyesap air mineral untuk membasahi kerongkongannya. Sedangkan pemuda di sampingnya masih menyantap hidangannya dengab khidmat.

“Gue berasa flashback. Biasanya kita sering ke sini waktu SMA, ya?” celetuk Kuroo.

“Hmm.” Kenma berdehem.

“Kenma, apa yang lo rasain saat ini?” Kuroo mengalihkan pandangannya kepada Kenma.

“Seneng ... ”

Kuroo terkekeh kembali, ia menggeser tubuhnya agar lebih dekat dengan Kenma. Ia menyampirkan kepalanya di atas bahu Kenma secara tiba-tiba, tangannya memeluk kedua lututnya sembari menatap apapun yang ditampilkan alam untuk mereka berdua. Saat ini Kenma tengah dirundung euforia yang membara, pundaknya yang terasa berat karena beban kepala Kuroo. Ia memiringkan kepalanya untuk menimpa kepala Kuroo dan saat ini tak ada satupun yang mengeluarkan ucap.

“Gue turut seneng kalo lo seneng.” timpal Kuroo yang masih menyenderkan kepalanya pada pundak Kenma, pun tak keberatan kala kepalanya harus menahan bobot kepala Kenma.

“Kuroo.”

“Ya?”

Someone is so lucky to have got you.

...

Rupanya taman ini selalu menggelar acara kembang api disetiap Kamis malam. Mereka masih berada di tempat yang mereka tempati tadi siang, ada banyak orang yang duduk bersimpuh di sekitar mereka untuk menunggu acara kembang api dimulai. Kuroo dan Kenma terjalin dalam percakapan tatkala Kenma tertawa karena gumpalan lelucon yang Kuroo lontarkan di tengah-tengah percakapan mereka. Kuroo merasa luar biasa bahagia sebab dirinya mampu membuat Kenma terbahak, rasanya sangat membahagiakan.

“Kuroo, perutku sakit gara-gara ketawa terus.” ucapnya dengan giringan gelak tawa.

Kuroo terkekeh senang, ia mengusap perut Kenma yang dibalutin kaos yang ia kenakan sembari berujar, “jangan sakit-sakit dong.”

Tak berselang lama kemudian, beberapa kembang api mulai dinyalakan dan meluncur ke atas menghiasi langit gemerlap malam. Kuroo dan Kenma sama-sama menatap pertunjukan kembang api tersebut. Kuroo menoleh ke arah samping untuk menatap netra cerah Kenma yang bersinar terang. Ia menarik sudut bibirnya ke atas membentuk garis senyuman.

Kenma, gue sadar bahwa gue gak bisa bener-bener benci lo.

Tiba-tiba Kenma meremas ujung pakaian yang dikenakan Kuroo membuat pemuda bersurai hitam itu merengut bingung. Ia menelisik ekspresi Kenma yang nampak ketakutan dan sorot matanya pun menegang. “Kenma, lo kenapa?” tanyanya dengan intonasi panik.

“T-Takut ... t-takut petasan.” jawabnya terbata dan terdengar begitu lemah.

Ah, Kuroo baru ingat jikalau Kenma membenci kembang api dan membuatnya menjadi ketakutan. Kuroo menarik rahang Kenma dengan pelan untuk bersitatap dengan netra gelapnya. Ia memamerkan senyuman tulus, sembari menutup telinga Kenma dengan kedua tangannya.

“Jangan takut, gue ada di sini, gue ada di samping lo, Kenma.”

[]

Walau tungkainya berjalan di bawah temaram, disambut emonasi jiwa yang kelam, sembari ditemani rasa yang suram. Mengarungi kegelapan malam yang disoroti rembulan. Raga yang terlarut dalam aroma kesedihan. Inikah akhir untuknya?

Hubungan selalu diselimuti dengan rasa bahagia dan dihadiahi air mata karena hati yang terluka. Namun, mengapa ia tak dapat membendung perasaan ini? Rasanya begitu mendera di sanubari yang membawanya kembali mengenang memori. Kepingan kenangan yang terjadi di masa lalu membuatnya meneteskan air mata dan napasnya yang tercekat.

“Begini, ya, akhirnya?” lirihnya.

Miya Osamu yang telah memantapkan seluruh jiwa dan raganya untuk membuat keputusan yang akan memutuskan dirinya dengan rasa sakit yang ia dera selama ini. Walaupun dihadapkan dengan kenyataan yang menyakitkan, bukankah inilah yang terbaik untuknya? Sekelebat memori terputar bak kaset rusak di dalam pikirannya. Senyum kecut terpatri di wajahnya meskipun air mata masih membasahi permukaan wajahnya.

Kala itu terjadi, Osamu masih lugu dan tak tahu-menahu mengenai kebohongan yang dilakukan oleh Suna, terlalu awal bagi dirinya untuk menaruh curiga pada kekasihnya itu. Osamu menyapu pandangan pada jejeran bunga matahari yang tersusun rapi di pelataran rumahnya. Osamu mengerut heran, mengapa rumahnya dipenuhi dengan bunga-bunga.

“Kok lo rawat bunga tiba-tiba?” tanya pemuda bersurai abu pada sosok pemuda yang sangat mirip dengan dirinya, ia adalah Miya Atsumu, kembarannya.

“Oh? Pacar gue suka manggil gue sunflower dan dia sering ngasih gue buket berisi bunga matahari, rawat bunga-bunga ini selalu ngingetin gue ke dia.” jawab sang pemuda bersurai kekuningan, netra cerah yang menyorotkan keindahan.

“Gue baru tau lo punya pacar.” pungkas Osamu yang benar-benar baru mengetahui kebenaran bahwa kembarannya sudah menjalin hubungan dengan seseorang.

Atsumu menelan air liurnya susah payah, ia ingin menyalak namun ia sudah membongkarnya sendiri. Lantas, yang bisa ia lakukan hanya mengulas senyuman mengalihkan atensinya kepada Osamu. Sedangkan pemuda bersurai abu hanya menyesap secangkir kopinya dengan nikmat, seolah telah siap mendengarkan cerita kembarannya.

“Iya, gue udah punya pacar.” jawabnya pelan.

“Siapa?”

Atsumu tiba-tiba bungkam, ia mengepalkan tangannya sehingga buku-buku jarinya memutih. Ia menegang seketika dan lidahnya terasa kelu untuk berucap. Pertanyaan itu menohok relung hatinya.

“Gak usah kepo.”

Tatapan menelisik dilayangkan oleh Osamu setelah mendapatkan jawaban dari Atsumu yang terdengar aneh, tetapi selang waktu berikutnya Osamu hanya mengendikkan bahu acuh sebab Atsumu memang selalu bertingkah laku demikian. Atsumu menghela napas lega, karena Osamu tak menggali lebih dalam mengenai dirinya.

Atsumu berajak menjauh dari pandangan Osamu, ia ingin menghindari pembahasan seperti ini sebab dirinya lah yang menciptakan luka kepada Osamu.

...

“Kok baunya mirip Rin, ya?”

Osamu bergumam kala menemukan sepotong jaket kulit yang tergeletak di atas ranjang Atsumu saat dirinya berniat untuk membersihkan rumah. Ia meraih jaket tersebut dikarenakan benda itu menarik atensinya dan terlihat asing. Selama ini Atsumu dan Osamu selalu berbagi pakaian dan semestinya Osamu mengenali seluruh pakaian milik Atsumu, begitu sebaliknya.

Osamu juga sedikit mengenali jaket yang ia temukan ini, mirip dengan milik Suna. Bahkan bau yang masih tertinggal di jaket ini pun masih tercium jelas, seperti bau parfume yang digunakan Suna. Ia sangat tahu bau ini, setiap kali dirinya memeluk Suna maka bau ini lah yant tercium olehnya. Namun, mengapa ia menemukan jaket ini berada di dalam kamar Atsumu? Osamu tak ingin menaruh perspektif aneh pada hal yang ia temukan saat ini. Ia menghela napas untuk berpikir rasional.

“Mungkin punya Atsumu, kalo pun ini punya Rin, kenapa ketinggalan di sini? Padahal seminggu ini gue gak ada ketemuan sama Rin dan gak mungkin dia ninggalin barangnya di sini.” Osamu bermonolog dan membiarkan jaket itu tetap berada di tempat asalnya.

Osamu menarik sudut bibirnya ke atas, ada banyak buket bunga matahari yang tersusun di atas nakas Atsumu. Hatinya menghangat saat menemukan Atsumu menemukan sosok yang baik untuknya. Walaupun mereka sering bertengkar, tak menampik kemungkinan bahwa Osamu sangat menyayangi kembarannya tersebut, karena dirinya hanya memiliki Atsumu.

Bahagianya juga bahagia Osamu.

...

Pembuluh darah nampak tegang di wajahnya, tubuhnya tiba-tiba bereaksi kaku kala mendapati seseorang yang sangat ia hindari. Ekspresinya mengeras dan begitu pula dengan sosok pemuda bersurai terang tersebut. Ia bergegas menghampiri Osamu yang terlihat ingin menghindari presensinya. Ia meraih pergelangan tangan Osamu untuk menghentikan pemuda itu.

Osamu menyentak tangan seseorang itu pada pergelangan tangannya, “tunggu!”

“Ada apa, Eita?” Osamu menjawab dengan intonasi yang terdengar dingin.

Can we talk? I have a lot of words.” Perkataan yang dilontarkan Semi terdengar begitu memohon di telinga Osamu.

“Kenapa gue harus dengerin lo?”

“Karena ada kesalahpahaman yang terjadi di antara kita, Osamu.” Semi tetap keukeuh untuk menggenggam pergelangan tangan Osamu, tatapan itu membuat Osamu goyah. Osamu kembali menghela napas lelah, ia mengangguk sebagai jawaban.

Walau saat ini hatinya meringis, ia masih bisa merasakan rasa sakit yang tertanam di lubuk hatinya. Bukankah selama ini Suna telah mengkhianatinya bersama Semi? Itulah keberan yang diketahui oleh Osamu. Berbicara empat mata dengan seseorang yang membuat hatimu terluka begitu menyakitkan untuk Osamu. Ia tak akan bisa menerima perlakuan mereka atas dirinya.

“Lo pasti punya pemikirin bahwa gue adalah selingkuhannya Suna, ‘kan?” Semi melontarkan kalimat intinya.

Osamu mengerutkan keningnya heran, mengapa pemuda ini langsung berkata demikian kepadanya. “Maksud lo?”

“Gue tau kok selama ini orang-orang mikir kalo gue selingkuhnya Suna dan gue juga tau kalo lo berpikir hal yang sama kepada gue. Lo tau ‘kan kalo selama ini Suna selingkuhin lo? Gue tau lo berpura-pura gak tau apa-apa di hadapan Suna. Kalo lo beneran gak tau soal itu, kenapa lo berusaha ngindari gue? It must be something happened, right?” Semi menatap telak di iris netra Osamu yang sayu. Osamu berjengit di tempatnya, dirinya dibuat kebingungan dengan Semi.

“Gue gak paham apa yang lo omongin.”

Semi menghela napas, ia mendongakkan kepalanya sekilas sebelum membuka mulutnya untuk menjabarkan apa yang terjadi sebenarnya. “Suna emang selingkuhin lo, Sam. Bahkan udah satu tahun dia selingkuhin lo, maaf gue ikut andil untuk nyembunyiin ini dari lo dan bersikap kalo gue mendukung apa yang Suna lakukan terhadap lo. One thing you should know, gue bukan selingkuh Suna. Gue maupun Sakusa cuman temannya Suna, gue berdua tau apa yang Suna lakukan, tapi kami gak bisa ngelakuin apapun selain ngebiarin apa yang dia mau lakuin. My bad.”

“Gue bingung kenapa orang-orang berspekulasi kalo gue adalah selingkuhannya Suna cuman karena gue sering hang out sama Suna. Padahal dibalik kita hang out, di sana Suna ngajak selingkuh dia yang sebenarnya. Dalam artian, gue digunain untuk nutupin kebohongan Suna mengenai selingkuhan dia. Awalnya gue mencoba untuk denial tapi lama-kelamaan gue membiarkan semuanya terjadi begitu aja agar orang-orang gak tau siapa orang sebenarnya.”

Bak ribuan godam yang menghunus jantung Osamu, berdenyut ngilu hingga membuat jiwanya sengap. Semi mengusak wajahnya gusar, sedikit tersampir kelegaan karena sudah membongkar semuanya. Semi dapat melihat ada pancaran kesedihan yang tersorot melalui tatapan Osamu. Entah apa yang membuat Semi mengulurkan tangan untuk mengusap bahu Osamu yang menurun.

“Maaf ... ”

“Berarti bener, ya? Rin selingkuhin gue.”

“Sialnya, iya.”

Osamu menarik sudut bibirnya ke atas untuk membentuk sebuah senyuman tipis, pemandangan itu tak luput sejengkal pun dari tatapan Semi. Hatinya terenyuh melihat sosok Osamu yang ringkih namun berdiri dengan kokoh. Memang Semi tak mampu melihat secara verbal berbagai luka yang tercetak di dalam jiwa Osamu, namun yang pasti luka-luka itu pasti menyakitkan.

“Maaf gue nuduh lo selingkuh sama Rin.” ucap Osamu lirih walau bibirnya terpatri sebuah senyuman hangat.

“Gak masalah, Osamu. Anggap aja ini sebagai bentuk permintaan maaf gue karena sudah nyimpan kenyataan ini dari lo. Walaupun Suna temen gue bukan berarti gue membenarkan setiap langkah yang dia pilih.” Semi mengepalkan tangannya di atas meja yang tengah mereka tempati saat ini. Ada emosi yang muncul di dalam dirinya ketika melihat sosok Osamu.

“Siapa dia?” tanyanya.

Semi meneguk ludah, “menurut lo?”

Ia terlampau tahu jalan pikiran Osamu, besar kemungkinan jikalau Osamu sudah mempertimbangkan sebuah nama di dalam pikirannya. Maka dari itu Semi membiarkan Osamu merapalkan namanya dan dirinya yang akan memvalidasi.

“Atsumu, ‘kan?”

Semi tak berkutik dan tak memberikan respon apapun. Melihat raga yang hampa diterpa lara membuatnya merasakan hal yang sama. Ia tak ingin bersikap apatis terhaap sesuatu yang salah, membiarkan temannya menebar asa di setiap masa. Itu adalah tindakan yang bodoh. Sebuah hipotesis yang akhirnya berjumpa dengan kebeneran, semuanya telah terbongkar hingga ke akar. Lantas, untuk apa dirinya bertahan di dalam gundah gulana?

“Iya.”

Lesap sudah seluruh dekap yang pernah Suna berikan untuknya. Meninggalkan hati yang terluka dan hanya menciptkan duka. Di balik senyumannya, terselip kesedihan yang mendera. Jiwa yang menangis tak terbendung lagi.

...

“Atsumu.”

“Kenapa?”

“Siapa pacar lo?”

Atsumu menoleh mendapati setengah raganya yang terpampang di hadapannya, ia mengerutkan kening heran; mengapa Osamu tiba-tiba bertanya demikian. Ia ingin menciptakan sebuah distraksi saat ini juga. Pembahasan yang selalu membuatnya terpojok. Atsumu mendengus sembari duduk bersimpuh di samping Osamu, tentunya setelah mengurus bunga-bunga kesayangannya, bunga matahari.

“Dia orang yang baik.” jawabnya.

Dia memang baik, itulah kenapa lo sayang sama dia, ‘kan? Osamu berujar dalam hati.

“Sampai kapan lo mau nyembunyiin pacar lo itu? Gak mau show up ke gue?” tanya Osamu lagi. Ia menunduk untuk memainkan sebuah cincin yang melingkar di jari manisnya, cincin pemberian Suna pada hari jadi hubungan mereka yang pertama. Hanya saja saat ini Osamu tak sanggup untuk melihat netra cerah itu lagi.

“Gak tau.” sahut Atsumu.

Osamu meremas secarik potret seseorang di dalam kepalan tangannya, ia sangat marah dan kecewa namun Osamu tak tahu untuk mengekspresikannya selain menarik bibir untuk tersenyum. Osamu baru saja menemukan potret Suna bersama Atsumu, dua pemuda itu saling berpelukan dan melemparkan kebahagiaan bersama. Osamu masih bisa untuk berpura-pura di balik topeng lugunya.

“Gue gak akan bisa maafin seseorang yang bikin gue kecewa, Atsumu. Apa gue salah suatu saat bersikap begitu?” Tangannya masih mengepal kuat sehingga secarik potret itu akan kumal di dalam genggamannya.

Baik keluguan Atsumu pun tak menyadari bahwa Osamu kini telah mengetahui semuanya, “gak masalah, emangnya orang yang kayak begitu bisa dimaafin?”

Osamu mengangkat tahannya untuk menepuk pundak Atsumu. Kembarannya tersebut menoleh ke samping, mendapati Osamu yang menatap ke arah langit. Atsumu tak tahu apa yang sedang dia pikirkan, karena ia bukanlah sesosok yang peka terhadap situasi dan kondisi.

“Gue gak suka bunga dan juga gak suka dikasih bunga. Emangnya dikasih bunga itu atas dasar apa? Kasih sayang? Cinta? Pemikiran kolot yang gue terapkan kala gue baru aja menginjak suatu hubungan; apa dengan dikasihnya bunga bisa menjamin atau menggambarkan perasaan seseorang? Ternyata gue salah, Atsumu. Bunga bisa dijadikan atas bentuk rasa cinta seseorang. Selama ini Rin gak pernah ngasih gue bunga, karena gue selalu menolak untuk dikasih. Gue gak tau bisa aja bentuk cinta Rin ke seseorang itu dengan cara memberikan bunga atau sebuah pelukan hangat. Apa selama ini Rin gak pernah nunjukin bentuk cinta dia ke gue? Ironis.”

Atsumu memilih bungkam dan menunduk, tak tahu untuk berucap bagaimana selain menggunakan rungunya untuk mendengar dengan baik setiap juntaian perkataan Osamu. Hatinya menjerit setiap perkataan yang masuk ke dalam rungunya, seolah ingin menikamnya hidup-hidup.

“Gue gak suka bunga matahari. Bunga yang selalu mengejar sang tata surya, kenapa dia harus mengejar sesuatu yang bukan miliknya, Atsumu?” Ia menggigit bibir bawahnya untuk meredam suaranya yang bergetar.

“K-Kenapa ... ?” Rahangnya menurun, tak tahu untuk menjawab apa.

Terpampang senyum palsu yang memoles wajah indah Osamu. Ia termenung beberapa saat, membiarkan senyap mengisi ruang di antara mereka kala keduanya terlarut dalam pikiran masing-masing, hingga pada saat Osamu terkekeh.

“Bunga matahari memang mengejar suatu yang bukan miliknya, tetapi emang pada dasarnya ia ditakdirkan untuk mengejar matahari, ‘kan?” sambung pemuda itu.

Bukankah Suna memang ditakdirkan untukmu, Atsumu?

...

“Ayo putus.”

Osamu sempat memejamkan kelopak matanya untuk menetralisasikan napas dan detak jantungnya yang berdegup lebih cepat. Suna baru saja menempatkan diri di sampingnya setelah kegiatan yang mereka lakukan selama beberapa jam. Suna terperanjat kaget mendengar perkataan Osamu yang secara tiba-tiba.

“Sayang?” panggil si pemuda bersurai hitam, meraih atensi sang kekasih.

“Ayo akhiri semua ini.” Osamu mengulangnya lagi.

“K-Kenapa begini ... ? Aku gak bisa putus dari kamu, Osamu. I love you so bad.

Intonasi yang Suna keluarkan begitu panik, Osamu memiringkan tubuhnya ke samping untuk bersitatap dengan netra tajam sang ke kasih. Untuk kesekian kalinya Osamu tersenyum, seraya mengusap lembut pipi kekasihnya, membubuhkan ciuman lembut di atas ranum Suna. Ciuman yang mungkin memjadi terakhir untuk mereka. Osamu sudah membulatkan tekadnya untuk ini.

“Sayang aja gak cukup, Rin. Buktinya kamu bisa sayang ke siapapun, termasuk aku dan Atsumu. Kamu gak menyelipkan keseriusan kamu hanya untuk mencintai aku. Jadi, sebelum semuanya semakin rumit, ayo akhiri ini semua. Jangan buat aku semakin terluka karena kamu.” Tak ada keraguan yang tercipta di setiap kata yang Osamu lontarkan, terdengar sangat yakin.

“Osamu ... ?”

“Aku udah tau semuanya, baik tentang kamu selingkuhin aku dengan Atsumu.”

No! Gak, sayang, aku gak bisa kita putus. Tolong dengerin aku dulu, ya? Aku bisa jelasin apapun yang kamu mau. Aku gak mau kita berakhir putus, sayang.”

Suna gelagapan saat Osamu beranjak dari atas kasur untuk memunguti potongan pakaiannya yang berhambur di seluruh penjuru ruangan ini. Ia tak dapat membendung air matanya untuk tak berjatuhan, jadi ia membiarkan tetesan air mata itu turun membasahi pipinya. Suna meraih tubuhnya dan mendekapnya erat. Pucuk kepalanya basah akan air mata Suna, namun Osamu sudah mati rasa. Ia menangis namun semuanya terasa hampa. Tangisan Suna pun tak berarti apa-apa baginya. Osamu hanya ingin secepatnya mengakhiri ini semua.

“Sayang ... jangan tinggalin aku ... ” lirih Suna sembari memohon padanya.

“Sudah, ya? Ayo kita jalani hidup masing-masing tanpa ada status lagi.”

Suna tak kunjung melepaskan pelukannya pada tubuh ringkih Osamu, sekalipun Osamu mencoba untuk menarik diri untuk membentang jarak. Ada perasaan sesal pada Suna, namun seperti yang pernah ia katakan; semuanya sudah terlambat untuk menyesali apa yang telah ia lakukan. Namun, ia tak memperhitungkan kejadian ini, di mana Osamu akan pergi meninggalkannya. Sungguh, Suna masih begitu menyayangi Osamu.

“Perlakukan bungamu dengan baik, Rin.”

[]

Explicit sexual content, boys love, dom/sub, hand-job, kitten-calling, nipple play, anal sex, overstimulation, multiple orgasms.

Kepulan asap mengisi ruangan yang ditempati oleh dua pemuda, langit yang berwarna mosaik senja menjadi pemandangan yang indah untuk disaksikan oleh netra dua figur umat manusia tersebut. Tak ada pembicaraan yang terjadi di antara mereka, keduanya hanya diam dan tenggelam dalam kesunyian. Suna menyucul batang tembakaunya yang ketiga, menyesap putung cerutu itu dengan nikmat, diselipi alasan untuk menenangkan sejenak suasana yang terasa sangat dingin dan mencekam.

Osamu tak kunjung berucap, mengulik narasi dalam nurani baginya sudah cukup untuk ia lakukan. Iris abunya hanya menatap langit selagi dirinya berada di dalam dekapan hangat Suna Rintarou. Perihal permasalahan yang sempat terjadi di antara mereka telah kunjung rampung, Osamu memaklumi perbuatan Suna ketika kekasihnya itu tengah di bawah kontrol alkohol yang ia nikmati.

Suna menyesap putung itu lagi dan lagi, menghembuskan asapnya ke langit-langit ruangan, setelah selesai ia menyampirkan dagunya di atas bahu Osamu yang terlihat lebih rendah dari biasanya. Suna sempat bertanya; apakah Osamu baik-baik saja?

Punggung Osamu bertabrakan dengan dadanya yang tak mengenakan sehelai benang pun, permintaan Osamu terhadap dirinya. Osamu ingin merasakan kehangatan Suna. Pemuda bersurai abu itu beringsut turun, ia memejamkan matanya dengan erat sebelum menghembuskan napas yang berat.

“Rin.” Vokalisasi Osamu yang lembut ketika merapalkan namanya.

“Iya, sayang?” Suna meresponnya.

Do you really love me?” Osamu tiba-tiba bertanya seperti itu, lantas Suna mengerutkan keningnya sekejab. Ia mematikan putung cerutunya di atas asbak, agar kedua tangannya dapat berfungsi lebih luas untuk menyentuh tubuh ringkih Osamu.

“Kenapa nanya begitu? Justu aku sayang kamu banget, lebih dari apapun.” jawabnya. Suna mengecup bahunya lembut, membubuhkan ciuman yang memabukkan hingga ke jenjang lehernya.

Just to ensure.” balas Osamu. Kelopak matanya terbuka untuk kembali menyaksikan pemandangan yang dijanjikan oleh alam untuk dua insan yang tengah bercumbu di bawah langit.

Suna tak melanjutkan pembicaraan mereka, ia semakin gencar untuk mencium leher Osamu yang bagaikan kanvas putih baginya. Sangat pantas untuk dilukis dan diberi tanda kepemilikan di atasnya. Tangannya ikut andil dalam memoles tubuh Osamu; memasukkan kedua tangannya ke dalam pakaian yang masih bertengger di atas tubuh Osamu. Menari-nari di sekitar dada Osamu.

“Mau?” Suna menghentikan kegiatannya, walau Osamu adalah miliknya, seluruh tubuh Osamu adalah teritorinya, namun ia tetap harus meminta persetujuan Osamu untuk bermain lebih. Ia tak ingin melakukannya hanya berpegangan dengan keinginannya sendiri, jika Osamu menolak maka Suna tak akan melanjutkannya.

Bukankah ini sebuah keharusan? Melakukan hubungan seksual harus didasari oleh persetujuan keduanya.

Osamu mengangguk lemah untuk menyetujui permainan yang akan mereka lakukan. Dadanya terasa sengap karena rasa aneh yang menjalar di relung hatinya. Lagipula tak ada alasan bagi Osamu untuk menolak ajakan Suna, sebab dirinya pun menginginkan hal yang setimpal. Suna memapah tubuh Osamu menuju ranjang yang selalu ditempati oleh mereka, baik hanya untuk tidur maupun melakukan hubungan badan. Suna membantu kekasihnya itu melepaskan pakaiannya, lalu melemparkan segumpal jahitan benang itu ke sembarang tempat.

Ia sudah terlampau naik dan ingin segera melahap santapan yang masih panas. Suna menyatukan bibir mereka, saling berpagut dan menyesap. Suna menggigit bibir bawah Osamu agar ia bisa menjejalkan lidahnya masuk ke dalam mulut Osamu, sedangkan pemuda yang berada di bawah kukungan Suna itu menikmati lidah Suna yang tengah menjajah area mulutnya.

Osamu mengalungkan kedua tangannya di leher Suna untuk menghapus jarak mereka, ia menekan tengkuk Suna agar memperdalam ciuman mereka. Salah satu tangan Suna bermain di atas dada Osamu, memilin puting Osamu yang menegang seiring permainan mereka yang semakin liar. Dua jarinya memilin puting Osamu dengan lembut secara bergantian.

Osamu menggelinjang sebab setiap sentuhan Suna pada tubuhnya bak menghantar aliran listrik. Osamu menarik kepalanya ke belakang untuk melepaskan pagutan bibir mereka. Mengais oksigen sebanyak-banyaknya untuk mengisi ruang di paru-parunya yang menipis. Kala jari-jarinya tengah bermain dengan puncak dada Osamu, Suna menarik sudut bibirnya ke atas, ternyentuh menyaksikan pemandangan yang luar biasa terpampang tepat di hadapan netranya.

Osamu pahatan Tuhan yang terindah. Ia ingin selalu memoles tubuh sempurna itu untuk kesekian kalinya. Membubuhkan lebih banyak tinta di atasnya. Osamu hanya miliknya seorang, namun dirinya bahkan tak hanya dimiliki oleh Osamu. Bukankah dirinya begitu egois? Suna tahu itu.

You are God’s favorite.” ucapnya dengan seribu pujian yang terselip. “I want to paint yours forever, you’re my art and I’m an artist.” Sentuhan sensual disalurkan melalui tangan-tangan Suna di atas kulit sehalus sutra milik Osamu.

Membelainya dari area lehernya hingga ke perutnya. Suna mengunci kedua tangan Osamu di atas kepalanya agar Osamu tak mampu berkutik dan mengikuti alur permainan yang ia ciptakan. Suna mengecup lembut puncak dada Osamu, memilin puting itu dengan daging basah yang tak bertulang. Lantas, Osamu tak membendung suaranya untuk terkunci. Ia melenguh sebagai tanda bahwa Osamu menyukainya.

I’m egging on to destroy you, baby.” Suna memicingkan mata setajam elang itu pada Osamu, mengintimidasi sang lawan dengan dominasi yang kuat.

Destroy me, Rin. Broke me into pieces if you want to.” Osamu menelan pil pahit kala mengucapkan perkataan itu. Tersemat suatu perasaan saat dirinya berujar demikian, ini bukan kali pertama Suna menghancurkannya. Hatinya telah hancur lebur sebelum hari ini. Apakah Suna memang berniat untuk selalu menghancurkan jiwa serta hatinya?

Suna melucuti celana bahan yang Osamu gunakan, melepaskan pakaian terakhir yang masih bertengger manis di badan Osamu sehingga kini Osamu lolos telanjang di hadapannya. Suna menyusul untuk melepaskan celananya.

Shit.” Suna mengumpat mendapati miliknya yang berdiri kokoh melintasi gravitasi. Ia teramat senang bahwa Osamu selalu piawai untuk membuatnya bersemangat melakukan ini.

Do you want any foreplay? I’ll make you pleasure foremost.” tanya Suna.

“Mau ... ” balasnya lirih tak berdaya.

Suna mengecup bibir ranum itu, bibir yang nantinya akan terbuka untuk melolongkan namanya di tengah-tengah kenikmatan Osamu terhadap permainannya. Suna membenarkan posisinya untuk mengukung Osamu di bawah dominasinya, mensejajarkan wajahnya dengan wajah indah Osamu. Tangannya bergerak turun ke area bawah Osamu, membuka paha Osamu dengan begitu lebar. Ia melesakkan dua jarinya ke dalam lubang Osamu, menggerakannya keluar-masuk secara berulang tentunya dengan tempo cepat.

“R-Rin ... touch me even more.” lenguh si pemuda bersurai abu.

I will do for you, baby. I’ll do anything just for you. Let me taste you once again, let me to show you how heaven looks like and bring you up to the sky. Do you like this, Samu? Haven’t you always liked this scene so much. Tell the world, Samu. Tell the whole world by moaning my name out.

Osamu dibuat semakin bergairah, jari-jari kakinya menukik nikmat. Suna menambahkan satu jarinya untuk mengobrak-abrik lubangnya, menghujam titik ekstasinya berulang kali. Osamu mengeluarkan desahan tertahannya, merapalkan nama Suna Rintarou dengan indah bak lantunan sebuah irama lagu.

I love you, Samu.” Tak ada jeda yang Suna lakukan untuk menghancurkan lubang Osamu, ia melakukan dengan begitu handal dan brutal. Kala dinding-dinding rektum Osamu menjempit jarinya, ia menyunggingkan senyuman kemenangan.

C-Can I?” Osamu meminta persetujuan.

“Tentu, sayang, just let them out.

Suna semakin gencar menumbuk titik prostatnya agar Osamu dapat meraih pencapaiannya. Tak selang menit kemudian, Osamu memuntahkan cairan pelepasannya yang mengotori perut mereka. Suna tak kunjung berhenti dan masih bermain di dalam lubang Osamu.

Gosh you ... ” pungkas Osamu dengan dada yang turun-naik untuk menetralisasikan pernapasannya setelah melakukan pelepasan yang nikmat.

Suna mengeluarkan tiga jarinya dari dalam lubang Osamu, pemuda bersurai abu melenguh dan merasakan kehampaan di lubangnya. Jari-jarinya basah, lalu ia meraih bekas cairan ejakulasi Osamu dan menyodorkannya tepat di hadapan mulut Osamu. Sedangkan pemuda itu langsung mengernyit kebingungan.

Lick it.” titahnya.

Osamu mengangguk, ia meraih tangan Suna dan memasukkan tiga jari Suna yang basah dengan cairannya sendiri ke dalam mulutnya. Membersihkan jari-jari Suna dari cairan dengan cara yang seduktif. Osamu menjilati jari-jari itu dengan lidahnya, melakukan gerakan keluar-masuk di dalam mulutnya.

Good, kitten. You’re so good at licking what it should be.” Suna menyugar surai abu milik Osamu yang mencuat, merapalkan pujian dan kebanggaannya terhadap Osamu.

“Hu’um.” Osamu membalas tatapan itu, tatapan Suna yang menajam kepadanya.

“Cukup.” Suna kembali melayangkan perintah, Osamu lantas berhenti dari kegiatannya. Jari-jari itu sudah tandas dari cairan miliknya yang sempat mengotori jari Suna. Kekasihnya itu menegakkan tubuhnya untuk memposisikan kepemilikannya di hadapan lubang Osamu.

I’m in and ready to serve the heaven.

Suna memasukkan miliknya ke dalam lubang Osamu, ia tak perlu melakukan penetrasi tambahan sebab lubang itu terlampau basah dan berkedut untuk segera dipuaskan kembali. Kala milik Suna sudah sepenuhnya masuk ke dalam dirinya, pemuda beriris hitam itu menghujamnya dengan tempo rancu dan tak beraturan, seolah ingin benar-benar menghancurkan Osamu dalam semalam.

Osamu tak menahan desahannya, ia membiarkan mulutnya berujar sedemikian. Berteriak, merapalkan nama Suna, dan melenguh. Stimulasi yang diberikan Suna kepadanya sungguh begitu nikmat, bisa dibilang jikalau Suna adalah sosok piawai dalam hal seks. Ia tahu bagaimana cara memuaskan pasangannya dengan baik.

Suna memagut bibir Osamu dengan ganas, namun Osamu dapat mengimbangi permainan bibirnya. Suna mengumpat berulang kali dan berakhir memuji lubang Osamu yang mampu memuaskan miliknya.

Goddamn.” Suna kembali mengumpat.

Dinding-dinding rektum Osamu yang hangat menjepit milik Suna dengan erat, beberapa kali ujung miliknya menyentuh titik ekstasinya dan membuatnya menggelinjang. Suna menandai seluruh badan Osamu agar seluruh penjuru dunia tahu bahwa Osamu ialah miliknya. Namun, Osamu tak sekalipun menciumnya terlebih dahulu, kekasihnya itu hanya memeluk lehernya dan menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Suna.

Biasanya Osamu selalu meninggalkan tanda kepemilikan di beberapa area tubuhnya, namun kini berbeda. Osamu nampak tak seperti biasanya.

“Samu, I love you so much.” ujar Suna.

Osamu tak kunjung membalasnya. Ia masih menyimpan wajah indahnya di ceruk lehernya. Suna menumbuk lubangnya dengan kuat, tanpa ampun sekali pun. Ia ingin Osamu selalu menyimpan kejadian-kejadian ini di dalam ingatannya selamanya. Bagaimana handalnya sosok Suna Rintarou memuaskannya di atas ranjang mereka.

Hentakan Suna sangat cepat dan tak beraturan, kadang Osamu merasa kewalahan untuk mengimbanginya.

“R-Rin ... ”

Oh, God. Fuck you, sunflower.

Sunflower?

Osamu menarik kepalanya ke belakang untuk menatap wajah Suna, kekasihnya tengah menutup matanya sembari menggigit bibir bawahnya. Tubuh Osamu terhentak seiring gerakan milik Suna di dalam lubangnya. Osamu mengerjapkan kelopak matanya berulang kali. Ia dengan jelas mendengar bahwa Suna menyebutkan hal yang aneh pada dirinya.

Lantas, berikutnya Osamu menghela napas pelan; hatinya tiba-tiba berdenyut nyeri, birahi yang tadinya terbakar hawa nafsu kini berubah menjadi abu. Pikirannya melayang ke arah lain. Saat Suna sedang menikmati permainannya di atas tubuh Osamu, ia membiarkan air matanya berjatuhan dari matanya.

Bahkan disaat seperti ini kamu masih menyebutkan namanya? Lalu, untuk apa aku hadir dihadapanmu, Rin?

Segera Osamu menghapus air matanya sebelum Suna mengetahui keadaannya yang tengah terpuruk. Osamu ingin segera memutuskan keputusannya. Osamu memeluk tubuh Suna dengan erat, mengusap surai Suna yang berantakan akibat perbuatannya.

Suna merasakan kehangatan di dalam pelukan Osamu dan membuatnya tersenyum senang. “Thanks, sayang.”

Dinding rektum Osamu berkedut pertanda bahwa sebentar lagi Osamu akan mencapai pelepasan keduanya. Suna bergerak lebih cepat untuk mengeluar-masukkan miliknya dari dalam lubang Osamu. Sehingga pada beberapa hentakan selanjutnya, Osamu mengeluarkan cairan ejakulasinya dan disusul oleh Suna yang mengeluarkan miliknya di lubang Osamu.

Ssh ... ”

Suna mendongakkan kepalanya ke atas untuk menikmati sisa-sisa pelepasannya. Osamu merasakan lubangnya hangat akan cairan Suna di dalamnya. Ia tersenyum lembut sembari mengusap punggung polos Suna.

“Rin, I love you.” ujar Osamu dengan lembut, tetapi intonasinya sangat pelan.

Suna menarik batang miliknya keluar dari dalam lubang Osamu membiarkan sedikit cairan ejakulasinya keluar dari dalam lubang nikmat tersebut. Segera Suna mengambil posisi di samping Osamu, merengkuh pinggang sempit itu dengan sangat erat.

I love you too.” balas Suna, wajah yang berseri dan senyuman yang menghiasi.

“Ayo putus.”

[]

Deru napas yang tersengal, serta keringat yang membasahi pelipis. Beberapa potong pakaian berhamburan di atas lantai keramik yang berwarna putih tulang. Dua insan yang tengah mengambil tempat di atas ranjang terlalu sibuk meraup oksigen yang bertebaran bebas di langit-langit. Tampak kekaguman terlukis di wajah sang pemuda bersurai hitam, tak lain dan tak bukan ialah Suna Rintarou.

Rona merah terkuras di wajah pemuda bersurai abu, selepas melakukan hubungan badan bersama kekasihnya, tubuhnya berdenyut sensitif dan sedikit lebih seduktif kepada sang kekasih. Tangannya meraih leher Suna untuk memagutnya dengan erat. Osamu kembali memeluk prianya begitu erat, tak ingin ada sejengkal pun jarak yang terbentang di antara mereka. Rasa rindu itu membuncah di tengah-tengah kegiatan mereka.

“Rin, don’t go.” Bibirnya terkatup kala kalimatnya sudah terlontar lirih.

Suna menyugar surai kekasihnya, merapikan anak rambut yang menempel di wajah indah Osamu. “I won’t.

Ujaran penenang yang mampu membuat Osamu beringsut turun di atas tempat tidur. Ia mengingkan Suna untuk malam ini; untuk memeluknya erat di sepanjang malam di bawah sinar rembulan. Suna menutupi tubuh polos mereka dengan menaikkan selimut hingga dagu Osamu.

Segera mungkin Suna menyusul Osamu yang hampir terhantar ke dunia mimpi. Setelah melakukan hubungan badan selama 3 jam membuat mereka sedikit kewalahan dan dipenuhi rasa lelah. Namun, bak rindu yang telah dibayarkan hingga habis. Suna merengkuh tubuh berisi Osamu dengan erat, meninggalkan kecupan lembut di kening serta bibirnya.

“Selamat tidur, manis.”

Ting!

Ponsel yang terletak di atas nakas berdering, menandakan pesan masuk. Suna tak terjadi terlelap menyusul Osamu ke dunia mimpi yang indah, matanya kembali terbuka untuk meraih ponselnya yang menyala sehingga memantulkan sinar terang di kamar yang gelap ini.

Suna membuka notifikasi yang masuk ke dalam ponselnya dan rupanya ia mendapatkan pesan dari seseorang yang sempat terlupakan olehnya sebab ada entitas Osamu di dekat dirinya. Salah satu tangan Suna masih mengusap surai Osamu dengan lembut, tak ingin membangunkan Osamu yang terlelap nyenyak di sampingnya kala ia mengubah posisinya menjadi duduk. Tangannya yang lain sibuk membalas pesan dari seseorang tersebut.

Fuck.” Suna tak sengaja mengumpat melihat kolom pesan yang dikirimkan oleh si pengirim. Kedua tangannya otomatis memegang ponsel dan menatapnya begitu lamat. Rahang Suna mengeras seketika.

Setelah berikutnya, Suna terkekeh melihat balasan demi balasan yang dikirimkan oleh pengirim pesan. Suna beranjak dari ranjang dan memasuki kamar mandi dengan tubuhnya yang polos tanpa sehelai benang sedikit pun. Suna sempat melupakan kekasihnya yang lain dan kekasihnya itu sedang menggodanya.

Oh, ayolah. Suna baru saja menyelesaikan permainan panas bersama Osamu dan saat melihat kekasihnya menggodanya, ia merasa gairahnya naik kembali. Suna perlu menuntaskan apa yang baru saja dimulai.

Suna memilih kamar mandi untuk dirinya menyelesaikan video-call sex bersama kekasihnya tanpa ketahuan Osamu yang tengah tertidur begitu nyenyak.

Namun, Suna tak menyadari bahwa Osamu bahkan tak terlelap sedikit pun. Ia mengetahui apa yang Suna lakukan saat ini. Prianya yang sedang memadu kasih bersama selingkuhannya di hadapannya. Osamu meringsut dalam posisinya, menahan rasa sakit yang meredam di lubuk hatinya, serta air mata yang berjatuhan tak terbendung. Osamu mengepal selimut dengan erat, melampiaskan emosi yang ia rasakan saat ini.

Suara yang ia tangkap dengan jelas, bagaimana suara Suna memuji dan melapalkan nama orang lain. Lenguhan dan desahan yang bergema di kamar mandi. Osamu dapat mendengar semuanya. Bibirnya terkatup rapat agar Suna tak mendengar isak tangisnya.

Sungguh begitu lupakah Suna dengan kehadirannya? Bahkan Suna mengabaikannya demi bersama orang lain. Lantas, apa yang dimaksud dengan hubungan mereka saat ini. Suna tak memoroskan atensinya kepada Osamu lagi. Lalu, mengapa Osamu harus bertahan?

Osamu ingin sekali berteriak lantang untuk mengeluarkan semua emosi yang ia dera. Ia sungguh lelah menyimpan seribu kenyataan di dalam hatinya seorang diri. Hidupnya yang luluh-lantah tanpa ada yang menyaksikan. Osamu teramat patah.

“Rin, bahkan untuk semalam aja kamu gak bisa anggep aku pacarmu lagi.”

Suara itu.

Suara kekasihnya saat menyebutkan nama orang lain sudah menjadi bukti konkret bahwa Suna tak lagi menginginkan dirinya.

[]

Setelah menghabiskan waktu kurang lebih 6 jam, ketujuh pemuda pecinta bola voli tersebut terduduk terkapar di lapangan, di mana tempat mereka melangsungkan kegiatan pertandingan antar kapten. Suara deru napas yang berantakan mengisi kehampaan yang tercipta di dalam lapangan indoor itu.

Bokuto menegak habis minuman miliknya dalam sekali tegak, lalu kembali menetralisasikan napasnya yang tersengal-sengal membuat dadanya kembang-kempis. Sedangkan Kuroo dan Terushima menyapu pelipis mereka yang basah akan keringat yang dikeluarkan kala mereka melakukan pertandingan.

“Capek banget!” keluh Bokuto nyaring.

“Gue akui semuanya hebat kok, tadi gue bener-bener menikmati permainannya.” ungkap Kita dengan segaris senyuman tulua yang ia layangkan kepada teman-temannya tersebut.

“Ushiwaka biasa aja.” celetuk Oikawa dengan tatapan yang memicing kepada sosok yang dimaksud.

No, gue bermain bagus tadi karena setter-nya lo.” balas Ushijima.

“GAK.” tukas pemuda bersurai coklat itu.

“Gue jadi laper ... ” Terushima mengusap-usap perutnya seolah dia sedang kelaparan dan butuh asupan makan.

“Sama gue juga, energi gue udah habis banget gara-gara main sama kalian.” tambah Daichi yang menyampirkan handuk putih ke atas bahunya.

“Ayo nyari makan.” ajak Kuroo yang tengah melakukan perenggangan pada tubuhnya yang terasa pegal.

“Ayo!” ujar Bokuto antusias.

“Bang, ‘kan lo hari ini ulang tahun.” Terushima tiba-tiba berujar pada Ushijima dan membuat Ushijima mengerut bingung.

Hari ini bukan hari ulang tahunnya, lantas mengapa Terushima berujar demikian. Ia menaikan salah satu alisnya ke atas sebelum menanggapi perkataan Terushima. Bukan hanya Ushijima yang kebingungan, namun temannya yang lain ikut menoreh kebingungan.

“Hah? Ngablu lo.” pungkas Oikawa.

“Emang Ushiwaka ganti tanggal lahir?” Bokuto melemparkan pertanyaannya kepada Kuroo yang duduk di sampingnya.

“Lho, enggak kok.” jawab Ushijima.

“Masa gitu doang kalian gak paham sih?” Terushima berdiri dari duduknya untuk bersedekap dada di hadapan yang lainnya.

“Apa sih, gak jelas lo.” sahut Kuroo.

“Gak paham gue.” Daichi menambahkan.

“Hehehehehe.” Terushima terkekeh secara tiba-tiba yang semakin membuat keenam kapten itu terheran.

“Sinting.”

“Oikawa, pas tadi lo servis beneran gak kena bagian belakang kepalanya, ‘kan?”

“Gak kok.”

“Temen lo udah gila kayaknya.”

“ANJING.” Terushima menyalak tak terima tatkala teman-temannya mengejek dirinya, mendengar kata umpatan yang dilayangkan oleh Terushima berhasil membuat yang lainnya terbahak.

“Lagian lo gak jelas.” ujar Kita.

“Maksud gue, ceritanya aja Bang Ushiwaka ulang tahun biar kita-kita ditraktir makan.” jelas Terushima dengan ekspresi masam.

“Oh ... begitu.” balas Ushijima, “yaudah gue yang traktir makan kali ini.”

“SERIUS LO?” Bokuto dan Terushima langsung berteriak girang mendengar ucapan Ushijima.

“Iya.” timpalnya.

“Asik makan gratis!”

“Kalo gitu berangkat sekarang aja, yok? Takut keburu kemaleman.” Daichi mengajak teman-temannya untuk segera bergegas meninggalkan area lapangan yang khusus mereka sewa untuk pertandingan ini. Tentu saja Ushijima yang memesankan lapangan khusus yang diperuntukkan habya untuk mereka.

Let’s go!

...

“Pada mau makan apa nih? Biar gue aja yang pesenin.” tanya Kita.

“Bakso super pedes!”

“Bakso aja gue mah sama es teh, ya.”

“Gue samain aja kayak mereka.”

“MIE AYAM SPESIAL PAKAI BAKSO!”

“Mie ayam, kalo lo gimana, Oikawa?”

“Gue gak mau samaan kayak lo, jadi gue mau bakso.”

Kita mengingat-ingat pesanan temannya tersebut dan beralih untuk menuju ke arah kasir untuk memesankan makanan mereka. Tak lama Kita mengambil duduk di samping Terushima dan ikut berpartisipasi ke dalam topik pembicaraan mereka. Kuroo, Bokuto, Oikawa, dan Terushima selalu terpagut dalam percekcokan dan kerap melemparkan kata umpatan satu sama lain. Sedangkan Ushijima, Daichi, dan Kita merespon perbuatan mereka dengan tawaan.

Pertemanan mereka layaknya dua kubu yang berbeda kontras, namun perbedaan itulah yang membuat mereka bersatu menjadi padu. Terpaut dalam pertemanan yang positif dan menyenangkan. Sebuah pertemanan yang selalu menerima secelah kekurangan satu sama lain.

“Misi, Mas-mas. Ini pesanananya, ya.”

“Hore!” teriak Bokuto dan Terushima bersamaan. Mereka langsung meraih pesanan mereka dengan lahap.

“Selamat makan, semuanya.” ujar Kita sebelum memakan makanannya.

“Itadakimasu!”

Mereka menyantap makanan mereka dengan begitu lahap sebab energi mereka telah terkuras habis sejak beberapa jam yang lalu. Walau terfokus ke makanan masing-masing, mereka tetap saling bercakap dan membahas semua hal.

“Kuroo.” tegur Oikawa.

Tak ada balasan dari sang empu, ia hanya menatap makanannya dengan lamat.

“Woi, Kuroo!” panggil Oikawa lagi.

“KUROO!”

Kuroo tersentak dari tempat duduknya dan gelagapan membalas tatapan Oikawa yang menatapnya aneh. “Kenapa?”

“Bengong mulu lo.” ucap Terushima.

“Oh. Gue lagu liatin tataan bakso gue yang mirip dengan sel hewan.” balas Kuroo santai.

Bokuto langsung tersedak setelah mendengar ucapan Kuroo, ia menegak minumannya hingga tandas.

“LO PAS MAKAN AJA SAMBIL MIKIRIN HAL YANG BERHUBUNGAN DENGAN PELAJARAN?” Bokuto berujar dengan volume intonasi yang tinggi.

Kita dan Daichi tertawa mendengar perkataan Kuroo dan Bokuto yang menurut mereka terdengar lucu.

“Ya gimana dong tiba-tiba kepikiran.” balas Kuroo dan tetap fokus untuk berkutat dengan makanannya yang menurutnya mirip dengan struktur sel hewan.

“Hati-hati kepala lo meledak.” ungkap Terushima yang mengakui kepiawaian Kuroo dalam bidang sains.

“WKWKWKWK.” Oikawa terbahak.

“Kur.” panggil Bokuto kepada Kuroo.

“Apaan?”

“Coba liat kepala lo sendiri, kepala lo tiba-tiba berasap tuh.” ucap Bokuto yang membuat Kuroo mendongak ke atas.

Namun, Bokuto bergerak cepat untuk mengambil beberapa bulatan bakso yang ada di mangkuk Kuroo dan melahapnya. Kuroo yang menyadari tindakan Bokuto tersebut langsung memukul pundak Bokuto dan memarahinya.

“BOKUTO ASU BANGET LO.” nyalak Kuroo.

“WKWKWKWKKWK.”

[]